BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Media massa elektronik dan media massa cetak sepertinya masih mempunyai pelanggan setianya bagi masyarakat di Indonesia. Televisi yang merupakan salah satu media massa elektronik dirasa sudah sangat dekat dengan masyarakat. Keberadaanya kini sudah menjamah ke berbagai lapisan masyarakat, dari yang hanya memiliki satu buah televisi, kini satu keluarga dalam segala tingkatan sosial mungkin bahkan memiliki televisi dua atau lebih. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap televisi pun masih sangat tinggi keberadaannya. Menurut data Nielsen pada Mei 2014, televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). (Http://Www.Nielsen.Com/, diakses Pada Rabu, 29 Oktober 2014 Pukul 23.27 WIB). Menonton televisi pun kini bukan sekedar hanya menjadi aktivitas biasa, bahkan sepertinya sudah menjadi rutinitas sehari-hari masyarakat Indonesia. Saat-saat menonton televisi kemudian dikemas sebagai bagian koheren dari jadwal aktivitas sehari-hari, menjadi bagian dari agenda harian (Triwardani, 2011: 206). Program tayangan televisi memiliki audiens yang sangat beragam, sehingga para pekerja televisi pun berlomba-lomba untuk membuat dan
1
2
.menayangkan tayangan yang beragam pula. Efek yang ditimbulkan oleh terpaan televisi pun sangat besar dan beragam apalagi untuk usia anak-anak dan remaja, dari tindak kekerasan, pergaulan bebas, hingga kelonggaran nilai dan norma. Problem ini tentu mengkhawatirkan karena secara sadar televisi menjadikan anak- anak dan pelajar adalah salah satu sasaran pasar yang produktif untuk menyajikan program siaran melalui tontonan yang saat ini lebih besar kurang memperhatikan bagaimana cara membentuk sikap yang sarat dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Unsur bisnis dan menjadi lebih berkuasa ketimbang keprihatinan terhadap anak bangsa yang akan jadi korban. Pangsa pasar produk anak-anak memang sangat besar, sehingga merupakan potensi yang sangat menjanjikan bagi semua produsen barang atau jasa untuk menanamkan citra di benak anak-anak ini (Suryadi, 2013: 980). Empat fungsi yang dapat kita peroleh dari televisi, antara lain fungsi informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa televisi belum menerapkan empat fungsi tersebut secara proporsional, masing-masing fungsi masih memiliki tarafnya masing-masing. Fungsi yang semula diharapkan menjadi prioritas justru kurang mendapat perhatian. Sebaliknya fungsi yang kurang penting dan tidak mendapat prioritas nampak menonjol. Keadaan seperti ini terjadi pada media televisi yang lebih menonjolkan fungsi hiburan (Mursito BM, 2006: 19). Pertelevisian kita sedang dibanjiri dengan adanya tayangan hiburan dengan berbagai format pengemasannya. Reality show, acara musik, pencarian bakat, dan masih banyak yang lainnya, serta masing-masing stasiun televisi
3
memiliki format program yang berbeda. Menurut Nurudin (1997: 5), masyarakat kita masih masih terpola dengan budaya hiburan (menonton). Akibatnya, segala sesuatu yang berbau hiburan selalu disukai masyarakat. Hal ini pun disadari oleh pengelola televisi. Sebagai salah satu alat untuk memuaskan pemirsanya, televisi berlomba-lomba untuk menyajikan “barang hiburan” sebaik-baiknya dan sepuas-puasnya untuk dinikmati pemirsa. Salah satu program hiburan yang memiliki banyak penggemar adalah sinetron. Bahkan, sinetron semakin mendominasi hampir semua stasiun televisi di Indonesia. Banyak penggemar sinetron dari berbagai kalangan usia, anak-anak, remaja, maupun dewasa. Apalagi sinetron yang bertemakan remaja seringkali menjadi tayangan yang memiliki banyak audiens, karena ceritanya yang dianggap menceritakan seperti kehidupan para audiens dan pemainnya yang tampan serta cantik. Menurut riset audiens terhadap penonton sinetron remaja dalam artikel Jurnal Mimbar oleh Astuti (2010), remaja senang menonton sinetron, dan tidak ada batasan sinetron macam apa yang ditonton. Mereka senang menonton sinetron apa saja, termasuk sinetron dewasa dan anak-anak, asal seru (Astuti, 2010: 28). Menjamurnya paket sinetron di televisi, bukan hal luar biasa. Kehadiran sinetron merupakan satu bentuk aktualitas komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita, untuk mengangkat permasalahan hidup manusia sehari-hari (Kuswandi, 1996: 131). Dengan begitu sinetron banyak disukai oleh audiens televisi dan dapat dikatakan sebagai komoditas yang sangat menggiurkan bagi media televisi.
4
Disukainya program sinetron di Indonesia membuat para stasiun televisi berkejar-kejaran dalam menampilkan sinetron yang beragam alur ceritanya. Sampai-sampai ideologi yang harus dimiliki oleh stasiun televisi harus dikorbankan demi terciptanya rating yang tinggi dan pendapatan bagi keberlangsungan perusahaannya. Banyak cerita-cerita sinetron yang tidak logis dalam alur cerita maupun permasalahannya. Terjadinya pelecehan logika dalam cerita sinetron, disebabkan unsur kepentingan pengiklanan yang masuk, membiayai pembuatan paket sinetron tersebut (Kuswandi, 1996: 134). Selain itu, menurut Eka Nada Shofa dalam Anomi Media Massa, hampir semua sinetron-sinetron remaja yang ada sekarang mengekploitasi kekerasan, seksualitas dan kadang mengabaikan moralitas. Ini dapat disinyalir miskinnya kreativitas para pembuat sinetron menjadi penyebabnya. Terlepas dari alasan mereka mencari rating yang ujung-ujungnya, lagi-lagi kepentingan bisnis (Alkhajar, 2009: 19). Dalam potret sinetron remaja di televisi, variasi isi tayangan sinetron yang menonjol diantara isi yang lain yaitu adanya berbagai bentuk kekerasan yang disajikan secara vulgar (Atmodjo dkk, 2009: 22). Kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal (dengan katakata) terkandung dalam tayangan sinetron. Sinetron atau program sejenisnya merupakan elemen penting dalam keseluruhan politik intern sebuah perusahaan televisi. Ia adalah sebuah produk yang rentable, yang dapat membawa keuntungan besar. Pada saat yang sama ia diminati banyak orang serta mampu mengikat perhatian pemirsa
5
untuk waktu yang relatif lama (Batmomolin, Lukas dan Hermawan, 2003: 89). Para audiens sinetron di sisi lain yang dominan remaja, banyak yang menganggap bahwa cerita yang terdapat di sinetron merupakan realitas yang terdapat di kehidupan nyata. Cerita yang terjadi di sinetron dianggap memang ada di luar sana. Sementara itu, diketahui bahwa realitas yang ada dalam sinetron fiktif atau hanyalah diada-ada. Menurut Syahputra (2011: 30- 31) dominan masyarakat masih bertindak sebagai penikmat (viewer), bukan pengamat (watcher) tayangan televisi. Sebagai viewer, penonton bersifat pasif, bersikap menerima saja isi tayangan televisi tanpa perspektif kritis. Akibatnya masyarakat semakin sulit membedakan mana yang asli dan palsu dalam televisi. Bahkan, dapat saja masyarakat sudah tidak perduli lagi apakah tayangan televisi tersebut asli atau palsu, fakta atau dusta, ilusi atau fantasi. Mirisnya berkenaan dengan realitas, riset terhadap remaja mendapati bahwa pelajar yaitu SMP ternyata lebih meyakini bahwa sinetron lebih banyak menjalankan fungsi sebagai a mirror of reality—cermin kehidupan nyata (Astuti, 2010: 25). Padahal, cerita dalam sinetron belum tentu seperti dalam kehidupan yang nyata (riil) dan itu hanya realitas semu (hyperreality) dan remaja kita terjebak dalam situasi tersebut. Para remaja yang notabene berada dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya terkait pencarian jati diri mendapatkan tayangan kehidupan remaja dalam sinetron. Hyperreality menyebabkan remaja terperangkap dalam sesuatu yang tidak nyata (semu) dan
