18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia memasuki dimensi baru dalam matriks kehidupan masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya tuntutan
otonomi,
tumbuhlah
pemikiran
tentang
desentralisasi.
Untuk
mengakomodasi hal itu lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Implikasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut adalah daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan kepentingan pemerintah daerahnya masing-masing, dalam artian pemberian kesempatan otonomi kepada daerah, khususnya kabupaten/kota, dan tetap terjaminnya kepentingan nasional yang paling esensial. Kewenangan dan tanggung jawab daerah mengharuskan daerah memiliki wawasan yang cukup, kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan, serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan secara akuntabel. Dalam pelaksanaannya, penerapan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
1
Universitas Sumatera Utara
19
Pusat dan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Wujud dari perimbangan keuangan tersebut adalah adanya dana perimbangan yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Ketiga jenis dana tersebut bersama dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Lain-Lain Pendapatan merupakan sumber dana daerah yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dana perimbangan memiliki fungsinya masing-masing yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. Dana Alokasi Umum (DAU) berperan sebagai pemerata fiskal antar daerah (fiscal Universitas Sumatera Utara
20
equalization) di Indonesia, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat. Diluar dari ketiga fungsi tersebut sesuai dengan amanat undang-undang, secara rinci penggunaan dana tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah kabupaten/kota dapat menggunakan dana ini dengan efektif dan efisien untuk peningkatan
pelayanan
pada
masyarakat
disertai
pertanggungjawaban
atas
penggunaan dana tersebut secara transparan dan akuntabel. Dalam pelaksanaan desentralisasi, peran transfer dari pusat kepada daerah, tidak dapat dihindarkan mengingat otonomi yang dilimpahkan menuntut daerah untuk dapat menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah. Hal ini tentu saja mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan daerah dalam mengembangkan urusan pemerintahan daerah, baik dalam hal wawasan, kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan serta kemampuan mengelola pembiayaan lebih banyak dibandingkan sebelum otonomi. Upaya pemerintah daerah dalam mengimplementasikan otonomi daerah belum optimal, hal ini dibuktikan pada praktiknya transfer dari pemerintah pusat khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan di perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini dapat disebabkan perbedaan penafsiran mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) oleh Universitas Sumatera Utara
21
daerah-daerah.Paradigma masing-masing daerah tersebut diantaranya (a) DAU merupakan hibah yang diberikan pemerintah pusat tanpa ada pengembalian, (b) DAU tidak perlu dipertanggungjawabkan karena DAU merupakan konsekuensi dari penyerahan kewenangan atau tugas-tugas umum pemerintahan ke daerah, (c) DAU harus dipertanggungjawabkan, baik ke masyarakat lokal maupun ke pusat, karena DAU berasal dari dana APBN. Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa perkembangan Dana Perimbangan sejak diberlakukannya otonomi daerah cenderung meningkat. Hal ini berarti daerah di Provinsi Sumatera Utara masih sangat mengharapkan dana perimbangan yang berasal dari pusat untuk menyelenggarakan pemerintahannya di daerah dalam bentuk belanja daerah, dalam artian kenaikan dana perimbangan berbanding lurus dengan belanja daerah dan tujuan otonomi daerah yaitu memandirikan daerah otonom belum dapat tercapai. Upaya perbaikan terus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangka menghadapi otonomi daerah. Perbaikan wawasan, kualitas SDM, kelembagaan, serta pengelolaan keuangan daerah harus didukung oleh tingkat pembiayaan daerah yang memadai.Alokasi belanja yang dirancang dalam bentuk program diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
22
Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).Seiring dengan tujuan otonomi daerah yaitu peningkatan kemandirian daerah otonom, daerah diharapkan mampu melepaskan atau paling tidak mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Pada era otonomi ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) idealnya menjadi tonggak utama atau komponen utama pembiayaan daerah, dengan kata lain proporsi dana permbangan yang berasal dari pusat dan Lain –Lain Pendapatan yang merupakan komponen Pendapatan Daerah proporsinya semakin diminimalisir. Namun upaya pemerintah daerah ini mengalami hambatan karena diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah. Keberadaan Undang-Undang ini seringkali dinilai justru menjadi disinsentif bagi daerah, dikarenakan membatasi daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajakpajak daerah. Pada saat fiscal strees tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004).Hal ini berarti kondisi fiscal stress adalah tingginya angka upaya pajak yang merupakan inisiatif dari pemerintah daerah dalam rangka penerapan otonomi daerah. Upaya pajak atau disebut dengan istilah Tax effort merupakan usaha pemerintah daerah menggali potensi daerahnya untuk meningakatkan pendapatan daerahnya yang pada akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara keseluruhan sehingga ketergantungan daerah terhadap dana perimbangan dapat dibatasi. Potensi yang dimaksudkan adalah besaran target yang diprogramkan pemerintah daerah Universitas Sumatera Utara
