BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sejarah penguasaan tanah dan pembaharuan agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. ”Land Reform” yang pertama didunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelun Masehi (SM), Slogan land-to-the-tiller (tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi, selanjutnya melalui tonggak-tonggak sejarah penguasaan tanah di jaman Romawi Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biribiri di Inggris selama lebih kurang 5 abad dan Revolusi Perancis tahun 17891799 1, dari mulai adanya roda sampai mesin uap. Mesin uap dapat mengakomodir satu usaha industri tekstil. Bahkan Italia, Perancis, Jerman mulai merasa mempunyai kepentingan terhadap
revolusi tekstil.
Mereka
ini
mampu
mempercepat revolusi tekstil yang sebelumnya, bahkan sebelum revolusi industri itu sendiri, sudah menghasilkan enclosures movement (penggusuran kaum tani dari tanah-tanah mereka) untuk digunakan sebagai ladang biri-biri, sebagai bahan wool -kain linen waktu itu belum ada, liberian catoon belum dikenal. Dengan adanya mesin uap (ditemukan 1777) maka produktivitas kemudian menjadi lebih tinggi, konsekuensinya dibutuhkan domba lebih banyak, tanah lebih luas, dan penyingkiran tani dari tanah-tanahnya untuk padang rumput 2. Gerak sejarah tak bisa ditahan (sesuai dengan perjalanan sejarah). Capital mulai masuk desa-desa. Kaum feodal mulai beralih menjadi industriawan. Seperti kata Marx, peasants beralih
menjadi farmers. Dengan berkembangnya
1
Gunawan Wiradi, Masalah Pembaharuan Agraria (Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara), Bogor, Makalah Pada Peringatan “Satu Abad Bung karno”, 2001, hal. 1. 2 Serikat Tani Nasional, Babon Tani, Materi Pendidikan Dasar Kaum Tani, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
kapitalisme, berarti berubahnya sistem pertanian feodal menjadi sistem pertanian agro industri. Dalam sistem agro industri, otomatis menggunakan teknologi sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Selain itu terjadi pula perampasan lahan sehingga semakin sedikit lapangan pekerjaan bagi kaum tani, jumlah yang menganggur semakin banyak. Karena itulah lambang tengkorak di Inggris lahir dari petani di desa. Yaitu serikat petani yang pertama 3. Perbincangan tentang sifat kepemilikan tanah dan cara bagaimana basis agraria ini memberikan surplus bagi pemilik modal sudah dimulai sejak akhir abad ke-18 dan berlanjut hingga sekarang. Pemahaman akan kepemilikan tanah dalam perspektif sejarah untuk melihat bagaimana kapitalisme senantiasa mengalami perubahan bentuk dan selalu merampas kepemilikan tanah dari tanaga petani dengan berbagai cara. Hak petani akan tanah menjadi terpinggirkan karena terjadi ekspansi besar-besaran dari modal yang difasilitasi oleh hukum dan kebijakan pemerintah 4. Keadaan geografis Indonesia yang berada diwilayah tropis memberikan konsekwensi positif bahwa keadaan tanahnya subur, lautan kaya dengan beragam kehidupan, isi buminya beragam mulai dari bahan-bahan tambang yang potensial untuk digunakan dan dimamfaatkan. Hal ini menimbulkan kesadaran dalam benak para penghuninya, bahwa untuk melangsungkan kehidupan, bangsa ini kemuadian memantapkan diri sebagai bangsa yang agraris, bangsa yang mudah bertahan hidup dengan mengandalkan keadaan alam. Tetapi kesadaran itu kemudian termanipulasi sedemikian oleh banyak factor, tapi yang terutama adalah factor masuknya modal, kedalam kehidupan 3
Ibid, hal 2. Onghokham Institute, Property Rights Di Indonesia Dalam Tinjauan Sejarah, Medan: Makalah Pada Simposium Agraria Nasional I, 2006, hal. 1-2. 4
Universitas Sumatera Utara
bangsa lewat kaki tangannya Imperialisme, bekerja sama dengan raja-raja yang memiliki watak tuan tanah, sejak jaman itulah, kekayaan Indonesia dikeruk dan dipindahkan pemamfaatannya oleh kekuatan Imperialis. Kenyataan ini berlanjut selama 350 tahun dan berlanjut sampai saat ini. Di Indonesia, sejumlah persoalan mendasar dalam lapangan agrarian yang muncul dalam struktur agraria saat ini pada akhirnya turut menyumbang (konflikkonflik yang berkepanjangan, struktur penguasaan tanah yang timpang dan tata hukum agraria “kacau”) pada lemahnya ekonomi rakyat dan rapuhnya ekonomi bangsa. Disisi lain sejumlah persoalan agraria menunjukkan bahwa praktek politik dan tatanan hukum di negeri ini sudah tidak memberikan tempat yang layak bagi rakyat untuk mengambil peran yang sesungguhnya dalam proses perkembangan masyarakat, karena dominasi negara & kekuasaan eksekutif sudah terlampau besar dan tidak bisa lagi terkontrol. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini ternyata juga tidak bisa dilepaskan jalannya strategi agraria seperti yang telah dipertontonkan oleh pemerintahan Orde Baru selama ini, yang secara langsung pula menjadikan tanah sebagai komoditas strategis. Fred Harisson (1983) melakukan studi mengenai krisis ekonomi di berbagai negara, yang pernah terjadi sepanjang sejarah menyimpulkan bahwa sumber yang paling utama adanya monopoli tanah dan spekulasi tanah. Gejala monopoli dan spekulasi ini yang kita lihat juga merebak dengan hebat
di Indonesia dalam beberapa tahun sebelum krisis melanda.
