BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Dunia seni rupa, di Indonesia maupun di berbagai negara manapun sangatlah dinamis. Secara teknik, makin banyak yang melakukan
eksplorasi,
menyesuaikan
perkembangan
zaman,
maupun menyesuaikan selera masing-masing seniman. Seniman tidak hanya berkutat pada masalah teknik, tetapi juga konsep, dan makin banyak seniman yang makin peka terhadap isu-isu lokal maupun global yang sedang diperbincangkan. Rupa-rupa dunia seni rupa, selalu berubah-ubah seiring dinamika yang ada di sekelilingnya. Persaingan antar seniman saat ini lebih pada apa yang terletak di balik karya, bukan hanya pada visualisasi yang kentara. Teknik menjadi sebuah jembatan terealisasinya sebuah karya, dari sekian banyak teknik yang ada (atau seniman menciptakan
tekniknya
sendiri)
pada
akhirnya
mereka
menjadikannya sebagai sebuah identitas, maka sebuah karya digunakan sebagai media untuk memperkenalkan sosok seniman tanpa hadirnya sosok seniman itu sendiri.
1
2
Berkarya rupa bukan hanya sebuah wujud eksistensi, namun sebuah cara untuk bercerita melalui media non-verbal, baik bercerita tentang sosok seniman sendiri atau tentang wacana lain di luar diri seniman, dan tidak dapat dipungkiri makin banyak seniman yang berkarya untuk tujuan komersil. Karya seni rupa sangat erat kaitannya dengan industri kreatif, yang makin diminati dan didominasi oleh kalangan anak muda, sebagai kegiatan positif yang menghasilkan profit. Salah satu teknik yang digunakan untuk membuat karya dalam seni rupa adalah „kolase‟, yaitu sebuah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan atau bisa disebut dengan istilah mix media.
Kolase meliputi kegiatan memotong dan menempel
baik kain, kertas, foto, benda bekas, ataupun kayu kemudian ditempelkan
pada
permukaan
gambar,
bisa
dikombinasikan
dengan goresan manual menggunakan pensil, spidol, dan cat, ataupun zat pewarna yang lain. Tidak sedikit seniman di Indonesia yang menggunakan teknik kolase dalam berkarya, beberapa di antaranya adalah Ika Vantiani, Rumi Sidharta, Resatio Adi Putra, dan lain-lain. Resatio Adi Putra adalah salah satu seniman kolase yang berdomisili di Bandung,
telah
berkarya
sejak
tahun
2005,
mulai
serius
menekuni industri seni dan kreatif dengan karya kolasenya sejak tahun 2008, bukan seorang yang berasal dari sekolah desain
3
ataupun seni rupa, namun sangat tertarik pada dunia seni rupa hingga memutuskan menjadi spesialis karya kolase setelah melakukan beberapa eksperimen dengan berbagai macam teknik. Membuat sebuah karya seni menjadi bernilai jual merupakan alternatif cara Resatio untuk berbagi pengalaman visual sekaligus mendapatkan profit dalam waktu yang bersamaan. Resatio melakukan semacam negosiasi dengan dirinya sendiri saat berkarya, karena menurutnya antara pikiran dan rasa harus dapat bekerja sama agar dapat menyiptakan karya yang maksimal. Sejak awal kuliah1 (sekitar tahun 2005) ketertarikannya semakin besar saat melihat karya-karya Shephard Fairey, Andy Warhol, dan Waile.2 Pemilihan kolase sebagai style Resatio dalam berkarya juga dipengaruhi oleh karya Mark Weaver. Gaya (style), dalam pengertian retoris, dapat dipandang sebagai sumber daya, sebagai faktor dalam produksi artistik, yang dengan begitu sekalinya sejumlah gaya eksis, para seniman bisa memilih gaya mana yang ingin mereka gunakan atau diolah lagi.3 Tahun
2007-2008
Resatio
mulai
menekuni
children
illustration bergaya vector art, namun gaya tersebut nampaknya
1 Resatio kuliah di Universitas Padjajaran dengan mengambil jurusan Hukum (S1). 2 Seniman kolase (lihat wawancara Resatio di http://kopikeliling.com/artists/resatio-adi-putra.html), diunduh pada 22 Maret 2014. 3 John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif (Terj. Laily Rahmawati), Yogyakarta: Jalasutra, 2010, 171.
4
tidak sepenuhnya cocok dengan Resatio, hingga pada tahun 20082009 Resatio akhirnya menentukan pilihan pada teknik yang hingga kini dia tekuni, yang dapat mewakili pemikiran dan rasa yang ingin dia ungkapkan, yaitu karya kolase surealis. Pemilihan karya kolase sebagai “jalan hidup” seorang Resatio Adi Putra, dikarenakan
kekurangan
yang
dirasakannya
dalam
mengungkapkan perasaannya melalui tulisan ataupun kata-kata. Resatio merasa bahwa pada akhirnya karya kolaselah yang bisa merepresentasikan
pikiran
dan
perasaan
yang
ingin
disampaikannya dengan sangat baik, terlepas dari interpretasi apresiator yang pasti berbeda-beda sesuai dengan pemilihan sudut pandang masing-masing. Karya kolase yang dibuat oleh Resatio menggunakan kombinasi teknik manual dan digital4, apabila diperlukan untuk memperbanyak dan memperbesar resolusi gambar, atau untuk keperluan publikasi yang lebih luas). Secara garis besar karyanya merupakan kombinasi dari berbagai jenis objek seperti manusia, binatang, tanaman dan still life (benda mati). Tiap karya tentu memiliki komposisi yang berbeda, namun sama-sama memiliki nuansa vintage dan juga gothic. Pemilihan objek, komposisi, nuansa yang ditampilkan, cara penyajian karya, dan tidak lupa pemilihan gaya merupakan benang merah antar satu karya dan 4 Yang dimaksud adalah teknik yang menggunakan perangkat komputer dan program yang digunakan.