6
menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada dalam dunia remaja (Alkhajar, 2007: 20). Sinetron yang banyak dikagumi oleh para remaja salah satunya Ganteng Ganteng Serigala. Cerita dari sinetron yang ditayangkan sejak 21 April 2014 ini ini notabene banyak dianggap sebagai saduran dari cerita film Twilight yang sudah merambah Box Office Movie dunia. Cerita dari Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala ini pun semakin berkembang dengan menceritakan tentang kehidupan remaja mulai dari kegiatan persekolahan, perkuliahan, asmara, dan kehidupan-sehari-hari. Kisah dari sinetron GGS ini secara umum adalah perebutan bangsa vampir dan bangsa serigala dalam memburu darah suci yang terdapat pada diri salah satu manusia biasa. Maka, cerita dalam sinetron ini pastinya dibumbui oleh kisah-kisah konflik yang timbul akibat dari perburuan itu. Selain itu dari segi asmara atau kisah percintaan para tokohnya menjadi suatu tambahan cerita yang menjadi pelengkap . Sinetron Ganteng Ganteng Serigala ini ternyata menjadi polemik. Pada Bulan Mei 2014, KPI mengeluarkan siaran pers mengenai 10 sinetron & FTV bermasalah dan tidak layak ditonton karena pelanggaran terhadap UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). FTV dan sinetron yang bermasalah dan tidak layak tonton adalah sebagai berikut : Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda (RCTI), Sinetron Pashmina Aisha (RCTI), Sinetron ABG Jadi Manten (SCTV), Sinetron GantengGanteng Serigala (SCTV), Sinetron Diam-Diam Suka (SCTV), Sinema Indonesia (ANTV), Sinema Akhir Pekan (ANTV), Sinema
7
Pagi (Indosiar), Sinema Utama Keluarga (MNCTV), Bioskop Indonesia Premier (Trans TV) (http://www.kpi.go.id, diakses pada 1 September 2014, Pukul 21.00 WIB).
Selain menjadi salah satu sinetron yang bermasalah dan tidak layak tonton versi KPI, sinetron GGS ini juga telah mendapatkan sanksi administratif sebanyak 2 (dua) kali, yakni tertanggal pada 20 Mei 2014 dan 16 Juni 2014 lantaran adanya pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Selanjutnya, pada tayangan tanggal 16 Agustus 2014 masih ditemukan pelanggaran yang sama untuk kedua kalinya, maka dari itu pelanggaran yang timbul selanjutnya mengakibatkan sinetron ini harus dihentikan sementara oleh KPI selama 3 (tiga) hari berturut-turut yaitu mulai tanggal 21,22, dan 23 Oktober 2014 (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Senin, 1 September 2014 Pkl 21.00 WIB). KPI Pusat juga menilai bahwa inti cerita program sinetron GGS tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain itu tampilan yang muncul di sinetron ini tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja serta bertentangan dengan etika yang ada di lingkungan pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Senin, 1 September 2014 Pkl 21.00 WIB) Pasal 6 terkandung dalam bab IV SPS tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan dan ayat 2 huruf b berbunyi seperti berikut: (2) Program siaran dilarang merendahkan dan/atau
8
melecehkan, (b). Individu atau kelompok karena perbedaan suku, agama, ras, antargolongan, usia, budaya, dan/atau kehidupan sosial ekonomi. Sedangkan pasal 37 SPS (Standar Program Siaran) merupakan salah satu bab yang mengatur mengenai penggolongan program siaran yaitu klasifikasi R: Siaran untuk Remaja, yakni khalayak berusia 13 – 17 tahun;. Dimana isi dari pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS itu sendiri berbunyi, (1) Program siaran klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja. (2) Program siaran klasifikasi R berisikan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. (Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tahun 2012).
Gambar 1.1 Adegan Pelukan Siswa dan Siswi Berseragam (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )
Gambar 1.2 Adegan Perkelahian (Http://www.youtube.com. Diakses pada Hari Rabu, 19 November 2014, Pukul 13.19 WIB. )
Selain KPI, ternyata masyarakat juga menyayangkan dengan sinetron Ganteng-Ganteng Serigala ini. Indriyanti dari Jawa Barat, menuliskan keluhannya terhadap Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala di pojok aduan
9
website KPI seperti berikut, “Sinetron GGS tidak mendidik, terlebih banyak yang nonton anak-anak sekolah, terlalu banyak soal tentang cintanya dan adegan-adegannya tidak baik buat perkembangan psikologi mereka, apalagi ditayangkan di jam vital” (Http://www.kpi.go.id, diakses pada Pada Jumat, 5 September 2014 Pkl 21.45 Wib. Ada pula yang menyoroti adegan dimana saat pemeran sinetron GGS Sissy (diperankan oleh Prilly Latuconsina) putus dengan Digo (Aliando Syarief), Sissy terlalu vulgar tidak mau putus dengan Diego. “Saya fikir ini kan anak SMA, ini terlalu berlebihan. Dan adegan Sisi dan Diego episode yang lalu juga sangat vulgar. Ini sinetron yang banyak ditonton anak muda (SD-SMA). Dampaknya akan ditiru oleh mereka,” ungkap salah satu penulis pojok aduan di Website KPI yang tidak menyebutkan namanya. Dampak yang ditimbulkan dari menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala ini ternyata didapati terjadi pada anak- anak di Desa Cangkir Kecamatan Driyorejo, Gresik. Anak laki-laki memotong rambut agar terlihat seperti Digo dan Tristan sedangkan anak perempuan memanjangkan rambut agar terlihat seperti Prilly dan Nayla. Selain itu anak juga meminta kepada orangtua kaos, jaket kacamata, sepatu dan jam tangan seperti yang dipakai oleh idolanya. Memanggil orangtua dengan sebutan Papsky dan Mamsky. (Adwiyanti dan Listyaningsih, 2015: 694). Jika dilihat dari kasus yang terjadi di atas, kemampuan audiens televisi dalam menyaring apa yang ditontonnya sangat kurang. Penonton sangat mudah dalam menirukan dan menyerap pesan secara langsung dari apa yang
10
ditayangkan di televisi. Apalagi, ternyata penonton Sinetron GantengGanteng Serigala masih anak-anak maupun remaja. Mereka senantiasa masih belum dapat memilih dan memilah yang mana baik maupun buruk dari apa yang mereka lihat. Sehubungan dengan tayangan sinetron yang semakin merajalela dan berdampak besar bagi remaja, kemampuan literasi media atau melek media sangatlah penting dimiliki untuk menjembatani dampak langsung saat menonton tayangan televisi. Pemilihan sinetron dalam penelitian ini disebabkan karena makin beragamnya sinetron di Indonesia yang terdapat adegan memperlihatkan tindak asusila, kekerasan, dan tindak negatif lainnya, tetapi masih banyak disukai oleh audiens televisi. Literasi media menurut Devito (2008:40) dalam Arifianto (2013: 3) didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses dan memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk pemberdayaan (empowerment) agar konsumen bisa menggunakan media lebih cerdas, sehat dan aman. Literasi media bagi remaja dalam mengonsumsi isi media massa sangatlah penting untuk menjadi penonton remaja yang cerdas. Penelitian mengenai literasi media yang dimiliki remaja menarik untuk diteliti karena usia mereka yang masih rentan terpengaruh oleh terpaan media televisi sedangkan mereka merupakan salah satu khalayak televisi yang diharuskan mempunyai kemampuan untuk menentukan baik buruknya apa yang mereka tonton.
