BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Organisasi sektor publik di Indonesia dalam praktiknya kini diwarnai dengan munculnya fenomena menguatnya tuntutan akuntabilitas atas organisasi-organisasi publik tersebut, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas merupakan bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik yang disebut dengan laporan keuangan (Mardiasmo, 2006). Sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya konkrit untuk mewujudkan
transparansi
dan
akuntabilitas
pengelolaan
keuangan
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan media bagi sebuah entitas dalam hal ini pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerja keuangannya kepada publik. Pemerintah harus mampu menyajikan laporan keuangan
1
2
yang mengandung informasi keuangan yang berkualitas. Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dijelaskan bahwa laporan keuangan berkualitas itu memenuhi karakteristik ; Relevan, Andal, Dapat dibandingkan, dan Dapat dipahami. Terkhusus untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), laporan keuangan tersebut nantinya harus disampaikan oleh Pemerintah Daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Laporan Keuangan yang dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK), sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 17 tahun 2003, pasal 32. Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2003 juga mengisyaratkan bahwa laporan pertanggungjawaban pemerintah atau laporan keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum
disampaikan
kepada
pihak
legislatif
sesuai
dengan
kewenangannya. Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dimaksud adalah dalam rangka pemberian pendapat (Opini) sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Namun, masih maraknya fenomena mengenai pelaporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah yang menyajikan data-data yang tidak sesuai dan juga masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang
3
berhasil ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pelaksanaan audit laporan keuangan pemerintah, akhirnya membuat publik bertanya-tanya tentang kinerja pemerintah yang dalam praktiknya masih minim dalam hal pertanggungjawaban dan menyebabkan publik kemudian menuntut agar penyelenggaraan pemerintah yang baik (Good Governance government) untuk segera dilaksanakan dan ditingkatkan. Apalagi melihat data-data hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014. Pengecualian diberikan atas aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) senilai Rp 2,78 triliun (mutasi) yang tidak dapat dijelaskan; Utang Kementrian Negara/ Lembaga (KL) kepada pihak ketiga yang tidak dapat ditelusuri dan tidak didukung dokumen yang memadai; permasalahan kelengkapan pengungkapan data kewajiban kontijensi; dan Sisa Anggaran Lebih (SAL) yang tidak akurat. (IHPS BPK semester I 2015). Di samping itu pula, permasalahan mengenai laporan keuangan yang masih minim dalam hal pertanggungjawabannya ini juga merupakan masalah klasik yang terus berulang setiap tahunnya. Dimana Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2009. Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Tidak Memberikan
4
Pendapat (TMP) atau disclaimer atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004-2008.(IHPS BPK semester I 2015). Maka, permasalahan mengenai kualitas laporan keuangan kini semakin hangat dan menarik untuk dikaji dan ditelusuri lebih dalam, apalagi permasalahan mengenai buruknya kualitas laporan keuangan ini tidak hanya terjadi di lingkup Pemerintah Pusat saja tetapi sudah merambah ke berbagai sektor di Pemerintahan Daerah. Sebagaimana dibuktikan dalam Tabel Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Temuan Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester I 2015, berikut: TABEL 1.1. Jumlah Lapoan Hasil Pemeriksaan Dan Temuan Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester I Tahun 2015 Pemerintah/Jenis Pemeriksaan