5
karya yang lain. Kesamaan yang akhirnya menjadi identitas seorang Resatio Adi Putra. Munculnya beberapa objek yang sama secara berulangulang dalam setiap karya menjadi ciri khas karya Resatio, dan bagaimana ia mengombinasikan objek adalah cara Resatio untuk membedakan karya kolasenya dengan karya seniman kolase yang lain. Karya Resatio tidak lepas dari sosok berbagai macam binatang, ada yang ditampilkan secara utuh atau hanya beberapa bagian
tubuh
ditampilkan
tertentu,
dalam
sedangkan
karya
kolase
sosok
manusia
yang
Resatio
jarang
sekali
menampilkan wajah secara utuh, bagian wajah selalu tertutup dengan bentuk tengkorak atau kepala binatang, ada yang tertutup sebagian, ada pula yang keseluruhan. Pameran yang diikuti Resatio antara lain, „Lemi the Space Wanderer
Customs
Exhibition‟
di
Omuniium
(Bandung),
„Caffeninated‟ di Inkubator Asia (Jakarta), „Kopi Keliling Volume 7‟ di Kedai Kebun Forum Yogyakarta, pameran „RupaNada‟ di Jogja Gallery, dan lain-lain. Lukisan kolase Resatio tidak hanya berbentuk dua dimensi, beberapa di antaranya dibuat dalam bentuk asesoris berupa kalung dan postcard, dilengkapi dengan puisi tulisan Resatio, selain itu juga dicetak pada kaos atas permintaan beberapa brand. Karya Resatio juga muncul dalam bentuk desain untuk beberapa majalah, menjadi ilustrasi sampul
6
buku (berjudul „Bandar‟ karya penulis Zaky Zamani), dan juga dicetak kembali menjadi sebuah booklet kumpulan karya kolase, yaitu Reconstructing Collage dan Visual Thief. Subjek penelitian ini adalah booklet kedua berisi kumpulan karya Resatio yang berjudul Visual Thief, dengan beberapa karya yang telah dipilih berdasarkan kriteria tertentu di dalamnya. Visual Thief merupakan booklet kedua setelah Reconstructing Collage yang dikemas secara manual dalam jumlah yang terbatas, hanya 200 copy, dicetak tahun 2014. Visual Thief berisi 52 halaman yang memuat 45 karya kolase Resatio, beberapa karya pernah diikutsertakan dalam pameran seni rupa. Booklet “Visual Thief” berukuran A5 (15 x 21cm), sampul depan dan belakang dicetak dengan kertas coronado 270 gsm (gram per squaremeter), sedangkan isi dicetak dengan menggunakan kertas hvs 100 gsm, dijilid secara manual oleh Resatio sendiri dengan teknik japanese book binding.5 Visual Thief adalah sebuah booklet dan sekaligus menjadi semacam katalog. Catatan pembuka ditulis oleh Resatio sendiri dan Rumi Siddharta, sahabat sekaligus seorang seniman muda. Resatio beranggapan bahwa kolase adalah sebuah penulisan ulang sejarah, sebuah proses mendekonstruksi dan merekonstruksi,
5 Format penjilidan yang telah digunakan masyarakat Jepang sejak jaman kuna.
7
menambah ataupun menyembunyikan, jadi bukan hanya sekedar proses menggunting dan menempel lalu disajikan.
Gambar 1.1 Visual Thief (Foto: Novia Nur Kartikasari, 2015)
Visual Thief menjadi menarik karena konsep awal yang diusung, yaitu tentang „pencurian‟ sesuai dengan judul yaitu „pencurian visual‟. Visual dalam hal ini merupakan suatu hal yang dapat dilihat seperti gambar, foto atau tulisan, dan lain-lain, sedangkan benda-benda kasat mata itulah yang menjadi objek yang
dicuri.
Resatio,
sebagai
seniman
kolase
kemudian
mengibaratkan dirinya sebagai pelaku, sebagai pencuri yang mengambil berbagai objek yang telah ada, kemudian dijadikannya sebagai sebuah karya utuh hasil ciptaanya, selanjutnya karya kolase Resatio berdiri sendiri sebagai karya tanpa campur tangan senimannya lagi.
8
Resatio menyatakan bahwa karya kolase dalam Visual Thief bergaya Dada dan surealis, dengan gambaran mimpi-mimpi dan fantasi dari sudut pandangnya. Sisi yang menarik dari sebuah karya rupa adalah konsep yang
tidak selalu secara langsung
dapat dibaca oleh audience, karya seperti anak dari seniman, maka ketika karya telah siap untuk dipamerkan, karya telah berdiri sendiri dan publik bebas untuk melakukan pembacaan, menafsir, mereka-reka, atau menginterpreatsi karya tanpa ada batasan dari siapapun. Karya kolase memiliki komponen yang sangat beragam, tidak terbatas hanya pada potongan objek berbahan kertas saja, namun juga dari berbagai temuan benda lain seperti misalnya serpihan kayu, sobekan kain, potongan benang, dan lain-lain. Masing-masing diambil untuk merepresentasikan konsep yang dibuat oleh seniman, dan ketika komponen-komponen tersebut disusun menjadi satu maka konsep pun akan tervisualisasi. Sebuah karya rupa akan mewakili sosok sang seniman itu sendiri, maka karya juga sekaligus merupakan sebuah identitas. Karya Resatio merupakan kombinasi berbagai macam objek, mulai dari sosok manusia (kebanyakan perempuan) yang disatukan dengan objek fauna/binatang, yang terlihat sangat dominan ditemukan pada kebanyakan karya kolasenya. Salah satu objek yang dimunculkan sebagai representasi konsep Visual
9
Thief adalah fox (rubah), Resatio memakai rubah sebagai analogi pencurian seperti yang disampaikan olehnya dalam catatan pembuka. Objek manusia dalam karya Resatio selain dikombinasikan dengan objek binatang, juga digabungkan dengan berbagai macam objek seperti bunga dan tumbuh-tumbuhan, tulang belulang manusia ataupun binatang, bola mata, alat transportasi, jam, bulan, dan berbagai objek lain. Kombinasi yang berbeda-beda menjadi sebuah cara menyampaikan secara implisit metafora yang sebenarnya ingin disampaikan oleh seniman.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Ciri-ciri apa saja yang membuat karya Resatio Adi Putra dalam Visual Thief dapat disebut surealistik? 2. Pola relasi metaforik macam apa yang muncul dalam karya Resatio Adi Putra? 3. Apa relasi antara pola metaforik dan surealisme dalam karya Resatio Adi Putra?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan
mengenai
konsep
terbentuknya booklet Visual Thief.
yang
mendasari
10
2. Menganalisis dan menjelaskan ciri-ciri kesurealisan yang terdapat pada karya Resatio Adi Putra dalam Visual Thief. 3. Menganalisis
dan
mengelompokkan
pola-pola
relasi
metaforik yang muncul dalam karya Resatio Adi Putra. 4. Menjelaskan mengenai relasi antara pola metaforik dan surealisme dalam karya Resatio Adi Putra.
D. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada analisis ikon metaforik yang terdapat pada karya Resatio Adi Putra dalam Visual Thief. Menganalisis karya dari salah satu sisi trikotomi Peirce yang paling mendasar yaitu ikon, maka tidak akan dibahas lebih jauh mengenai indeks maupun simbol. Beberapa karya yang telah dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, kemudian dianalisis ciri surealisme yang terdapat di dalamnya, serta akan dipetakan pola-pola metaforis yang nampak baik secara implisit ataupun eksplisit dalam karya-karya Resatio Adi Putra. Penelitian ini melibatkan perpektif seniman sebagai si pencipta karya, namun dibatasi hanya sebagai pengantar, untuk mengetahui gagasan awal pembuatan karya, selebihnya dalam proses analisis penelitian
dalam
rangka
mencari
ciri
surealistik
dan
pola
metaforanya, peneliti melihat karya kolase sebagai karya yang telah lepas tanpa campur tangan seniman lagi.
11
Proses analisa karya akan melibatkan representamen dan objek, dengan tidak melibatkan interpretan, sedangkan karya dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang dianggap dapat mewakili konsep Visual Thief, dan juga dapat menggambarkan secara keseluruhan karya Resatio dalam Visual Thief.
E. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai surealisme sangat luas, tidak hanya terbatas gaya yang disematkan pada karya rupa, namun juga pada pada beberapa bidang kajian yang lain, sama halnya dengan kolase yang juga tidak hanya diterapkan pada proses berkarya dalam seni rupa, tapi juga ditemukan pada sastra maupun musik. Beberapa penelitian yang dijadikan bahan rujukan meliputi penelitian tentang surealisme, kolase, seniman-seniman yang menekuni teknik kolase dan
bergaya
surealisme, termasuk
penelitian yang melibatkan Resatio Adi Putra sebagai subjek serta beberapa
pemberitaan
online
yang
meliput
Resatio
sebagai
narasumber beserta karya maupun pameran yang diikutinya. Kris Budiman, memetakan aspek-aspek surealisme yang terdapat pada film Opera jawa, dalam tulisannya “Sebuah Labirin untuk Garin”.6 Fokus mengkaji keberadaan “Labirin Serabut” karya instalasi Nindityo yang dijadikan sebagai salah satu 6 Lihat Kris Budiman, “Sebuah Labirin untuk Garin”, dalam BULAK: Jurnal Sosial dan Budaya, Vol. 3, edisi Februari, 2009, 30-38.
12
komponen
artistik
dalam
Opera Jawa,
berbagai
pencitraan
surealistik yang dimunculkan terkait dengan berbagai adegan di dalamnya. Buku yang mengupas tentang surealisme juga ditulis oleh Keith Aspley, berjudul “Historical Dictionary of Surrealism”, berisi tentang surealisme yang diterapkan di berbagai bidang, seperti sastra, teater, film, seni rupa dan berbagai bidang lain, beserta seniman-seniman yang terlibat dalam berbagai bidang tersebut. Mona Hadler, dalam tulisannya yang berjudul “David Hare, Surrealism, and the Comics”, dimuat dalam jurnal The Space Between. Berisi tentang sejarah komik yang terbit di Amerika, kemudian tentang Hare, seorang pematung yang mengamati sisi dark humor dari cerita-cerita dalam komik sebagai sumber inspirasinya dalam berkarya, hingga muncullah istilah Gothic Surrealism7 untuk karya-karya yang dibuatnya. Mary Frances, melakukan penelitan dengan mengambil kolase sebagai objek kajian, berjudul “Collage and Cut-Ups the Art of Re-Arrangement”,8 menjelaskan mengenai serba-serbi kolase yang
pada
dasarnya
merupakan
sebuah
konstruksi
dan
penyusunan ulang, fokus pada kolase yang diterapkan pada karya
7 Lihat Mona Hadler, “David Hare, Surrealism, and the Comics”, dalam The Space Between, Vol. VII:1, 93-108, Brooklyn College and The Graduate Center, 2011, 95. 8 Lihat Mary Frances, “Collage and Cut-Ups the Art of Re-Arrangement”, dalam Personal Construct Theory & Practice, Vol. 6, pp. 15-20, 2009.
13
sastra seperti puisi, maka Francer menyusun kembali tulisantulisan yang ada untuk membuat karya baru. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Johanna Drucker yang mengupas tiga buku yaitu “Max Ernst: Dada and the Dawn of Surrealism” (ditulis oleh William Camfield; Walter Hopps; Werner Spies)
dan
“Cut
with
the
Kitchen
Knife:
The
Weimar
Photomontages of Hannah Höch” (ditulis oleh Maud Lavin), dan “John Heartfield” (oleh Peter Pachnicke; Klaus Honnef).9 Drucker menulis tentang aliran dada yang merupakan langkah menuju ke aliran surealisme, tentang isu-isu yang terkait dengan aliran tersebut, kemudian mengenai beberapa seniman yang dikenal pada masa kemunculan surealisme berikut dengan teknik-teknik yang digunakan dalam membuat karya yang sangat beragam. Surealisme juga ditulis oleh Alyce Mahon dari University of Cambridge dalam artikel yang berjudul “The Lost Secret Frida Kahlo and the Surrealist Imaginary”.10 Dituliskan tentang dua seniman yang pada awal kemunculan aliran surealisme yaitu Kahlo dan Breton makin menunjukkan eksistensinya, dengan saling saling bertukar ide untuk memaksimalkan hasil dari proses berkarya mereka. 9 Johanna Drucker, “Review: Dada Collage and Photomontage”, dalam Art Journal, Vol. 52, No. 4, Interactions between Artists and Writers. (Winter, 1993), pp.82-84+87. 10 Alyce Mahon, “The Lost Secret Frida Kahlo and the Surrealist Imaginary”, dalam Journal of Surrealism and the American, 5:1-2 (2011), pp. 3354.
14
Analisis dengan menggunakan pendekatan semiotik pernah dilakukan oleh Sumbo Tinarbuko dalam penelitiannya yang berjudul Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual.11 Karya desain komunikasi visual memiliki ikon yang berfungsi sebagai sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, dan pendekatan semiotik digunakan untuk menganalisis kelayakan desain apakah telah diterapkan secara proaktif dan sesuai konteksnya. Mengenai semiotika juga ditulis oleh Winfried Nöth dalam sebuah buku berjudul “Handbook of Semiotics”, yang berisi mulai dari sejarah, pakar, kumpulan istilah dan berbagai hal yang berhubungan dengan semiotika. Ismi Saras, salah satu mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (Institut Seni Bandung), melakukan studi kasus dengan mengambil sampel dari beberapa seniman rupa, salah satunya adalah Resatio Adi Putra. Penelitian tersebut berjudul “Analisis Gagasan Seniman Generasi Milenia dalam Inklusivitas Seni Rupa Indonesia”,12 membahas mengenai berbagai macam objek keseharian yang ditemukan dalam karya, tanda-tanda kemudian kecenderungan yang muncul dalam diri si seniman. Resatio Adi Putra sering muncul dalam pemberitaan online, seperti pada situs Jakarta Globe, Kopling (Kopi Keliling), Plot Point, 11 Sumbo Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, dalam NIRMANA Vol.5, No. 1, Januari 2003: 31-47. 12 Dalam Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa, No. 1, hal. 1-6, Bandung: ITB.
