BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarDasar Pokok Agraria yang merupakan titik awal dimulainya Land Reform atau agrarian reform sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang–Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 53 ayat (1) Jo Pasal 16 ayat (1) huruf “h”Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Prp) No.56 Tahun 1960 yang diterbitkan pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No.56
Prp Tahun 1960 ditetapkan menjadi Undang-Undang No.56 Prp
Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, LNR Tahun 1960 No.171TLNRI No.2117. Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 merupakan UndangUndangLandreform Indonesia. program landreform meliputi. 1.
Penetapan luas tanah pertanian.1
2.
Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai.2
3.
Pengaturan soal pengembalian dan penebusan-penebusan tanah pertanian yang digadaikan.3 1 2
Pasal 1Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960. Peraturan Pemerintah Nomor.4 Tahun 1977 (LN 1977-5)
1
Universitas Sumatera Utara
2
4.
Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.4 Petani yang hanya mengandalkan pengolahan pertaniannya agar memperoleh
hasil yang maksimal sangat sulit menanggulangi masalah keperluan uang yang mendadak dan mendesak pada saat tanaman belum panen. Apalagi hasil panen yang diperoleh setiap tahun hanya terbatas untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga untuk selama beberapa bulansaja. Keperluan untuk biaya pengobatan, anak sekolah, biaya kehidupan sehari-hari, mencari pekerjaan dan lain-lainnya selalu diatasi dengan menggadaikan tanah pertanian.5 Masyarakat adatjarang melakukan jual lepas tanah, disamping malu kalau terjadi pemutusan hubungan hukum dengan tanah karena penjualan,juga harus terlebih dahulu memenuhi syarat mendahulukan. Malu yang dimaksud yakni apabila menjual tanah masih dirasakan sebagai suatu kehinaan bagi pemilik tanah, sebab akan mengganggu keharmonisan dalam kehidupan kosmisnya masyarakat, sebab akan sering dicemoohkan telah menjual tanah pusaka yang akan berakibat psikologis bagi keluarga itu. Bila juga akan menjual tanah tersebut,maka syarat mendahulunya harus dipenuhi, sehingga susah melakukan penjualan ini, oleh karena untuk menghindari jual lepasdari tanah ini, lalu oleh masyarakat pedesaan masih melakukan penggadaian tanah. Sebab dengan menggadaikan tanah hubungan hukum tidak putus dengan
3
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor.20 Tahun 1963. Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1960 (LN 1960-2). 5 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, Hal 153. 4
Universitas Sumatera Utara
3
pemiliknya sehingga terhindar dari rasa malu sebagaimana di sebut dalam jual lepas tadi.6
1) 2) 3) 4)
5)
Adanya gadai tanah di pedesaan adalah disebabkan karena:7 Untuk menolong sesama saudara; Menghindari rasa malu keluarga, bila melakukan jual lepas tanah; Masyarakat desa tidak mau dibebani syarat-syarat yang berat dan berbelit-belit dalam meminjam uang; Mudah mendapatkan uang pinjaman, dengan jangka waktu pembayaran yang tidak ditetapkan, atau sampai kapan ada uang dari orang yang meminjam disaat itulah dikembalikan; Masyarakat desa kurang tertarik dengan Sarana perbankan, umumnya masyarakat desa tidak tertarik dengan perbankan karena untuk melunasi hutang-hutang harus dicicil setiap bulan, sementara pendapan masyarakat desa dari hasil panen setiap tiga bulan sekali oleh karena itu masyarakat desa merasa tidak tertarik untuk meminjam uang melalui bank. Gadai
tanah adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan
orang lain yang mempunyai utang uang padanya, selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para ahli waris penggadai dan pemegang gadai, karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali. Gadai tanah ini dikenal dalam hukum adat tanah merupakan tindakan terhadap tanah, bukan tindakan yang ada hubunganya dengan tanah. Gadai tanah ini 6
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 155. 7 ibid
Universitas Sumatera Utara
4