Jumlah LHP
Pemerintah Pusat
Jumlah Temuan 117
1.637
Pemeriksaan Keuangan
97
1.519
PDTT
20
118
Pemerintah Daerah
518
8.019
Pemeriksaan Keuangan
504
7.888
3
17
11
114
Pemeriksaan Kinerja PDTT (Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
Dimana dalam tebel diatas dapat kita lihat dengan jelas, bahwa di dalam 518 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada Pemerintah Daerah terdapat 8.019 temuan, yang artinya dalam setiap temuan itu dapat terdiri atas satu
5
atau lebih permasalahan, yaitu berupa kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan/atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. (IHPS semester 1 Tahun 2015 BPK). Permasalahan mengenai kualitas laporan keuangan Pemerintah Daerah yang marak terjadi dan terus berulang setiap tahunnya semakin diperkuat dengan terbitnya Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Keuangan (IHPS) yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dimana dari pemeriksaan 504 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 251 (49,80%) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 230 (45,64%) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), opini Tidak Wajar (TW) atas 4 (0,79%) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atas 19 (3,77%) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Capaian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) ini di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang menetapkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas seluruh Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada tahun 2014. Secara keseluruhan, pada semester I tahun 2014 pemerintah propinsi memiliki persentase Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) paling tinggi, yaitu 76,47% dibandingkan dengan Pemerintah Kota dan Kabupaten yaitu
6
61,54% dan 44,59%. Sebagaimana dapat dilihat dari tabel opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010-2014 dan Tren opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010-2014 berikut:
7
TABEL 1.2. Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010-2014 Berdasarkan Tingkat Pemerintahan Propinsi
Pemerintahan Tahun 2010
2011
2012
2013 2014 (Sem I)
Kabupaten
Kota
WTP WDP TW TMP Total WTP WDP TW TMP Total WTP WDP TW TMP 6
22
0
18%
67%
0%
10
19
0
30%
58%
0%
17
11
0
52%
33%
0%
16
15
0
48%
45%
0%
26
7
0
76%
21%
0%
5
33
16
254
23
15% 100%
4%
64%
6%
33
36
268
6
12% 100%
9%
67%
2%
33
72
256
6
15% 100%
18%
64%
1%
33
105
241
11
6% 100%
26%
61%
3%
34
169
188
4
3% 100%
44%
50%
1%
4
5
2
1
(Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
103
Total
396
12
67
3
11
93
26% 100%
13%
72%
3%
12%
100%
399
21
62
2
7
92
22% 100%
23%
67%
2%
8%
100%
401
31
52
0
7
90
17% 100%
34%
58%
0%
8%
100%
398
35
55
0
3
93
10% 100%
38%
59%
0%
3%
100%
379
56
35
0
0
91
5% 100%
62%
38%
0%
0%
100%
89
67
41
18
8
(Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
GAMBAR 1.1 Tren Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010-2014
Dari berbagai permasalahan kualitas laporan keuangan yang telah dijelaskan diatas, tentu ini merupakan bukti dari kurangnya pemahaman Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan buruknya Sistem Pengendalian Internal (SPI), serta kurangnya kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, sehingga menyebabkan permasalahan kualitas laporan keuangan yang buruk di berbagai pemerintahan daerah terus terjadi dan berlanjut.
9
TABEL 1.3. Daftar Opini LKPD Propinsi Kalimantan Tengah Semester I Tahun 2015
LKPD 1 2 3 4 5
343 344 345 346 347
Prov. Kalimantan Tengah 15 15 Prov. Kalimantan Tengah 1 WDP 1 WDP Kab. Barito Selatan 1 TW 1 TMP Kab. Barito Timur 1 TMP 1 TMP Kab. Barito Utara 1 TMP 1 TMP Kab. Gunung Mas 1 WDP 1 WDP
6 7
348 349
Kab. Kapuas Kab. Katingan
1 1
WDP TMP
1 1
WDP TMP
1 1
TMP WDP TMP TMP WTP DPP WDP WDP
8 9 10
350 351 352
Kab. Kotawaringin Barat Kab Kotawaringin Timur Kab. Lamandau
1 1 1
WDP TW WDP
1 1 1
WDP WDP WDP
1 1 1
WDP TMP WDP
1 1 1
11 12 13 14
353 354 355 356
Kab. Kab. Kab. Kab.