15
LOTF, Indonesia Art News, Kompasiana, dan beberapa situs berita online yang lain. Secara garis besar media online tersebut membahas mengenai profil Resatio, karirnya sebagai seniman kolase, gayanya dalam berkarya yang konon dikatakan Dada dan surealis,
berikut
dengan
beberapa
contoh
karya
serta
keikutsertaannya dalam berbagai pameran dan pengisi workshop di beberapa event, karya Resatio selain diunggahnya melalui beberapa akun sosial media pribadinya juga dimuat salah satunya dalam www.IndoArtNow.com.13 Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dikutip, baik sebagai pembanding maupun rujukan untuk beberapa teori, membuktikan bahwa penelitian mengenai “Visual Thief” karya kolase Resatio Adi Putra belum pernah dilakukan dan terbukti kebaharuannya. F. Landasan dan Pendekatan Teori 1. Kolase Kolase merupakan salah satu teknik dalam berkarya rupa yang mirip seperti instalasi yaitu merupakan penggabungan berbagai elemen untuk membuat sebuah karya, dan seringkali juga disebut sebagai karya mix media. Kolase lahir bersamaan dengan lahirnya Dada kemudian beriringan dengan surealisme,
13
Salah satu situs yang memuat karya dari para seniman rupa.
16
karena secara teknis dapat menghasilkan cerminan dari konsep yang diusung kedua genre gaya tersebut. Kolase merupakan komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan atau elemen, bisa dari kain, kertas, foto, benda bekas ataupun serpihan kayu, yang di dalamnya meliputi kegiatan memotong dan menempel, selain itu bisa dikombinasikan dengan goresan manual menggunakan pensil, spidol, dan cat. Namun kolase bukan hanya diterapkan dalam karya seni rupa, karena seperti musik dan karya sastra pun bisa menggunakan teknik yang sama. Teknik kolase pada dasarnya bukan teknik yang rumit, seperti yang dijelaskan seperti berikut: Collage from the French verb „to stick or glue‟, used to refer to the practice invented by Picasso of sticking fragments of paper, board, flyers, etc. to the surface of their cubist compositions. In addition to changing the nature and texture of the painted surface, collage symbolised the introduction of everyday objects into the process of art making.14 (Kolase berasal dari kata kerja bahasa Perancis „merekatkan atau menempel‟, digunakan untuk menyebut praktek yang ditemukan oleh Picasso yaitu merekatkan potongan kertas, papan, pamflet, dan lain-lain ke permukaan komposisi kubisme. Di samping itu mengubah sifat dan tekstur permukaan lukisan, kolase mengenalkan objek sehari-hari ke dalam proses pembuatan karya seni).
14 Grant Pooke & Diana Newall, Art History: The Basics, London & New York: Routledge, 2008, 219.
17
Ernst mendefinisikan kolase sebagai “something like the alchemy of the visual image”15 (sesuatu seperti alkimia dari citra visual). Ernst menggunakan kolase sebagai sebuah metode dengan cara memotong dan merakit beberapa gambar temuan untuk dijadikan sebagai satu gambar utuh. Alchemy merupakan sebuah metafora yang digunakan untuk menyebut proses kerjanya dalam membuat karya seni. Kolase menjadi sebuah teknik yang digemari dari masa ke masa, beberapa pameran menggunakan karya kolase sebagai metode yang dominan digunakan para senimannya. Salah satu contoh pameran kolase yang pernah diadakan pada tahun 1978,
yaitu
„The
Surrealist
Collage
exhibition‟16
di
Paris,
merupakan pameran yang menyuguhkan karya kolase sekaligus mengenalkan
pentingnya
karya
seni
bergaya
surealis
pada
masanya. Seorang seniman yang mencoba bereksperimen saat awal kemunculan teknik kolase adalah Pablo Picasso, yang secara bertahap
mengembangkan
bentuk-bentuk
kubisme
dengan
menempelkan sobekan-sobekan kertas (papiers collés)17 pada lukisannya
15 M. E. Warlick, Max Ernst and Alchemy: A Magician in Search of Myth, Austin: University of Texas Press, 2001, 1. 16 Keith Aspley, Historical Dictionary of Surrealim, Toronto: The Scarecrow Press, 2010, xxiv. 17 Aspley, 2010, 81.
18
Kolase tidak melulu dibuat dalam bentuk dua dimensi tetapi juga tiga dimensi, seperti yang dijelaskan seperti berikut: Collage abandons the illusion of depth we associate with single-point per-spective. This is not to imply that collage never takes three-dimensional forms. In fact, three-dimensional collage, as we've seen, is routinely referred to as "assemblage.18 (Kolase membebaskan khayalan dari dalam diri yang kita asosiasikan dengan satu sudut pandang tertentu. Ini tidak berarti bahwa kolase tidak pernah membuat bentuk tiga dimensi. Faktanya, kolase tiga dimensi, sebagaimana yang pernah kita lihat, merupakan sebuah hal biasa dan dapat diterima oleh semua orang). Kolase berhubungan dekat dengan gerakan Dada dan surealisme,
sebagai
teknik
yang
cocok
diterapkan
untuk
merealisasikan konsep dari masing-masing gerakan tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Frances bahwa: Dadaists used collage and „found‟ materials as a central focus in their work, recognising the potential for juxtaposing images in startling and violent ways as a means of highlighting the perceived irrationality of modern life and responding to the horrors of warSurrealists, the Fluxus group, Pop artists - all used collage, incorporating found objects and texts in their work, stimulating a dialogue between the serious and ridiculous, the real and imagined, the random and the composed, the valued and the discarded).19 Kolase memungkinkan adanya penggabungan fragmenfragmen yang akan menciptakan bentuk baru dari bentuk yang
18 Roger Copeland, “Merce Cunningham and the Aesthetic of Collage”, dalam TDR (1988-), Vol. 46, No. 1, pp. 11-28, TheMIT Press, 2002, 21. 19 Mary Frances, “Collage and Cut-Ups the Art of Re-Arrangement”, dalam Personal Construct Theory & Practice, Vol. 6, hal. 15-20, 2009, 15.