merupakan lembaga atau pranata yang pertama sekali dipopulerkan oleh Ter Haar BZn, sebagaimana ditemukan pada awalnya dari Mr. Van Vollenhoven. Dimana disebut dengan jual gadai yaitu perjanjian yangmenyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama (grond verpanding).8 Gadai tanah menurut hukum adat, merupakan pranata yang telah hidup dalam sistem budaya yang berkembang kearah budaya yang tetap eksis yang diterima dan diakui sebagai hukum yang hidup dalam hukum adat itu.9 Gadai tanah sebagai salah satu lembaga/pranata dengan berbagai istilah yang berlaku di masing-masing masyarakatnya, telah lama di kenal dalam literatur hukum adat.istilah itu antara lain, adol sende (Jawa), ngajual akad gade (Sunda), dondon (Tapanuli), dondon susut (Mandailing), menggadai (Minangkabau) dan menjual gadai(Riau dan Jambi).10 Perbuatan yang berhubungan dengan transaksi tanah selalu dilakukan atas sepengetahuan atau dihadapan Kepala Desa/Ketua Adat. Demikian juga dalam pelaksanaan gadai tanah, Kepala Desa/Ketua Adat awalnya berfungsi untuk menguatkan tindakan penggadaian tanah tersebut agar apa yang diperbuat sekedar
8
Ter Haar.Bzn Terjemehan K.Ng.Soebakti, P.Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat,(Jakarta: Pradya Paramita, 1980, hal.112) 9 Muhammad Yamin, Gadai tanah dalam perkembangan Hukum adat Studi Mengenai Gadai Tanah di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum), hal.40 10 Soerojo wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. (Jakarta. Haji Mas Agung,1980), hal.207
Universitas Sumatera Utara
5
telah dilakukan secara terang sehingga bila ada permasalahan antara mereka, Kepala Desa ikut bertanggung jawab.11 Transaksi ini merupakan yang sah, artinya supaya sah mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap atau petang(jawa) untuk bantuannya ini Kepala Persekutuan lazimnya menerima uang saksi atau pago-pago(batak).12 Gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat umumnya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Umumnya ekonomi pemegang gadai lebih kuat dari pemilik tanah.Hal inilah yang mengandung sifat feodal dan bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Namun menyangkut gadai atas tanah milik masyarakat di pedesaan sebagai objeknya belum ada disentuh oleh Undang-Undang
tersebut.13Dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan, hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hal-hal tersebut diusahakan akan dihapus dalam waktu singkat, Sehingga persepsi
11
Ibid, hal.162 Soerojo wognjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta, CV. Haji Masagung, 1967), halaman 207 13 Muhammad Yamin, Op.Cit, hal.178 12
Universitas Sumatera Utara
6
masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Prp Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan didalam kehidupan masyarakat. Sementara itu untuk menjamin kepastian hukum perjanjian gadai perlu dibuat dalam bentuk tertulis, namun dalam prakteknya masih banyak perjanjian gadai tidak dibuat dalam bentuk tertulis, misalnya hanya didasarkan dengan rasa saling percaya. Masyarakat adat yang merupakan salah satu subjek dimana pada masyarakat tersebut masih dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan tanah. Lembaga gadai dalam hukum adat ini cenderung dipilih masyarakat karena terdapat kemudahan di dalam prosedurnya dibandingkan dengan lembaga jaminan lainnya yang sudah ada dengan penggunaan prosedur yang rumit. Akan tetapi hal ini tidak juga lepas dari beberapa kelemahan, hal ini dikarenakan hukum yang mengatur permasalahan gadai tanah ini tidak bersifat baku dan tertulis, yang dalam prakteknya gadai yang dilangsungkan hanyalah berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Sehingga sebagai akibatnya seringkali timbul berbagai permasalahan dalam pelaksanaan dalam gadai tanah, salah satunya adalah masalah dalam jaminan kepastian hukum suatu perjanjian gadai tanah yang menggunakan bukti tertulis tetapi jangka waktu dalam perjanjian telah melanggar Pasal 7 Prp No 56/1960, karena tanah yang dikuasai penerima gadai telah lewat dari 7 tahun dan tanah tersebut tidak dikembalikan kepada yang pemilik tanah.
Universitas Sumatera Utara
7
Jangka waktu hak gadai tanah dalam prakteknya dibagi menjadi dua (2) yaitu;14 1.