Secara
eksternal
literasi
media
membantu
orang
untuk
mengembangkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap konten media,
11
sehingga ia dapat mengendalikan pengaruh media dalam kehidupannya (Arifianto, 2013: 15). Menilik pada uraian di atas, selanjutnya peneliti menarik untuk meneliti remaja sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala. Pemilihan sinetron GGS dan remaja dalam penelitian ini, karena GGS merupakan sinetron bertemakan remaja sehingga target audiens pun remaja dan penggemar dari sinetron GGS ini mayoritasnya pun remaja. Peneliti ingin melihat sejauh manakah daya kritis remaja menempatkan dirinya sebagai penonton program televisi khususnya sinetron Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (GGS). Menilik dari pertanyaan tersebut, peneliti memilih judul Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Dalam Menonton Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar untuk judul penelitian ini.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka dikemukakan perumusan masalah yaitu, Bagaimana Literasi Media Dalam Menonton Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar?
C. Tujuan Penulisan Tujuan penelitian ini didasarkan pada rumusan masalah di atas yaitu, untuk mengetahui bagaimana Bagaimana Literasi Media Dalam Menonton
12
Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.
D. Manfaat Penulisan 1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi wahana memperluas pengetahuan mengenai Literasi Media. 2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai Literasi Media 3. Bagi pemerintah maupun LSM, dapat dijadikan sebagai referensi yang berkaitan dengan usaha peningkatan kegiatan pendidikan Literasi Media
E. Telaah Pustaka 1. Komunikasi Massa Susanto (1974) dalam Wiryanto (2004: 69) menjelaskan, komunikasi
massa
diadopsi
dari
istilah
bahasa
Inggris,
mass
communication, sebagai kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. De Fleur dan Dennis McQuail menerangkan bahwa komunikasi massa merupakan kegiatan komunikator menyebarkan pesan agar dapat
13
tersampaikan kepada komunikan atau khalayak. Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator- komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak-khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara (Defleur dan Dennis McQuail, 1985 dalam Riswandi: 2009:104). Josep A. Devito mengutarakan komunikasi massa yakni, “First, mass communication addressed to masses, to an extremely large science. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather it means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and/or visual transmitter. Mass communication is perhaps most easily and most logically defined by its forms: television, radio, newspaper, magazines, films, books, and tapes.” (Nurudin, 2007: 11-12)
Penjelasan yang dikemukakan oleh Devito di atas setidaknya sama dengan apa yang diutarakan oleh Widjaja (2008:19), komunikasi massa merupakan komunikasi yang ditujukan kepada massa atau komunikasi yang menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan orangorang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu. Komunikasi sangat efisien karena dapat menjangkau daerah yang luas dan pendengar yang praktis tak terbatas. Komunikasi
massa
tak
ubahnya
adalah
kegiatan
dalam
mengomunikasikan pesan kepada khalayak. Komunikasi massa pun memiliki fungsi, menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988) dalam Nurudin (2007: 64) menjelaskan, fungsi komunikasi massa antara
14
lain: (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), dan transmission of the culture (transmisi budaya). Sementara itu fungsi komunikasi massa menurut John Vivian dalam bukunya The Media of Mass Communication (1991) disebutkan; (1) providing information, (2) providing entertainment, (3) helping to persuade, dan (4) contributing to social cohesion (mendorong kohesi sosial). Konsep komunikasi massa tidak bisa terlepas dari penggunaan media massa. Untuk mencapai efektivitas yang tinggi dalam melaksanakan kegiatan yang menggunakan media massa, harus diketahui karakteristik dari komunikasi massa tersebut, sebagai berikut: 1) Bersifat simultan, ialah bahwa walaupun komunikan berada pada jarak satu sama lain terpisah, tetapi media massa mampu membina keserempakan kontak dengan
komunikan
dalam penyampaian
pesannya. Audience dapat mendapatkan pesan yang sama, dan dengan kontak dengan media massa secara bersamaan, walaupun berada di tempat yang berbeda dan dengan waktu yang berbeda. 2) Bersifat umum, ialah pesan yang disampaikan melalui media massa ditujukan kepada umum dan di samping itu juga mengenai kepentingan umum. Segala sesuatunya pesan yang bersifat umum adalah untuk semua orang dan terbuka. 3) Komunikannya heterogen, sebagai konsekuensi daripada penyebaran yang teramat luas (jangkauan audiencenya), maka komunikan dari
15
komunikasi massa terdiri dari berbagai macam, inilah menjadikan komunikannya heterogen. Komunikan heterogen adalah audience yang berada di tempat tinggal yang berbeda, budaya yang beragam, dan memiliki pekerjaan yang berbeda pula, bahkan juga berbeda kepentingan. 4) Berlangsung satu arah, ialah bahwa feedback yang terjadi adalah delayed feedback, berbeda dengan komunikasi tatap muka. Apabila komunikasi tatap muka pesan yang disampaikan oleh komunikator akan langsung diterima oleh komunikan dan mendapatkan feedback secara langsung (Widjaja, 2008:25)
2. Media Massa Masyarakat pasti mengetahui apa yang disebut sebagai media massa. Televisi, koran, dan radio merupakan media massa secara umum yang diketahui. Sedangkan media massa sendiri diartikan sebagai alat, instrument komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk merekam serta mengirim informasi dan pengalaman-pengalaman dengan cepat kepada khalayak yang luas, terpencar-pencar dan heterogen (Achmad, 1992: 10). Lebih luas lagi, Rowland Lorimer dan Paddy mendefinisikan media massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Media massa sebagai alat komunikasi massa, digambarkan oleh Lorimer dan Paddy Scannel dengan elemen-elemen seperti dikemukakan oleh McQuail sebagai berikut: (1) Media massa merupakan aktifitas komunikasi massa
16
yang berorientasi berdasarkan isi media; (2) Media massa menggunakan konfigurasi teknologi (televisi, radio, videoteks, majalah dan buku); (3) Sistem media massa, apakah formal atau non-formal (menyangkut sistem media, kantor pusat, sistem publikasi dan sebagainya); (4) Dioperasikan berdasarkan ketentuan hukum dan kesepakatan antara para professional dan praktisi, khalayak dan kecenderungan sosial masyarakat; (5) Diterbitkan oleh kelompok yang terdiri atas: Pemilik modal, redaktur, distributor, periklanan dan pelanggan; (6) Menyampaikan informasi, hiburan, pikiran-pikiran dan simbol-simbol; (7) Ditujukan kepada audience yang banyak (Rowland, 1994: 25). Jika Rowland Lorimer dan Paddy Scannel mendefinisikan media massa dikaitkan dengan fungsi dan peran media. Dennis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, menyebutkan peran media massa secara umum yaitu: 1. Jendela
pengalaman
yang
meluaskan
pandangan
kita
dan
memungkinkan kita mampu memahami apa yamg terjadi di sekitar diri kita, tanpa campur tangan pihak lain atau memihak. 2. Juru bicara yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa atau hal terpisah dan kurang jelas. 3. Pembawa atau pengantar informasi dan pendapat. 4. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima melalui berbagai macam umpan balik.