19
telah ada sebelumnya, hingga menciptakan komposisi yang ganjil. Hannah Höch (1889-1978), merupakan seniman dunia yang sungguh-sungguh menekuni kolase, salah satu seniman Dada dan surealis
yang berasal dari Jerman, menggunakan teknik kolase
dalam berkarya, menggabungkan berbagai potongan gambar objek bagian tubuh manusia, serta potongan tulisan-tulisan dari berbagai sumber, tidak dijadikan sebuah kalimat utuh, hanya menjadi bagian dari karya visual. Salah satu karyanya yaitu „Cut with the Kitchen Knife through the Beer-Belly of the Wimar Republic‟, dibuat pada tahun 1919 yaitu selama dan sesudah perang
dunia
I
yang
merupakan
karya
bergaya
Dada,
penggabungan dari berbagai gambar objek dan potongan tulisan, merupakan karya seni yang bearoma politis. Sebagai seorang seniman perempuan, tentunya menjadikan karya Höch berbeda dari seniman surealis laki-laki yang lain, Lavin menyatakan bahwa: “I wondered about Höch's body image in relation t o the mass produced images of the New Woman, an issue that is so much a part of contemporary feminist politics in media studies that it would be interesting to know how and ~f it had been operative for Höch.”20
20
Lihat Johanna Drucker, “Review: Dada Collage and Photomontage”, dalam Art Journal, Vol. 52, No. 4, Interactions between Artists and Writers. (Winter, 1993), pp.82-84+87, 84.
20
Höch cenderung untuk mengambil gambar-gambar objek perempuan, menekankan pada isu yang berhubungan dengan gender serta kaum feminis, karya Höch juga merupakan protes terhadap kehidupan perempuan yang terbatasi oleh sosial politik pada saat itu, termasuk mengenai hubungan sesama jenis yang sejak dari dulu mendapat pertentangan dari masyarakat. Höch merupakan pelopor teknik photomontage (montase foto), yaitu semacam kolase namun tersusun dari potongan foto, tidak jauh berbeda karena tema yang diangkatnya masih seputar feminisme. Fragmentasi dalam karya Höch selalu memberikan efek janggal dan terkadang menakutkan, seringkali merupakan susunan dari anggota tubuh yang tumpang tindih, berbeda dari proporsi dan tata letak anggota tubuh manusia yang sewajarnya, hingga membuat orang merasa tidak nyaman melihatnya. Seniman perempuan dari Indonesia yang menekuni seni kolase salah satunya adalah Ika Vantiani, lahir pada 7 Juni dan berada di lingkungan yang didominasi oleh para laki-laki, ia percaya bahwa tidak ada yang bisa menghalangi kreatifitas serang perempuan yang tidak kalah dengan para laki-laki. Ika Vantiani juga seorang kurator muda ternama yang berasal dari Jakarta, karyanya yang kontemporer seringkali terinspirasi dari tanaman kaktus, dan komposisi yang dibuatnya khas dengan repetisi bentuk tetesan air yang beraneka warna, berikut dengan berbagai
21
potongan dari gambar objek lainnya yang dijadikan sebuah karya utuh. „The Sound of Thousand Eyes‟ merupakan salah satu karya Ika Vantiani, dengan tidak terlalu menggunakan banyak warna seperti yang biasa ia terapkan dalam karyanya, fragmen objek mata menjadi point of interest dalam karya ini. Baik
dilihat
dari
aspek
historisnya
maupun
lainnya,
montase dan kolase bukanlah praktik estetik yang mendasar; ia merupakan bagian dari ekses mimetik yang ditemukan ditiap masyarakat,21 berarti bahwa kolase bukanlah sekedar teknik yang
sepele
melainkan
berpotensi
menciptakan
suatu
hal
yang
bersangkutan dengan ideologi si seniman. Kolase yang membuka kemungkinan berbagai macam objek terkumpul dalam satu bingkai, bukan menciptakan tapi menyusun ulang dapat menjadi sebuah ikon atau representasi sebuah konsep tertentu. 2. Surealisme Gerakan surealisme berawal pada abad 20-an di Paris, diprakarsai oleh André Breton, tepatnya pada tahun 1924, kemudian diikuti oleh beberapa seniman seperti Max Ernst, Salvador Dali, dan banyak lagi seniman dari berbagai bidang lain. Surealisme awalnya selalu dikaitkan dengan wacana psikoanalisis Marcus Boon, In Praise of Copying (Terj. Lusiana Sari, Mirna Adzia< Paulus Herdian Cahya Khrisna), Cambridge: Harvard University Press, 2010, 189. 21
22
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, mengenai hal-hal yang irrasional, absurd dan tidak logis.22 Freud selalu memisahkan antara alam sadar dan alam ketidaksadaran (unconsciousness), di antaranya terdapat „sensor‟ yang menjembatani keduanya, batas tersebut lah yang sesungguhnya ingin ditembus oleh Breton dan kawan-kawan dalam gerakan Surealisme.23 Kata „sureal‟ (surreal) memiliki arti “more than real” (lebih dari nyata) atau “better than real”24 (lebih baik dari kenyataan). Surreal berasal dari dua kata yaitu „sur‟ yang berarti „di atas‟ dan „real‟ yang berarti „nyata‟, jika diartikan secara sederhana, segala sesuatu yang sureal merupakan sesuatu yang berasal di luar kesadaran (unconsciousness). Breton menjadi pemimpin gerakan surealisme
yang
merupakan
eksplorasi
alam
luar
sadar,
interpretasi mimpi, dan penulisan otomatis yang merupakan ketertarikan para surealis.25 Breton memberikan definisi tentang surealisme yaitu: Surrealism is based on the belief in the superior reality of certain forms of association heretofore neglected, in the omnipotence of dreams, in the undirected play of thought. . . . I believe in the future resolution of the states of dream and
22 Lihat Harry Sulastianto, dalam Surealisme: Dunia Khayal dan Otomatisme 23 Lihat Harry Sulastianto. 24 Tim Mc. Neese, Salvador Dali: The Great Hispanic Heritage, USA: Infobase Publishing, 2006, 12. 25 Irene E. Hofmann, Documents of Dada and Surrealism: Dada Surrealist Journals in the Mary Reynolds Collection, Chicago: The Art Institute of Chicago, 2001, 16
23
reality, in appearance so contradictory, in a sort of absolute reality, or surreality.26 (Surealisme didasarkan pada rasa percaya pada realitas superior yang merupakan bentuk tertentu dari asosiasi yang diabaikan sampai saat ini, dalam kekuasaan mimpi, dalam permainan pikiran yang tidak langsung...saya percaya bahwa resolusi masa depan dari kebedaan mimpi dan kenyataan, terlihat sangat bertentangan, dalam realitas yang absolut, atau surealis) Selain
Hannah
Höch,
salah
satu
seniman
surealis
berikutnya yaitu Frida Kahlo, yang menggunakan cara ganjil untuk menjauhkan kita dari persepsi rasional, yaitu melihat dari satu sudut pandang saja, awalnya Kahlo tidak menyadari bahwa karyanya termasuk dalam surealisme karena memang dia tidak bermaksud untuk itu, hingga Breton memberitahunya. Breton menyatakan bahwa menjadi surealis merupakan suatu hal yang disebabkan oleh bisikan taksadar dari maksud rasional seniman (being a Surrealist was something caused by unconscious motives quite aside from the artist‟s rational intentions).27 Kehadiran motif alam luar sadar adalah bentuk otomatisme, berkaitan dengan kondisi
psikis
seseorang,
masih
berkaitan
dengan
wacana
psikoanalisis yang dijelaskan oleh Freud, sebagai berikut: SURREALISM, n. Psychic automatism in its pure state, by which one proposes to express-verbally, by means of the written word, or in any other manner-the actual functioning of 26 Andre Breton, dalam Fred S. Kleiner , Gardner‟s Art Through the Ages: A Global History (13rd edition), USA: Thomson Wadsworth, 2009, 943 27 Andre Breton, dalam Susanne Baackmann dan David Craven, “Surrealism and Post-Colonial Latin Amerika Introduction”, dalam Journal of Surrealism and the Americas, 3:1:2, (i-xvii), 2009, vi.