Hak gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan, Gadai tanah yang tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian
tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, satu atau dua bulan ditebus, penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karena hak gadai tanah merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang. 2.
Gadai tanah yang lamanya ditentukan Hak gadai tanah ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka
waktu yang diperjanjikan dalam hak gadai tanah berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bisa menjual lelang yang digadaikan tersebut. Apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengijinkan menjual tanah yang digadaikan.
14
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah(Jakarta, Prenada Media, 2005).
Hal.132
Universitas Sumatera Utara
8
Ciri-ciri gadai tanah menurut hukum adat adalah sebagai berikut: 1.
Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa. Dalam hukum adat, selama transaksi gadai berlangsung sipenerima gadai
tidak dapat memaksa sipemberi gadai untuk segera menebus benda gadai. Gadai akan ditebus tergantung dari kehendak sipemberi gadai, kapan saja ia dapat menebus gadai itu dan hak menebus dapat beralih kepada ahli warisnya apabila sipemberi gadai telah meninggal dunia. Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa waktu penebusan kembali akan dilakukan oleh penggadai terserah pada kehendak dan kemampuan sipenggadai, Pemegang gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada penggadai agar tanahnya ditebus dan hak gadai dapat beralih kepada ahli warisnya.15 Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa pemegang gadai tidak dapat menuntut hutang gadai itu dalam hal tidak ditebus oleh pemberi gadai, sebab pokok transaksi disini adalah tanah, bukan uang. Namun demikian Sarjana menambahkan bahwa walaupun ada ketentuan tersebut tidak berarti bahwa setiap waktu dapat dilakukannya sehingga dapat mengakibatkan merugikan pemegang gadai, kecuali untuk tanah yang tidak diusahakan harus diperhatikan bahwa untuk tanah sawah jika yang mengerjakan sawah pemegang gadai, maka penggadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah selesai panen, untuk tempat tanah perikanan harus menunggu hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya.16 2.
Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya 15
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (bandung : Citra Aditya Bakti,1990), hal.127 A.Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, (Jakarta: Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewa Ruci Press, 1982), hal.37 16
Universitas Sumatera Utara
9
Budi Harsono mengemukakan bahwa, hak gadai (Gadai Tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau doorvenpanden).17 3.
Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
4.
Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus. Bila dicermati diantara peraturan tanah yang mengatur gadai tanah, yakni
antara lain seperti Undang-UndangNo 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas pertanian. Dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, barang siapa mengusai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan. Putusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010 Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha EsaMahkamah Agungmemeriksa Perkara Gadai Tanah dalam tingkat kasasi telah memutuskan: Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku sebab
17
Budi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanannya, (Jakarta: Djambatan,1971),hal.306
Universitas Sumatera Utara
10
telah terbukti di persidangan bahwa tanah sengketa adalah benar hak Penggugat walaupun tanah tersebut dikuasai oleh tergugat berdasarkan hak gadai. Berdasarkan Pasal 7 (1) Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 maka tanah sengketa yang terbukti dipegang gadai oleh Tergugat sudah berlangsung lebih dari 7 (tujuh) tahun maka Tergugat menurut hukum wajib mengembalikan tanah sengketa tersebut kepada Penggugat tanpa uang tebusan. Berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata bahwa Putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/Undang-Undang, maka permohonan Kasasi yang diajukan Tergugat harus ditolak dan tergugat harus menyerahkan tanah tersebut kepada Penggugat. Menghukum Tergugat (penerima gadai), atau orang lain yang mempunyai hak dari para Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan kosongtanpa uang tebusan oleh Penggugat dan tanpa halangan apapun juga, seketika setelah ada keputusan atas perkara ini. Khususnya di Kabupaten Tanah Karo mengenai objek gadai tanah yang telah berlangsung tujuh tahun atau lebih sampai saat inimasih banyak dikuasai oleh penerima gadai dan pemberi gadai tanah pun tidak pernah menuntut penerima gadai supaya tanah tersebut dikembalikan kepada pemberi gadai, karena pemberi gadai maupun penerima gadai tidak pernah mengetahui adanya Undang-Undang mengenai gadai tanah. Menjadi bahan pertimbangan untuk mengangkat permasalahan gadai tanah dalam tesis yang berjudulEfektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626
Universitas Sumatera Utara
11
K/Pdt/2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi di Kabupaten Tanah Karo).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah. 1.