17
5. Papan penunjuk jalan yang secara aktif menunjukan arah, memberikan bimbingan atau instruksi. 6. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi perhatian khusus dan menyisihkan aspek pengalaman lainnya, baik secara sadar dan sistematis maupun tidak. 7. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri, biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan (distorsi) karena adanya penonjolan terhadap segi yang dilihat oleh para anggota masyarakat, atau seringkali pula segi yang ingin mereka hakimi atau cela. 8. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi mencapai tujuan propaganda
atau
pelarian
dari
suatu
kenyataan
(escapism).
(McQuail,1996: 53). Media massa dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak memiliki karakteristik tersendiri.
Karakteristik media massa menurut
Cangara (2005) antara lain: 1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,pengelolaan sampai pada penyajian informasi. 2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau pun terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
18
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya. 5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2005:122) Jika karakteristik media massa menurut Cangara di atas salah satunya memakai peralatan teknis atau mekanis, sedangkan menurut Kuswandi itu merupakan bagian dari media massa yang terbagi, yaitu: 1. Media massa elektronik (televisi dan radio); 2. Media massa cetak (koran, majalah dan sejenisnya). Masing-masing media massa mempunyai kekuatan masing-masing. Tetapi pada prinsipnya media massa merupakan satu
institusi
yang
melembaga
dan
berfungsi
bertujuan
untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak agar well informed (tahu informasi). (Kuswandi, 1996: 98).
3. Televisi Istilah televisi terdiri dari perkataan “tele” yang berarti jauh dan “visi” (vision) yang berarti penglihatan. (Effendy, 1993: 22). Sedangkan dalam Baksin (2006: 16) didefinisikan bahwa: “Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam
19
bentuk audiovisual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan yang sangat tinggi untuk mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu”. Menurut Skornis dalam Kuswandi (1996: 8), dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat politis, informative, hiburan dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Namun fungsi hiburan merupakan fungsi yang lebih dominan, karena pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televisi untuk memeperoleh hiburan, dan selanjutnya untuk memperoleh informasi (Ardianto dan Erdinaya 2004: 128). Jenis televisi yang dimaksud adalah televisi siaran (television broadcast) yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan karakteristik yang dimiliki komunikasi massa. (Effendy, 1993: 21) Menurut Robert K. Avery dan Sanford B. Wienberg dalam Kuswandi (1996: 53), posisi dan peranan televisi di masyarakat terbagi dalam tiga fungsi yaitu: 1. The surveillance of the environment, yang berarti bahwa media televisi berperan sebagai pengamat lingkungan.
20
2. The correlation of part of society in responding to the environment, yaitu media televisi mengadakan korelasi antar informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran karena komunikator lebih menekankan pada seleksi, mengevaluasi dan interpretasi. 3. The transmission of the social heritage from one generation to the next, yaitu media TV berperan menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Siaran Televisi di Indonesia Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962, bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan pesta olahraga se-Asia IV atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi Republik Indoesia yang disingkat TVRI dipergunakan sebagai panggilan stasiun (station call) sampai sekarang.Selama tahun 1962-1963 TVRI berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya. (Ardianto & Lukiati, 2004:127) Di Indonesia sendiri, dunia pertelevisian berkembang pesat, terbukti dengan bermuncullannya televisi swasta dibarengi dengan deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24 Agustus 1990. (Kuswandi, 1996: 35). TVRI yang berada di bawah Departemen Penerangan, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir seluruh rakyat Indonesia. Sejak tahun 1989 TVRI mendapat saingan dari
21
stasiun TV lainnya, yakni (RCTI) Rajawali Citra Televisi Indonesia yang bersifat komersial. Kemudian secara berturut-turut berdiri stasiun televisi (SCTV) Surya Citra Televisi Indonesia, (TPI) Televisi Pendidikan Indonesia dan (ANTEVE) Andalas Televisi. (Ardianto & Lukiati, 2004 : 127). Pengaruh siaran televisi terhadap sistem komunikasi tidak pernah terlepas dari pengaruh aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pengaruh psikologis dari televisi itu sendiri, di mana televisi seakan-akan menghipnotis penonton, sehingga mereka terhanyut dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikan oleh televisi. (Effendy, 2002: 122)
4. Sinetron di Indonesia Siapa yang tidak kenal dengan sinetron. Masyarakat Indonesia pun pasti sangat mengenal sekali dengan sinetron. Televisi swasta yang ada di Indonesia saling berlomba dalam menampilkan program hiburan. Salah satunya adalah sinetron yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.. Menurut Veven Sp. Wardhana, sinetron merupakan penggabungan dari kata “sinema” dan “elektronik”. Namun, elektronika disini tidak mengacu pada pita kaset yang proses perekamannya tetap berdasarkan kaidah-kaidah elektronis itu. Elektronis dalam sinetron mengacu pada medium penyiarannya, yaitu televisi, atau televisual, yang memang merupakan medium elektronik. (Wardhana, 1994: 27).
22
Sedangkan menurut Eduard Depari dalam Kuswandi (1996: 131), sinetron adalah sinema elektronik yang berisikan alur cerita bersambung, cerita pendek dan memiliki pesan yang menggambarkan kehidupan sosial yang menyangkut aspek hubungan dan pergaulan sosial Sinetron dalam perkembangannya terdapat suatu kategori yang bisa membedakannya. Adapun macam-macam kategori suatu sinetron adalah: 1. Sinetron Lepas Sinetron lepas merupakan sinetron yang langsung selesai saat penayangan itu juga. Sinetron ini berisi satu episode saja. Sehingga cerita yang disajikan akan berakhir saat jam tayang selesai. Karena jam tayang yang pendek, sinetron jenis ini biasanya mengangkat tema-tema yang ringan agar pesan yang disampaikan tertangkap oleh pemirsa yang melihat. Pada sekarang ini, banyak paket jenis ini yang diterima oleh televisi karena memang ceritanya tidak bertele-tele. 2. Sinetron Seri Sinetron seri merupakan yang jumlah episodenya banyak. Kendati jumlah episodenya banyak, masing-masing episode tersebut tidak berkaitan dengan episode selanjutnya. Karena cerita yang disuguhkan akan selesai pada waktu itu juga, kecuali karakter tokoh-tokoh yang akan tetap seperti awal tayang. Karenanya menonton sinetron seri tidak harus berurutan. Sinetron seri ini bisa berjenis drama atau komedi.