24
thought. Dictated by thought, in the absence of any control exercised by reason, exempt from any aesthetic or moral concern.28 (SUREALISME, otomatis psikis dalam keadaan murni, dari seseorang yang berusaha untuk mengungkapkan secara verbal, dengan bantuan kata yang tertulis, atau dengan cara lain merupakan fungsi aktual dari gagasan yang sebenarnya. Didikte oleh pikiran, dengan alasan ketidak hadiran alasan penggunaan kendali, dibebaskan dari urusan moral maupun estetika). Surealisme menggambarkan ulang hal yang tidak tersentuh dan tidak nampak, the Surrealists sought to explore the inner world of the psyche, the realm of fantasy and the unconscious (Surealisme mencoba untuk mengekplorasi dunia mimpi, alam fantasi dan bawah sadar),29 maka ketika seorang seniman membuat karya surealis, seolah menghadirkan hal yang baru karena tidak akan nampak sebagai hal yang wajar ditemui dalam kehidupan seharihari, selain itu kontribusi paling penting surealisme dalam menelusuri setiap akses untuk mencapai ketidaksadaran terlihat pada penemuan bentuk-bentuk dan teknik-teknik artistik baru yang
radikal
untuk
membuka
sumbat
pikiran
tak-sadar
seniman.30 The Surrealists‟ dominant motivation was to bring the aspects of outer and inner “reality” together into a single 28
Richard Seaver & Helen R. Lane, Andre Breton: Manifestoes of Surrealism. Michigan: The University of Michigan press, 1969, 26. 29 Fred S. Kleiner, Gardner‟s Art Through the Ages: A Global History (13rd edition), USA: Thomson Wadsworth, 2009, 943. 30 Claude Cernuschi, dalam Kris Budiman, “Sebuah Labirin untuk Garin”, dalam BULAK: Jurnal Sosial dan Budaya, Vol. 3, edisi Februari, 2009, 36.
25
position, in much the same way life‟s seemingly unrelated fragments combine in the vivid world of dreams. The projection in visible form of this new conception required new techniques of pictorial construction.31 (dukungan yang berpengaruh pada kaum surealis dibawa oleh aspek di luar dan di dalam realitas secara bersamaan kedalam posisi tunggal, dalam kebanyakan cara hidup yang sama nampaknya tidak bersangkutan. Diproyeksikan dalam bentuk yang terlihat dari konsep baru dengan memerlukan teknik baru dalam penyusunan gambar) Penerapan gaya surealis bukan tanpa keuntungan, yaitu untuk menyaksikan dan melakukan “penyusunan ulang realitas...(yang) mereka tentukan sebagai pola baru dan pencerahan dengan cahaya baru, seperti yang dijelaskan dalam kutipan kalimat berikut: (the Surrealist project involved a two-pronged attack on reality.What the Surrealists were fortunate enough to witness and recreate was “a new arrangement of reality . . . [that] they redisposed in new patterns and illuminated in a new light).32 Aliran surealisme juga dibuat dengan tujuan tertentu, seperti yang dijelaskan oleh Walz: The goal of surrealism was not simply to create an artistic movement but to reconfigure human consciousness in objective accordance with this new and constantly changing reality. By formulating new associations out of the incoherences of everyday life, the entourage proclaimed surrealism an objective reality infused throughout contemporary culture.33
Fred S. Kleiner, 2009, 943. C. B. Morris, “Surrealism and Spain”, 1920–1936 (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), p. 146, dalam Willard Bohn, The Rise of Surrealism: Cubism, Dada, dan the Pursuit of the Marvelous, New York: State University of New York Press, 171-172. 33 Robin Walz, Pulp Surrealism: Insolent Popular Culture in Early Twentieth-Century Paris, London: University of California Press, 2000, 3. 31
32,
26
(Tujuan akhir surealisme tidak semudah menciptakan gerakan artistik tetapi juga untuk menampilkan kesadaran manusia dalam objek yang sesuai dengan realitas yang baru dan berubah secara konstan. Dengan memformulasikan asosiasi baru di luar ketidakkoherenan kehidupan seharihari, mengantarkan pernyataan surealis menjadi sebuah objek realitas yang ditanamkan melalui kebudayaan kontemporer). Karya bergenre surealisme memiliki beberapa indikator, diantaranya seperti yang ditemukan dalam karya Ernst, yang dikemukakan dalam kutipan berikut “with their hallucinatory unreal beauty, with their startling and mysterious juxtaposition, announced the arrival of Surrealist painting,”34 (dengan halusinasi mereka tentang keindahan yang tidak nyata, dengan penjajaran mereka yang misterius dan mengejutkan, diumumkan sebagai kemunculan lukisan surealis). Kunci dari surealisme adalah penggambaran halusinasi, dan visualisasi yang nampak misterius, artinya menimbulkan tanda tanya dan tidak serta merta dapat ditafsirkan secara harafiah hanya dengan melihat objek tanpa melakukan analisis lebih dalam lagi. Ciri yang juga dominan, yang dimiliki oleh karya bergenre surealis adalah adanya otomatisme, yaitu
istilah kolektif untuk
sebuah proses yang digunakan oleh penulis dan seniman surealis dengan membebaskan pikiran bawah sadar sebagai cara untuk menjelajahi alam inspirasi (This is the collective term for the 34 John G. Frey, ”From Dada to Surrealism”, dalam Parnassus, Vol. 8, No. 7, Des.,12-15, 1939, 13.