Penjelasan Harisson adalah sebagai berikut: ketika tanah menjadi komoditi, maka diantara seluruh komoditi yang ada, tanah adalah komoditi yang sangat menguntungkan utnuk dijadikan ajang spekulasi. Spekulasi kemudian yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan harga makin lama makin tinggi sampai pada puncaknya yang “menggila”. Sampai pada akhirnya lonjakan harga tanah yang “gila” itu tidak dapat dijelaskan dengan argument sederhana, seperti yang ada dalam teori pasar. Selanjutnya masih menurut Harisson, dampak negatif dari kegiatan ini akan bersifat ganda. Petani akan tergusur secara intensif, yang berarti kesempatan kerja dipedesaan dan sector pertanian banyak yang hilang. Sementara tanah-tanah yang sudah terbebaskan tidak dimamfaatkan, tetapi malah ditelantarkan, karena akan justru akan meningkatkan nilai kekayaan (nominal dalam catatan keuangan atau kekayaan) dari penguasa atau pemiliknya akibat praktek spekulasi. Menelantarkan untuk tujuan spekulasi ini, menghilangkan kesempatan kerja bagi buruh-buruh bangunan atau calon-calon pengisi kesempatan kerja. Disisi lain tanah terlantar itu jelas menghilangkan potensi produktif aktifitas pertanian yang seharusnya bisa dilakukan diatas tanah-tanah/lahan-lahan tersebut. 5 Memang secara keseluruhan, spekulan tanah bukan penyebab tunggal tenyadinya krisis ekonomi, tetapi penjelasan Harisson memperkaya pengetahuan kita bahwa penerapan tanah sebagai komoditas mengandung ancaman yang mungkin tidak bisa diketahui. Meskipun demikian, perspektif pembaharuan agraria yang menempatkan rakyat pada pusat-pusat aktivitas lapangan agrarian memilih argument bahwa ketimpangan struktur penguasaan tanah atau umbersumber agraria akan menimbulkan kesenjangan pendapatan dalam suatu negara. 6
5
Noer Fawzi, Isu-isu Utama Pembaruan Agraria Dewasa ini Menuju Membesarnya Peran Masyarakat Sipil. Makalah dalan Seminar Nasional Agraria , 21 September 1998 di Bandar Lampung, hal. 7. 6 Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini berakar pada pertentangan klaim yang menyangkut tiga hal berikut 7: 1. Siapakah yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya. 2. Siapakah yang berhak memamfaatkan sumber-sumber agraria dari kekayaan alam itu 3. Siapakah yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemamfaatan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut. Berbagai kosepsi dasar mengenai kompleksitas persoalan agraria diatas secara nyata menggambarkan realita keagrariaan yang ada di Indonsia dewasa ini. Menurut Wiradi (2000) 8, realitas keagrariaan di Indonesia secara
mendasar
bersiifat konfliktual, suatu kondisi yang berakar pada ketimpangan atau incompatibilities menyangkut sumber-sumber agrarian dalam bentuk sebagai berikut: 1. Ketimpangan dalam hal struktur ‘ pemilikan” dan “penguasaan” tanah. 2. Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah, dan 3. Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Persoalan ketimpangan pertama sudah sering disoroti selama ini, dengan mencermati hasil sensus pertanian tahun 1973, 1983, dan 1993, tampak jelas bahwa fenomena ketimpangan struktur pemilikan dan penguassan tanah menunjukkan peningkatan yang makin tajam. Ketimpangan kedua, yakni masalah peruntukan lahan, cukup sulit untuk diperoleh data yang akurat. Selain karena belum adanya aturan yang memadai, proses pembangunan nasional selama ini 7
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Reforma Agraria Prasyarat Utama Bagi Reitalisasi Pertanian dan Pedesaan, Bandung: September 2005, hal. 6. 8 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang sangat bisa sektoral dan memarjinalkan sector pertanian juga menyebabkan perubahan fungsi lahan berkembang dengan sedemikian cepat, terutama dalam bentuk konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian. Adapun penyebab ketimpangan ketiga menyangkut perbedaan persepsi dan konsepsi, yaitu antara mereka yang menggunakan konsep hukum-hukum positip (formal/legal dari barat) dan mereka yang termasuk masyarakat adat yang mengenal berbagai macam hak yang berbeda atas tanah yang berasal dari tradisi dan budaya mereka. Ketimpangan terjadi ketika tata cara penguasaan dan pemamfaatan sumber agraria yang bersumber dari hukum-hukum positif sering kali menafikan apa yang telah lama dipraktekkan dan dikenal oleh masyarakat setempat. Kebijakan agrarian yang dipraktikan pada masa Orde baru yang bertumpu pada penguasaan tanah dan pengelolaan kekayaan alam skala besar dalam bentuk proyek-proyek yang dijalankan baik oleh instansi dan perusahaan pemerintah maupun swasta. Hal ini disertai dengan sektoralisme kebijakan agrarian melalui berbagai undang-undang , seprti undang-undang pokok kehutanan No. 5 tahun 1967 dan Udang-undang Pokok Pertambang No. 11 Tahun 1967, yang kesemuanya ini memandulkan UUPA No. 5 tahun 1960 sebagi perundangan payung. 9 Pintu dibuka sangat lebar oleh rejim orde baru lewat Undang-undang Penanaman Modal Asing pada awal periode kekuasaannya, disisi lain keberadaan para tuan tanah yang merupakan ciri khas feodalisme tidak juga hilang, sehingga dari dulu sampai sekarang, kedua kekuatan yang sebetulnya bertentangan itu