Bagaimana efektifitas hukum terhadap pelaksanaan gadai tanah pertanian di Tanah Karo?
2.
Bagaimana PerkembanganPrp Nomor 56 Tahun 1960 setelah digantinya menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian?
3.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemberi gadai atas tanah pertanian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K/Pdt/2010?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah. 1.
Untuk mengetahuiefektifitas hukum terhadap pelaksanaan gadai tanah pertanian di Tanah Karo.
2.
Untuk mengetahui gadai tersebut secara hukum jika tidak ditebus telah melebihi 7 (tujuh) tahun.
3.
Untuk mengetahuikepastian hukum bila gadai tidak dijalankan sesuai aturan hukum/Prp 56/1960.
Universitas Sumatera Utara
12
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu. 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
perkembangan ilmu hukum dan untuk memberikan sumbangan pemikiran dan saran dalam ilmu hukum perdata dan hukum agraria yang berkaitan dengan gadai tanah pertanian berdasarkanPutusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010,Menghukum Tergugat (penerima gadai) karena telah menguasai gadai tanah lebih dari 7 (tujuh) tahun, atau orang lain yang mempunyai hak dari para Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan tanpa halangan apapun juga, seketika setelah ada keputusan atas perkara ini. 2.
Secara Praktis Dapat memberikan suatu pemahaman bagi masyarakat khususnya masyarakat
Kabupaten Tanah Karo tentang pentingnya mengetahui isi dari Pasal 7 Ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dan Putusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010 mengenai jangka waktu berlakunya perjanjian gadai tanah dan sebagai upaya mendapatkan perlindungan dan jaminan kepastin hukum.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
13
khususnya pada Sekolah Pascasarjana, belum ada penelitian yang menyangkut masalah”Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K/Pdt/2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi di Kabupaten Tanah Karo). Namun dalam penelusuran kepustakaan dan hasil penelitian tentang gadai tanah pernah dilakukan beberapa tesis karya mahasiswa, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu tesis atas nama: 1.
ZETRIA ERMA, NIM : 982105036 dengan judul: Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian Ditinjau Dari Hukum Agraria (Undang-Undang No.56 Tahun 1960) dan hukum islam di Kecamatan Tilatang Kamang. Permasalahannya dalam tesis ini adalah: a. Apakah lembaga gadai tanah prtanian menurut hukum adat masih digunakan MasyarakatKecamatan Tilatang Kamang setelah berlakunya UU No.56 Prp Tahun 1960? b. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pelaksanaan UU No.56 Prp Tahun 1960 khususnya Pasal 7 pada Masyarakat di Kecamatan Tilatang Kamang? c. Apakah terdapat persamaan (titik temu) antara ketentuan hukum yang mengatur gadai tanah pertanian dalam hukum agraria dan hukum islam?
2.
SRI ANITHA BR GINTING. NIM : 117011058 dengan judul: Gadai Tanah Dalam Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Tanah Karo. Permasalahan dalam tesis ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
14
a. Bagaimana faktor-faktor yang melatar belakangi dipertahankanya gadai tanah (peutangken) pada masyarakat Karo di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo? b. Bagaimana bentuk gadai tanah (peutangken) pada masyarakat Karo di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo? c. Bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gadai tanah pada masyarakat Karo di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo? 3.
MARSYUDDIN. NIM : 117011042 dengan judul:Eksistensi Perjanjian Gala (Gadai) Tanah Pertanian Pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Permasalahannya dalam tesis ini adalah: a. Faktor faktor yang melatar belakangi keberadaan perjanjian gala (gadai) tanah pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara? b. Bagaimana bentuk (konstruksi) perjanjian gala (gadai) tanah pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara? c. Bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gala (gadai) tanah pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara?
4.
