1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai salah satu dari lima taman nasional pioner1 di Indonesia cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Setelah ditetapkannya sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Alam Dunia (New 7 Wonders of Nature) pada 16 Mei 2012 2, TNK semakin menebarkan pesonanya sebagai destinasi pariwisata. TNK tak hanya menampilkan komodo sebagai ikon khasnya, tetapi juga keragaman hayati hutan beserta keindahan lautnya. Di sisi lain, apa yang terjadi dalam masyarakat penghuni kawasan TNK menjadi daya tarik dalam penelitian ini. Saat ini telah ada 50 taman nasional di Indonesia, sejak tahun 1982 (TN Bukit Barisan) hingga yang terakhir diresmikan pada 19 Oktober 2004 (TN Kep.Togean) 3. Jika dilihat dari periodesasinya, peningkatan status kawasan konservasi menjadi taman nasional cukup pesat dalam dekade 1991 – 2000 (lihat Gambar 1). Dalam satu dasawarsa terakhir, terhitung sejak tahun 2004, sekitar 9 cagar alam (juga taman wisata alam dan beberapa area hutan lindung) telah meningkat statusnya menjadi taman nasional. Istilah ‘meningkat’ secara harfiah diartikan sebagai jenjang menuju hal yang lebih kompleks. Syarat pembentukan 1
Kelima taman nasional tersebut, yaitu : TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gunung Gede Pangrango, TN Baluran dan TN Komodo (Prijono, 2011 : 6). 2 Berdasarkan paparan Seno (2012 : 6) dalam Buletin Varanus Vol.II/Mei-Agustus 2012. 3 Berdasarkan paparan Alamendah (2010), sumber http://alamendah.org/2010/04/11/daftar-tamannasional-di-indonesia/
2
taman nasional memang lebih kompleks jika dibandingkan dengan jenis kawasan konservasi lainnya. Mengingat peraturan di Indonesia menetapkan luas taman nasional minimal 10.000 Ha (Setyawan, 2001 : 165).
Gambar 1. Periodesasi Terbentuknya Taman Nasional di Indonesia
Kekayaan Indonesia tak terlepas dari keanekaragaman alam dan keanekaragaman budaya. Untuk merawat kekayaan tersebut, perlu dibentuk semacam kawasan perlindungan. Usaha perlindungan alam dan budaya tidak sepenuhnya dapat bertahan tanpa kerja sama pemerintah dengan masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan terlindung tersebut. Dalam wacana ini, perlindungan alam akan menjadi topik utamanya, bukan berarti perlindungan budaya tidak akan dipedulikan. Proses perlindungan alam lebih memerlukan perhatian khusus lantaran alam tidak selalu dapat ‘melindungi diri’ tanpa campur tangan manusia.
3
Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim tropis banyak mengalami kerusakan ekosistem akibat ulah manusia. Kerusakan tersebut diperparah dengan pencemaran sampah/limbah dan eksploitasi besar-besaran. Dengan demikian, tindakan konservasi sebagai salah satu upaya untuk mengelola dan melindungi keutuhan alam. Berasal dari serapan bahasa Inggris, conservation yang berarti pengawetan, maka konservasi ini bertujuan untuk mengawetkan kelestarian alam. Dengan cara mengirit penggunaan sumber daya alam, diharapkan alam tetap dapat memberi manfaat hingga masa-masa selanjutnya. Menurut International Union for Conservation for Nature (IUCN) pada tahun 1994, konservasi adalah sebuah wilayah daratan dan/atau perairan yang ditetapkan untuk perlindungan dan pengawetan keragaman hayati dan sumber daya alam serta budaya yang terkait, serta dikelola secara legal atau efektif (Guthridge-Gould, 2010 via Hermawan dkk., 2014 : 4). Pembentukan kawasan konservasi tidak selalu berjalan lancar, terkadang dapat menimbulkan masalah bagi penduduk yang terlebih dulu telah mendiami wilayah tersebut. Perlu negosiasi hingga terbentuk zonasi (pembagian kawasan aktivitas) bagi penduduk yang masih ingin tetap tinggal di wilayah itu. Selayaknya, kawasan konservasi memberi peluang bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan pendapatan dan menciptakan lapangan pekerjaan dari sektor pariwisata. Konservasi lingkungan signifikan terhadap perkembangan kapitalisme sehingga memisahkan pembangunan ekonomi dari masalah-masalah lingkungan adalah mustahil karena perusakan lingkungan hidup dapat berkaitan dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi (Barber, 2011; Daeng, 2000 : 26).