23
3. Sinetron Serial Sinetron
serial
merupakan
sinetron
yang
masing-masing
episodenya bersambung. Jadi cerita yang disajikan adalah sinetron serial ini belum selesai pada hari itu juga, akan tetapi ada kelanjutannya pada hari selanjutnya. Cerita yang diambil dalam sinetron jenis ini biasanya bercerita tentang kekomplekan masalah hidup. Pada perkembangannya sekarang, banyak sinetron serial yang mengambil ide cerita pada cerita bersambung dari buku atau koran. Akan tetapi ada juga yang berasal dari ide murni seorang pembuat sinetron. Sekarang kalau dilihat dari asal usul jenis serial ini dapat ditaksir bahwa masing-masing episode dalam sinetron ini bersambung dan bersebab akibat. Karena itu untuk sinetron serial ada kemungkinan untuk dipanjang-panjangkan atau sekuel dari sinetron pertamanya. Meskipun episodenya banyak, akan tetapi sinetron serial ini bisa diketahui kapan episode keseluruhan berakhir. 4. Sinetron Mini seri Sinetron Mini seri adalah sinetron yang jumlah episodenya biasanya dibawah sepuluh episode. Sinetron berjenis mini seri, tidak akan dilanjutkan lagi jumlah episodenya. Lantaran sebagai miniseri dia adalah sebuah karya yang utuh dan selesai. Miniseri bukanlah sinetron yang panjang yang penyiarannya dipisahpisahkan dan dipilah-pilah karena jatah tayang yang sedikit. Apabila terjadi pemanjangan episode karena banyak peminatnya, mini seri tidak berubah, dia tetaplah mini seri. Sementara episode selanjutnya disebut sebagai Pseudo-mini seri.
24
5. Sinetron Maksi seri Sinetron Maksi seri merupakan sinetron yang jumlah episodenya dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Sinetron maksi seri berasal dari sinetron seri atau serial yang dipanjangkan karena banyaknya peminat atau rating yang tinggi. (Wardhana, 1994: 294-296). Beragam tema sinetron disuguhkan oleh stasiun televisi demi kepuasan dan kesenangan para penonton. Walaupun sebenarnya tujuan utama adalah keuntungan yang didapat dari rating semata. Lalu, mengapa sinteron begitu banyak ditonton pemirsa?
Ada beberapa faktor yang
membuat paket acara yang satu ini disukai pemirsa yaitu: 1. Isi pesannya sesuai dengan realitas sosial pemirsa 2. Isi pesannya mengandung cermin tradisi luhur budaya masyarakat (pemirsa) 3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Kuswandi, 1996: 130). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sinetron memang produk televisi yang memiliki pendapatan paling banyak karena didukung adanya penggemar sinetron yang merajalela. Kedekatan cerita dengan penonton sangat beriringan dan dianggap sebagai cerminan dari kehidupan penontonnya.
25
5. Dampak Menonton Televisi Tak ada satu pun dari kita yang mau mengakui bahwa televisi benar-benar memengaruhi kita. Televisi terkesan sebagai medium dangkal dengan cerita-cerita yang terlalu sederhana. Namun, televisi adalah media massa yang paling kuat dan paling berpengaruh. Mengabaikan televisi tidak akan membuat pengaruhnya sirna seketika. Mengabaikan akan menjurus pada ketidakpedulian, dan ketidakpedulian itu selalu berbahaya. (Bajari & Saragih, 2011:487) Menurut Prof. Dr. R. Ma’rat dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, acara televisi pada umumnya memang mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan para penonton; ini adalah hal yang wajar. Jadi, bila ada hal-hal yang mengakibatkan penonton terharu, terpesona atau latah, bukanlah sesuatu yang istimewa. Alasannya, salah satu pengaruh psikologis dari televisi ialah seakan-menghipnotis penonton, sehingga mereka seolah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau peristiwa yang dihidangkan televisi (Effendy, 2004: 122). Berbagai macam dampak yang ditimbulkan dari menonton televisi sangat beragam, positif maupun negatif. Tidak hanya berpengaruh kepada pola hidup, televisi juga berpengaruh terhadap perilaku pemirsanya. Menurut Kuswandi Wawan (1996: 100), di dalam bukunya Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi mengatakan ada tiga dampak yang ditimbulkan dari menonton televisi yaitu: a. Dampak kognitif yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan
26
televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Sebagai contoh adanya program acara talk show tentang penyakit diabetes. b. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisi. Misalnya saja gaya berpakaian, gaya rambut, bahkan gaya hidup dari apa yang ditampilkan di televisi. c. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Perilaku yang dilakukan oleh aktor atau aktris di televisi bisa saja menjadi sebuah panutan bagi para penonton yang mengidolakannya.
6. Remaja Pada tahun 1974, WHO (World Health Organization) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria tentang perkembangan remaja, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa ketika: 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual; 2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (Muangman, 1980: 9 dalam Sarwono, 2008: 10)
27
Sekiranya usia remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih termasuk golongan kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan Tinggi (Monks, A.M.P Knoers, dan Rahayu, 1999: 259) Monks & dkk,
juga menambahkan batasan usia masa remaja
adalah masa di antara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. (Monks, dkk, 1999: 288). Sedangkan WHO membagi kurun usia dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun sebagai usia pemuda (youth). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. (Sarwono, 2008: 10) Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa beragam mulai dari fisik maupun psikis. Dadang Sulaeman dalam bukunya Psikologi Remaja Dimensi-dimensi Perkembangan menerangkan, masa remaja awal ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Pertumbuhan physic berjalan secara cepat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, terutama pertumbuhan tinggi dan berat badan serta perubahan-perubahan secara umum dalam proporsi dari berbagai bagian tubuh.
28
2. Pada periode ini para remaja mulai mengadakan penyesuaian sosial. Mereka senang hidup berkelompok. Kesadaran kelamin bertambah besar. Mulai timbul minta terhadap jenis kelamin, sehingga memudahkan melakukan kegiatan-kegiatan sosial secara kooperatif. 3. Mereka mulai mempertimbangkan nilai-nilai. Kepalsuan serta kebohongan akan cepat diketahui mereka. 4. Di sekolah mereka banyak melakukan penyelidikan dalam dunia musik, kesenian, kerajinan tangan, seni drama dan lain-lain. Pada usia ini semakin berkembanglah kemampuan untuk belajar, memahami hubungan-hubungan, mempelajari hal-hal yang lebih kompleks, mampu untuk mengadakan generalisasi, mampu untuk memikirkan hal-hal yang abstrak, minatnya terhadap diri sendiri dan orang lain lebih besar. Mereka bersifat kritis, baik terhadap dirinya maupun orang lain. (Sulaeman & Hamalik 1995: 3-4)
7.