9
Ibid, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
malah bekerja sama menjadi penindas bagi rakyat. Dalam kurum waktu 32 tahun orde baru berkuasa, sebuah program yang menjadi biang keladi kehancuran dasar kehidupan rakyat dilangsungkan yaitu; Revolusi hijau. Masuknya produk-produk asing dalamn asing pertanian dipaksakan oleh pemerintahan Orde Baru, terjadi pemaksaan terhadap rakyat yang tadinya hanya berwatak subsisten menjadi pertanian yang berwatak eksploitatif. Secara prosuksi petani dipaksa untuk memilih sarana produksi yang jauh diluar jangkauannya. Dampak dari hal ini adalah petani kemudian rela kehilangan lahannya, sehingga konsentrasi kepemilikan lahan ditangan segelintir orang malah semakin menjadi-jadi. 10 Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satu basis dari perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk kepentingan
keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan,
pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di pinggiran kota), proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate, lapangan golf, dan pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru. 11 Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya
10
Ibid, hal. ii-iii Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme, Materi Situasi Nasional, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP-STN), hal. 4 11
Universitas Sumatera Utara
habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas kembali, terutama paska Tragedi 65. Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971 Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani sebagai korban langsung dari konflik tersebut. 12 Hal ini diperkuat dari data yang kumpulkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (2004), per 30 desember 2001 telah tercatat 1.753 kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia yang mencakup luas 10.892.203 ha tanah dan melibatkan 1.189.482 keluarga. 13 Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industriindustri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf
maka dapat dirubah kembali
menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan. Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-
12
Ibid, hal. 5 http://www.google tenure.org/2008/02/20/ Syahyuti, Kendala Pelaksanaan Land Reform di Indonesia: Analisa terhadap berbagai Analisa dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria, 2007, hal. 2 13
Universitas Sumatera Utara
perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan TNI/Polri ini sangat menonjol Akibat dari kebijakan agrarian yang berorientasi pada pertumbuhan dan kepentingan modal besar ini, maka proses diferensiasi social dan proletarisasi yang sudah terjadi pada masa kolonial menjadi berkembang makin luas dan mendalm dengan rangkain konflik
yang tidak kunjung
henti sebagai
konsekwensinya. Tabel 1. Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia Pihak-Pihak Yang Bersengketa Dengan Pengguna Provinsi
Luas Tanah
Angka
Sengketa
Korban
(Hektar)
(KK)
Tanah
Angka Kasus
Pemerintah
Perusahaan
Perusahaan
Negara
Swasta
Militer
Jawa Barat
484
184.484
237.482
197
12
60
225
DKI
175
60.615
117.194
96
5
9
66
169
390.296
187.428
77
9
31
59
157
305.323
71.830
27
1
18
116
121
509.100
89.548
39
8
26
57
99
32.417
72.494
57
1
23
25
58
1.036.589
51.955
21
1
4
34
Jakarta Jawa Timur Sumatera Selatan Sumatera Utara Jawa tengah Sulawesi Tengah
Universitas Sumatera Utara
Lampung
54
320.716
120.840
23
3
4
25
Sulawesi
48
54.555
16.994
25
3
4
17
NAD
47
362.067
61.059
11
1
9
26
NTT
44
472.751
2.955
28
2
4
22
Riau
33
134.170
14.056
8
0
2
23
Kalimantan
33
1.676.614
22.684
13
1
5
16
32
266.597
29.134
14
1
4
15
Papua
28
4.012.224
35.943
15
2
0
12
Provinsi
171
1.073.904
57.885
68
9
16
95
1.753
10.892.202
1.189.481
719
59
219
833
selatan
Timur Sumatera Barat
Lain Total
Sumber: Konsorsium Pembaharuan Agraria, Refoma Agraria Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan, 2005, Hal. 23.