SUHARDI. NIM : 027011059 dengan judul: Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian (Pasal 7 UU No.56/Prp/1960) Terhadap Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Hukum Adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu. Permasalahannya dalam tesis ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
15
a. Bagaimana tata cara menggadaikan tanah menurut hukum adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu Kabupaten Padang Pariaman? b. Bagaimana pengaruh peraturan tentang gadai tanah (Pasal 7 UU No.56/Prp/1960), terhadap pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu Kabupaten Padang Pariaman? c. Bagaimana cara penyelesaian sengketa gadai tanah di Nagari Lurah Ampalu Kabupaten Padang Pariaman? Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut diatas, tesis pertama lebih mengarah kepada Permasalahanya apakah terdapat persamaan (titik temu) antara ketentuan hukum yang mengatur gadai tanah pertanian dalam hukum agraria dan hukum islam. Tesis kedua Permasalahanya bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gadai tanah pada masyarakat Karo.Tesis yang ketiga lebih mengarah kepada faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan perjanjian gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan tesis yang ke empat mengarah kepada Bagaimana Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Menurut Hukum Adat Minangkabau Dinagari Lurah Ampalu Padang Pariaman. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam dan menyajikan pandangan
yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variable
Universitas Sumatera Utara
16
yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena,18 Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.19 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori atau tesis ini mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.20 Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan-anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,21 sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secararasional digabungkan dengan pengalaman empiris.22 Teori juga menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.23 Dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkanya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.24
18
Sofyan Syafri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif, (Jakarta: Pusaka Quantum), hal.40 19 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal 113 20 M.Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal.80 21 Abdulkadir Muhammad, 2004, hukum dan penelitian hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.73 22 Op. Cit, hal.27 23 J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M.Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid 1 24 Ibid, hal.216
Universitas Sumatera Utara
17
Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian yuridis empiris. Penulisan ini berupaya guna menganalisa secara hukum terhadap gadai tanah yang waktunya telah leawat dari 7 (tujuh) tahun lamanya. Teori yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah teori hukum posotivis klasik (aliran utilistis) dari Jeremy Bentham. Menurut Jeremy Bentham, sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi.25 “Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum tersebut, suatu ketentuan hukum harus dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapanya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan, dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapanya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan”. Bentham tidak mempersoalkan apakah kebahagiaan itu diperoleh karena semua individu telah merasakan adanya kepastian hukum atau karena adanya keadilan, tetapi hukum itu harus dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, pendapat Bentham juga menunjukkan bahwa unsur-unsur hukum (kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan) hanyalah dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan karena antara unsur yang satu berkaitan dengan unsur yang lain, bahkan kadangkala bertentangan.26 Usaha menuju kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 Undang25
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung Mandar Maju, 2003),hal.117 Terjemahan Bab II Positivisme: Bentham dan Austin, Sumber : http// Cahwaras.Wordpress.Com/2014/04/15. 26
Universitas Sumatera Utara
18
Undang Pokok Agraria disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat Recht kadaster artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah maka pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum dari tanah yang dihadapinya, letak, luas, dan batas batas, siapa yang mempunyai dan beban-beban apa yang melekat diatas tanah tersebut.27 Tujuan hukum pendaftaran tanah tidak terlepas dari tujuan hukum pada umumnya. Tujuan hukum menurut hukum konvensional adalah mewujudkan keadilan (rechts Gerechtigheid), kemanfaatan (rech tsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtzekerheit).28 Hukum pertanahan di Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum terhadap