27
processes whereby Surrealist artists and writers sought to liberate the subconscious mind as they explored the nature of inspiration).35 Seperti halnya surealisme yang tidak hanya diterapkan pada seni rupa, begitupun juga otomatisme yang merupakan salah satu cirinya, merupakan teknik yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti sastra maupun tari, dan yang lainnya. Seniman bergenre surealis ataupun mengaku bahwa dirinya adalah seorang surealis sekarang tidak lagi sedikit, dengan berbagai teknik yang berbeda, masing-masing dari mereka muncul dan eksis dalam versinya sendiri-sendiri, terlepas dari sebuah pertanyaan apakah sungguh karya mereka merupakan karya surealis. 3. Metafora Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika untuk melakukan analisis pada karya dengan teori metafora. Beberapa pakar semiotik, menjadikan metafora sebagai fokus pembahasan dalam beberapa kasus tertentu, kebanyakan merupakan pakar linguistik, namun bisa diterapkan dalam analisis karya visual, karena gambar, sketsa, lukisan dan karya yang dapat dinikmati secara visual juga merupakan bahasa, bahasa visual. Tanda dapat mewakili sesuatu yang lain bagi seseorang karena 35
hubungan
perwakilan
ini
diperantarai
oleh
sebuah
Andre Breton, dalam Keith Aspley, Historical Dictionary of Surrealim, Toronto: The Scarecrow Press, 2010, 50
28
interpretan.36 Interpretan merupakan salah satu bagian dari struktur triadik yang dikemukakan oleh Peirce. A sign, or Representament, is a First which stand in such a genuine triadic relation to a Second, called its Object, as to capable of determining a Third, called its Interpretant, to assume the same triadic relation to its Object in which it stands it selft to the same Object.37 (Tanda, atau representamen, merupakan yang pertama berdiri sebagai relasi struktur triadik yang kedua, yang disebut dengan objek, kemudian sebagai penentu yang ketiga, disebut dengan interpretan, untuk diasumsikan sebagai relasi triadik yang sama pada objek yang berdiri sendiri untuk objek yang sama). I Keterangan: O = Objek I = Interpretan R = Representamen
R
O Gambar 1.2 Struktur unsur triadik Peirce
Struktur triadik terdiri dari representamen, objek, dan interpretan. Definisi Peirce tidak mengisyaratkan tanda itu harus selalu punya maksud (intentional) dan buatan (artificial).38 Peirce kemudian membagi tanda menjadi trikotomi. Trikotomi yang 36 Charles S. Peirce, dalam Umberto Eco (Terj. Inyiak Ridwan Muzir), Teori Semiotika, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009, 21. 37 Charles S. Peirce, “Logic as Semiotic: The Theory of Signs”, dalam Robert E. Innis (ed.), Semiotics: An Introductory Reader, London: Hutchinson, 1986, 6 38 Charles S. Peirce, dalam Umberto Eco, 1976, 21.
29
mendasar terdiri dari icon, index, dan symbol.39 Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Indeks adalah tanda yang memiliki
keterikatan
fenomenal
atau
eksistensial
di
antara
representamen dan objeknya. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional.40 Ikon terbagi menjadi tiga subjenis yaitu citra, diagram dan metafora (an image, a diagram, or a metaphor). Three types of icon represent three degrees of decreasing iconicity and also semiotic degeneracy. Images are immediately iconic, representing simple qualities, as in a color picture. Diagrams are icons of relations and thus depend on indices and conventions. Metaphors are metasigns whose iconicity is based on the similarity between the objects of two symbolic signs, the tenor and the vehicle of the metaphor.41 (Tiga jenis ikon mewakili tiga tingkat penyempitan ikonitas dan juga degenerasi semiotika. Citra seketika bersifat ikonik, mewakili kualitas yang sederhana, sebagai warna pada gambar. Diagram adalah ikon yang menghubungkan dan demikian bergantung pada indeks dan konvensi. Metafora adalah meta-tanda yang ikonisitasnya didasarkan pada kesamaan antara objek dari dua tanda simbolik, sebagai tujuan dan membawa metafora). Peirce
mencirikan
ikon
sebagai
“suatu
tanda
yang
menggantikan (stands for) sesuatu semata-mata karena ia mirip
39 Charles S. Peirce, “Logic as Semiotic: The Theory of Signs”, dalam Robert E. Innis (ed.) 1986, 7-8. 40 Charles S. Peirce, dalam Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep Isu dan Problem Ikonitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2011, 20-22. 41 Charles S. Peirce, dalam Winfried Noth, Handbook of Semiotic, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1990, 123.
30
dengannya.42 Subjenis ikon yang ketiga adalah metafora, yaitu merupakan meta-tanda (meta-sign) yang ikonisitasnya berdasar oleh kesamaan di antara dua objek. Metafora menurut Peirce adalah tanda ikonik.43 Teori metafora awalnya dikemukakan oleh Aristoteles, yang kemudian berkembang sesuai bidang kajian yang menjadi ketertarikan masing-masing pakar, ada yang menjadikan Aristoteles
sebagai
kiblat
untuk
telah
metafora,
dan
non-
Aristotelian yang tidak menitikberatkan prepektif Aristoteles dalam bidang kajiannya, sedangkan bidang studi semiotika yang fokus pada teori mengenai metafora disebut dengan metaforology (methaporology).44 Metafora lebih dikenal dalam istilah kebahasaan. Metafor (metaphor) berasal dari kata Latin dan Yunani kuna, metaphora. Meta artinya „dengan‟ atau „setelah‟; „for‟ /phor / phero / phore artinya memindahkan atau membawa sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.45 Seringkali digunakan untuk mengatakan seuatu hal secara
implisit,
Metafora
merupakan
sebuah
kiasan
yang
menggunakan sepatah kata atau frase yang mengacu kepada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frase Charles S. Peirce, dalam Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep Isu dan Problem Ikonitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2011, 82 43 Douglas Anderson, “Peirce on Metaphor”, dalam Transactions of the Charles S. Peirce Society, Vol. 20, No. 4 (Fall, 1984), 453-468, USA: Indiana University Press,1984, 455. 44 Lisellote Gumpel, dalam Winfried Noth, Handbook of Semiotic. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1990, 129. 45 Lihat M. Dwi Marianto, Menempa Quanta Mengurai Seni, Yogyakarta: badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2011, 133. 42
31
yang lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi di antara keduanya ("A figure of speech in which a word or a phrase denoting one kind of object or action is used inplace of another to suggest a likeness or analogy between them.").46 Menurut Ricoeur, sebagai sebuah kiasan, metafora merupakan sebuah penggantian dan perluasan arti kata, pengertian tersebut mendasarkan pada teori substitusi (“ As a figure, metaphor constitutes a displacement and an extention of the meaning of words; its explanation is grounded in a theory of subtitution”).47 Metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas di antara
objek-objek
dari
dua
tanda
simbolis,
itulah
yang
membedakan metafora dari kedua subjenis ikon yaitu image dan diagram. Image (citra) secara langsung menampilkan objek yang sesungguhnya
secara
sederhana,
sedangkan
diagram
bisa
berwujud skema, grafik, denah, maupun semacam peta. Cara yang paling sederhana untuk mengidentifikasi atau mengenali sebuah kemiripan atau similiritas dalam metafora adalah dengan membandingkan deskripsi dari kedua objek yang diacu dengan tanda-tanda yang bersangkutan.48 jika digambarkan dalam bentuk struktur triadik Peirce, maka akan tergambar
46
1990,128.