Literasi Media (Media Literacy) ‘Literasi media’ (sebagai terjemahan dari media literacy) adalah istilah yang makin populer di Indonesia untuk menyebut berbagai aktivitas yang terkait dengan sikap kritis terhadap media, sekali pun bila diteliti lebih dalam maka akan ditemukan ragam pemaknaan yang sangat bervariasi (http://indonesia-medialiteracy.net/. Diakses pada 10 Februari 2015, Pkl 20.44 WIB).
Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi
mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21
29
Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret 2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut seperti disampaikan Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), bahwa media literasi mencakup: 1. Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru seperti
internet
agar
bisa
memiliki
akses
dan
mengkomunikasikan informasi secara efektif. 2. Literasi
informasi;
kemampuan
mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi. 3. Kreativitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu
di
manapun
berada
untuk
membuat
dan
mendistribusikan isi kepada khalayak berapapun ukuran khalayak. 4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara on-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak. (White Paper: 21st Century Literacy
In
A
Convergent
Media
World,
http://www.ictliteracy.info/, diakses pada Rabu, 16 Desember 2015, 18.10 WIB).
30
Berbagai macam definisi mengenai literasi media dari berbagai sumber, Potter (2010: 675–696) tuangkan diantaranya, a. Silverblatt dan Eliceiri (1997) dalam Dictionary of Media Literacy mendefinisikan literasi media sebagai keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak media untuk menguraikan informasi yang mereka terima melalui saluran komunikasi massa dan memberdayakan mereka untuk mengembangkan penilaian independen tentang konten media (hal. 48). b. Alliance for a Media Literate America: membangun pertanyaan kritis dan belajar tentang media disbanding dengan hanya menyalahkan media (www.amlainfo.org). c. National kemampuan
untuk
Leadership mengakses,
Conference
on
menganalisis,
Media
Literacy:
mengevaluasi,
dan
mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk (Aufderheide, 1993). Menurut beberapa definisi dari berbagai sumber di atas dapat disimpulkan bahwa literasi media sama seperti yang diungkapkan oleh Devito (2008:4) dalam Rahardjo (2012: 6) yang memberikan batasan literasi media sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memproduksi pesan-pesan komunikasi massa (televisi, fiim, musik, radio, billboards, periklanan, public relations, surat kabar dan majalah, buku, websites dan blogs, newsgroup dan chatrooms).
31
Literasi Media Televisi Bertolak
dari
kecemasan
akan
dampak
media
sekaligus
pengharapan publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak terhindarkannya “serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan masyarakat, perlu kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan direalisasikan secepatnya di Indonesia. Luis V. Teodoro dalam Rahayu (2004: 177), seorang professor bidang jurnalistik dari University of the Philippines, mengingatkan: “The power of the media and their omnipresence require a public that can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public must be media literate if it is not to be manipulated by the various interest, biases and failings that drive the media even in –some argue specially in- regimes of media freedom.” Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan kunci penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke waktu semakin dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat beragam. Perisai pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan pengetahuan tentang media melalui media literacy. Penelitian ini akan menggunakan model konsep literasi media dari National Leadership Conference on Media Education yang menyatakan bahwa literasi media yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya (Hobbs, 1999 dalam Judhita, 2013: 52). Kategori akses menilai
32
pemahaman dasar dan serta kemampuan mengakses yang dilakuan remaja terhadap media dan pesan media. Kategori analisa adalah remaja dapat menilai pemahamannya terhadap tujuan pesan media dan apakah remaja dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan tersebut. Kategori evaluasi adalah bagaimana individu mampu menilai pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri. Dengan demikian, kategori ini akan mencakup penilaian subjektif seorang individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan. Sedangkan untuk kategori komunikasi bagaimana kemampuan individu/ remaja untuk mengkomunikasikan pesan yang diterima dari media dalam bentuk apa saja baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
33
Tabel 1.1. Model Konsep Literasi Media Kategori Literasi Menurut National No. Leadership Conference on Media Education Mengakses 1.
2.
Menganalisa
Pemahaman dan pengetahuan menggunakan dan Mengakses Media dan mampu memahami isi pesan Mampu memahami tujuan pesan media dan dapat mengidentifikasi pengirim pesan melalui media dan apa isi pesan tersebut.
Indikator • Media yang digunakan • Frekuensi penggunaan • Tujuan penggunaan • Mengerti isi pesan • Kemampuan mengingat pesan yang diterima melalui media. • Mampu menjelaskan maksud dari pesan. • Mampu mengidentifikasi pengirim pesan. • Mampu menilai pesan media yang dapat menarik perhatian • Sikap, perasaan atau reaksi yang dirasakan setelah menerima pesan dari media. • Mengungkapkan informasi apa saja yang menyarankan atau memberikan informasi yang berguna bagi pengguna
Mampu menilai pesan yang diterima kemudian dibandingkan dengan perspektif sendiri. Hal ini mencakup penilaian subjektif seorang individu atau reaksi sikap terhadap pesan serta implikasi lain dari pesan Mengkomunikasikan Mampu 4. • Pesan yang diterima mengkomunikasikan dikomunikasikan dalam pesan yang diterima bentuk apa dari media dalam bentuk apa saja kepada orang lain Sumber : National Leadership Conference on Media Education (Hobbs,1999) 3.
Mengevaluasi
Keterangan
dikutip dari Juditha (2013: 52).
34
8. Teori Kultivasi Cultivation analysis pertama kali diperkenalkan oleh George Gerbner pada 1968. Menurutnya ada dua tipe penonton TV, yaitu “Heavyviewers” (orang yang menghabiskan waktu cukup banyak untuk menonton TV) dan “Light-viewers” (orang yang menghabiskan sedikit waktu untuk menonton TV). Khalayak yang termasuk “Heavy-viewers” (penonton berat) menurut Gerbner akan memandang dunia nyata ini sama dengan gambaran yang ada di TV. Semakin sering dia menonton acara kekerasan di TV, maka dia akan menganggap bahwa dunia ini penuh dengan kekerasan. (Kriyantono, 2010: 285) Teori
kultivasi
didasari
pada penggunaan
media televisi,
penggunaan media dalam efek kultivasi yaitu dari penggunaan media dari jumlah waktu dalam menggunakan media, dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan (Rakhmat, 1989:89) Menurut West & Turner, terdapat tiga asumsi dasar dalam teori kultivasi untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantai oleh TV menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. (Morrisan, 2010: 107). Asumsi teori kultivasi menurut West & Turner,yaitu: a. Asumsi yang pertama, TV adalah media yang sangat berbeda. Asumsi ini menekankan pada keunikan atau mungkin kekuatan dari televisi dibanding media lain. Televisi tidak membutuhkan kemampuan untuk membaca, sebagaimana dengan media cetak, untuk bisa mengonsumsi TV tidak seperti bioskop, tayangan TV umumnya dapat dinikmati tanpa perlu membayar.