tanah,
sehingga
setiap
pemilik
dapat
terjamin
haknya
dalam
mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar.29 Bahkan harus diterima sebagai perkembangan ilmu pengetahuan hukum, karena sebagaimana dikemukakan oleh subekti bahwa gadai tanah menurut hukum adat adalah dalam pemikiran orang Indonesia suatu transaksi yang berdiri sendiri, 27
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta,2009,
hal.132 28
Ahmad Ali, Menguak Takbir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta, PT Gunung Agung, tbk, 2002, hal.85 29 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT.Intermasa,1980), hal.2
Universitas Sumatera Utara
19
berlainan dengan “hipoteek” menurut Burgelijk Wetbook (BW), yang adalah suatu perjanjian “accesoir” untuk menjamin terlaksananya atau dipenuhinya suatu perjanjian lain yang dinamakan perjanjian pokok. Gadai adalah suatu transaksi tanah dan bukannya suatu perjanjian pinjaman uang dengan jaminan.30 Sungguhpun dalam kenyataanya sekarang ini dilakukan oleh masyarakat, gadai tanah mengarah pada lembaga jaminan atau diperlakukan sebagai lembaga jaminan, namun harus diingat bahwa gadai tanah ini bukan hipotheek dan bukan juga crediet-verband yang pernah dikenal dalam hukum jaminan pada jaman Belanda (stb 1847 No 23) dan (stb 1908542 yo 1937-190), serta tidak sama dengan hak tanggungan (Undang-Undang No 4 Tahun 1996). Seperti disebutkan telah ada kemungkinan yang berpandangan bahwa dalam perkembanganya gadai tanah sudah merupakan hal yang sama dengan hak Tanggungan, namun tetap tidak sama filosofi dan karakteristiknya. 31 Bila dicermati diantara peraturan tanah yang mengatur gadai tanah, yakni antara lain seperti Prp No 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Hanya dalam Pasal 7 ayat (1) ada disebutkan, barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang padawaktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
30
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989,) hal.57. 31 Muhammad Yamin, Op.Cit hal 143
Universitas Sumatera Utara
20
Ayat (2) menyebutkan, mengenai gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7+1/2)- waktu berlangsung hak gadai X uang gadai, 7 Ternyata satu pasal ini merupakan peraturan dan pernyataan yang berlaku secara umum dalam seluruh tindakan penyelesaian gadai tanah, baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut, kehendak seperti ini diperkuat dengan membaca kembali isi dari penjelasan pasal demi pasal dari pasal 7 (tujuh)itu, yang menyebutkan, ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya mengenai tanah-tanah gadai yang harus dikembalikan, tetapi mengatur gadai pada umumnya.32 Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diatas merupakan perkembangan yang sangat berarti bagi petani atau masyarakat yang menggadaikan tanahnya atau tanaman keras lainnya untuk melunasi tanah yang digadaikannya dengan memberikan biaya pengembalian yang telah diatur sedemikian rupa. Pasal 1338 ayat (1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, “semua persertujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya” dan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik, 32
Muhammad Yamin, Gadai Tanah Dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai Gadai Tanah di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum), hal.118
Universitas Sumatera Utara
21
Kesepakatan yang dibuat para pihak berlaku azas “pacta sunt servanda” dimanaperjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan dilakukan dengan itikat baik. Ikatan yang lahir dari perjanjian di namakan perikatan.33 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” dengan demikian masing-maing para pihak mempunyai hak dan kewajiban. 2.
Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi berasal dari
bahasa latin, conceptus yang berarti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang di pakai. Untuk mendekatkan pengertian apa sebenarnya yang ditelaah dalam penelitian ini yang dimaksud dengan gadai tanah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang padanya, selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan (penerima gadai).
33
R. Subekti, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya Paramita,2004),
hal.342
Universitas Sumatera Utara
22
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang di punyai kreditur atas barang milik debitur sebagai jaminan hutang. Pemberi gadai tanah adalah orang yang menerima uang dan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada penerima gadai. Penerima gadai adalah orang yang memberi uang dan menguasai tanah milik penerima uang. Tanah adalah benda tetap sebagaimana dijumpai pengertian dasarnya UUPA No 5/1960 dalam pengertian bumi, atau sering disebut dengan istilah land.yakni tanah sebagai ruang/tempat yang dinyatakan luasan hektar atau meter persegi. G. Metode Penelitian Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.34 Kata metode berasal dari kata Yunani “Metods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.35 Adapun dalam penulisan ini, digunakan metode penelitian sebagai berikut: 1.
