BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pengobatan alternatif meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir (Mills, 2001:158). Merebaknya pengobatan alternatif di berbagai belahan dunia awalnya mengacu pada munculnya gaya hidup “Back to Nature” yang berkembang di dunia barat. Gerakan ini direalisasikan lewat pemakaian obat-obatan pabrik dalam jumlah minimal demi menghindari efek obat dari zat kimia yang merupakan racun bagi tubuh (Triratnawati, Wulandari, Marthias, 2013:1-2). Gejala pergeseran minat masyarakat dunia barat terhadap pengobatan alternatif atau yang dikenal dengan istilah CAMs (Complementary and Alternative medicines) ditegaskan oleh Hughes (2006:550) dalam artikelnya:
“Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, estimasi pengguna CAMs umumnya berkisar pada 10% dan 40% populasi usia dewasa (Golbeck-Wood et al., 1996). Hal ini ditandai dengan pengalokasian dana masyarakat Amerika Serikat yang mencapai $15 milyar kedalam sektor CAMs pada akhir abad-20 (Watkins & Lewith, 1997). Rasa simpati juga muncul dari para profesional; Di Inggris, hampir setengah dari dokter umum (dokter konvensional) merekomendasikan pengobatan CAMs kepada pasien” (British Medical Association, 2000)”.
Meningkatnya jumlah pengguna CAMs di Eropa dan Amerika, tidak hanya terjadi di Inggris dan Amerika Utara, melainkan juga di beberapa negara seperti Jerman, Kanada, dan Prancis. Prevalensi penggunaan CAMs sebagai rujukan masyarakat, mencapai 65% di Jerman, 60% di Kanada, serta 50% di Prancis (Ernst, 2014:1134). Data yang ditunjukkan oleh Ernst tersebut membuktikan bahwa penggunaan CAMs di Jerman, Kanada, dan Prancis mencapai level yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan CAMs di
1
Inggris dan Amerika Utara sebagaimana yang dicontohkan oleh Hudges dalam kutipan di atas. Berbeda dengan beberapa negara di Eropa, metode CAMs di Asia sesungguhnya telah lama dipraktikkan di Tiongkok untuk menangani berbagai macam penyakit. Masyarakat Tiongkok lebih menyukai berkonsultasi dengan dokter konvensional apabila mengalami penyakit kronis, kemudian melanjutkan perawatan kesehatan dengan prinsip medis tradisional seperti meminum ramuan tradisional dan mengkonsumsi makanan yang tepat sesuai dengan prinsip yin dan yang setelah krisis penyakit berlalu. Integrasi antara medis konvesional dan tradisional juga terbangun dengan adanya berbagai penelitian yang diadakan medis konvensional terhadap berbagai bentuk pengobatan tradisional khususnya terhadap ramuan tradisional Tiongkok1. Kesadaran masyarakat Tiongkok terhadap peran dari pengobatan alternatif berbeda dengan di Indonesia. Pada tingkat rujukan pertama dan rujukan yang lebih tinggi dalam upaya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan, dilakukan melalui fasilitas pelayanan kesehatan konvensional, sedangkan pada tingkat rumah tangga pelayanan kesehatan oleh individu dan keluarga memegang peran utama (Soesilo, 1996:9). Meski demikian, Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2010 dan 2011 menunjukan bahwa penyembuhan penyakit dari masyarakat yang terserang sakit dengan penyembuhan sendiri baik modern maupun tradisional sebanyak 68,41% (2010:38) dan 68,70% (2010:11). Sementara penyembuhan yang dilakukan dengan cara medis tradisional sebanyak 22,26% di tahun 2008; 1
kursusramuan.anjrahuniversity.com/79/tcm.-adalah-sejarah-pengobatantradisional-cina-jamandulu/, diakses pada 16 Agustus 2015, Pukul 19.15
2
24,24% di tahun 2009, dan 27,58% di tahun 2010 (2011:149). Prosentase ini menunjukkan bahwa angka pengobatan yang dilakukan secara mandiri dan pilihan pengobatan medis tradisional di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Mengacu pada kutipan di atas, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata tidak mampu begitu saja menghilangkan arti pengobatan tradisional (Kasniyah,
2002:333).
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Organization/WHO) juga telah menyadari pentingnya metode pengobatan tradisional untuk penduduk dunia umumnya. Dua dari tiga dasar kebijakan Program Pengobatan Tradisional yang diadopsi oleh The World Health Assembly and the Region Committes menggambarkan adanya perhatian terhadap kenyataan bahwa, (1) umumnya penduduk dunia tergantung pada metode pengobatan tradisional untuk perawatan kesehatan pertama, (2) tenaga kerja diwakili oleh ahli pengobatan tradisional adalah sumber yang sangat potensial dari penyampaian perawatan kesehatan (Akerele, 1993:1). Kesadaran dari berbagai pihak terhadap pentingnya peran pengobatan tradisional dalam menyembuhkan penyakit salah satunya didasarkan pada keunggulan dari konsep penyembuhan ini. Upaya penyembuhan penyakit dengan metode penyembuhan tradisional ditempuh secara holistik melalui pemulihan jiwa, raga, dan sukma. Jiwa, raga, dan sukma dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai body, mind, and soul. Hubungan antara ketiganya dipisahkan secara tegas dalam konsepsi pemahaman sistem medis barat (Statern dan Steward:1999). Sebaliknya, sebagian besar penyembuh tradisional di Indonesia khususnya
3
penyembuh Jawa memandang jiwa, raga, dan sukma sebagai sebuah kesatuan yang menyebabkan sehat dimaknai sebagai akibat dari terciptanya keseimbangan antara raga (fisik) dan batin (Murniatmo, Rostiyati, Mudjijono, dkk, 1992:31). Upaya menyeimbangkan jiwa, raga, dan sukma ditempuh oleh penyembuh tradisional dengan turut berperan menjadi penasihat spiritual disamping memberikan pengobatan fisik. Peran yang dijalankan oleh penyembuh tradisional menjadi penting di era modern ini, karena pada era ini modernitas dianggap memperkaya munculnya paham individualisme, sehingga perilaku mencurahkan perasaan maupun menerima nasihat orang lain menjadi sesuatu kebutuhan yang mendesak di tengah masyarakat (Triratnawati, Wulandari, Marthias, 2013:37). Sebaliknya,
dokter
menyembuhkan
konvensional
penyakit,
dalam
namun tidak
praktiknya
dianggap
menyembuhkan
“…hanya
individu
secara
keseluruhan (holistik)”.2 Salah satu bentuk sistem medis tradisional Indonesia yang dikenal mancanegara dan masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat lokal adalah sistem pengobatan tradisional Jawa. Selama berabad-abad, masyarakat Jawa sebagai sebuah kesatuan sosial telah mengembangkan pengetahuan lokal yang berkenaan dengan sistem pengobatan. Sistem pengobatan Jawa menitik beratkan pada konsep keseimbangan. Keseimbangan tersebut menyangkut korelasi yang erat antara alam makrokosmos dan mikrokosmos. Alam makrokosmos adalah alam yang berada di luar tubuh manusia, sedangkan alam mikrokosmos adalah apa