Webster's Third New International Dictionary, dalam Winfried Noth,
47 Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: The Creation of Meaning of language, London: Routledge, 2003, 1. 48 Aart van Zoest, dalam Kris Budiman, 2011, 89.
32
seperti dua buah segitiga, yang pertama sebagai objek yang sesungguhnya
dan
menggantikannya,
yang misal
satunya objeknya
adalah adalah
bentuk
yang
manusia
yang
direpresentasikan oleh wujud yang lain, bisa binatang, tanaman, atau bentuk yang lain. Seperti yang telah dikemukakan oleh Quintilian yang melihat dua konsep yang paling mendasar dalam metafora yaitu perbandingan dan persamaan.49 Karena metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis,50 maka dengan melakukan perbandingan antar dua objek atau lebih, maka dapat dianalisis metaforanya, mungkin mulai dari membandingkan struktur bentuk yang dapat dilihat secara kasat mata, sampai dengan membandingkan sifat yang dimiliki oleh hal atau benda yang sedang dianalisis.
G. Metode Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah karya kolase Resatio dalam buku Visual Thief. Kriteria pertama karya yang dipilih untuk dianalisis adalah karya yang di dalamnya terdapat objek fox, karena objek tersebut dianggap Resatio sebagai representasi konsep pencurian dalam Visual Thief, yaitu:
Notes from a Fox
Quintilian, dalam Winfried Noth, 1990, 132. Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep Isu dan Problem Ikonitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2011, 89. 49 50
33
Dromomania
Study of YKHA AMELZ‟s Desember
Study of Mahendra Nazar‟s Inspection II: Mother Earth
An Odd Voyage
Rejuvenate Terdapat tiga macam objek dalam karya Resatio yaitu
manusia, binatang, dan benda lain (kapal/tumbuhan/jam, dan lain-lain), maka pemilihan karya didasari oleh dua kriteria sebagai berikut: a. Karya
yang
tidak
menggunakan
objek
binatang
di
objek
manusia
di
dalamnya, terdiri dari:
Expedition I
Study of Wickana‟s Overthinking
Study of Max Ernst‟s Roter Wald
The Presence of Time
Space Blues
b. Karya
yang
tidak
dalamnya, yaitu:
Flora/Fauna #3
Flora/Fauna #1
Flora/Fauna #2
Flora/Fauna #4
menggunakan
34
Flora/Fauna #551
2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu observasi dan pustaka. Observasi dilakukan dengan mengamati karya Resatio Adi Putra, sedangkan pengumpulan data pustaka dilakukan untuk melengkapi kajian teori yang membantu analisis karya
nantinya,
berupa
buku-buku
maupun
berbagai
referensi dari berbagai media cetak dan elektronik. 3. Metode Analisis Data Metode
analisis
yang
dipakai
dalam
penelitian
kualitatif ini melalui beberapa tahapan, yaitu: a. Reduksi data (data reduction) b. Penyajian data (data display) c. Verifikasi data (conclusion: drawing/verifying).52 Analisis dimulai dengan tahapan yang pertama yaitu reduksi data, merupakan proses seleksi, memfokuskan, menyederhanakan, abstraksi, dan transformasi data yang terlihat untuk dituliskan (data reduction refers to the process of
selecting,
focusing,
simplifying,
abstracting,
and
Diurutkan berdasar halaman dalam Visual Thief Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis (Second Edition), California: Sage Publication, 1994, 12 51 52
35
transforming the data that appear in written-up field notes or transcriptions).53 Tahap
yang
kedua
adalah
display
data,
yaitu
mengorganisasi data yang telah tersedia (a display is an organized, compressed assembly of information that permits conclusion drawing and action).54 Sedangkan tahapan yang terakhir adalah
verifikasi data, pada tahap ini akan
dilakukan interpretasi pada subjek yang diteliti. H. Sistematika Penulisan Gambaran umum mengenai penelitian ini dipaparkan dalam sistematika sebagai berikut: 1. BAB I. PENDAHULUAN Bab
ini
berisi
Latar
Belakang
Penelitian,
Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan dan Pendekatan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Secara
garis
besar
menjelaskan
mengenai
alasan pemilihan topik dan masalah penelitian, serta hal yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian. Kemudian menjelaskan tentang teori dan metode yang digunakan sebagai rujukan demi kelancaran pelaksanaan penelitian.
53 54
Miles & Huberman, 1994, 10 Miles & Huberman, 1994, 11
36
2. BAB II. CIRI-CIRI SUREALISME PADA KARYA RESATIO ADI PUTRA DALAM VISUAL THIEF Berisi beberapa kutipan wawancara Resatio yang diunggah di beberapa media online, kemudian mengenai senimanseniman yang berpengaruh dalam proses berkarya Resatio. Bab ini akan mengupas satu persatu karya Resatio Adi Putra yang telah dijadikan sampel dalam penelitian ini, kemudian menganalisis serta menjelaskan mengenai ciriciri surealisme yang ditemukan dalam karya. 3. BAB III. POLA METAFORIK DAN RELASINYA DENGAN SUREALISME
PADA
KARYA
RESATIO
ADI
PUTRA
DALAM VISUAL THIEF Berisi hasil penelitian, yaitu berupa analisis berbagai metafora dan pola-pola metaforik yang muncul pada karya Resatio
Adi
Putra,
kemudian
mencari
keterkaitannya
dengan surealisme yang merupakan gaya yang disematkan Resatio dalam karyanya. 4. BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab
ini
penelitian,
berisi
pernyataan
sedangkan
singkat
rekomendasi
mengenai bertujuan
hasil untuk
memberikan saran-saran untuk keperluan penelitian lebih lanjut diaplikasikan bagi masyarakat, seniman, maupun kalangan akademisi.