Hal ini diperkuat oleh Fauzi 14 (2003), meringkas berbagai problem agraria selama masa Orde Baru sebagai berikut: 1. Ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang secara sengaja dibiarkan berkembang dengan dijalankannya politik pembangunan agraria yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan diabdikan pada keadilan social. 2. Politik agraria yang dijalankan oleh Orde Baru selama ini juga menciptakan berkembangnya konflik-konflik dan atau sengketa agraria yang massif dan mendalam sifat kekerasannya. 14
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Op.Cit, hal. 23-24
Universitas Sumatera Utara
3. Politik pembagunan agraria yang mengandalkan penanaman dan penumpukan modal pada sector-sektor pokok ekonominya yang terutama dibiayai hutang asing telah gagal membangun modal dlaam negeri sebagai jaminan dari berkelanjutan pembangunan. 4. Politik sentralisme maupun sektoralisme hokum keagrarian telah menghasilkan pengambilalihan sumner-sumber agrariia yang menjadi hak rakyat dan terjadinya konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria dengan mengorbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan serta menjadikan pertanian menjadi sector yang dibelakangkan. Bukan hanya potret ketimpangan penguasaan tanah, kemiskinan serta pemaksaan yang menjadi gambaran petani, melainkan juga petani menjadi pihak yang kerap harus dihilangkan factor produksi terpenting yang mereka kuasai yaitu tanah. Petani harus berjuang keras mempertahankan secuil tanah yang selama ini mereka kuasai bahkan dalam banyak kasus mereka harus diperhadapkan dengan berbagai macam kekerasan fisik. 15 Masalah terbesar agraria 16 saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut: 1) Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. 2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. 3) ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam.
15
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1998, hal. x 16 http://www.okezone.com/2008/02/20, Joko Ryanto SH, Pembaharuan Agraria dan Hak Asasi Petani, Jakarta; Artikel, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah. Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan sedang disusun Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 yang kini genap berusia 47 tahun. Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan sebagai masalah agraria (yang cakupan telaahnya jauh lebih luas). Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi: a) Hak menguasai sumber daya alam (SDA) yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai ''negara mempunyai wewenang untuk mengatur" kepentingan dan pengabdian pada masyarakat. b) Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah agraria. Akumulasi persoalan dari perubahan situasi ekonomi dan politik yang terus berkembang yang memaksa kaum tani Indonesia harus terus menerima beban berat dari eksploitasi tanah (dan sumber-sumber alam lainnya) yang semakin menyempit dan hancur kesuburannya, de-politisasi massal semasa Orde Baru, hingga kebijakan neo-liberalisme pemerintahan pasca reformasi seperti
Universitas Sumatera Utara
perdagangan bebas, pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, pupuk, obatobatan, traktor dan impor beras yang semakin menghancurkan daya produksi pertanian nasional dan mencampakkan kaum tani Indonesia ke jurang kemiskinan dan kebodohan. 17 Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri
(petani berlahan sempit
lainnya) yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya.
Tabel 2. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura. Jumlah Petani di Jawa dan Tahun Sensus Pertanian
Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha) Madura
1963
7,95 Juta
0,71
1973
8,27 Juta
0,60
1983
10,27 Juta
0,30
Sumber : Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan perjungan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme,2006, Hal. 1.
17
Serikat Tani Nasional, Pidato Menyambut Hari Tani Nasional 2006. Bogor: Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional, 2006, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Asumsi sementara yang menjadi alat analisis memahami fakta sempitnya skala udaha tani adalah realitas terjadinya ketimpangan struktur penguasaan agraria. Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sudah terjadi sejak masa colonial sekitar abad ke-19, ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin tajam tersebut ditunjukkan secara berlanjut yakni semakin sempitnya skala usaha tani dan semakin meningkatnya jumlah tunakisma ironisnya seperti yang tercatat dalam sensus pertanian tahun 1993, sebagian besar tanah pertanian (69%) dikuasai oleh sekelompok kecil rumah tangga pedesaan (16%), dan sebaliknya sebagian kecil tanah atau sisanya (31%) dikuasai oleh sebagian besar (84%) rumah tangga pedesaan. Mereka ini adalah rumah tangga yang menguasai tanah tidak lebih dari 1 Ha dab petani tunakisma. Sehubungan dengan petani tunakisma ini, Kano (1988:4) menemukan dua faktor yang menyebabkan adanya perbedaan yang paling jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di masyarakat pedesaan jawa, menurut Kano factor demografi yakni tingginya man land ratio 18 dan factor ekonomi yakni komersialisasi pertanian yang terjadi di Jawa meupakan factor yang tidak bisa disangkal lagi sebagai penyebab munculnya tunakisma dan semakin sempitnya areal luas lahan yang dapat dikuasai petani. 19 Konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto. Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta 18