2
http://www.oxfordislamicstudies.com diakses pada 25 April 2015, pukul 20.05
4
yang ada di dalam diri manusia. Ketidakseimbangan pada makrokosmos akan mempengaruhi alam mikrokomos, sehingga menyebabkan suatu kondisi yang berujung pada rasa sakit. Metode penyembuhan penyakit berupa kerokan, pijat, balsam, suwuk, rajah, gurah hingga konsumsi jamu, merupakan bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa dengan tujuan menyeimbangkan alam makrokosmos dan mikrokosmos. Respon penyembuhan yang didasarkan pada kosmologi Jawa selanjutnya diperkuat oleh faktor lingkungan, ideologi, gagasan, dan nilai-nilai yang diyakini dalam suatu kelompok masyarakat (Wicakono, 2013:1). Religiusitas yang menjadi karakter dominan dari masyarakat Jawa menjadi salah satu nilai yang termanifestasikan ke dalam sistem pengobatan yang dilakukan oleh orang Jawa, sehingga mempengaruhi sistem kosmologi orang Jawa dalam menyembuhkan penyakit. Berbagai ritual yang dijalankan orang Jawa dalam rangka penyembuhan penyakit didasarkan pada keyakinan religio-magis yang melibatkan unsur adikodrati (Ilahiah) dengan mempercayai adanya korelasi antara alam empiris dengan alam metaempiris. Unsur adikodrati dalam penyembuhan Jawa kemudian diwujudkan melalui sikap masyarakat Jawa dalam mengadopsi unsur-unsur Islam berdampingan dengan praktik pengobatan yang dijalaninya. Tanpa melepaskan identitas sebagai orang Jawa, para penyembuh tradisional ditengarai mulai mengubah mantra-mantra ruwat menjadi doa-doa yang berbau Islam (Triratnawati, Whulandari, Marthias, 2014). Penyembuh tradisional Jawa juga mengadopsi metode pengobatan yang bersumber dari hadis, seperti penyembuhan bekam ala nabi yang kemudian digabungkan dengan unsur
5
pijat. Selain itu, di kalangan penyembuh tradisional Jawa lahir pula jenis pengobatan yang disebut dengan metode penyembuhan Walisongo. Penyembuhan ini menitik beratkan pada metode pernafasan, dzikir, dan rajah. Spiritualitas masyarakat Jawa yang diakomodasi dalam sistem medis tradisional sesungguhnya tidak terlepas dari fenomena sinkretisme Jawa dan Islam yang hingga kini masih banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, khususnya yang hidup di daerah pedesaan, daerah makam raja-raja Jawa, dan masyarakat yang hidup di sekitar lingkungan pesantren tradisional. Sinkretisme, secara etimologis berasal dari kata syin dan kretiozein yang berarti, mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan (Amin, 2002:87). Simuh (1998:12) menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama. Masyarakat yang menganut paham tersebut menganggap bahwa semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memasukan unsurunsur baik dari berbagai agama. Salah satu desa di Indonesia yang masih lekat menjalankan budaya sinkretisme Jawa dan Islam dianut oleh masyarakat Jawa yang hidup di sekitar makam raja-raja kraton Yogyakarta seperti di Dusun Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Warga Dusun Giriloyo seluruhnya telah menganut Islam. Masyarakat Giriloyo percaya akan Allah, namun di sisi lain konsep pemahaman Jawa mendorong mereka untuk turut pula percaya pada benda-benda yang dianggap keramat, hewan-hewan tertentu yang dapat mendatangkan pertanda, mengakui kekuatan beberapa jenis tumbuhan, hingga
6
mengeramatkan pula sosok manusia yang dianggap memiliki kesaktian. Nilai-nilai sinkretisme ini kemudian menjadi pedoman hidup dan menjadi falsafah hidup masyarakat Giriloyo termasuk mempengaruhi cara pandang mereka terhadap sistem medis. Pertemuan nilai budaya Jawa yang animistis dengan nilai budaya Islam yang monotheistis, melahirkan fenomena akulturasi dimana unsur budaya Jawa masih tampak, demikian pula dengan unsur Islamnya. Perpaduan dua metode pengobatan ini kemudian memunculkan sebuah fenomena baru di dalam dunia medis tradisional yang disebut sebagai akulturasi metode pengobatan Jawa dan Islam. Akulturasi metode pengobatan Jawa dan Islam yang ada di Dusun Giriloyo membawa corak tersendiri dalam khasanah pengobatan tradisional. Metode penyembuhannya menitik beratkan pada aspek spiritualitas berupa doa-doa yang dimaksudkan untuk mendatangkan karomah meski dalam praktiknya doa-doa tersebut dibungkus dalam metode penyembuhan Jawa seperti meditasi, rajah, gurah, dan pijat. Selain doa, faktor-faktor yang mempengaruhi kemujaraban pengobatan menurut metode ini adalah dengan dimasukkannya unsur sugesti, tirakat, serta meguru kepada kyai yang dilakukan oleh penyembuh serta kemantapan pasien dalam menjalani metode pengobatan yang ditempuhnya. Mengingat manusia adalah homo religious yang mengukur makna kediriannya melalui agama, maka melalui agama pula manusia merasa bahagia, terselamatkan, serta memiliki kekuatan untuk mengatasi permasalahan dalam hidupnya (Hidayah, 2004:1).
7
Penelitian ini akan difokuskan pada studi mengenai akulturasi yang menggabungkan unsur Islam dalam praktik pengobatan tradisional Jawa. Studi mengenai akulturasi Islam dan Jawa selama ini lebih banyak berfokus di bidang kesenian, kesusastraan, dan arsitektur, namun tidak pada bidang kesehatan. Padahal sebagai bagian dari falsafah hidup dan kepercayaan, akulturasi Jawa dan Islam sesungguhnya juga merasuki sendi-sendi pengetahuan lokal yang berkenaan dengan sistem medis tradisional. Disamping itu, urgensi untuk meneliti akulturasi Jawa dan Islam dalam bidang kesehatan juga dilatar belakangi oleh maraknya praktik tersebut bermunculan di tengah masyarakat. Kemunculan metode pengobatan ini terbukti diminati dan menjadi rujukan bagi masyarakat dari berbagai kota, pulau, hingga mancanegara. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian dengan tema akulturasi metode pengobatan Jawa dan Islam, utamanya mempertanyakan tentang: 1. Bagaimana metode pengobatan Islam dan unsur-unsur Islam yang notabene berasal dari budaya asing dipandang dan diterima oleh orang Jawa yang sebenarnya telah memiliki logika atau cara penyembuhannya sendiri? 2. Bagaimana akulturasi metode pengobatan Jawa dan Islam menyembuhkan penyakit? 3.