35
Tidak seperti radio, TV menggabungkan suara dan gambar. Tidak diperlukan mobilitas, sebagaimana pergi ke tempat bioskop atau teater. b. Asumsi yang kedua adalah TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi. Analisis kultivasi tidak menyatakan mengenai apa yang akan lakukan sesorang berdasarkan menonton televisi yang penuh dengan kekerasan, melainkan teori ini mengasumsikan bahwa menonton televisi yang penuh dengan kekerasan akan membuat kita merasa takut karena televisi menanamkan di dalam diri kita gambaran dunia yang kejam dan berbahaya. c. Asumsi ketiga menyatakan bahwa pengaruh televisi bersifat terbatas. Teori kultivasi tidak memandang TV sebagai media yang memiliki kekuatan besar (powerful), justru sebaliknya gagasan ini memiliki paradigma yang memandang TV sebagai media dengan pengaruh terbatas terhadap individu dan budaya. Hal ini mungkin terdengar aneh, mengingat akses dan ketersediaan TV di masyarakat yang begitu luas, namun berdasarkan observasi yang terukur dan independen menunjukkan bahwa kontribusi TV kepada budaya pada dasarnya memang relatif kecil. Gerbner menggunakan analogi zaman es untuk membedakan analisis kultivasi di satu pihak dan gagasan efek media terbatas. Analogi zaman es (ice age analogi) menyatakan bahwa, perubahan temperatur rata-rata sebanyak beberapa derajat celcius lebih rendah dapat membuat bumi kembali ke zaman es. Analogi penghitungan hasil pemilu juga dapat digunakan dalam hal ini karena pemenangnya dapat ditentukan dengan melihat sejak awal melalui perbedaan tipis margin suara, begitu pula pengaruh TV yang walaupun kecil, tetapi luas dan terus-menerus mampu membuat perbedaan penting pada masyarakat. (Morrisan, 2010: 107). Secara ringkas Gerbner dalam Kriyantono (2010) memberikan proposisi-proposisi tentang Teori Kultivasi sebagai berikut: •
Televisi merupakan suatu media yang unik yang memerlukan pendekatan khusus untuk diteliti.
•
Pesan-pesan televisi membentuk sebuah sistem yang koheren, mainstream dari budaya kita.
36
•
Sistem-sistem isi pesan tersebut memberikan tanda-tanda untuk kultivasi.
•
Analisis kultivasi memfokuskan pada sumbangan televisi terhadap waktu untuk berpikir dan bertindak dari golongangolongan sosial yang besar dan heterogen.
•
Teknologi
baru
(seperti
VCR)
memperluas
daripada
mengelakkan jangkauan pesan televisi. •
Analisis kultivasi memfokuskan pada penstabilan yang meluas dan penyamaan akibat –akibat.
Pada intinya menurut teori kultivasi, televisi mampu menciptakan “sindrom dunia makna”, artinya bagaimana sesorang memaknai dunia dipengaruhi oleh pemaknaan televisi. (Kriyantono, 2010: 286)
Penelitian Terdahulu Liliek Budiastuti Wiratmo dan Samudi (2009) melakukan penelitian mengenai literasi media pada perempuan. Informan terdiri dari beberapa orang perempuan Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan di Kota Semarang dari berbagai kalangan. Temuan penelitian di lapangan memperkuat dugaan masih rendahnya tingkat literasi media perempuan yang selama ini mengkhawatirkan. Televisi menjadi pilihan utama informan ketika ditanya tentang media apa yang paling banyak diakses. Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa perempuan lebih menyukai infotainment dan sinetron kian tak terbantahkan. Apa yang ada dalam
37
sinetron tersebut mereka serap dan gunakan dalam hubungan sosial. Misalnya Seperti istilah “demek” digunakan anak-anak yang lebih tua untuk memanggil adik bungsunya yang gemuk. Pemahaman mengenai cara kerja dan produksi media masih kurang bahkan tidak tahu. Informan mengatakan bahwa hal itu tidak penting yang terpenting bagi mereka adalah mendapat hiburan yang dapat membuatnya rileks. Tak kalah menarik untuk disimak adalah mencermati kemampuan perempuan dalam mengakses media secara kritis. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan perempuan yang menjadi tokoh di wilayahnya atau memiliki pendidikan yang memadai mempunyai sikap kritis dalam mengakses media. Kondisi sebaliknya muncul di kalangan ibu rumah tangga yang merasa kesulitan mengendalikan ketergantungan anak-anak pada televisi. Namun, ada kecenderungan orang tua merasa aman kalau anak-anak menonton kartun atau sinetron anak-anak (karena tokoh utamanya anak-anak). Siti Masitoh (2013) dalam penelitian tesisnya mengenai melek media khalayak mengambil tayangan talkshow televisi yaitu Indonesia Lawyers Club di TVOne sebagai subjek dalam penelitiannya. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dan bertujuan untuk mengkaji media literacy khalayak menonton tayangan talk show Indonesia Lawyers club di televisi dalam hal untuk memahami “apakah tayangan tersebut dapat memberikan pembelajaran hukum bagi pemirsanya.” Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah 4 informan yang mempunyai latar belakang hukum dan 1 mahasiswa jurusan sistem informatika, dan sering menonton
38
tayangan Indonesia Lawyers Club. Pengumpulan data mengenai media literacy dilihat dari empat kemampuan berdasarkan James W. Potter, yaitu analisis, evaluasi, grouping, dan abstraksi. Didapatkan data bahwa hampir semua informan memiliki kemampuan itu semua terhadap tayangan talkshow Indonesia Lawyers Club baik informan yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum maupun bukan. Akan tetapi, yang menjadi benang merah dalam penelitian ini adalah bahwa kemampuan media literacy yang baik tidak mengubah perilaku menonton informan dalam penelitian ini. Walaupun sebenarnya mereka memahami bahwa acara ini banyak mengundang kontroversi dan ditemukan sikap-sikap yang tidak baik menurut norma dan etika dari para pengacara, namun sampai penelitian ini dilakukan mereka masih menonton tayangan talkshow Indonesia Lawyers Club dengan berbagai alasan. Jika merujuk pada tujuan dari media literacy adalah sebagai senjata pengontrol untuk dapat menyeleksi tayangan televisi dan yang tidak baik, maka dalam penelitian ini hal itu tidak terlihat. Sabri Sidekli (2013) dengan artikel jurnal yang berjudul Media Literacy: Experiences Of 6th 7th And 8th Graders
meneliti sikap dan
kebiasaan, siswa kelas 6, 7, dan 8 terhadap media, dan tingkat literasi media mereka menurut jenis kelamin, status pekerjaan ibu, dan tingkat pendidikan orang tua. Penelitian media literacy ini mencakup pola siswa dari menonton TV, membaca koran dan penggunaan internet. Dari analisis hasil, telah diidentifikasi bahwa siswa menunjukkan sikap positif dengan
39
tingkat 86,6 % terhadap televisi , 77,2 % untuk internet dan 74,2 % untuk surat kabar. Sikap siswa terhadap media telah dibandingkan sesuai dengan tingkat pendidikan orang tua, status pekerjaan ibu dan jenis kelamin. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa ada perbedaan yang berarti antara tingkat literasi media pada siswa menurut jenis kelamin. Terlihat bahwa tingkat melek media siswa perempuan lebih tinggi dari siswa lakilaki. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin rendah kebiasaan media siswa terhadap televisi dan internet. Kebiasaan siswa membaca koran paralel dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin tinggi kebiasaan membaca surat kabar siswa. Di sisi lain bahwa status pekerjaan ibu mempengaruhi tingkat media literacy dari siswa. Perbedaan yang berarti telah diidentifikasi antara tingkat melek media siswa menurut tingkat pendidikan ibu. Tingkat media literasi siswa yang ibunya adalah lulusan berpendidikan tinggi, lebih bermakna dari tingkat melek media siswa yang ibunya adalah lulusan SD. Akan tetapi, ketika tingkat melek media telah dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu, telah diamati bahwa tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula tingkat melek media siswa. Erica Scharrer (2009), dalam penelitiannya melibatkan 89 siswa kelas enam dari lima kelas yang berbeda di tiga kota dalam radius 20 mil dari satu sama lain , meliputi kota pedesaan, kota perguruan, dan kota pasca-industri kecil di New England Amerika. Penelitian tersebut meneliti efek dari program bersama antara literasi media dan resolusi konflik