Man Land Ratio adalah Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah luas lahan
pertanian. 19
Endang Suhendar dan Yohana budi Winarni, Op.Cit, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha. 20 Dengan demikian kecilnya skala usaha tani yang dimiliki sebagian besar petani menunjukkan pola hidup petani di Indonesia yang subsisten. Dikatakan demikian karena keterbatasan berproduksi disebabkan kecilnya usaha tani yang dimiliki. Keadaan ini menjadi indicator yang jelas dalam mengukur kemampuan petani dalam mengelola dari produksi. Dalam arti, kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan untuk komsumsinya sendiri agra terpenuhinya dahulu daripada mencari untung dan suplus yang dapat dihasilkan dari fartor produkasi yang sangat terbatas. Walaupun demikian menurut Wiradi (1990), persoalan skala usaha tani dan satuan luas usaha sampai sekarang sebenarnya menjadi perdebatan akademis yang panjang. Menurut Nasikun, seperti dikutib Wiradi (1990:2) yang menjadi persoalan adalah mengapa ketika berhadapan dengan semakin gencarnya intervensi kapitalisme agraria, petani kecil masih bias bertahan utamanya dengan modal keterbatasannya itu. Masalah ini menjadi persoalan yang menarik ketika sampai pada pembahasan cara petani bertahan dari intervensi akumulasi modal para kapitalis yang termanifestasi dalam konflik-konflik agrarian yang berkepanjangan dan sangat bertentang dengan cara hidup petani yang secara prinsipil hidup sederhana. 21
20
Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme, Materi Situasi Nasional, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP-STN), hal. 5 21 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Op.Cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Tanggal 16 Agustus 2006, Presiden SBY menyatakan tingkat kemiskinan berhasil diturunkan. Hal ini adalah bertentangan dengan kenyataan bahwa menurut data dari lembaga mandiri, hingga bulan April 2006, tingkat kemiskinan sudah mencapai angka 22 % dari total penduduk Indonesia. Itu artinya, sekitar 40an juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Namun jika kita merujuk pada tingkat pendapatan 2 dollar/hari (±Rp. 19.000), kita akan lebih terkejut lagi dengan kenyataan bahwa separuh atau sekitar 110 juta dari penduduk kita yang sudah mencapai 220 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. 22 Sekitar 70 % atau hampir ¾ dari rakyat miskin tersebut adalah: kaum tani23.
Dari
gambaran
ini
seharusnyalah
ditetapkan
kebijakan
yang
menguntungkan kaum tani. Tapi kenyataan selalu jauh dari harapan dan impian . Bukannya hidup yang lebih baik, malah terus dibebani dan ditimpakan beban yang lebih berat lagi. Kenaikan harga eceran pupuk pertengahan tahun 2006 semakin membuat masih beratnya kita menanggung kenaikan semua biaya produksi dan kehidupan sehari-hari akibat kenaikan harga BBM. Sesak inipun masih harus ditambah dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras yang akan menghantam harga jual gabah. Berbagai persoalan ini masih juga harus ditambah dengan masih banyaknya represifitas yakni kekerasan aparat negara secara langsung atau tidak yang dihadapi oleh perjuangan kaum tani di Indonesia. Di
dalam
penyelesaian
persoalan
kurang
berkembangnya
dan
keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum 22 23
Serikat Tani Nasional, Pidato Menyambut Hari Tani Nasional 2006, Loc.Cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
imperialis dan kapitalis/imperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang menjadi bawahannya (militer, pengadilan, juga pemerintahan daerah)m juga institusi parlemen. Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, Tarif Dasar Listrik, ndustri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU. Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita tidakpernah mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk menindas perjuangan kaum tani. Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja
Universitas Sumatera Utara
modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum tani. Sehingga konflik agraria yang melibatkkan petani selalu terjadi disepanjang sejarah dan petani tetap berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi posisi petani lemah karena sebagai produsen. Secara politik posisi petani sangat lemah karena tidak memiliki kesempatan untuk mandiri dan berorganisasi dan beraliansi dengan kekuatan politik yang dapat mengangkat aspirasi mereka. Tentunya dari persoalan pokok yang dihadapi oleh kaum tani, yakni kebutuhan akan tanah sebagai sumber penghidupannya (bertahan hidup/alat produksi) terjadi gejolak terhadap ketimpangan struktur agraria yang ada sehingga timbulnya penuntutan-penuntutan bahkan perlawanan gerakan tani untuk penyelesaian sengketa yang menimpa mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya telah kehilangan tanah sebagai simbol kesejahteraannya. Dalam melakukan perlawanannya Kaum Tani terorganisir dalam sebuah kolektif kerja untuk melakukan penyusunan strategi dan taktik perlawanan terhadap pemegang otoritas negara, karena sepanjang sejarah sejak bedirinya Orde Baru tak satupun institusi negara bahkan Badan Pertanahan Nasional sekalipun tidak memiliki niatan baik dalam menyelenggarakan amanat Undang-Undang Pokok Agraria No. 05 Tahun 1960 dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria di Indonesia Khususnya di Sumatera Utara. Karena, gerakan sosial petani harus dibangun dengan landasan kolektif dan segaris massa seta membangun kedisplinan dalam melakukan perlawan terhadap hegemoni negara melalui