1 1 1 1
TW TW TMP WDP
1 1 1 1
WDP TW TMP WDP
1 1 1 1
WDP TMP TMP WTP
1 1 1 1
15
357
Kota Palangka Raya
1
WDP
1
WDP
1
TMP
1
Murung Raya Pulang Pisau Seruyan Sukamara
(Sumber :www.bpk.go.id . IHPS Semester I Tahun 2015)
15 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1
WDP TMP TW WDP WDP WDP WTP DPP WDP WDP WTP DPP WDP TW WDP WTP DPP TMP
15 1 1 1 1 1
WTP WDP WDP WTP WDP
1 1
WDP WTP
1 1 1 1 1 1 1
WTP WTP WTP DPP WDP WDP WDP WTP
1
WDP
10
Tabel diatas menunjukkan data mengenai opini yang diberikan auditor terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Data tersebut menyatakan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian) selama empat tahun berturut-turut yaitu yaitu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Namun pada tahun 2015 Kabupaten Kotawaringin Barat memperoleh opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) yang menandakan bahwa dalam hal ini pemerintah telah lebih baik dari tahun sebelumnya. Penyimpangan-penyimpangan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dibuktikan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Keuangan (IHPS) Semester I Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mana didalamnya memberikan informasi yang tersirat jelas bahwa buruknya kualitas laporan keuangan yang terjadi pada pemerintah pusat maupun daerah pada umumnya disebabkan karena tidak diterapkannya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) tersebut antara lain meliputi penyajian aset dan belanja yang tidak didukung dengan bukti. Di samping itu juga Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003, itupun pada praktiknya tidak dilaksanakan dengan optimal oleh Pemerintah Pusat karena banyaknya permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
11
perundang-undangan antara lain meliputi : Masalah kewajiban, penerimaan perpajakan, penerimaan Negara bukan pajak, dan belanja. Selain itu ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang didalamnya juga diatur mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) juga pada praktiknya mewabah hingga pemerintahan daerah, sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Keuangan (IHPS) Semester I Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dimana hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas 504 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2014 mengungkapkan 5.993 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan senilai Rp3,20 triliun. Dari permasalahan ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 3.638 permasalahan berdampak finansial yang meliputi 2.422 (40,41%) kerugian daerah senilai Rp1,42 triliun, 324 (5,41%) potensi kerugian daerah senilai Rp1,41 triliun, dan 892 (14,88%) kekurangan penerimaan senilai Rp373,70 miliar. Selain itu, terdapat 2.355 (39,30%) kelemahan administrasi. Sebagaimana dapat kita lihat pada (gambar 1.2) yang memuat kelompok temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2014 dan (gambar 1.3) yang memuat kelompok temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berdampak finansial dibawah ini:
12
(Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
GAMBAR 1.2. Kelompok Temuan Ketidakpatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pada Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2014 (Berdasarkan Jumlah Permasalahan)
(Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
GAMBAR 1.3. Kelompok Temuan Ketidakpatuhan Terhadap KetentuanPeraturan Perundang-Undangan Yang Berdampak Finansial (RpMiliar)
13
Dari berbagai permasalahan diatas mengenai kurang diterapkannya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang kemudian menyebabkan buruknya kualitas laporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah, dimana hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Nugraheni dan Subaweh (2008), dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) terhadap Kualitas Laporan Keuangan” dimana hasil penelitiannya membuktikan bahwa penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas laporan keuangan, begitupun juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumah (2012), dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan“ yang menunjukkan bahwa Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan. Namun,
penyimpangan-penyimpangan
yang
menyebabkan
laporan
keuangan menjadi tidak berkualitas bukan hanya disebabkan karena kurang diterapkannya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), selain itu juga karena lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang ada dalam pemerintahan pusat maupun daerah. Dimana di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Keuangan (IHPS) Semester I Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan bahwa dari 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan terdapat 7.544 (48,88%) permasalahan mengenai kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI). Permasalahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang signifikan tersebut antara lain meliputi : Masalah piutang,
14
persediaan, investasi, asset tetap, kewajiban, penerimaan perpajakan, belanja, dan pengungkapan. Selain itu, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas 504 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2014 mengungkapkan 5.978 permasalahan Sistem Pengendalian Internal (SPI). Permasalahan Sistem Pengendalian Internal (SPI) tersebut meliputi 2.222 (37,17%) kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan 2.598 (43,46%) kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan belanja, dan 1.158 (19,37%) kelemahan struktur pengendalian intern, sebagaimana dapat dilihat pada (grafik 1.4) berikut:
(Sumber :www.bpk.go.id. IHPS Semester I Tahun 2015)
GAMBAR 1.4. Kelompok Temuan Sistem Pengendalian Internal (SPI) Atas Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2014
Permasalahan mengenai lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) di Pemerintahan Pusat maupun Daerah yang kemudian menyebabkan buruknya
15
kualitas laporan keuangan pemerintah sebagaimana dijelaskan diatas, juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Windiastuti(2013), tentang pengaruh sumber daya manusia bidang akuntansi dan sistem pengendalian internal terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah daerah, dimana hasil penelitiannya
membuktikan
bahwa
sistem
pengendalian
internal
pemerintah memiliki pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan. Namun, buruknya kualitas laporan keuangan di dalam pemerintah pusat maupun daerah ternyata bukan hanya disebabkan oleh kurang diterapkannya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) tetapi juga disebabkan oleh minimnya Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dalam bidang akuntansi juga menjadi faktor penting yang kemudian menyebabkan buruknya kualitas laporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah, karena walaupun Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sudah diatur dengan benar dan Sistem Pengendalian Internal (SPI) juga semakin diperkuat akan menjadi tidak berguna jika tidak didukung Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dalam bidang akuntansi yang memiliki spesialisasi dan pemahaman yang lebih matang mengenai tata cara penyusunan laporan keuangan yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, Amran (2009), menyatakan bahwa sumber daya manusia adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu instansi. Dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas, tentunya akan mampu mempengaruhi kualitas informasi akuntansi pada pelaporan keuangan.