23
dalam visi dan misi Pendapatan Daerah untuk dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut. Penelitian Andayani (2004) yang menguji fiscal stress pada saat krisis ekonomi dan sebelum krisis ekonomi menunjukkan bahwa di saat daerah mengalami fiscal stress yang tinggi yaitu pada saat krisis ekonomi maka terdapat kecenderungan peningkatan belanja daerah. Purnaninthesa (2006) dan Dongori (2006) menunjukkan fakta empiris yang hampir sama bahwa, fiscal stress mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pembiayaan daerah. Sejalan dengan penelitian Andayani dan Purnaninthesa, Dongori (2006) memberikan gambaran empirik bahwa dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah, pengaruh fiscal stress terhadap tingkat pembiayaan sesudah otonomi lebih besar dibandingkan sebelum otonomi. Dengan demikian fiscal stress berbanding lurus dengan belanja daerah, apabila fiscal stress naik maka belanja daerah akan meningkat. Pembiayaan yang semakin meningkat pada era otonomi, lebih banyak disebabkan karena adanya tuntutan peningkatan pelayanan publik. Kongkritnya pemerintah daerah meningkatkan alokasi yang diproporsikan untuk pelayanan publik serta pergeseran belanja untuk kepentingan publik lebih besar daripada sebelum otonomi, wujud dari belanja tersebut adalah belanja langsung yaitu belanja pembangunan. Pada akhirnya penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan semangat bagi daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Pemerintah daerah diharapkan menggali potensi yang ada di Universitas Sumatera Utara
24
daerahnya, sehingga Pendapatan Asli Daerah dapat menjadi komponen utama untuk membiayai belanja daerah, khususnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik ataupun peningkatan prasarana yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Sehingga harapan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dapat terpenuhi. Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, menunjukkan bahwa fiscal stress benar-benar memberikan pengaruh terhadap pembelanjaan daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis, (2010) menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap belanja daerah baik secara parsial maupun simultan. Berdasarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Dana Perimbangan dan Fiscal Stress terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK) dan Fiscal Stress berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara?”.
Universitas Sumatera Utara
25
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan memperoleh bukti empiris pengaruh Dana Perimbangan dan Fiscal Stress terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian ini maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak sebagai berikut: 1. Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang Akuntansi Sektor Publik khususnya dalam menganalisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Fiscal Stress terhadap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara sejak diberlakukannya otonomi daerah. 2. Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan
bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera
Utara dalam pengambilan kebijakan mekanisme Dana Perimbangan dan Fiscal Stress yang sesuai dengan prinsip transparansi dan efisiensi.
Universitas Sumatera Utara
26
3. Akademis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi untuk penelitian sejenis oleh peneliti selanjutnya. 1.5. Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian terdahulu, yakni Lubis (2010) yang meneliti Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu: 1. Independen variabel penelitian terdahulu adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU), sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi independen variabelnya adalah Dana Perimbangan dan Fiscal Stress. 2. Populasi penelitian terdahulu dan penelitian saat ini adalah seluruh Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Namun dalam pengambilan sampel mengalami perbedaan dengan peneliti terdahulu dikarenakan penelitian saat ini tidak mengikutsertakan Kabupaten dan Kota yang merupakan daerah pemekaran selama tahun-tahun amatan.Dalam penelitian terdahulu jumlah sampel penelitian sebesar 20 Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara, sedangkan dalam penelitian ini, sampel penelitian sebesar 22 kabupaten dan kota. Universitas Sumatera Utara
27
3. Penelitian terdahulu memiliki tahun amatan antara tahun 2006-2008, sedangkan dalam penelitian ini memiliki tahun amatan antara tahun 2005-2008.
Universitas Sumatera Utara