Universitas Sumatera Utara
apparatus
pemerintahannya
yang
telah
berselingkuh
dengan
pemilik
modal/pengusaha. Tentunya ini akan membangun hubungan yang kontradiktif sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan. Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir diseluruh tanah air pada dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat seperti halnya di desa Pematang Lalang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang, yang persoalannya menimpa masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. Sebuah konflik klasik yang berawal dari sengketa tanah seluas 360 Ha dilokasi HGU PT.Anugerah Tambak Perkasindo Tbk dan menempatkan petani (STN-Pematang Lalang) pada posisi yang berhadap-hadapan dengan negara dan pengusaha (PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk), bahkan tidak jarang tindakan refresif menyertainya dengan menggunakan alat negara (TNI/POLRI) dan juga preman bayaran untuk melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan dalam upaya melakukan penggusuran dari lahan sengketa. Konflik yang dimulai sejak tahun 1988 dimana PT. Anugerah Tambak Perkasindo (ATP) yang bergerak dalam pertambakan udang telah menguasai tanpa membayar tanah rakyat yang diperoleh dengan surat panitia Landreform pada 1967 melalui organisasi Persatuan Tani Islam Indonesia (PERTISI) yang kemudian tanah dibagikan seluas 360 Ha kepada 161 warga dengan surat Kohir IPEDA serta Peta Persil suguhan. Barulah pada tahun 1995 muncul izin Hak Guna Usaha untuk melegitimasi praktek pertambakan udang yang telah dilakukan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk selama ini. Izin Hak Guna Usaha tersebut diatur dalam keputusan
Universitas Sumatera Utara
Kanwil BPN Sumatera Utara No. 1/HGU/22.04/95 tertanggal 21 Maret 1995 untuk
pengaturan
95,04
Ha
serta
Keputusan
Kepala
BPN
Nasional
No.19/HGU/BPN/2001 tertanggal 7 Agustus 2001 untuk 335,8 Ha. Setelah beberapa tahun perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk maka untuk kepentingan memperjuangkan kasus sengketa tanah tersebut kemudian, pada tahun 2004 masyarakat desa Pematang Lalang kemudian membangun kembali sebuah organisasi tani yang bernama PERTISI (Persawahan Terindah Seluruh Indonesia) yang dipimpin oleh Kamelia Hasibuan. Dalam proses perjuangannya, tepatnya pada bulan Mei 2005, PERTISI melalui Kamelia Hasibuan mengundang elemen mahasiswa yaitu Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi wilayah Sumatera Utara (Eksekutif Wilayah LMND Sumut) untuk ikut terlibat mendampingi proses perjuangan sengketa tanah tersebut yang saat itu sedang membangun sekolah tani de Desa Pematang Lalang. Hingga, Tahun 2005 terbentukalah Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang yang merupakan hasil kesepakatan bersama petani setelah kepergian Kamelia dengan alasan karirnya. Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih mendalam mengenai gerakan perlawanan petani Pematang Lalang yang merupakan gambaran perlawanan dan bentuk protes kaum tani melalui organisasi Serikat Tani Nasional Pematang Lalang terhadap ketidakadilan agraria yang sedang menimpa warga desa Pematang Lalang. Gerakan ini secara Spontan mengejutkan warga desa ketika hadirnya perusahaan yang bergerak di bidang budidaya tambak udang bernama PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, pengusahanya bernama Ishak Charlie. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
Universitas Sumatera Utara
ketenangan kaum tani yang selama ini dalam bekerja di lahan yang mereka kuasai dan kelola (produksi) sebagai sebuah areal persawahan dengan sendirinya telah terusik oleh keberadaan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Ketika modal/Investasi memasuki wilayah pedesaan maka dibutuhkan lahan yang luas untuk dapat menghasilkan keuntungan yang lebih maksimal. Perlahan-lahan posisi kaum tani di desa pematang lalang telah terjepit dan tergusur dari tanahnya sendiri oleh karena lahan yang selama ini mereka kuasa dan mereka kelola sebagai sumber mata pencaharian pokok bagi hidup mereka telah di rampas oleh kekuatan uang (Pemilik Modal) yang berkolaborasi dengan negara untuk memaksa petani keluar dari areal kelola produksinya. Tentunya ini merupakan tragedi kemanusiaan dimana telah terjadi pemiskinan secara struktural dipedesaan (Pematang Lalang) karena tanah telah dimonopoli oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk.
1. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis merumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut: a. Bagaimana Deskripsi sejarah penguasaan tanah dan basis konflik yang dialami oleh Serikat Tani Nasional desa Pematang Lalang (STN-Pematang lalang) Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. b. Bagaimana strategi-taktik Perlawanan Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang), Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara sebagai sebuah gerakan
Universitas Sumatera Utara
sosial yang sedang bejuang dan melawan atas sengketa tanah mereka dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo. c. Bagaimana peran, keterlibatan dan keberpihakan negara melalui apparatusnya dalam sengketa antara Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang
(STN-Pematang
Lalang)
dengan
PT.
Anugerah
Tambak
Perkasindo Tbk.
2. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mencari fakta sejarah penguasaan/kronologis tanah, hak kepemilikan (tanah) dan konflik agraria yang sedang dialami oleh Serikat Tani Nasional Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang), dengan tujuan untuk mengetahui dan membongkar sejarah penguasaan tanah/kronologis tanah sengketa yang sampai sekarang menjadi persoalan pokok bagi Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang). b. Menganalisis perlawanan Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang sebagai sebuah gerakan sosial petani terhadap pengusaha (PT.Anugerah Tambak Perkasindo Tbk). c. Menjelaskan posisi negara, perannya serta posisi keberpihakannya terhadap kasus antara Serikat Tani Nasional
Desa Pematang Lalang
dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk.
Universitas Sumatera Utara
3.
Manfaat Penelitian. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat teknis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengasah dan mempertajam kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dalam menganalisis kondisi sosial masyarakat. b. Manfaat akademis, penelitian ini bermamfaat untuk mempertajam analisis tentang teori negara dan kekusaan yang erat kaitannya dengan disiplin ilmu politik. c. Manfaat praksis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebuah konsumsi dan refrensi bagi gerakan sosial petani khususnya Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang (STN-Pematang Lalang) dan gerakan sosial lainnya serta lembaga-lembaga yang kerkompeten.
5. Kerangka Teori Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses penelitian. 24 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitian serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten. 25 Dekripsi teori disini menerangkan tentang variable yang diteliti, baik yang bersifat deskripstif (satu variable) atau lebih dari dua variable (hubungan, pengaruh dan komparatif) 26.
24
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1987, hal. 21. 25 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 65. 26 Drs.Ridwan, M.B.A, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Peneliti dan Peneliti Pemula, Bandung: Alfabeta, 2006, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan, mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam penelitiannya,
termasuk
dalam
merumuskan
asumsi-asumsi
dalam
penelitiannya. 27 Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai berikut: 5.1. Teori Gerakan Sosial (Petani). Pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara gerakan sosial juga bisa dilihat sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu ke waktu atau juga untuk menghentikan kondisi status quo.
27
O. Setiawan Djuaharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: Yrama Widya, 2001, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan istilahnya maka pelaku gerakan adalah rakyat atau kalangan masyarakat tertentu khususnya petani. Gerakan sosial pada varian yang lain ada kalanya untuk pertama kali dijalankan oleh negara. Lalu dalam prosesnya menjadi gerakan sosial dalam masyarakat. Varian lain mengatakan bahwa bisa saja awalnya dilakukan masyarakat namun kemudian diadopsi dan dijalankan oleh negara. Proses adopsi oleh negara ini juga dapat bersifat kooptasi sehingga melenceng dari tujuan dan maksud semula, namun bagaimanapun variannya yang paling utama adalah masyarakat atau petanila dalam hal ini yang menjadi subjek atau pelaku utamanya. Berdasarkan dari sifat dari penindasan yang bersifat global saat ini, maka gerakan sosial termasuk kaum tani semestinya mempunyai gagasan-gagasan, prinsip, nilai-nilai dan tujuan yang radikal sejak dari awal kemunculan hingga tercapainya tujuan itu sendiri. Gerakan sosial berusaha menghilangkan akar structural dari penindasan itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Organisasi tani harus mempunyai gagasan-gagasan yang mampu secara konseptual mengganti konsepsi dunia pertanian yang dipaksakan oleh kalangan neoliberalisme. Organisasi tani harus berada posisinya berada di depan sebagai kekuatan anti neoliberalisme. Perannya sangat menentukan karena petanila pilar kehidupan. Organisasi petani adalah organisasi keluarga petani. Maka setiap anggota keluarga petani, khususnya petani miskin dan tertindas adalah “sel-sel tempur” melawan neoliberalisme. Itulah inti gerakan sosial kaum tani. 28
28
Muhammad Haris Putra, Posisi dan Peran Organisasi Petani sebagai “Gerakan Sosial” (Social Movement) melawan Neoliberalism, Suara USU, Agustus 2006, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pemikir dan aktivis radikal Italia, Antonio Gramsci 29 menyatakan tidak dapat disepelekan, dan tidak dapat dianggap kurang penting dibandingkan dengan gerakan kelas menengah dan gerakan kaum muda terpelajar, yang terlalu dielu-elukan dalam tradisi liberal. Juga tidak dapat disepelekan dibandingkan dengan gerakan kaum buruh, yang selalu menjadi idola kaum Kiri. Dewasa ini, justru sinerji di antara berbagai gerakan kemasyarakatan (social movements) yang perlu dilihat dan diperjuangkan, untuk memperkuat dampak politik transformatif gerakan petani baik gerakan petani gurem (peasant movement ) maupun gerakan bangsa-bangsa pribumi (indigenous peoples movement ). Menurut