40
dengan merancang sebuah program kurikulum. Literasi media dan program revolusi konflik yang dilaksanakan dirancang untuk mendorong pemikiran kritis, memfasilitasi literasi media, dan mendorong penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Kurikulum dirancang dimulai dengan pengenalan materi dilanjutkan dengan diskusi terbuka dan diterapkan kegiatan kepada siswa . Guru memperkenalkan pelajaran yang terdiri dari ringkasan dari tema utama yaitu efek media dan penelitian komunikasi interpersonal terkait kekerasan dan konflik. Kegiatan pelajaran yang terdiri dari diskusi oleh siswa, kegiatan interaktif, latihan bermain peran, dan proyek produksi media. Dalam artikel jurnal penelitian yang berjudul Measuring the Effects of a Media Literacy Program on Conflict and Violence ini, pengumpulan data terjadi dalam bentuk kuesioner pra-unit dikelola oleh peneliti sebelum kurikulum dimulai dan kuesioner pasca-unit yang dikelola oleh guru kelas sekitar satu minggu setelah kurikulum telah berakhir. Hasil yang muncul dalam dua dari tiga skenario yang dibuat (mengungkap rahasia, mengejek kamu, kamu tersandung dan tertawa), ada bukti perubahan dari respon yang lebih agresif (menggunakan ancaman fisik atau tindakan atau, lebih moderat, strategi tidak langsung atau secara lisan agresif), menuju mediasi non-agresif konflik. Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan konflik yang mungkin realistis dalam kehidupan anak usia 12 tahun, ada beberapa indikasi bahwa berpartisipasi dalam kurikulum dikaitkan dengan memilih cara non-agresif untuk mengatasi situasi. Anak-anak melihat paparan media kekerasan berpotensi untuk dua alasan, yang bisa menginspirasi
41
mereka untuk berpikir lebih kritis tentang kekerasan di media yang mereka konsumsi dan akhirnya mencegah respon negatif dari mereka sendiri.
F. Kerangka Pemikiran Sinetron merupakan salah satu program televisi yang seringkali memiliki banyak penggemar dan penonton. Penayangan sinetron yang setiap hari atau striiping bahkan bisa dibilang akan didapati perbedaan perlakuan menonton dari program lainnya. Kegiatan menonton sinetron setiap hari terkait dengan teori kultivasi bahwa
akan membentuk cara berpikir dan
berinteraksi . Cara berpikir dan berinteraksi inilah bisa kita lihat dalam literasi media. Dimana literasi media mencakup kegiatan mengakses, kemampuan dalam menganalisis, kemampuan dalam mengevaluasi, dan kemampuan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk.
Kegiatan Menonton Sinetron Penonton Heavy Viewer 1. Kegiatan Mengakses 2. Kemampuan dalam Menganalisis 3. Kemampuan dalam Mengevaluasi Literasi Media
4. Kemampuan Mengkomunikasikan Pesan Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran
42
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalamdalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data. (Kriyantono, 2010: 56-57). Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005: 54). Menurut Lexy Moleong, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian ini akan berisi kutipankutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. (Moleong, 1996: 6)
43
2. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang langsung diperoleh secara langsung dari informan melalui wawancara. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan objek penelitian yaitu Siswa-siswi SMA Negeri Colomadu, Kabupaten Karanganyar khususnya yang merupakan penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan tipe heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan informan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh untuk melengkapi data primer yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari data internet, buku, dan sumber cetak lainnya.
3. Lokasi Penelitian SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara atau interview merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan
44
manusia sebagai subyek (pelaku, actor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. (Pawito, 2007: 132) Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah manusia dalam kapasitas sebagai responden atau informan penelitian. Untuk mendapatkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik yang disebut wawancara. Wawancara dibedakan menjadi dua, yaitu wawancara tak tersturktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam (indepth interview), wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka dan wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur sering disebut wawancara baku (standardized interview), yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya dan biasanya tertulis disertai pilihan jawaban yang sudah disediakan (Mulyana, 2006: 180). Penelitian ini menggunakan wawancara dengan menggunakan interview guide sebagai alat bantu melakukan wawancara. b. Dokumentasi Yaitu mengumpulkan gambar yang diperoleh dari screenshoot adegan- adegan yang ada di tayangan
Sinetron Ganteng-Ganteng
Serigala. Gambar- gambar screenshot diperoleh dari video yang diakses dan diperoleh dari situs Youtube.com. c. Studi Pustaka Data sekunder dari studi kepustakaan yaitu pengumpuan data yang bersumber dari buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan berbagai
45
dokumen yang mendukung dan berhubungan dengan kajian dari penelitian ini.
5. Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive yaitu dengan
kecenderungan
peneliti
untuk
memilih
informasi
dan
masalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (Sutopo, 2002: 56). Dalam
penelitian ini yang menjadi informan atau narasumber
adalah siswa-siswi SMA Negeri Colomadu Karanganyar yang khususnya sebagai penonton Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV dengan tipe heavy viewer. Heavy viewer yaitu dimana informan yang melakukan kegiatan menonton Sinetron Ganteng- Ganteng Serigala setiap hari dan terdapat 6 informan yang termasuk tipe tersebut di penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya memberikan makna terhadap data, mengintepretasikan, dan mengubahnya ke dalam bentuk narasi yang temuannya mengarah pada proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan final. Pertanyaan utama yang harus dijawab dalam penelitian kualitatif adalah how did researcher get to these conclusion from these data? (Pawito, 2007: 101)
46
Penelitian kualitatif ini menggunakan analisis data versi Miles dan Huberman yang dikenal dengan model interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi, 1. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan suatu
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
menggolongkan,
mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi. 2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.
47
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan/ Verifikasi
Bagan 1.2. Model Interaktif Miles dan Huberman dalam Usman & Akbar (2011: 88)
7. Validitas Data Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif diperlukan teknik pengembangan validitas datanya. Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Trianggulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2007: 78). Penelitian ini menggunakan trianggulasi teori, dimana dalam membahas permasalahan yang dikaji menggunakan teori yang berhubungan dengan permasalahan. Data dikumpulkan berdasarkan teori- teori yang sudah dijelaskan pada telaah pustaka yang dipergunakan sebagai referensi dan seperangkat alat pertanyaan.