4
Undang-undang No.5 tahun 1990 4 tentang “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem” mendefinsikan bahwa kawasan konservasi bertujuan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan sumber daya alam dan ekosistemnya, terdiri atas :
Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. KPA ini terdiri dari taman nasional, tahura, taman wisata alam dan taman buru.
Sesuai dengan aturan perundangan tersebut, taman nasional dimaknai sebagai suatu kawasan pelestarian alam yang berujud ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang kemudian dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Meski tampak kecil (33.937 Ha) 5 di antara gugusan pulau sederetannya, Pulau Komodo termasyur di mata dunia. Komodo telah diabadikan sebagai nama bandara di Labuan Bajo (ibukota Kabupaten Manggarai Barat), yakni Bandara
4 5
Sumber : www.indonesianchm.or.id Supriatna (2014 : 265).
5
Komodo 6. Selain itu, komodo juga menjadi ikon pada lambang Provinsi NTT. Di balik kemasyuran Pulau Komodo, masyarakat penghuninya hidup kurang leluasa dalam mencari penghidupan akibat zonasi TNK. Sebagai penghuni ‘daerah kantong’ (enclave), mereka mendapatkan bantuan7 dari para stakeholder 8 terkait. Akan tetapi, mereka masih saja merambah batas konservasi dan melanggar aturan. Mengapa mereka bertindak nekat seperti itu? Apakah bantuan yang diberikan kurang mencukupi atau kurang sesuai dengan kebutuhan mereka? Perilaku masyarakat penghuni kawasan TNK inilah yang menjadi daya tarik bagi saya untuk melakukan penelitian. Para stakeholder kurang memahami nalar masyarakat yang didampinginya dan lebih mengutamakan hal-hal bersifat teknis yang pragmatis. Penelitian ini bertujuan memaparkan pandangan etnoekologis untuk melihat hubungan antara masyarakat penghuni Pulau Komodo dengan lingkungan dan makhluk hidup lainnya.
B. Studi Pustaka Semenjak ‘ditemukannya’ komodo oleh Ouwens pada 1912, penelitian terhadap reptil purba tersebut mulai gencar digalakkan oleh para ilmuwan asing lainnya. Akan tetapi, Perang Dunia II menjadikan penelitian tersebut tersendat. Pada tahun 1927 Douglas Burden bersama timnya melakukan ekspedisi perburuan 6
Menjelang Sail Komodo, bandara mulanya sempit dan terkesan kurang terawat itu ‘disulap’ menjadi bandara yang megah. Bandara yang semula Bandara Mutiara II itu kini sedang menuju status bandara internasional, sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2013/10/16/410/882261/pelayanan-bandara-komodo-labuanbajo-mirip-puskesmas 7 Bantuan berupa raskin (juga sembako), dana tunai dan insfrastruktur. 8 Stakeholder yang dimaksudkan di sini antara lain Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dinas dan instansi pemerintah di Kabupaten Manggarai Barat yang membantu pembangunan area konservasi, serta investor yang turut menanamkan saham pariwisata.
6
komodo untuk penelitian. Burden semakin memperdalam apa yang telah dikaji oleh Ouwens sebelumnya, yakni mengenai anatomi dan kebiasaan sang naga komodo 9. Burden tak hanya memaparkan proses penelitian herpetologis terhadap komodo. Ia menulis catatan perjalanannya, mulai dari mengurus ijin kepada Raja Sumbawa hingga menggali informasi mengenai penduduk yang mendiami Pulau Komodo. “Nobody from Sumbawa had ever visited Komodo, so there was no question of finding guides who knew the country” (Burden, 1927 : 90). Lebih lanjut, ia memaparkan keberadaan desa di Komodo yang dihuni sekitar 40 ‘orang buangan’ dari Sumbawa, yakni mereka yang bermasalah dengan tindak kejahatan dan/atau mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan (ibid.,1927 : 103). Tahun 1977, Blower (konsultan dari FAO) beserta tim risetnya mengkompilasi hasil penelitian terdahulu, tujuannya berfokus untuk melindungi komodo beserta habitatnya. Blower bekerja sama dengan para peneliti dari pihak Kebun Raya Bogor merintis pengelolaan Taman Nasional Komodo. Pengamatan mereka tak hanya terfokus pada keberlangsungan hidup komodo, tetapi juga pada keragaman flora dan fauna di Kepulauan Komodo. Tahun 1981, Verheijen –seorang pater yang juga terkenal sebagai manggarainis– tertarik pada masyarakat Pulau Komodo hingga beberapa kali melakukan kunjungan singkat ke Pulau Komodo. Ia menghimpun cerita rakyat, mencatat bahasa dan nama lokal flora-fauna setempat. Akan tetapi, Verheijen
9
Dalam literatur asing, komodo juga sering disebut the komodo dragons atau hanya dragons.
7
tidak menganalisis cerita rakyat (dan mitos) untuk lebih mendalam. Ia paparkan keseluruhannya dalam Komodo : Het Eiland, Het Volk en De Taal. Hasil penelitian tiga pioner komodonis tersebut menjadi acuan awal mengenal Pulau Komodo dan masyarakat penghuninya pada tahun 1927 hingga 1980-an. Masyarakat dan budaya yang dijabarkan dalam tulisan mereka mulai berbeda dengan kondisi masyarakat Desa Komodo kini. Sementara itu, berbagai kisah lisan mengenai kehidupan masyarakat penghuni Pulau Komodo di masa lampau yang konon memiliki hubungan persaudaraan dengan komodo setidaknya akan ditemukan alur logisnya melalui studi literatur. Beberapa telaah ChambertLoir (1982; 2004; 2012) mengenai Kerajaan Bima menggambarkan hubungan rumit antara Bima, Manggarai dan Gowa. Komodo sebagai pulau di antara kekuasaan Bima dan Manggarai, tak luput dari pembahasan meskipun hanya sepintas. Percampuran antara mitos dan sejarah tertulis telah menjadikan kehidupan masa lampau di Pulau Komodo sulit dinyatakan kesahihannya. Kini Pulau Komodo berada dalam naungan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Untuk melihat kondisi Manggarai (termasuk Manggarai Barat), beberapa sajian Maribeth Erb (1997; 1998; 2011) turut menjadi bahan pendukung dalam mengkaji hasil penelitian ini. Erb sebagai salah seorang manggarainis (di masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru) juga memaparkan kondisi etnografis di Manggarai dan Manggarai Barat termasuk di dalamnya hal ihwal tanah dan politik pemerintahan. Sesuai dengan tipe tata kelola yang dipaparkan Hermawan,dkk. (2014 : 41-42), Taman Nasional Komodo dapat digolongkan sebagai kawasan konservasi
8
yang dikelola secara kolaboratif, yakni tak hanya dikelola oleh pemerintah (meskipun sebenarnya termasuk dalam sistem terpusat) melalui BTNK 10, tetapi juga melibatkan stakeholder lainnya. Hal ini terkait dengan pungutan fungsi pariwisata yang nantinya akan digunakan untuk pendanaan pengelolaan kawasan konservasi. Sistem terpusat ini pun menggunakan sistem top-down dalam pelaksanaannya. Dalam menjalin kerjasama dengan stakeholder, BTNK memiliki posisi paling kuat sebagai penyelenggara misi konservasi. Oleh karenanya, warga Desa Komodo ‘menyerang’ BTNK setiap kali terdapat kebijakan yang menurut mereka kurang berpihak pada masyarakat. Mengapa masyarakat sering tidak sejalan dengan keputusan BTNK?
C. Masalah Penelitian Dalam suatu kawasan konservasi tidak jarang terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Aturan ataupun kebijakan pemerintah dapat menjadi dasar untuk melakukan kegiatan konservasi. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Faktor ketidaksetaraan dapat menjadikan masyarakat di kawasan konservasi terpaksa (karena kurangnya alternatif mata pencaharian) harus mengambil sumber daya alam yang terkandung di dalam Zona Inti ataupun Zona Rimba 11.
10
Balai Taman Nasional Komodo. Berdasarkan pemaparan Iriyono (2012 : 5) dalam Buletin Varanus Vol.II/Mei-Agustus 2012, zona yang bisa diakses masyarakat, yaitu zona pemanfaatan tradisional daratan, zona pemanfaatan tradisional bahari, zona pemukiman dan zona pelagis. 11
9
Pemungutan kayu bakar dan penggembalaan ternak termasuk sebagai ancaman bagi pengelolaan kawasan konservasi (Alers 2007 via Hermawan dkk., 2014 : 60). Kedua aktivitas tersebut masih banyak dilakukan masyarakat Desa Komodo. Sebagai contoh, Pulau Kambing 12 yang berada di seberang Pink Beach dijadikan tempat untuk mengumbar kambing milik salah seorang pembesar desa. Pulau Lasa yang berada tepat di depan Pos Resort Komodo juga digunakan sebagai tempat menggembala ternak. Pulau Kambing dan Pulau Lasa tersebut telah diklaim oleh dua pembesar desa sebagai milik nenek moyangnya. Sementara itu, kayu sebagai bahan dasar pembuatan patung komodo sering dipertanyakan asal muasalnya,
“Patung komodo menjadi salah satu cinderamata yang selalu dicari wisatawan. Peningkatan jumlah pengunjung TNK berpengaruh positif terhadap permintaan patung komodo, yang pada gilirannya juga meningkatkan kebutuhan bahan bakunya. Pasokan bahan baku pembuatan patung komodo selama ini berasal dari dalam dan luar kawasan TNK. Sebagai catatan, jenis-jenis kayu yang sering dipakai untuk membuat patung juga dapat dijumpai dalam kawasan TNK...” (Indriasari, 2012 : 20) 13.
Adanya kenyataan seperti itu tentunya terkait dengan sistem pengelolaan yang juga mengatur hak-hak masyarakat penghuni taman nasional. Masyarakat penghuni merasa bahwa tanah yang didiaminya adalah milik nenek moyangnya, begitu juga dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Mereka telah ada sebelum kawasan konservasi tersebut dibentuk, tetapi mereka serasa dibatasi hak-haknya dalam mencari penghidupan. Mengapa masyarakat Pulau Komodo
12 13
Sebutan yang diberikan warga Desa Komodo. Dalam Buletin Varanus Vol.II/Mei-Agustus 2012.
10
tetap bertahan dalam zona taman nasional dan mau hidup kurang leluasa dalam mencari penghidupan? Apa nalarnya?
D. Kerangka Pemikiran Kabupaten Manggarai Barat adalah daerah hasil pemekaran Kabupaten Manggarai pada tahun 2003. Sejak saat itulah Pulau Komodo turut berada dalam naungan Kabupaten Manggarai Barat. Hal ini dirasa cukup kompleks ketika kawasan konservasi yang secara nyata dikelola dengan sistem terpusat itu tetap tidak mengesampingkan peran pemerintah daerah untuk menaungi berbagai persoalan administratifnya. Adanya ‘jarak’ (gap) antara masyarakat Desa Komodo dengan pemerintah penyelenggara misi konservasi menjadikan keduanya kurang bisa mensinergikan keinginan masing-masing. Ketidakterlibatan masyarakat penghuni kawasan konservasi secara penuh dan utuh dalam perencanaan tata kelola dapat menimbulkan berbagai resistensi (Li, 2007). Sekiranya hal inilah yang memicu warga Desa Komodo nekat melakukan pelanggaran batas dan aturan di dalam kawasan dengan dalih mengakses sumber daya alam warisan nenek moyangnya. Di sisi lain, mitos nampak penting bagi kehidupan masyarakat Desa Komodo, mereka hidup dalam belenggu mitos dan jaringan totemis. Untuk menyusun hipotesis mengenai mitos yang ada di Desa Komodo, analisis akan dilakukan dengan strukturalisme Lévi-Strauss. Keberadaan mitos adalah untuk memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami nalar manusia (Lévi-Strauss, 1963 via Ahimsa-Putra 1998 : 45). Di sini, nantinya mitos
11
mengenai Ompu Najo (mitos paling tenar di Desa Komodo) dan hubungannya dengan komodo berguna untuk melihat etnoekologi masyarakat Pulau Komodo. Mitos Ompu Najo cukup kuat melekat dalam benak warga sehingga dirasa sebagai pengetahuan dasar bagi warga untuk memahami keberadaan dan jati diri mereka di Pulau Komodo. Mitos yang terkait dengan asal-muasal tersebut sekiranya dapat menjelaskan perjalanan kepemilikan tanah komodo. Kehidupan manusia pada tataran derajat tertentu diatur oleh realita obyektif dan realita imajiner (Harari, 2014) sehingga pembedahan mitos dilakukan untuk memetakan kedua jenis realita tersebut. Selain mitos (dan totem), nalar lokal masyarakat juga ditampakkan dalam simbol-simbol material. Untuk melihat lebih mendalam, metode tafsir diperlukan dalam melihat keterkaitan antarsimbol yang ada. Geertz (1992 : 149-150) memaparkan bahwa makna-makna yang dikandung simbol-simbol seringkali sukar dipahami, kabur, berubah-ubah, dan berbelit-belit. Melalui pola-pola kebudayaan, yaitu rangkaian simbol-simbol bermakna yang teratur, manusia memberi makna atas peristiwa-peristiwa yang dihayatinya. Selebihnya analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan keseluruhan hubungan. Mitos dan totem juga tampak sebagai wujud kebanggaan masyarakat Pulau Komodo akan ‘tanah warisan nenek moyangnya’. Akan tetapi, di samping rasa bangga tersebut seringkali terlontar keluhan dan sekelumit pernyataan puas ketika melanggar aturan dan/atau batas zonasi. Selain fakta empiris yang saya dapati, paparan Ingold (2002), Laungaramsi (2002) dan Santasombat (2003) telah memacu saya melontarkan pertanyaan penelitian tersebut di atas. Ketiganya
12
memberi gambaran mengenai keterkaitan mitologi dengan pengetahuan lokal terkait ekologi yang selebihnya saya paparkan pada Bab III. Selanjutnya, hasil analisis data memperlihatkan adanya relevansi antara etnoekologi masyarakat Pulau Komodo dan ancaman terhadap dampak pariwisata yang juga diselenggarakan misi konservasi beserta stakeholder lainnya. Di satu sisi, masyarakat hidup nyaman dalam tanah warisan nenek moyang, tetapi di sisi lain mereka berada dalam keterbatasan. Di sinilah peran etnoekologi yang mencakup pengetahuan ekologi, budaya, praktik sosial dan kepercayaan (sebagai hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya) menjadi pemandu untuk memahami nalar masyarakat melalui pencermatan bahasa dan pola kebiasaan hidup (Ellen, 1993; J. Peter Brosius et al., 1986).
E. Metodologi Penelitian Penelitian bertema Problems of Top-Down and Centralized Models for Environmental Protection ini ditawarkan penyelenggara beasiswa ISB (In Search of Balance). Melihat tataran keseimbangan bukanlah hal mudah. Penelitian ini berusaha menggunakan analisis data kualitatif untuk melihat keseimbangan yang terjadi antara masyarakat Pulau Komodo dengan pihak BTNK. BTNK sebagai pengelola utama kawasan konservasi berperan besar dalam penelitian ini. Perijinan penelitian dalam Taman Nasional Komodo sebenarnya cukup melalui birokrasi BTNK sehingga tidak perlu menggandakan ijin kepada Kesbangpol provinsi dan daerah. Perijinan penelitian kepada BTNK cukup efektif dan efisien lantaran semua fasilitas (termasuk pengamanan) ditanggung oleh
13
BTNK. Dengan membuat SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) senilai Rp 125.000,00 untuk 4 bulan, alur penelitian sangat terbantu. Perjalananan menuju Pulau Komodo hanya bisa ditempuh dengan jalur laut. Rute pelayaran resmi adalah dari pelabuhan14 di Labuan Bajo ke dermaga Desa Komodo. Ferry dari pelabuhan Sape pun tetap harus singgah di Labuan Bajo untuk menurunkan para penumpang yang hendak menuju Pulau Komodo. Jika ‘air naik’ atau mengikuti arus, perjalanan dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo hanya memakan waktu empat jam. Sebaliknya, perjalanan akan lebih lama apabila melawan arus. Penelitian telah dilakukan di wilayah utama Desa Komodo dan juga di beberapa wilayah lain dalam kawasan Kepulauan Komodo sebagai lokasi pembanding. Penelitian dilakukan selama 3,5 bulan mulai 1 Juni 2013 sampai dengan 16 September 2013. Selanjutnya pada sebuah kunjungan singkat dalam bulan Juli 2014 saya rasakan banyak perubahan di Desa Komodo, terutama dalam hal pembangunan dan pembenahan desa. Secara fisik tampak semakin rapi dan infrastruktur yang ada semakin bertambah. Ketika saya datang dengan tujuan penelitian, saya bisa mengakses lokasilokasi wisata (beserta fasilitasnya) secara gratis lantaran SIMAKSI. Saya bebas keluar masuk Loh Liang dan beberapa area lain tanpa dipungut biaya, seperti halnya warga Desa Komodo. Keleluasaan ini saya rasakan sebagai bonus dalam 14
Terdapat tiga pelabuhan di Labuan Bajo yang memiliki rute pelayaran menuju Pulau Komodo, yaitu : 1) Pelabuhan Pelni, biasanya digunakan untuk berlabuhnya kapal ferry atau kapal besar lainnya; 2) Pelabuhan Philemon, lokasinya menyatu dengan koperasi milik BTNK, selain menjadi tempat berlabuhnya kapal sewaan untuk rolling petugas BTNK, juga menjadi tempat berlabuhnya beberapa speedboat; 3) Pelabuhan TPI/pasar ikan, digunakan sebagai tempat bersandarnya kapalkapal motor (public boat) tujuan Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Ketiga pelabuhan tersebut berada dalam satu deret tepian laut.
14
penelitian. Ketika saya datang lagi sebagai seorang wisatawan pada Juli 2014, saya baru merasakan tarikan pajak yang lumayan besar dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Hal-hal semacam inilah yang pada akhirnya nampak ketika saya melepas ‘kostum penelitian’. Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dan hasil perekaman obyek yang mampu ditangkap inderawi. Sementara data sekunder yang diperoleh berupa data arsip desa, majalah-majalah dari BTNK dan paparan hasil penelitian dari pihak BTNK. BTNK memberikan informasi secara terbuka melalui jejaring sosial sehingga akses dan tujuan penelitian dapat diprediksikan terlebih dahulu. Data kualitatif menjadi capaian utama dalam penelitian ini, diperoleh melalui participant observation. Analisis data penelitian dilakukan dengan studi literatur untuk memperoleh data yang tidak mungkin dijangkau dalam rengkuhan jarak dan waktu. Kurangnya literatur mengenai wilayah tersebut menjadikan segala informasi masa lalu masih didominasi oleh berbagai cerita lisan, yang kebenarannya kurang bisa dibuktikan dengan kepastian waktu peristiwa. Mitosmitos yang berkembang pun akhirnya menjadi semacam pseudohistory mengenai perjalanan panjang Pulau Komodo dan masyarakat penghuninya. Kesulitan yang saya temui dalam menggali informasi sakral dari para tetua desa adalah adanya rasa ketakutan dari diri mereka jika akan mengalami kadewan (trance/kesurupan) jika membicarakan leluhur. Pada kasus berbeda, para informan dari klan yang berlainan kadang merasa bahwa kisah yang mereka ceritakan adalah kisah yang paling sahih dibandingkan klan lainnya, jika kisah tersebut
15
mengacu pada sebuah inti cerita yang sama. Hal inilah yang menjadikan mitos dan kisah kehidupan penghuni Pulau Komodo di masa lalu menjadi sulit diyakini kebenarannya. Untuk memecahkan mitos tersebut, perlu dukungan studi literatur yang kuat. Berbagai literatur lawas dan langka mengenai Pulau Komodo hanya dapat ditemui di Perpustakaan Nasional RI dan Perpustakaan Lembaga Indonesia Perancis. Adanya data tertulis yang jelas dari masa lampau telah mampu menjembatani kekosongan historis yang dirasa cukup mengganjal. Kelangkaan data mengenai kehidupan penduduk Pulau Komodo di masa lampau akhirnya dapat dirunut melalui keberadaan masyarakat yang mendiami sekitaran pulau tersebut, yakni masyarakat Bima, Manggarai dan Sumba. Selanjutnya, dalam penyusunan tesis ini saya tetap melangsungkan komunikasi dengan para informan untuk mendapatkan kabar terbaru dari Desa Komodo. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah terciptanya produk akademis yang bermanfaat bagi masyarakat ataupun pihak yang terkait dengan lokasi penelitian tersebut.
F. Sistematika Penulisan Bab I pada tesis ini membahas alur dasar penyusunan tesis, dimulai dari latar belakang, studi pustaka, masalah penelitian (beserta pertanyaan penelitian), kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini sebagai pemandu bagi bab-bab selanjutnya. Gambaran singkat mengenai apa yang tertuang dalam tesis ini terangkum dalam Bab I.
16
Bab II mendeskripsikan kondisi Desa Komodo beserta suasana kehidupan masyarakatnya sejak mereka hidup nomaden dalam kawasan Pulau Komodo hingga mereka disatukan dalam Desa Komodo saat ini oleh pihak BTNK. Penulisan menggunakan alur balik (flashback) untuk memberikan gambaran awal terlebih dahulu. Kemudian, Bab III menjabarkan bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Desa Komodo dan mitos Ompu Najo sebagai penguasa Pulau Komodo di masa lampau. Bab ini ingin menunjukkan adanya keterkaitan antara bahasa dengan etnoekologi masyarakat Desa Komodo. Mitos Ompu Najo sebagai mitos termasyur di antara masyarakat lebih lanjut diuraikan dengan analisis strukturalme Lévi-Strauss. Usai mengulas kondisi masyarakat Desa Komodo, Bab IV menyinggung sekelumit tata kelola Taman Nasional Komodo oleh pihak BTNK beserta stakeholder lainnya. Jawaban atas pertanyaan penelitian juga dipaparkan dalam bab ini. Kemudian, Bab V merupakan ringkasan dari Bab II hingga Bab IV yang selanjutnya dibubuhi dengan jawaban dan simpulan.