Sifat Penelitian Sebungan dengan upaya ilmiah, maka metode yang menyangkut masalah cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 36
34 Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1995,hal 328 35 Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1997, hal.16 36 Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT.Gramedia, Hal.70
Universitas Sumatera Utara
23
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis iniadalahyuridis empiris yaitu penelitian terhadap efektifitas hukum dengan mempelajari peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research) pada Masyarakat Kabupaten Tanah Karo yang melakukan gadai tanah. Dengan mempergunakan metode penelitian yuridis empiris yang bersifat kualitatif yaitu dengan menganilisis kenyataan-kenyataan hukum gadai tanah yang berkembang di masyarakat.37Dimaksudkan adalah, karena gadai tanah termasuk atau merupakan suatu pranata yang hidup dan berpraktek di masyarakat, maka kajiannya lebih bersifat empiris. 2.
Lokasi Penelitian Daerah penelitian yang menjadi target untuk dijadikan sebuah penelitian
adalah di daerah Kabupaten Tanah Karo Propinsi Sumatera Utara. Yang terdiri dari 15 (lima belas) Kecamatan. Oleh karena di Kabupaten Tanah Karo memiliki wilayah Kecamatan yang cukup luas, maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) Kecamatan dari 15 (lima belas) Kecamatan yaitu; Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Payung, Kecamatan Kutabuluh. Dalamsetiap kecamatan diambil 3 (tiga) desa dalam satu kecamatan, karena desa tersebut masih banyak terdapat gadai tanah yang telah berlangsung tujuh tahun atau lebih yang masih dikuasai oleh penerima gadai.sampel desadalam
kecamatan
Tiganderket
yaitu;
Desa
Tanjung
Merawa,
Desa
37
Muhammad Yamin, Gadai Tanah Dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai Gadai Tanah Di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum). Hal 64
Universitas Sumatera Utara
24
Tiganderket,dan Desa Sukatendel. Sampel desa dalam kecamatan Payung yaitu Desa Payung, Desa Batukarang, dan Desa Rimokayu. Sampel desa di kecamatan kuta buluh yaitu, Desa Buahraya, Desa Laubuluh, dan Desa Jinabun. Penentuan sampel atas 3 (tiga) Kecamatan tersebut dilakukan dengan metode purposive sampling metode ini dilakukan semua kecamatan sama perlakuannya (sifatnya homogen) terhadap objek penelitian gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat pada Kecamatan tersebut yang akan dijadikan sampel penelitian. Adapun yang menjadi responden dari 3 (kecamatan) ini adalah sebagai berikut: a. Dari setiap Desa diambil 3 orang responden yang pernah melakukan gadai tanah yang jangka waktunya telah lebih dari 7 tahun lamanya dan tanahnya masih dikuasai oleh penerima gadai yang menjadi subjek penelitian. b. Kepala Desa yang mengetahui atau terlibat dalam perjanjian gadai tanah di 9 (sembilan) Desa sebagai sampel tempat penelitian.
3.
Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian ini termasuk kedalam penelitian hukum sosiologis (Socio-legal Research) atau empiris yaitu didasarkan pada data primer atau fakta-fakta dan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat mengenai gadai tanahdi Kabupaten Tanah Karo. 4.
Alat Pengumpul Data a. Studi dokumen yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, Peraturan PerundangUndangan, dokumen lain yang terkait dengan judul ini, data yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara
25
disebut data sekunder, yang meliputi, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan gadai tanah. b. Pedoman wawancara dilakukan terhadap responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung, yang terlebih dahulu dibuat susunan pertanyaan wawancara dengan sistematis agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan. c. Dalam melakukan wawancara yang merupakan alat pendukung pengumpulan data dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara sistematis dan langsung terhadap pemberi gadai dan Kepala Desa yang mengetahui isi perjanjian gadai yang dibuat oleh pemberi gadai dengan penerima gadai.
5.
Analisis Data Analisis data adalah sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan
kerja seorang peneliti yang memerlukan penelitian dan pencurahan daya pikir secara optimal.38 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,mengsitensiskanya,
38
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal.77
Universitas Sumatera Utara
26
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.39 Setelah dianalisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.40 Selanjutnya data tersebut dengan menggunakan metode deduktif sehingga dapat diperoleh kumpulan akhir yang tepat setidak-tidaknya mendekati kebenaran ilmiah yang penulis harapkan dalam tulisan ini.
hal.284
39
Lexy,J. Moleong, 1994, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
40
H.B Sutopo, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, hal.37
Universitas Sumatera Utara