Apa saja unsur-unsur yang berperan penting dalam menentukan kesembuhan pasien menurut metode ini? Ketiga pertanyaan diatas merupakan rumusan masalah yang dikembangkan dengan tujuan memahami fenomena akulturasi pengobatan secara lebih holistik.
8
I.3 Tujuan Penelitian Penelitian mengenai akulturasi pengobatan Islam dan Jawa diharapkan mampu membuka wawasan baru dalam wacana kebudayaan bangsa Indonesia khususnya dalam rangka melengkapi wacana akulturasi yang sebelumnya lebih banyak menyoroti tema arsitektur, kesusastraan, pendidikan, serta seni dan budaya. Disamping itu, studi mengenai akulturasi di bidang kesehatan juga memiliki tujuan spesifik, yaitu:
Mengetahui alasan dari pengadopsian unsur-unsur Islam ke dalam praktik pengobatan Jawa.
Mengetahui jalannya proses akulturasi dalam praktik pengobatan Jawa dan Islam, serta;
Mengetahui unsur-unsur penting apa saja yang mempengaruhi kesembuhan pasien berdasar pada metode ini. 1.4
Kerangka Pemikiran
1.4.1 Penyembuhan dan Pengobatan Perbincangan mengenai sistem medis tidak pernah terlepas dari dua istilah dasar yang kita sebut dengan penyembuhan dan pengobatan. Dua istilah tersebut dalam wacana medis digunakan secara tumpang tindih menggantikan satu sama lain meski pada dasarnya keduanya tetap memiliki perbedaan. Istilah penyembuhan, oleh Anderson (2008) digambarkan sebagai peristiwa spontan yang terjadi melalui semacam anugrah dimana kemunculannya dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Mungkin dan bahkan tidak selalu mungkin terjadi dalam konteks sesi penyembuhan, melainkan dapat timbul hanya dari senyum orang asing, angin
9
bertiup
melalui
pohon-pohon,
hingga
nyanyian
burung-burung
yang
menenangkan. Sedikit berbeda dari makna penyembuhan, istilah pengobatan memiliki dua makna dasar, yakni mengacu pada 1. The Science of Healing atau ilmu penyembuhan yang meliputi praktek diagnosa, praktek pengobatan, serta pencegahan penyakit. 2. Obat-obatan atau bahan yang digunakan untuk mengobati penyakit dan untuk meningkatkan kesehatan3. Disamping itu, dalam kaitannya dengan pengobatan tradisional, WHO telah mendefinisikan bahwasannya pengobatan tradisional adalah akumulasi dari pengetahuan, ketrampilan, serta praktik yang berlandas pada teori, keyakinan, serta pengalaman adat budaya dari masing-masing kelompok masyarakat, dimana keseluruhan aspek tersebut digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan, diagnosa, perbaikan, serta pengobatan penyakit baik fisik maupun mental4. Dengan demikian perbedaan antara pengobatan dan penyembuhan adalah bahwa pengobatan mengacu pada metode serta teknik-teknik yang spesifik, sedangkan penyembuhan mengacu pada konsep general dalam proses pemulihan kesehatan. Spesifikasi metode pengobatan tergantung pada pengetahuan lokal yang berkenaan dengan kebudayaan, sehingga perbedaan kebudayaan melahirkan perbedaan dalam metode pengobatan. Lain halnya dengan penyembuhan, kesembuhan penyakit dipercaya tidak hanya datang dari metode, teknik, atau jenis
3
http://www.medicalnewstoday.com/info/medicine diakses pada 28 Juni 2016, pukul 20.02
4
http://www.who.int/medicines/areas/traditional/definitions/en/ diakses pada 28 Juni, pukul 20.10
10
obat tertentu melainkan, “Healing can happen on many different levels. Sometimes our healing is not what we expect. We need to be open to the gifts which life is always ready to give us”5. Dilain sisi meskipun penyembuhan dan pengobatan memiliki perbedaan definisi akan tetapi baik dari sudut pandang penyembuhan maupun pengobatan, keduanya sama-sama menyebut praktisinya sebagai penyembuh tradisional. Hanya saja, yang berbeda dari keduanya adalah bahwa dari sudut pandang penyembuhan peran seorang praktisi penyembuh dipandang hanya sebagai fasilitator, namun tidak “melakukan” penyembuhan. Sebaliknya, alam lah yang menyembuhkan.
Pikiran-tubuh-jiwa
merupakan
dasar,
kapasitas
untuk
penyembuhan diri. Sedangkan peran penyembuh hanya sebagai katalis6. Bertindak sebagai penyembuh hanyalah perpanjangan dari kemampuan alami manusia. Ketika seseorang mengeluh sakit dan kita menjangkau atau menyentuh mereka, atau ketika anak menangis dan kita mengusap mereka dengan tangan kita, kita secara otomatis melatih "respon penyembuhan". Dengan melatih kemampuan alami ini, siapa pun bisa menjadi penyembuh. Namun penting untuk dicatat, bagaimanapun, menjadi "penyembuh" berarti dapat bervariasi dari orang ke orang - jenis penyembuhan dan hasilnya bisa sangat berbeda. Beberapa mungkin lebih efektif dengan penyakit fisik, beberapa dengan masalah psikologis
5
https://heartofhealing.net/healing/what-is-healing/ diakses pada tanggal 28 Juni 2016, pukul 20.12
6
idem
11
dan emosional, sementara yang lain dapat membantu orang dengan menumbuhkan spiritualitas yang berperan dalam penyembuhan mereka.7 Sebaliknya, seorang penyembuh dari sudut pandang pengobatan diasosiasikan menurut
metode pengobatan
yang dipraktikannya. Dalam
masyarakat Giriloyo, terdapat banyak praktisi penyembuh, seperti pegurah untuk orang yang menguasai ilmu gurah, tabib bagi yang menguasai ilmu bekam, dukun atau wong sepuh bagi orang yang menguasai berbagai ilmu penyembuhan baik untuk penyakit personalistik maupun naturalistik dan mendasarkan metode pengobatannya pada mistik kejawen, serta kyai bagi seseorang yang menguasai ilmu agama, mengajarkan serta memperolehnya dari pondok pesantren namun disisi lain juga menguasai ilmu penyembuhan. Namun, meski secara konseptual keduanya berbeda, akan tetapi dari sisi penyembuhan maupun pengobatan, keduanya meyakini bahwa sehat merupakan proses integratif yang melampaui fisik dan lebih menekankan kepada vitalitas mental, emosional , serta spiritual8. “When we heal a person we heal their spirit, their heart, their relationship, or their body” 9. 1.4.2 Sistem Medis Tradisional Jawa Pada hakekatnya, penyakit merupakan bagian dari sistem medis dimana “disease must be understood as socio-cultural and historical phenomenon.”(Mejer, 7
idem
8
www.mindbodygreen.com/0-7961/whats-the-difference-between-healing-and-curing.html diakses pada tanggal 28 Juni 2016, pukul 19.27
9
http://earthmedicineinstitute.com/more/articles/healing-and-curing/ diakses pada tanggal 28 Juni 2016, pukul 19.20
12
2013:131). Sistem medis, menurut Triratnawati, Wulandari, dan Martias (2013:1) merupakan unsur universal kebudayaan yang dimiliki oleh tiap kesatuan sosial dan oleh karenanya merupakan bagian integral dari kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan hal yang berkaitan dengan diagnosa penyakit, serta perlakuan terhadap penyakit baik berupa pengobatan, terapi, serta bentuk pencegahannya bertalian erat dengan keseluruhan pengetahuan masyarakat lokal yang mencakup kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, bahkan adat istiadat yang berkembang pada suatu masyarakat. Sistem medis sendiri meliputi lima aspek, yakni keluhan sakit (illness), bentuk penyakit (disease), cara mendiagnosa penyakit, serta bentuk pengobatan dan pencegahan dari sakit, atau sebagaimana yang dikatakan Triratnawati, Wulandari, dan Marthias (2013:1) bahwa sistem medis mencakup keseluruhan pengetahuan kesehatan, kepercayaan, ketrampilan, dan praktik-prakik dari para anggota pada tiap kesatuan sosial. Dengan demikian, betapapun menyimpangnya sistem medis pada masyarakat lokal, Foster dan Anderson (1999: 45-52) menekankan, keberadaannya tetap memiliki peranan dalam meningkatkan derajat kesehatan kelompok masyarakat serta meningkatkan fungsi masyarakat secara optimal. Menurut Sudarma (2008:109), sistem medis yang berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal, dewasa ini biasa disebut sebagai metode pengobatan alteratnatif, pengobatan alternatif atau pengobatan tradisional (Nurdiana, Rochgiyanti, Ruswinarsih, dkk, 2010), sedangkan dalam istilah barat disebut sebagai “Complementary and Alternative Medicines” (CAMs). Menurut
13
National Center for Complementary and Alternative Medicine (2000), CAMs digambarkan sebagai “. . . medical practice that are “not presently considered an integral part of conventional medicine” (Hughes, 2006:549). Lebih jelasnya, Mangoenprasojo dan Hayati (2005:4) menjelaskan bahwa pengobatan alternatif merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar kedokteran modern (pelayanan kedokteran standar) dan dipergunakan sebagai alternatif atau pelengkap metode pengobatan kedokteran modern tersebut (Nurdiana, Rochgiyanti, Ruswinarsih, dkk, 2010). Salah satu bentuk sistem medis tradisional yang menjadi bagian dari warisan kebudayaan bangsa Indonesia adalah sistem pengobatan tradisional Jawa. Sistem pengobatan tradisional Jawa pada hakekatnya merupakan bagian kebudayaan bangsa yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya secara lisan atau tulisan dan telah diadopsi hingga ratusan tahun, bahkan sebelum masuknya teknik-teknik kedokteran modern (Djelantik ,1983:3). Menurut Sudardi (2002:12), sistem pengobatan Jawa tak ubahnya dikembangkan
dari
kosmologi
Jawa
yang
menekankan
pada
konsep
keseimbangan hidup. Triratnawati (2011:328) menjelaskan, bahwasannya kosmologi Jawa adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta. Alam semesta menurut kosmologi Jawa dibatasi oleh keblat papat lima pancer, yaitu lima arah mata angin ditambah pusat atau tengah. Hal ini juga terkait dengan perjalanan hidup manusia yang selalu ditemani oleh kadang papat lima pancer atau dalam istilah lain disebut dengan kakang kawah adi ari-ari.
14
Istilah kakang kawah adi ari-ari mengandung maksud bahwa ketika seorang bayi lahir, yang pertama kali keluar adalah air kawah, oleh karenannya air kawah atau air ketuban disebut dengan kakang (kakak). Kemudian setelah seorang bayi lahir maka keluarlah ari-ari, sehingga ari-ari ini kemudian disebut dengan adi (adik). Disamping itu, darah dan daging yang turut keluar menyertai lahirnya seorang bayi, melengkapi konsep kadang papat atau sedulur papat yang terdiri dari gabungan antara kawah, ari-ari, darah, dan daging, sedangkan pancer adalah lima jiwa yang menjadi satu dan menjelma wujud sebagai manusia (Soesilo, 2005:197). Sedulur papat lima pancer dapat pula ditelaah melalui sudut pandang yang lain, yaitu bahwa manusia mempunyai saudara dengan roh yang berasal dari anasir alam, yakni angin, air, tanah, dan api. Anasir ini akan membentuk empat struktur nafsu yang mempresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan rohaniah. Kosmologi Jawa akan empat nafsu tersebut adalah nafsu aluamah (nafsu brangsangan), amarah, supiyah (nafsu birahi), dan mutmainah (nafsu baik) (Triratnawati, 2011:328). Konsep sedulur papat lima pancer merupakan konsep kosmologis yang menjadi dasar pemikiran orang Jawa dalam memaknai sehat dan sakit. Konsep sedulur papat lima pancer yang diwujudkan dalam konsep kakang kawah adi ariari mensyaratkan adanya ritual penghormatan yang dilakukan dengan berpuasa pada hari kelahiran, mengadakan selamatan dengan bubur jenang sengkolo atau bucengan, serta mengubur ari-ari di halaman rumah lengkap dengan lampu kecil yang menjadi penerang kubur ari-ari tersebut. Dalam buku kidungan dengan
15
hiasan tembang Dhandanggula, dijelaskan bahwa penghormatan kepada sedulur papat bertujuan agar mereka tidak mengganggu manusia dengan menimbulkan kalutnya pikiran, dan tidak terlaksananya hajat atau cita-cita diri (Soesilo, 2005:196). Pemaknaan sedulur papat lima pancer sebagai nafsu yang dimiliki manusia memiliki arti bahwa apabila manusia terlalu mengumbar nafsu, maka ia akan mengalami sakit sebagai konsekuensinya. Dengan demikian, menjaga keseimbangan pada komponen-komponen kosmologi tersebut akan membawa harmonisasi kehidupan yang mengantar pada ketentraman hidup dan kesehatan. Kesempurnaan hidup orang Jawa kemudian dilakukan melalui mistik Kejawen, yang menganggap bahwa jiwa, raga, dan sukma merupakan satu kesatuan. Prinsip keseimbangan fisik dan non-fisik muncul dalam proses pengobatan yang bersifat tradisional (Triratnawati, 2011:4). Pada
kosmologi
Jawa,
penyembuhan
penyakit
harus
mencakup
keseluruhan elemen manusia baik yang fisik/lahir maupun gaib/batin atau dengan kata lain seimbang antara raga, jiwa, dan sukma. Aneka sistem pengobatan Jawa yang merepresentasikan prinsip keseimbangan diantaranya adalah kerokan, meditasi, penyembuhan dengan tenaga dalam, gurah, rajah, dan lain-lain (Triratnawati, 2010:72). Selain itu, berdasarkan teknis pengobatan berdasar pada tempat yang diberi ramuan dan cara memberikannya, pengobatan Jawa dilakukan dengan pemberian jamu dan cekok (diminum), bobok, parem, boreh, pilis, pupur, sembur, tapel (obat luar), isyarat, tebusan, tetulak, mantra, suwuk, kidung, dan rajah (Sudardi, 2002:17).
16
1.4.3
Praktik Pengobatan Islam Agama dan sistem medis sesungguhnya telah lama terintegrasi di dalam
literatur Islam. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Allah didalam Al-Qur’an, “And we reveal of the Qur’an that wich is healing and a mercy for believers’ (Surah Al-Isra: 82)”. Mengacu pada ayat tersebut,menjadi jelas bahwa salah satu peranan Al-Qur’an didalam sistem medis Islam adalah sebagai sarana utama dalam menyembuhkan penyakit, sedangkan cara kerja Al-Qur’an dalam menyembuhkan penyakit salah satunya dengan penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam metode penyembuhan. Selain berlandaskan pada Al-Qur’an, praktik pengobatan Islam juga didasarkan pada Hadis. Gabungan dari dua sumber tersebut membentuk sebuah metode pengobatan yang dikenal dengan Medicine of The Prophet atau pengobatan ala nabi. Pengobatan nabi ini kemudian juga sering disebut dengan pengobatan Islam atau Thibbun-Nabawi. Dalam fatwa para ulama Islam, Rasulullah diibaratkan sebagai Al-Qur’an berjalan, tindak-tanduknya diyakini tidak lepas dari apa yang dituntunkan oleh AlQur’an, termasuk dalam hal pengobatan (Roidah,2014:6). Ada beberapa cara yang diterapkan Rasul dalam menyembuhkan penyakit diantaranya adalah bekam, ruqyah, konsumsi madu dan jintan hitam. Pengobatan ala Rasul tersebut kemudian dikategorikan dalam dua fungsi yang berbeda disesuaikan dengan penyebab penyakit yang diderita oleh pasien. Menyadur istilah yang dipopulerkan, oleh Foster dan Anderson penyebab penyakit yang dimaksud adalah penyakit personalistik dan naturalistik. Penyakit naturalistik disebabkan oleh kekuatan
17
alam, ketidakseimbangan diri serta individu, sedangkan penyakit personalistik disebabkan adanya intervensi dari suatu agen baik supernatural maupun manusia (Foster&Anderson, 1986:63). Pada
penyakit
personalistik,
Rasulullah
mengenalkan
adanya
penyembuhan yang disebut dengan ruqyah. Ruqyah merupakan ritual terapi menggunakan bacaan yang berlandaskan pada Qur’an dan Hadis yang shahih atau sesuai ketentuan yang telah disepakati para ulama. Bacaan yang dipakai didalam ruqyah berupa ayat-ayat tertentu yang bersumber dari Al-Qur’an serta bacaan zikir, dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah melalui hadis. Ruqyah bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit yang diakibatkan oleh jin serta diklaim dapat menyembuhkan penyakit hati (Roidah, 2014:9) Adapun pengobatan Islam yang berfungsi menyembuhkan penyakit yang bersifat naturalistik, Rasulullah mengenalkan sebuah metode pengobatan yang biasa disebut dengan bekam. Bekam atau dikenal pula dengan istilah hijamah berasal dari kata bahasa arab al-hijamah atau pelepasan darah kotor. Hijamah dalam bahasa Inggris disebut dengan cupping, sementara dalam bahasa Melayu diistilahkan dengan bekam, sedangkan di Indonesia sendiri hijamah dikenal dengan istilah kop atau cantuk (Roidah, 2014:16). Bekam adalah terapi penyembuhan dengan membuang darah kotor atau racun yang berbahaya dari tubuh melalui permukaan kulit. Hal ini sesuai dengan riwayat hadis Bukhari Muslim. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Kesembuhan (obat) itu ada pada tiga hal, yakni dengan minum madu, pisau hijamah, dan dengan besi panas. Dan aku melarang umatku memakai besi panas untuk pengobatan” (Roidah, 2014: 15-16).
18
Selain dengan metode bekam atau hijamah, Roidah (2014:24) turut menjelaskan bahwa pengobatan ala Rasul juga sangat menganjurkan untuk konsumsi madu dan jintan hitam sebagai bentuk tindakan preventif dan kuratif menyembuhkan penyakit. Beberapa hadis yang menyatakan manfaat madu dan jintan
hitam
untuk
menyembuhkan
penyakit
adalah
sebagai
berikut:
“sesungguhnya di dalam habbatussaudah (jintan hitam) terdapat obat/penyembuh dari berbagai macam penyakit, kecuali kematian” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun kandungan ayat Al-Quran untuk pengobatan madu adalah sebagai berikut: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu. Dari perut lebah itu muncul minuman madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda kebesaran Tuhan bagi orang yang memikirkan.”(Q.S. An-Nahl:69). 1.4.4 Akulturasi Pengobatan William A. Haviland (1995:355) mengatakan bahwa kebudayaan pada hakekatnya adalah suatu sistem yang diciptakan untuk menjamin kelestarian sekelompok manusia. Oleh karena itu, ujian terakhir kebudayaan ialah kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Sejalan dengan hal tersebut, sistem medis pada masyarakat Jawa merupakan sebuah cermin kebudayaan yang telah diadopsi selama beratus tahun dan menjadi salah satu warisan budaya yang mencerminkan kekayaan pengetahuan bangsa Indonesia. Namun, sejak modernisasi mewarnai berbagai aspek kehidupan manusia hingga
19
ke unit terkecil masyarakat yaitu keluarga, kemampuan sistem medis Jawa untuk beradaptasi pun diuji. Akulturasi pengobatan menjadi sebuah respon dari masyarakat Jawa dalam mempertahankan kearifan lokal yang berkenaan dengan sistem medis pada era globalisasi sebagaimana sekarang. C.R Ember (1984) mengatakan bahwa akulturasi merupakan perubahan kebudayaan akibat dari terjadinya kontak secara intensif antar kebudayaan yang berbeda. Selanjutnya Haviland (1993) turut pula mendefinisikan bahwa akulturasi adalah perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi akibat dari kontak antar kebudayaan yang berlangsung lama. Namun definisi paling lengkap diajukan oleh Koentjaraningrat (1990:91) yang mengatakan bahwa akulturasi sebagai proses sosial terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan kebudayaannya sendiri. Sehubungan dengan definisi yang diajukan oleh Koentjaraningrat, Marzuki (2006:5) menjelaskan bahwa karakter masyarakat Jawa dalam menerima hal baru yang berbeda dari dirinya adalah cenderung tidak memperdebatkan pendirian atau keyakinannya sendiri. Hal ini terjadi karena mereka tidak menganggap bahwa keyakinan dan kepercayaan mereka adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin ini yang kemudian menumbuhkan rasa toleransi yang amat besar di bidang kehidupan beragama maupun bidang-bidang lain, termasuk dalam menerima pengaruh dari luar, tak terkecuali unsur-unsur medis
20
Islam. Namun budaya baru yang diterima oleh masyarakat Jawa tidak serta merta diadopsi secara utuh melainkan juga dievaluasi dan diinterpretasi. Selanjutnya unsur-unsur yang dapat diterima diintegraikan ke dalam budaya Jawa. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian yang membahas tentang akulturasi pengobatan Jawa dan Islam faktanya belum banyak dikaji oleh para akademisi baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar kajian yang dilakukan oleh para peneliti hanya berfokus pada satu sisi, Jawa atau Islam saja. Selebihnya penelitian mengenai etnomedicine yang melibatkan dua variabel lebih banyak mengambil subjek pengobatan tradisional dengan medis modern. Hal ini dapat dipahami mengingat masyarakat Indonesia dalam mencari rujukan pengobatan cenderung bersikap dialektis atau mendua, di satu sisi masyarakat mengacu pada lembaga kesehatan modern, namun di sisi lain mereka juga tidak melupakan sumber-sumber pengobatan tradisional (Murniatmo, 1992:69). Pustaka yang memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah “Sufi Healing: Terapi dalam Literatur Tasawuf”. Tema yang diangkat dalam tulisan ini menarik karena berbeda dari umumnya pustaka yang mengkaji tentang pengobatan Islam. Di banyak tulisan, kajian mengenai pengobatan Islam berkutat sebatas pada deskripsi bekam, ruqyah, manfaat madu, serta jintan hitam. Namun, di sini penulis M. Amin Syukur menemukan adanya fenomena sufi healing di tengah maraknya pengobatan berbasis spiritual seperti reiki, yoga, termasuk penyembuhan Islam pada umumnya.
21
Sufi healing menawarkan penyembuhan berbasis tasawuf, dimana konsep pembersihan jiwa dan penguatan spiritual batin dijadikan media untuk memperoleh karomah berupa kesembuhan dari Allah. Penguatan spiritual dijalankan melalui terapi dzikir, dimana dzikir secara luas dapat diartikan sebagai doa, shalat, puasa, serta meditasi. Efek samping dari kekuatan dzikir adalah berupa ketenangan jiwa serta kebahagiaan, yang membawa seseorang pada keyakinan diri untuk dapat melawan penyakit. Selain itu, dalam logika ilmiah, metode sufi healing dijelaskan melalui analisa psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal mengurai tentang pengalaman seseorang dalam melewati batasbatas kesadaran seperti pengalaman memasuki alam batin, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, serta pengalaman dzikir. Selain itu, metode sufi healing juga mengisyaratkan pemahaman bahwa dosa merupakan penyebab diturunkannya penyakit, sehingga komitmen kepada agama dianggap sebagai jalan untuk mencegah datangnya penyakit dan memperoleh penyembuhan. Efektivitas penyembuhan ini nampak pada aspek spiritualitas yang mendatangkan ketenangan dan mengajak manusia kembali kepada fitrahnya (Syukur, 2012:394). Tulisan dari M. Amin Syukur penting untuk dijadikan sebuah tinjauan karena nilai-nilai tasawuf yang dijalankan oleh para sufi sesungguhnya juga dijalankan oleh Islam sinkretis dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti. Islam sinkretis ini kemudian ditengarai banyak dianut oleh para penyembuh yang mengadopsi metode pengobatan akulturasi Islam dan Jawa. Karakteristik yang khas dalam memaknai dan menjalankan sistem religi bagi para penganut Islam sinkretis utamanya adalah kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa
22
sebagai Sangkan Paraning Dumadi atau muara dari segala tujuan hidup termasuk sebagai tempat memohon pertolongan atas suatu penyakit. Tinjauan pustaka yang kedua, merupakan artikel yang ditulis oleh antropolog Atik Triratnawati dengan judul The Power of Sugesti in Traditional Javanese Healing Treatment. Literatur ini relevan untuk dikaji karena menampilkan kekuatan spiritual sebagai kunci utama dalam membangun konsep-konsep yang bersifat sugestif. Sugesti sendiri dalam pandangan penyembuh Jawa, diklaim sebagai instrumen utama yang melengkapi semua tipe pengobatan tradisional karena dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Poin penting dari tulisan Atik Triratnawati adalah penjelasannya mengenai pemahaman orang Jawa terhadap konsep sehat dan sakit yang dimaknai secara komprehensif melibatkan satu kesatuan elemen yang terdiri dari raga, jiwa, dan sukma. Pemahaman tersebut, menempatkan spiritualitas sebagai elemen utama melebihi pentingnya elemen fisik (raga) karena mereka percaya bahwa dengan spiritualitas yang bagus, seseorang akan terhindar dari penyakit. Selanjutnya, literatur ketiga adalah laporan penelitian yang ditulis oleh Naniek Kasniyah dengan judul “Gurah Sebagai Salah Satu Pengobatan Alternatif yang Digunakan Oleh Masyarakat”. Penelitian mengenai gurah Giriloyo penting untuk ditinjau lebih jauh, karena gurah sebagai subjek utama dari penelitian Naniek Kasniyah, juga menjadi salah satu subjek dalam penelitian ini. Bagi peneliti, gurah merupakan salah satu bentuk metode pengobatan yang menggabungkan unsur Islam dan Jawa dalam proses penyembuhannya. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Naniek Kasniyah, gabungan unsur-unsur
23
Islam dan Jawa tidak secara khusus dijelaskan melainkan lebih menitik beratkan pada deskripsi bagaimana pengobatan gurah bekerja menyembuhkan penyakit serta bagaimana gurah dapat digunakan sebagai bentuk preventif dalam pencegahan penyakit yang muncul akibat dari lendir. Beberapa studi di atas telah menunjukkan kepada kita mengenai pentingnya aspek spiritualitas dalam proses penyembuhan, baik dalam bentuk sugesti hingga upaya untuk menjadikan sisi spiritualitas sebagai cara merespon, mengidentifikasi penyakit, serta metode terapi. Namun, bagi peneliti satu hal yang penting dan justru belum banyak diperbincangkan oleh para antropolog dalam memandang fenomena religi pada bidang kesehatan adalah bagaimana penyembuh Jawa memaknai unsur Islam yang notabene berasal dari budaya asing selanjutnya mengkolaborasikan unsur asing tersebut ke dalam logika sistem kesehatan Jawa yang telah mengurat akar pada sistim pemahaman mereka. Melalui sudut pandang inilah, penulis berkeyakinan bahwa penelitian ini akan membedakannya dari penelitian yang lain, termasuk dari penelitian Amin Syukur yang memandang tasawuf sebagai sebuah kesatuan tunggal yang berdiri sendiri sebagai metode pengobatan bukan sebagai sebuah pemahaman kosmologis yang dikolaborasikan ke dalam sistem medis lokal. 1.6 Landasan Teori Peneitian ini menggunakan teori akulturasi sebagai kerangka konseptual dalam menganalisa data. Menurut Koentjaraningrat (1990:94) sedikitnya ada lima masalah khusus yang diteliti berkenaan dengan proses akulturasi, yakni: (1) masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, melukiskan dan
24
menguraikan proses akulturasi di dalam masyarakat ; (2) masalah jalannya suatu proses akulturasi ; (3) masalah psikologi dalam suatu proses akulturasi: (4) masalah timbulnya inovasi, dan; (5) masalah usaha untuk menolak atau menghindari proses akulturasi. Namun dalam penelitian ini, pembahasan hanya akan difokuskan pada permasalahan yang berkenaan dengan bagaimana budaya asing masuk dan menetrasi budaya lokal serta bagaimana proses akulturasi dalam sistem medis tradisional pada masyarakat Giriloyo berjalan. 1. Metode untuk mengobservasi, melukiskan dan menguraikan proses akulturasi di dalam masyarakat Salah satu metode yang digunakan dalam meneliti proses akulturasi adalah dengan menggunakan pendekatan fungsional atau functional approach to acculturation yang digagas oleh Malinowski. Metode ini merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga kolom. Kolom yang pertama disebut “kolom A”, merupakan keterangan yang memuat cara-cara budaya asing masuk dan menetrasi budaya lokal, kolom kedua, yakni “kolom B”, melukiskan bagaimana jalannya proses akulturasi dalam kebudayaan tradisional, kolom ketiga atau “kolom C”, merupakan kolom yang melukiskan reaksi masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan asing, yang keluar dalam bentuk usaha atau gerakan untuk menentang atau menghindari pengaruh-pengaruh tadi, atau sebaliknya, usaha untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur asing tadi dengan unsur-unsur kebudayaan mereka sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 95-96). Namun dalam penelitian ini pendekatan fungsional approach to acculturation tidak sepenuhnya digunakan dan hanya sebatas menjadi masukan
25
dalam menentukan lingkup penelitian akulturasi. Terlebih pada bagian kolom C, penelitian ini sama sekali tidak menyinggung hal tersebut disebabkan akulturasi yang terjadi ditengah masyarakat telah berlangsung sangat lama, bahkan semenjak datangnya Islam di Dusun Giriloyo, sehingga berbagai konflik yang terjadi dalam rangka penggabungan unsur asing ke dalam budaya lokal menjadi sulit untuk dilacak dan memerlukan waktu yang lama untuk menelitinya. 2. Jalannya suatu proses aklturasi R. Linton dalam bukunya yang berjudul Acculturation in Seven American Indian Tribe, mempunyai pendirian tentang adanya unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan sukar berubah bila dihadapkan dengan pengaruh asing. Unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah bila dihadapkan dengan pengaruh budaya asing disebutnya dengan overt culture, sedang unsur-unsur kebudayaan yang sulit berubah bila dihadapkan dengan budaya lain disebut dengan covert culture (Koetjaraningrat, 1990:97). Covert culture merupakan istilah lain dari inti kebudayaan, biasanya terdiri dari sistem nilai-nilai budaya, keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, serta beberapa adat yang mempunyai fungsi terjaring luas dengan masyarakat. Selain itu, bagian overt culture atau bagian perwujudan lahirnya dari sebuah kebudayaan, biasanya terdiri dari kebudayaan fisik seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan(Koetjaraningrat, 1990:97).
26
Namun, selain menilik pada dua sifat kebudayaan tadi, jalannya suatu proses akulturasi juga dipengaruhi oleh diversitas vertikal dan horizontal yang berkenaan dengan status sosial masyarakat. Diversitas vertikal menyangkut perbedaan kelas sosial dan kasta, sedangkan diversitas horizontal menyangkut perbedaan suku bangsa, golongan agama, serta ras. Gejala aneka ragam sosial budaya ini tentunya juga akan berpengaruh pada jalannya suatu proses akulturasi (Koentjaraningrat, 2010:98). Dibawah merupakan lingkup pertanyaan yang akan digunakan untuk menguraikan permasalahan besar yang di angkat dalam topik penelitian ini: KOLOM KETERANGAN
RUMUSAN PERTANYAAN
Memuat cara-cara Bagaimana pengobatan Islam dan nilai-nilai Islam yang budaya
asing notabene berasal dari budaya asing dipandang dan
masuk
dan diterima oleh orang Jawa yang sebenarnya telah memiliki
menetrasi A
lokal
budaya logika atau cara penyembuhannya sendiri?
Mengapa orang Jawa memilih Islam sebagai media akulturasinya?
Adakah yang dirasa kurang dari pengobatan Jawa sehingga
mendorong
penyembuh
Jawa
melakukan
akulturasi dengan unsur-unsur Islam? Melukiskan bagaimana
Bagaimana akulturasi pengobatan Islam dan Jawa menyembuhkan penyakit?
B jalannya
proses Apa
akulturasi
dalam pengobatan Islam dan Jawa?
saja unsur krusial dalam praktik akulturasi
27
kebudayaan tradisional
Bagaimana konsep sakit, sembuh, dan sehat yang dipahami oleh praktisi yang menjalankan metode tersebut?
1.7 Lokasi Penelitian Penelitian
dengan
tema
akulturasi pengobatan Jawa
dan
Islam
dilaksanakan di Dusun Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Penelitian ini dilakuakan di Dusun Giriloyo karena sistem medis pada orang Giriloyo telah banyak diwarnai oleh percampuran antara unsur Jawa dan Islam. Disamping itu, Giriloyo juga menjadi basis dari pengobatan tradisional gurah yang kental akan perpaduan kedua unsur tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, praktik penyembuhan selain gurah yang mengusung metode akulturasi Jawa dan Islam ditengarai juga banyak beredar di tengah masyarakat Giriloyo sehingga turut menjadi subjek dari penelitian ini. Akulturasi pengobatan lokal dan pengobatan Islam di dusun ini mewujud dalam dua bentuk, yakni pengobatan dengan basis pengetahuan Jawa yang kemudian dibumbui dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya pengobatan yang berbasis Islam namun dibumbui dengan nilai-nilai Jawa. Bagi penyembuh Giriloyo prinsip “Wong Islam ora ninggalne Jawane, wong Jawa ora ninggalne Islame” serta konsep berpikir bahwa “ Islam dekat dengan Jawa dan Jawa dekat dengan Islam”, dipegang teguh serta menjadi local wisdom yang mewujud dalam bentuk sistem medis yang bercirikan akulturasi.
28
1.8 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk meneliti fenomena sosial-budaya di Dusun Giriloyo adalah dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh Malinowski (1922:25), bahwa tujuan etnografi adalah
memahami
sudut
pandang
penduduk
asli
untuk
mendapatkan
pandangannya mengenai dunianya. Konsep kebudayaan ini oleh Marvin Haris dapat dilihat melalui berbagai pola tingkah laku yang berkaitan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu seperti adat (custom) atau cara hidup masyarakat (1968:16). Pendekatan etnografi merupakan bagian dari pendekatan kualitatif, definisi dari pendekatan kualitatif adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah (Creswell dalam Patilima, 2005:3). Untuk mendapatkan sebuah gambaran yang holistik mengenai suatu fenomena yang terjadi di masyarakat, penelitian kualitatif dilakukan dengan instrumeninstrumennya seperti pengamatan langsung (observasi partisipasi) dan wawancara bebas mendalam (depth-interview) dengan para informan kunci (key-informant) yang terlibat dalam praktik pengobatan tradisional Jawa-Islam. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya ialah mengamati dan mendengarkan perilaku subjek yang diteliti tanpa melakukan
29
manipulasi maupun pengendalian, serta mencatat penemuan-penemuan yang memungkinkan untuk digunakan ke dalam tingkat analisis. Catatan hasil wawancara dan pengamatan tersebut biasa disebut dengan field note. Field note kemudian disalin dan direfleksikan setiap harinya ke dalam bentuk data harian dengan tujuan agar peneliti dapat selalu membuat jarak dengan tineliti, serta agar peneliti selalu dapat bersikap kritis terhadap data yang diperolehnya. Terakhir, data yang didapat peneliti di lapangan harus melewati tahap verifikasi, atau tahap pengujian. Verifikasi ini ditujukan untuk memperkuat “pengertian” yang telah dicapai dengan menerapkan pengertian tersebut dalam pemahaman beberapa informan yang lain secara lebih mendalam (Koentjaraningrat, 2000:48). Selanjutnya, upaya untuk mengetahui macam dan jenis penyembuhan yang memadukan unsur Islam dan Jawa, peneliti lakukan dengan memetakan berbagai jenis pengobatan Jawa yang ada di Dusun Giriloyo, kemudian memastikan apakah pada metode pengobatan tersebut penyembuh memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya. Informan yang diwawancara oleh peneliti sejumlah empat belas orang dengan komposisi lima diantaranya merupakan pasien dan sembilan orang sisanya merupakan pelaku utama yang membuka praktik pengobatan dengan memadukan unsur Islam dan Jawa. Wawancara kepada pasien yang berprofesi sebagai penyembuh membawa pemahaman peneliti mengenai adanya dua kelompok penyembuh yang terdiri dari angkatan tua dan angkatan muda. Pada angkatan tua, ilmu penyembuhannya murni berasal dari Kyai Marzuki atau kyai lain yang mengajarkan keutamaan ilmu penyembuhan sebagai media untuk menolong sesama manusia bukan sebagai
30
sarana komersil. Dengan demikian, tidak ada dari mereka memiliki inisiatif beriklan melainkan hanya melakukan gethok tular dan tarif penyembuhan tidak dipatok dengan harga tertentu melainkan seikhlasnya. Sebaliknya pada angkatan muda, metode penyembuhan dipelajari secara otodidak dan ditujukan untuk sarana komersil. Pasang iklan secara online, mendirikan papan iklan, mematok tarif tertentu, berinovasi dengan metode penyembuhan hingga mengadopsi teknologi dari Korea atau Jepang biasa dilakukan pada angkatan ini. Jumlah penyembuh angkatan tua yang peneliti wawancara adalah lima orang, sedangkan dari angkatan muda berjumlah tiga orang. Keseluruhan penyembuh yang diwawancara memiliki latar belakang sebagai praktisi gurah, bekam, dukun atau “wong sepuh”, dan seorang penjaga makam raja-raja Imogiri yang juga memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit sawanen dan kesurupan. Penelitian ini kemudian difokuskan dan ditarik kesimpulan berdasarkan informasi yang diberikan oleh angkatan tua. Sedangkan pada penyembuh angkatan muda, peneliti hanya melihat sebatas pada metode penyembuhan yang mereka jalankan. Disamping itu, peneliti juga melakukan wawancara kepada seorang praktisi penyembuh tradisional yang tinggal diluar dusun Giriloyo. Praktisi ini dalam praktiknya mengusung metode penyembuhan Walisongo sebagai media penyembuhan penyakit. Dari beliaulah peneliti banyak mendapatkan informasi mengenai sudut pandang orang Jawa dalam memaknai Islam. Selanjutnya, observasi partisipasi dilakukan dengan cara tinggal langsung di lokasi penelitian
31
bersama salah satu informan kunci selama kurun waktu satu bulan, yaitu pada tanggal 1 November 2014 sampai dengan 1 Desember 2014. 1.9
Metode Studi Pustaka Selain dari data lapangan, penelitian ini juga didukung dengan adanya studi pustaka sebagai data sekunder penunjang penelitian lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan maksud untuk menghindari adanya unsur plagiarisme akibat pengulangan topik penelitian, selain itu studi pustaka dilakukan untuk mengetahui hubungan fenomena yang diteliti dengan teori-teori atau penelitian-penelitian terdahulu guna mencapai sebuah kesimpulan penelitian.
32