16
Laporan keuangan yang berkualitas sangatlah penting untuk diterapkan karena apabila suatu laporan keuangan tidak berkualitas dan melaporkan keadaan yang tidak sesuai dengan kenyataan atau peristiwa yang terjadi maka tentunya akan ada berbagai pihak yang dirugikan atas kesalahan pencatatan ataupun pelaporan laporan keuangan tersebut. Dalam Islam Allah SWT telah menjelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam
17
dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa. Oleh karena itu kualitas laporan keuangan dirasa penting untuk diwujudkan agar tidak menimpakan masalah dan merugikan berbagai pihak atas kelalaian kita khususnya Sumber Daya Manusia Bidang Akuntansi yang dalam hal ini harus mempunyai kompetensi dalam hal pengetahuan, keahlian, perilaku. Pengetahuan yang dimaksud bukan hanya soal akuntansi saja tetapi juga soal agama sehingga kecurangan-kecurangan seperti manipulasi laporan keuangan yang marak terjadi dewasa ini tidak lagi berlangsung terus menerus kedepan. Penelitian terdahulu menyatakan hal yang serupa mengenai hubungan antara kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap Kualitas Laporan Keuangan, dimana penelitian Roviyantie (2011), dengan judul penelitian “Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Daerah”
yang menunjukkan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM)
berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan Pemerintah Daerah. Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah dijelaskan diatas, dapat dikatakan bahwa permasalahan mengenai buruknya kualitas laporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah disebabkan oleh tiga faktor, antara lain: Kurangnya Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI), dan Minimnya Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM).
18
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahayu,dkk (2014), yang meneliti mengenai “Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD), dan Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Daerah Pada Pemerintah Propinsi Riau”.Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada tahun dan tempat penelitian serta variabel Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) yang digantikan dengan Sistem Pengendalian Internal (SPI). Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, dalam hal ini peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Kotawaringin Barat. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Kompetensi Sumber Daya Manusia, Dan Sistem Pengendalian Internal Serta Pengaruhnya Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah”.
B.
Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel bebas yaitu: Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Kompetensi Sumber Daya Manusia, dan Sistem Pengendalian Internal.
19
2. Penelitian ini terbatas pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
C.
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah? 2. Apakah Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah? 3. Apakah Sistem Pengendalian Internal (SPI) berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah?
D.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Memberikan bukti empiris bahwa Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah. 2. Memberikan bukti empiris bahwa Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah. 3. Memberikan bukti empiris bahwa Sistem Pengendalian Internal (SPI) berpengaruh positif terhadap perangkat daerah.
kualitas laporan keuangan satuan kerja
20
E.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk memperluas pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik yang berhubungan dengan Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), dan Sistem Pengendalian Internal (SPI). 2. Manfaat Praktis a. Bagi Instansi Pemerintah Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pemerintah dalam menyusun laporan keuangan yang sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dan meningkatkan kesadaran pemerintah daerah akan pentingnya Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) serta Sistem Pengendalian Internal (SPI) dalam meningkatkan kualitas laporan keuangan. b. Bagi Peneliti Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baik secara teori maupun praktik terkait dengan Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Sistem Pengendalian Internal (SPI), dan Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah.
21
c. Bagi Akademisi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah studi literatur mengenai Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), dan Sistem Pengendalian Internal (SPI) serta pengaruhnya terhadap Kualitas Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah.