BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu wujud dan cara untuk mengungkapkan bahasa adalah tuturan dan dengan menuturkannya atau mengucapkannya. Setiap tuturan akan dikonsepkan terlebih dahulu di pikiran manusia sebelum dituturkan atau diucapkan. Itulah sebabnya setiap tuturan akan mengandung maksud dari penuturnya itu sendiri. Dengan cara seperti inilah, tuturan sebagai wujud bahasa menjadi sarana bagi semua orang untuk saling berkomunikasi. Tuturan itu lantas dapat diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. Secara lisan, tuturan manusia dapat kita simak dalam percakapan di rumah, diskusi, pidato, adegan film atau drama dan lain sebagainya. Secara tulisan, tuturan manusia dapat kita baca dalam pelbagai karya tulis, seperti cerpen, novel, dan pada papan pengumuman atau peringatan yang ada di sekitar kita, terutama di sarana publik atau fasilitas umum. Di atas papan peringatan itu, tuturan-tuturan dituliskan dalam rupa kalimatkalimat anjuran, saran, perintah atau larangan. Di situlah kalimat-kalimat yang tertera atau tertulis di atas papan-papan peringatan menjadi tindak tutur (speech acts). Pernyataan ini didasarkan atas analogi yang merujuk pada definisi Allan (1986:164) mengenai tindak tutur. Penulis atau pihak yang menunjuk penulis papan-papan peringatan itu dapat diandaikan sebagai si penutur (speaker S). Setiap kalimat yang tertera atau tertulis di atas papan-papan peringatan tersebut
1
2
merupakan tuturan (utterance U). Tuturan itu sendiri terdiri atas kalimat (sentence ∑) yang diucapkan dengan prosodi ɸ dalam bahasa tertentu (language L). Tuturan yang tertulis itu dibaca oleh pembacanya, seperti halnya didengar secara lisan oleh pendengarnya (hearer H). Proses ini berlangsung dalam suatu konteks (context C) tertentu. Berdasarkan analogi ini, penulis hendak mendekati dan menganalisis tuturan-tuturan dalam papan-papan peringatan dengan teori-teori tindak tutur. Penggunaan papan peringatan yang diikuti oleh kesediaan individu dan kelompok masyarakatnya untuk mengikuti dan menaatinya menjadi indikasi dari ketertiban dan kenyamanan suatu tempat, suatu wilayah, suatu negara bahkan suatu kota. Salah satu negara yang menyandang predikat sebagai negara terbaik untuk ditinggali adalah Australia (nomor dua menurut thetoptens.com dan nomor satu menurut beforeitsnews.com). Negara benua ini memiliki intensitas penggunaan papan peringatan yang tersebar cukup tinggi di pelbagai sarana publik atau fasilitas umumnya. Salah satu kota di Australia yang bisa menjadi contoh penggunaan papan peringatan ini adalah kota Melbourne, negara bagian Victoria. Kota Melbourne yang adalah ibukota negara bagian Victoria merupakan pusat bisnis, administratif, budaya dan rekreasi di wilayah selatan Australia tersebut. Sebagai sebuah kota metropolitan, kota Melbourne mencakup wilayah seluas 7,694 km persegi, dengan populasi sekitar 4,1 juta jiwa. Survei dari Economist Intelligence Units (EIU) Global Liveability Survey menunjukkan bahwa kota Melbourne berturut-turut selama tiga tahun (2010-2013) berada pada posisi teratas indeks, sejak merebut gelar tersebut dari Vancouver. Kota Melbourne secara konsisten meraih nilai tinggi dalam semua kriteria EIU dan mencapai nilai
3
sempurna di bidang layanan kesehatan, pendidikan dan infrastrukturi. Sebagai kota terbesar di negara bagian Victoria, kota Melbourne memiliki infrastruktur kelas dunia yang mencakup sarana transportasi (darat, air dan udara), sarana kesehatan, telekomunikasi, perumahan, air, sekolah-sekolah dan pariwisataii. Salah satu bagian ketersediaan, penyediaan dan sekaligus penunjang infrastruktur yang menata kota Melbourne adalah papan-papan peringatan (signages/warning boards/announcements) di pelbagai sarana publik dan fasilitas umum. Berikut ini adalah contoh-contoh data tuturan yang penulis temukan dalam papan peringatan yang tersebar di pelbagai sarana publik atau fasilitas umum di kota Melbourne: a) Data dari sebuah papan peringatan dekat sebuah pelintasan trem di Collin Street: Pedestrians give way to trams. ‘Para pejalan kaki harus mendahulukan trem.’ Konteks: Penulis atau penutur dari papan peringatan ini memerintahkan para pejalan kaki untuk memberikan jalan terlebih dahulu kepada trams yang akan lewat, dengan maksud menghindari kecelakaan.
b) Data dari sebuah papan peringatan di jalan sekitar Docksland: Form one lane. ‘Bentuk satu jalur.’ Konteks: Penulis atau penutur dari papan peringatan ini memerintahkan para pengendara kendaraan untuk membentuk satu jalur ketika memasuki wilayah Docksland, dengan maksud untuk menghindari terjadi kemacetan di jalan tersebut.
c) Data dari papan peringatan di sebuah perhentian trem di Flinder Street: ‘No crossing. Crossing tracks is strictly prohibited. Heavy penalties apply. Offenders prosecuted.’
4
‘Dilarang menyeberang. Dilarang keras menyeberang jalur trem. Para pelanggar akan dituntut dengan hukuman berat yang berlaku.’ Konteks: Penutur atau penulis dari papan peringatan ini melarang para pejalan kaki untuk menyeberang perlintasan trem secara sembarangan. Para pelanggar larangan ini diancam hukuman berat.
d) Data dari sebuah papan peringatan di Victoria Market: ‘Watch out! Forklift operates in this area.’ ‘Awas! Kendaraan pengangkat barang beroperasi di wilayah ini.’ Konteks: Penulis atau penutur dari papan peringatan ini memperingatkan sekaligus menyampaikan informasi akan adanya kegiatan pengoperasian kendaraan pengangkut di sekitar pasar Victoria ketika lampu-lampu kuning menyala.
e) Data dari sebuah papan peringatan di Rumah Sakit St. Vincent: ‘Welcome to St. Vincent’s a totally smoke free environment. No smoking anywhere on hospital grounds.’ ‘Selamat datang di lingkungan bebas rokok di Rumah Sakit St. Vincent. Dilarang merokok di sekitar wilayah rumah sakit.’ Konteks: Penulis atau penutur dari papan peringatan ini menyampaikan informasi mengenai status wilayah Rumah Sakit St. Vincent sebagai kawasan bebas rokok, sekaligus melarang siapapun yang berada di wilayah tersebut untuk merokok.
Papan peringatan yang memuat tuturan-tuturan seperti di atas masih bisa banyak lagi ditemukan di sarana publik atau fasilitas umum di kota Melbourne. Tuturan-tuturan yang sebagian besar berbentuk pernyataan, perintah dan larangan tersebut menyediakan petunjuk dan tuntunan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh atau apa yang harus dilakukan oleh setiap anggota masyarakat yang berada di wilayah sarana publik tersebut. Tuturan-tuturan itu dihasilkan karena adanya maksud dan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat setempat. Dalam klasifikasi dan teori tindak tutur, tuturan-tuturan seperti di atas tergolong dalam tindak tutur ilokusi. Yang dimaksud dengan tindak tutur ilokusi
5
adalah tindak tutur yang diformulasi secara benar dengan tujuan tertentu. Tuturan tersebut dibentuk dengan fungsi tertentu dalam pemikiran penuturnya. (Yule, 2002:48). Tindak tutur ilokusi juga dapat diartikan sebagai apa yang penutur lakukan dengan menuturkan suatu kalimat. Yang bisa termasuk dalam tindak tutur ilokusi di antaranya berjanji, meminta maaf, mengancam, memperkirakan, memerintahkan dan meminta. Sebagai contoh seorang ibu berkata kepada anaknya, “Turunkan kakimu dari meja.” Tindak tutur ini adalah bentuk memerintah. Maksud yang dihubungkan dengan tindak tutur ilokusi kerap kali disebut dengan kekuatan ilokusi (illocutionary force) dari suatu tuturan. Jadi, pada contoh tersebut, dapat ditunjukkan bahwa kekuatan ilokusi dari tuturan ibu tersebut adalah sebuah perintah. Tindak tutur ilokusi berada pada inti pengertian dari tindak tutur (Parker, 1986:15). Tindak tutur ilokusi pertama kali digagas oleh Austin, seorang filsuf Inggris dalam kuliah yang ia sampaikan di Universitas Harvard, pada tahun 1955. Kuliahkuliahnya ini kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul ‘How to Do Things with Words’. Pandangan Austin yang fundamental dalam kuliahnya ini adalah bahwa suatu tuturan dapat membentuk suatu tindakan (act). Austinlah yang pertama menunjukkan bahwa dalam menuturkan suatu kalimat, kita dapat melakukan sesuatu seperti halnya kita mengatakan sesuatu. Sebelum Austin, para filsuf menyatakan bahwa kalimat hanya digunakan untuk mengatakan sesuatu. (Parker, 1986:12) Teori tindak tutur ini dirumuskan oleh Austin sebagai bentuk penolakannya atas pembedaan antara tindak perfomatif dengan tindak konstatif yang ia cetuskan
6
sendiri. Terdapat dua peralihan internal dalam argumennya. Pertama, terdapat suatu peralihan dari pandangan bahwa tindak performatif merupakan kelas istimewa dari kalimat atau tuturan dengan sifat sintaksis dan semantis tertentu kepada pandangan bahwa terdapat kategori umum tindak performatif yang mencakup tindak performatif yang eksplisit maupun implisit. Peralihan yang kedua adalah dari dikotomi tindak performatif dan tindak konstatif kepada suatu teori umum mengenai tindak tutur yang mana berbagai tindak performatif dan tindak konstatif hanya menjadi bagian-bagiannya (Huang, 2007: 100) Austin memasukkan tindak tutur ilokusi dalam klasifikasi tindak tuturnya bersama tindak tutur lokusi dan perlokusi. Dalam penggolongannya, tindak tutur ilokusi diperinci menjadi lima bentuk tindak tutur, yakni verdiktif, eksersitif, komisif, behabitif dan ekspositif (Huang, 2007:106). Teori dan klasifikasi tindak tutur oleh Austin ini selanjutnya dikembangkan dan diperluas oleh Searle, salah seorang murid Austin. Dalam disertasi doktoralnya pada tahun 1959 yang berjudul ‘Sense and Reference’, Searle mengembangkan dan memperluas gagasan Austin dengan mengemukakan asumsi bahwa semua tuturan, tidak hanya yang mengandung kata kerja performatif, membentuk tindakan (acts) (Parker, 1986:14). Dalam pengembangan teori Austin ini, Searle memaparkan klasifikasi yang berbeda untuk tindak tutur ilokusi. Ia membagi tindak tutur ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yakni representatif atau asertif, direktif, komisif dan ekspresif. (Huang, 2007: 106-107). Berdasarkan temuan-temuan awal ini, penulis merasa tertarik untuk meneliti salah satu aspek linguistik yakni tindak tutur ilokusi yang secara khusus
7
ditemukan dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne. Dengan demikian yang menjadi judul dari penelitian ini adalah “Tindak Tutur Ilokusi dalam Papan Peringatan pada Sarana Publik di kota Melbourne.”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik untuk meneliti tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik atau tempat umum di kota Melbourne. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah jenis-jenis dan bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne? b. Bagaimanakah fungsi-fungsi tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne? c. Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan secara umum untuk mengkaji tindak tutur ilokusi. Tujuan-tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendeskripsikan jenis-jenis dan bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi dalam pada papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne.
8
b. Mendeskripsikan fungsi-fungsi tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne. c. Menjelaskan pengaruh faktor-faktor tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne.
1.4 Manfaat Penelitian Terdapat dua manfaat yang hendak ditawarkan dalam penelitian mengenai tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne ini, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis Melalui penelitian ini diharapkan penulis mampu mengukuhkan dan sekaligus memperkaya khazanah pemikiran mengenai teori tindak tutur, terlebih khusus tindak tutur ilokusi, yang telah dicetuskan dan dirumuskan oleh Austin dan kemudian dikembangkan oleh Searle.
1.4.2 Manfaat Praktis Melalui penelitian ini, diharapkan penulis mampu memperkenalkan dan sekaligus menjelaskan jenis, bentuk, fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tindak tutur ilokusi yang dapat ditemukan dalam papan peringatan pada sarana publik atau fasilitas umum sebagai bagian dari infrastruktur kelas dunia yang ada di kota Melbourne. Sekiranya hasil penelitian ini dapat memberikan contoh peringatan, larangan dan pemberitahuan dengan bahasa formal yang lebih efektif,
9
bervariatif dan mendetail di pelbagai sarana publik atau tempat umum di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan maksud dan tujuan yang hendak dicapai melalui papan peringatan tersebut bisa tercapai demi kepentingan keselamatan, ketertiban dan kenyamanan masyarakat.
1.5 Tinjauan Pustaka Sebelum penelitian ini dilaksanakan, ada sekian tulisan atau penelitian yang meneliti topik tindak tutur di sarana publik atau tempat umum. Dua di antaranya adalah penelitian tesis karya Kurnia Asmala Yuli (2010) yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Rumah Kos di Yogyakarta dan penelitian skripsi karya Desy Andriyani (2012) yang berjudul Bentuk Imperatif Tindak Tutur Wacana Persuasif Pada Fasilitas Umum. Pertama, Yuli, dalam tesisnya, mendeskripsikan jenis tindak tutur direktif, tingkat kelangsungan dan ketidaklangsungan tindak tutur direktif, dan tingkat kesopanan tindak tutur direktif pada papan pengumuman dan surat pengumuman dalam rumah kos di Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitiannya itu, Yuli menemukan bahwa jenis tindak tutur direktif yang digunakan adalah tipe memerintah dengan kategori memerintah, meminta, mengajak, menasehati, mengkritik dan tipe melarang dengan kategori melarang dan mencegah. Berdasarkan tingkat kelangsungan dan ketidaklangsungan tindak tutur direktif ditemukan bahwa penggunaan tindak tutur direktif tidak langsung paling banyak digunakan. Berdasarkan tingkat kesopanan ditemukan bahwa tingkat kesopanan yang paling sering digunakan adalah kesopanan kurang.
10
Yang kedua, dalam skripsinya, Andriyani mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur dan bentuk-bentuk imperatif yang terdapat dalam wacana persuasif pada fasilitas umum. Dalam penelitian ini yang menjadi fokusnya adalah wacana persuasif pada papan larangan dan perintah di fasilitas umum yang di dalamnya terkandung maksud atau makna pragmatik perintah. Dari hasil penelitian Andriyani tersebut dapat dipaparkan bahwa dari jenisjenis tindak tutur (1) jenis tindak tutur langsung dapat berupa (a) kalimat perintah yang ditandai dengan penggunaan kata harus, mohon, kata seru awas, harap, kata kerja, kata kerja diikuti sufiks ‘-kan’, kata kerja diikuti sufiks ‘-lah’; (b) kalimat larangan ditandai dengan penggunaan kata dilarang dan jangan; (2) tindak tutur tidak langsung dapat ditunjukkan dengan kalimat berita. Dari bentuk-bentuknya, tuturan imperatif dapat berupa tuturan yang mengandung makna pragmatik (1) perintah, (2) suruhan, (3) permintaan, (4) permohonan, (5) desakan, (6) bujukan, (7) himbauan, (8) persilaan, (9) ajakan, (10) permintaan izin, (11) mengizinkan, (12) larangan, (13) harapan, (14) umpatan, (15) pemberian ucapan selamat, (16) anjuran, (17) ngelulu. Dari hasil penelitian ini, bentuk-bentuk imperatif yang tidak ditemukan pada fasilitas umum adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik permintaan izin, umpatan, ngelulu. Jika kedua penelitian tersebut berfokus pada tindak tutur direktif (directive acts), maka penelitian ini lebih memberi perhatian pada tindak tutur ilokusi yang dapat ditemukan dalam papan peringatan di beberapa sarana publik yang ada di Melbourne, Australia.
11
1.6 Landasan Teori Bagian ini akan memaparkan teori-teori tindak tutur ilokusi yang akan dijadikan acuan atau pedoman dalam rangkaian penelitian ini. Untuk itu, berkaitan dengan masalah yang hendak diteliti, yang menjadi landasan teori yang mendasari penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.
1.6.1 Pragmatik dan Ruang Lingkupnya. Sebagai suatu ilmu yang mengkaji bahasa, linguistik terdiri atas beberapa cabang. Cabang-cabang linguistik yang dimaksud adalah fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik yang kesemuanya secara internal menelaah bahasa; sedangkan secara eksternal, struktur bahasa ditelaah oleh pragmatik. Pragmatik dapat dianggap sebagai salah satu bidang kajian linguistik yang akhir-akhir ini berkembang pesat. Wujud tuturan (utterance) yang dulu dibuang di keranjang sampah karena tidak dapat dianalisis secara linguistik sekarang merupakan lahan subur dalam kajian pragmatik. Baik semantik maupun pragmatik sama-sama mengkaji “arti”, namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik mengkaji arti lingual yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji “arti” yang disebut sebagai “the speaker’s meaning” atau arti menurut tafsiran penutur disebut sebagai “maksud”. Arti menurut tafsiran penutur atau maksud itu sangat bergantung konteks. Tanpa memperhitungkan konteks, arti tersebut tidak dapat dipahami (Subroto, 2011:8).
12
George Yule menyebutkan bahwa pragmatik merupakan studi atas hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pengguna dari bentuk-bentuk tersebut. Ia membagi pragmatik ke dalam empat karakteristik definitif (Yule, 2002: 3) : a. Pragmatik adalah studi mengenai maksud penutur. b. Pragmatik adalah studi mengenai maksud kontekstual. c. Pragmatik adalah studi mengenai bagaimana cara untuk lebih mengkomunikasikan diri daripada mengatakannya. d. Pragmatik adalah studi mengenai ungkapan jarak yang relatif. Menurut Yule, keuntungan dari mempelajari bahasa melalui pragmatik adalah bahwa seseorang dapat berbicara mengenai maksud yang ditunjukkan oleh seseorang, asumsi-asumsi mereka, maksud-maksud atau tujuan mereka dan berbagai macam tindakan yang mereka tunjukkan ketika mereka berbicara (Yule, 2002: 4). Berkaitan dengan pengertian pragmatik, Levinson menyatakan: Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding. (Levinson, 1991:21) ‘Pragmatik adalah studi mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang adalah dasar pada suatu bahasan mengenai pemahaman bahasa.’ Berdasarkan rumusan di atas jelaslah bahwa konteks bersifat dasar untuk memamahai maksud tuturan. Dalam hal ini, pragmatik mengkaji hubungan antara bahasa dan konteks. Hubungan antara keduanya bersifat dasar dalam rangka memahami komunikasi dengan bahasa. Suatu rumusan yang serupa disampaikan oleh Yacob L. Mey: ...pragmatics is the study of conditions of human language uses as there are determined by the context of society. (Mey, 2001:42)
13
‘... pragmatik adalah studi mengenai keadaan-keadaan penggunaan bahasa manusia seperti yang ditentukan oleh konteks masyarakat.’ Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa pragmatik mengkaji kondisi-kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks kemasyarakatan. Yang penting dari rumusan itu ialah kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks kemasyarakatan. Penggunaan bahasa itu bersifat nyata yang melibatkan penutur dan mitra tutur dalam situasi penggunaan tertentu, mengenai hal tertentu dan kondisi penggunaan bahasa tersebut ditentukan oleh konteks kemasyarakatan (Subroto, 2011:9-10) Ruang lingkup yang dapat dicakup oleh pragmatik cukup luas mulai dari deiksis, referensi-referensi, presuposisi, kerjasama, kesopanan dan tindak tutur (Huang, 2007: 2). Berkaitan dengan penelitian ini, maka teori cabang pragmatik yang akan menjadi landasannya adalah tindak tutur. Secara khusus, tindak tutur ilokusi yang hendak dibahas dalam penelitian ini lebih pada teori yang dikembangkan dan diperluas oleh Searle.
1.6.2 Tindak Tutur Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, konsep tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin dalam karyanya ‘How to Do Things with Words’ (1955). Simpulan Austin mengenai tindak tutur ini sangat sederhana: semua tuturan mengandung baik elemen konstatif maupun elemen performatif; keduanya mengatakan dan melakukan pada saat yang sama (Verschueren, 1999:22) Untuk menangkap implikasi intuisi ini, Austin mengganti terminologi konstatifperformatif dengan tiga bentuk pembedaan: ‘lokusi’ adalah tindak tutur
14
menyampaikan sesuatu yang pasti sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan sisi tuturannya; ‘ilokusi’ adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dengan daya yang khas yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya; dan ‘perlokusi’ adalah efek tindak tutur bagi lawan tutur atau dengan kata lain respon dari si lawan tutur (Wibowo, 2011:37-41). Dari sini, tindak tutur dapat dijelaskan lebih lanjut dalam empat definisi berikut (Kridalaksana, 2009:191): a. perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; b. perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara beraturan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; c. seluruh komponen linguistis dan nonlinguistis yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik dan konteks amanat itu; d. pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar. Dengan kata lain, tindak tutur merupakan bentuk tindakan yang ditunjukkan melalui tuturan-tuturan dan biasanya diberikan label yang lebih spesifik seperti permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji ataupun permintaan. Istilahistilah deskriptif untuk berbagai macam tindak tutur ini berlaku pada maksud komunikatif penutur dalam memproduksi tuturan. Penutur biasanya mengharapkan bahwa maksud komunikatifnya dapat dikenali oleh pendengarnya. Baik penutur
15
maupun pendengar biasanya dibantu dalam proses ini oleh keadaan yang melingkupi tuturan-tuturan tersebut (Yule, 2002: 47) Pada prinsipnya tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama. Tiap pernyataan yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu. Dalam ungkapan lain, tindak tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi juga merefleksikan tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya, mengingat isi tuturannya itu mengandung maksud-maksud tertentu dalam mempengaruh pendengarnya. Maka dari itu, agar suatu tuturan segaris dengan tindakan, dibutuhkan beberapa persyaratan: a. syarat muatan yang proposional (propositional content condition), b. syarat persiapan (preparatory condition), c. syarat esensial (essential condition), d. syarat ketulusan (sincerity condition). (Verschueren, 1999:23) Salah satu syarat yang penting disebutkan di atas adalah ketulusan (felicity). Mengenai syarat ketulusan ini, baik Austin maupun Searle memiliki pemaparannya sendiri-sendiri, yang mana Searle kemudian melengkapi apa yang sudah dipaparkan oleh Austin.
1.6.3 Klasifikasi Tindak Tutur Ilokusi Dalam pengembangan atas teori tindak tutur Austin, klasifikasi tindak tutur ilokusi menurut Searle secara umum dikelompokkan atas lima bentuk yang didasari oleh empat dimensi, yakni titik ilokusi (illocutionary point) atau bentuk
16
tindak tutur, arah kecocokan (direction of fit) atau hubungan antara kata-kata dengan dunia, keadaan psikologis yang diungkapkan (expressed psychological state) dan muatan proposional (propositional content). Lima jenis tindak tutur ilokusi menurut Searle akan dijelaskan lebih jauh di bawah ini (Huang, 2007:106107): a. Representatif atau asertif (representatives or assertives), yakni tindak tutur yang mendorong penutur ke arah kebenaran proposisi yang ditunjukkan, sehingga membawa suatu nilai-kebenaran. Tindak tutur ini mengungkapkan kepercayaan
penutur.
Contoh-contohnya
antara
lain
mengklaim,
menyimpulkan, melaporkan dan menyatakan. Dalam menampilkan bentuk tindak tutur ini, penutur mewakili dunia yang ia percayai apa adanya, sehingga menjadikan kata-kata yang ia tuturkan cocok dengan dunia yang ia percayai atau yakini. b. Direktif (directives) adalah bentuk tindak tutur yang mewakili usaha oleh penutur agar pendengarnya melakukan sesuatu. Tindak tutur ini menunjukkan harapan atau keinginan penutur terhadap pendengarnya untuk melakukan
sesuatu.
Contoh-contohnya
seperti
nasehat,
perintah,
permintaan, pertanyaan dan permohonan. Dalam menggunakan tindak tutur direktif, penutur bermaksud untuk memperoleh beberapa arah tindakan masa depan dari sisi pendengar, sehingga menjadikan dunia cocok dengan kata-kata melalui pendengarnya. c. Komisif (commissives) adalah bentuk tindak tutur yang mendorong penutur ke arah beberapa tindakan di masa depan. Tindak tutur ini mengungkapkan
17
maksud penutur untuk melakukan sesuatu. Contoh-contohnya termasuk tawaran, sumpah, janji, penolakan dan ancaman. Dalam kasus tindak tutur komisif, dunia disesuaikan dengan kata-kata melalui penutur itu sendiri. d. Ekspresif (expressive) adalah bentuk tindak tutur yang mengungkapkan tindakan atau pernyataan psikologis penutur seperti kegembiraan, kesedihan, rasa suka atau tidak suka. Contoh-contoh tindak tuturnya seperti meminta maaf, menyalahkan, memberi selamat, memuji dan berterima kasih. Dalam tindak tutur jenis ini, tidak terdapat hubungan antara kata-kata yang dituturkan dengan dunia kesekitaran penutur. e. Deklaratif (declaratives) adalah bentuk tindak tutur yang mempengaruhi dan mengubah keadaan terkini suatu peristiwa tertentu. Tindak tutur ini biasanya dituturkan oleh pihak yang mewakili suatu lembaga tertentu, sehingga tindak tutur ini juga disebut dengan tindak tutur perfomatif terlembaga. Dalam menampilkan bentuk tindak tutur ini, penutur menghasilkan perubahan dunia; maksudnya penutur mempengaruhi korespondensi
antara
isi
proposional
dan
dunia.
Contoh-contoh
paradigmatiknya seperti mengumumkan perang, mengucilkan, memecat, dan menominasikan calon. Dalam arah kecocokannya, tindak tutur ini berlangsung baik dari kata ke dunia, maupun dari dunia ke kata. Di luar dari klasifikasi di atas, Wijana (2010: 95-99 dalam Indreswari, 2012: 23-24) memaparkan tiga jenis tindak tutur ilokusi lainnya yakni performatif, verdiktif dan fatis. Berikut ini adalah penjelasannya:
18
a. Performatif adalah tindak tutur yang pelaksanaannya membuat sesuatu yang dinyatakan dalam tuturan terwujud. Tindak tutur ini lazimnya dilakukan oleh pejabat yang berwenang, di tempat-tempat yang bersifat resmi. Tuturan ini bertujuan agar orang-orang menyepakati apa yang dikatakannya. Misalnya, tuturan seorang imam Katolik
yang
mengesahkan pengantin di gereja menjadi suami istri: I pronounce you husband and wife. ‘Saya nyatakan kalian sebagai suami dan istri.’ b. Verdiktif adalah tindak tutur yang digunakan untuk memberikan penilaian atau penghakiman terhadap apa yang dilakukan oleh lawan bicaranya.
Tindakan
mengutuk,
mengucapkan
terima
kasih,
menyalahkan, mengkritik dan sebagainya adalah sejumlah tindakn yang merupakan pelaksanaan dari tindak tutur verdiktif ini. Misalnya, pengasuh anak menerima surat pernyataan terimakasih dari keluarga anak yang diasuhnya, kemudian dia merseponnya dengan I appreciate it ‘Saya hargai ini’. c. Fatis merupakan tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk mengadakan kontak dengan orang lain. Tuturan ini bermaksud untuk membangun hubungan dengan mitra tutur sebelum terlibat dalam topik pembicaraan yang selanjutnya. Tuturan fatis meliputi sapaan, (hi ‘hai’, how are you ‘apa kabar?’), ucapan perpisahan (bye ‘selamat tinggal’, take care ‘hati-hati ya’), ungkapan kesantunan (please ‘silakan’) dan komentar mengenai cuaca (it is hot, isn’t it? ‘panas ya?’). Setiap
19
kelompok masyarakat memiliki tuturan-tuturan fatis yang khas sesuai dengan budaya masyarakat tempat bahasa itu digunakan.
1.6.4 Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Ilokusi Selain klasifikasi yang dirumuskan oleh Austin dan Searle, terdapat suatu pendekatan yang berbeda dalam membagi klasifikasi tindak tutur ilokusi. Pendekatan ini didasari oleh tiga bentuk dasar kalimat, yakni kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Bentuk-bentuk kalimat ini dihubungkan dengan tiga fungsi komunikatif umum, yakni pernyataan (statement), pertanyaan (question) dan perintah (command) atau permintaan (request). Contohnya sebagai berikut: a. You wear a belt. (deklaratif) ‘Kamu memakai ikat pinggang.’ b. Do you wear a belt? (interogatif) ‘Apakah kamu memakai ikat pinggang?’ c. Wear a seat belt! (imperatif) ‘Pakai sabuk pengaman!’ Jika terdapat hubungan langsung antara bentuk struktur dan fungsi, maka itulah yang disebut dengan tindak tutur langsung (direct speech act). Sebaliknya, jika terdapat hubungan tak langsung antara struktur dan fungsi, maka terjadilah tindak tutur tak langsung (indirect speech act). Selain fungsi-fungsi komunikatif umum tersebut, klasifikasi tindak tutur ilokusi yang dipaparkan Searle dapat pula menjadi lima fungsi umum tindak tutur seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut (Yule,2002: 54-55):
20
Bentuk tindak tutur Deklaratif Representatif Ekspresif Direktif Komisif
Arah kecocokan
S = penutur; X = situasi kata mengubah dunia S menyebabkan X membuat kata cocok dengan S meyakini X dunia membuat kata cocok dengan S merasakan X dunia membuat dunia cocok dengan S menginginkan X kata membuat dunia cocok dengan S bermaksud X kata
Penggolongan tindak tutur ilokusi berdasarkan bentuk dan fungsinya ini akan dimanfaatkan dalam mengelompokkon tuturan-tuturan yang ditemukan dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne. Dengan demikian, akan ditemukan apa saja bentuk dan fungsinya.
1.6.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindak Tutur Dalam tuturan-tuturan yang berlangsung antara pihak penutur dengan pihak lawan tutur, terjadi suatu jalinan komunikasi antara keduanya. Wujud komunikasi ini dapat terjadi oleh karena adanya faktor-faktor di luar tuturan-tuturan yang ikut mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindak tutur ini ikut bergantung pada konteks, situasi dan keadaan yang melingkupi peristiwa tutur. Berkaitan dengan faktor-faktor ini, Hymes mengkategorikan situasi tutur dalam delapan komponen yang dapat dirangkum sebagai: bentuk dan isi tuturan, latar, peserta tutur, maksud dan tujuan, nada, alat, genre dan norma-norma interaksional (Halliday dan Hasan, 1976:22). Kedelapan kategori yang menjadi faktor-faktor pengaruh pada peristiwa tindak tutur tersebut dapat disingkat dengan SPEAKING yang terdiri atas:
21
-
S (setting/scene), yakni tempat tutur dan suasana tuturan;
-
P (participant), yakni penutur dan lawan atau mitra tutur;
-
E (end), yakni maksud atau tujuan tuturan;
-
A (act), yakni suatu peristiwa di mana seorang penutur sedang melakukan tuturan (action);
-
K (key), yakni nada suara atau ragam bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan tuturannya;
-
I (instrument), yakni alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturannya;
-
N (norms of interaction), norma-norma yang berkaitan dengan tindak tutur;
-
G (genre), yakni jenis kegiatannya dalam bentuk apa atau bagaimana;
(Suwito, 1996:39 dalam Wijana & Rohmadi, 2006:9) Dalam penelitian ini, dapat ditunjukkan faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne. Masing-masing faktor tersebut memberikan pengaruh secara khusus dari sudut pandang di luar kebahasaan, sehingga tindak tutur ilokusi tersebut memperoleh konteksnya.
1.7 Metode Penelitian Sesuai dengan jenisnya, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Maka dari itu, dalam penyusunannya, penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip metode deskriptif kualitatif, yakni: mengumpulkan, mengolah,
22
menganalisis dan menyajikan data secara objektif atau apa adanya sesuai dengan realita yang ada.
1.7.1
Obyek dan Data Penelitian Sebagai obyek dalam keseluruhan penelitian ini adalah papan peringatan
yang dapat ditemukan di sarana publik atau fasilitas umum di kota Melbourne. Sedangkan yang menjadi datanya adalah tuturan-tuturan yang ditemukan dalam papan peringatan tersebut yang kemudian akan dianalisa seturut dengan teori-teori tindak tutur ilokusi yang telah dipaparkan sebelumnya.
1.7.2
Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak dengan
teknik catat. Dengan teknik catat, peneliti mencatat secara langsung tuturan-tuturan yang ditemukan dalam papan peringatan pada sarana publik atau fasilitas umum di kota Melbourne. Kemudian setiap tuturan yang telah dicatat akan dikelompokan sesuai dengan penggolongan tindak tutur hingga akhirnya terkumpul data tindak tutur ilokusi. Kumpulan data tindak tutur ilokusi inilah yang selanjutnya dianalisis secara lebih komprehensif.
1.7.3
Teknik Analisis Data Setelah data dikumpulkan dengan metode simak dan teknik catat, data ini
kemudian akan dianalisis. Tahapan analisis data merupakan tahapan yang sangat
23
menentukan, karena pada tahapan ini, kaidah-kaiah yang mengatur keberadaan objek penelitian harus sudah diperoleh (Mahsun, 2012: 117) Berdasarkan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang akan digunakan adalah metode padan ekstralingual. Yang dimaksud dengan metode padan ekstralingual, adalah teknik untuk membandingkan sesuatu yang mengandung makna adanya keterhubungan; atau dengan kata lain menghubungbandingkan. Dikatakan ekstralingual, karena makna-makna unsur yang dihubungbandingkan berada di luar bahasa, seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks, tuturan dan lain-lain (Mahsun, 2012: 117-118) Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil dalam menganalisis datadata penelitian ini adalah sebagai berikut: a. menelaah seluruh data yang sudah tersedia, b. mengelompokkan atau mengkategorikan data, c. menganalisis data-data tersebut berdasarkan teori tindak tutur ilokusi, d. membuat kesimpulan.
1.7.4 Teknik Penyajian Data Hasil analisis data yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan melalui dua cara berikut ini: (a)
perumusan
dengan
menggunakan
kata-kata
biasa,
termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis (informal), (b) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang (formal) (Mahsun, 2012: 123).
24
Penelitian mengenai tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne ini sendiri akan menyajikan perumusan atau hasil analisis datanya dengan menggunakan kata-kata biasa. Maka dari itu, teknik penyajian data yang akan dimanfaatkan di sini adalah dengan teknik informal.
1.8 Sistematika Penyajian Seluruh penyajian dari rangkaian penelitian dan pembahasan mengenai tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne ini akan dibagi ke dalam lima bab, dengan urutannya sebagai berikut: a. Bab I yang terdiri atas Pendahuluan: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori dan Metode Penelitian. b. Bab II yang mendeskripsikan Jenis-jenis dan Bentuk-bentuk Tindak Tutur Ilokusi Dalam Papan Peringatan Pada Sarana Publik di kota Melbourne. c. Bab III yang membahas Fungsi-fungsi Tindak Tutur Ilokusi Dalam Papan Peringatan Pada Sarana Publik di kota Melbourne. d. Bab IV yang menjelaskan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindak Tutur Ilokusi Dalam Papan Peringatan Pada Sarana Publik di kota Melbourne. e. Bab V yang merupakan Kesimpulan dari hasil penelitian Tindak Tutur Ilokusi Dalam Papan Peringatan Pada Sarana Publik di Melbourne.
i
http://www.antaranews.com/berita/408878/melbourne-bersiap-jadi-kota-terpadatdi-australia ii
http://www.invest.vic.gov.au/world-class-infrastructure