Sadikin Gani 30, gerakan sosial dapat bermacam-macam
pengertianya, ini merupakan konsekuensi logis dari: (1)
Realitas sosial yang selalu berubah;
(2)
Beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat yang hendak “dijelaskannya” (positivisme), “dipahaminya” (interpretatif), dan “diubahnya” (kritisisme);
(3)
Adanya hubungan timbal-balik antara realitas sosial (yang “diteorikan”) dengan teori sosial (yang “direalitaskan”); dan khusus untuk konteks Indonesia adalah
(4)
Adanya persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Karena rumusan sebuah istilah senantiasa dikendalikan oleh paradigma
pemikiran atau
landasan
filosofis
yang
mendasarinya,
kedudukan dan
29
George Junus Aditjondro, Ketika Petani Angkat Bicara, Dengan Suara Dan Massa: Belajar dari Sejarah Gerakan Petani di Indonesia dan Amerika Selatan, Palu: Yayasan Tanah Merdeka, 2006, hal. 1. 30 http://rumahkiri.net /2008/03/04/ Sadikin Gani, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial, artikel, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan studi gerakan sosial dalam khasanah perkembangan ilmu sosial. Pembahasan masalah ini penting, mengingat perkembangan ilmu sosial, demikian pula realitas sosial yang membentuk dan dibentuknya senantiasa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah teka-teki yang masih tersembunyi dan belum terjawab di dalam paradigma sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu. Tekanan eksternal terjadi pada dua tataran. Pertama, terjadinya pergeseran-pergeseran di dalam gaya pemikiran (intellectual fashions) dan aliran pemikiran (intellectual currents); dan kedua, datang dari perubahan yang terhadi dalam gejala-gejala itu sendiri. Kaitan antara pergeseran-pergeseran internal dan eksternal di dalam ilmu pengetahuan dengan pola-pola aliran pemikiran yang lebih luas; dan dengan gejala itu sendiri disebut sebagai ruang lingkup sejarah. Menurut Peter Burke 31, seorang sosiolog Amerika, ada dua tipe gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial untuk memulai perubahan. Kedua, gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi. Bila dikaitkan maknanya dengan
gerakan di Indonesia, maka dapat dikategorikan menjadi
sebelum dan sesudah 1966. Pada masa sebelum 1966, mobilisasi gerakan sosial mengarah pada pemberian
dukungan terhadap legitimasi negara yang baru
berdiri. Sedangkan pasca 1966, gerakan yang terjadi lebih mengarah pada kritik atau reaksi terhadap kebijakan negara, seperti peristiwa Malari, Kedung Ombo, Tanjung Priok,
gerakan reformasi 1998, dan sebagainya. Sebenarnya masih
cukup banyak pendapat pakar-pakar ilmu sosial tentang wacana gerakan sosial, yang relevan secara praksis dengan perkembangan gerakan sosial di Indonesia. 31
Aliansi Masyarakat Adat Nasional, Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial, Boladangko: Makalah Seminar, 2007, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Gerakan sosial di Indonesia sesungguhnya memiliki akar sejarah yang kuat. Dimulai sejak perlawanan rakyat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda gerakan sosial sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang, era Neoliberalisme dengan benderanya Globalisasi. gerakan petani, buruh, pemuda dan mahasiswa telah menghiasi catatan sejarah
gerakan sosial Indonesia. Lihat bagaimana
militannya perlawanan kaum tani terhadap kolonialisme Belanda pada 1926 walaupun dapat dipatahkan, kemudian perjuangan bawah tanah para pemuda melawan fasisme Jepang pada masa revolusi kemerdekaan, lihat juga bagaimana perjuangan kaum buruh menuntut nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Dan masih banyak lagi berbagai perlawanan dari masing-masing sector gerakan sosial Indonesia. Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan, memblok kebijakan perdagangan babas yang menghancurkan dan bahkan menjatuhkan rejim yang korup. Dalam konteks nasional, baik di tingkat federal maupun provinsi, gerakan tani telah menjadi musuh bersama bagi negara dan pemodal. Di banyak negara (tapi tidak semunya) Amerika Latin, gerakan taninya memainkan peran politik yang utama dalam mempengaruhi kebijakan nasional sepanjang abad ke-21. Di Bolivia, Brazil, Kolombia, Ekuador, Peru, Amerika Tengah, Paraguay dan Mexico, petani, tukang kebun dan organisasi-organisasi petani-Indian secara instrumental memiliki momen yang berbeda dalam seting agenda nasional. Agar menjadi jelas, di semua negara persentasi penduduk
Universitas Sumatera Utara
pedesaan kian menurun, namun dalam banyak kasus kualitas organisasi sosial dan kepemimpinan mereka semakin meningkat, paling tidak jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi penduduk perkotaan. Ada beberapa alasan obyektif dan subyektif yang menyebabkan gerakan tani saat ini begitu maju 32. Pertama, kebijakan neoliberal demikian menjepit kehidupan petani: di satu sisi membanjirnya barang-barang impor sebagai pengganti makanan dan di sisi lain produk-produk agrikultur lainnya harganya melorot drastis sehingga menyebabkan petani penghasil jatuh bangkrut; di sisi lain terdorong untuk mengakumulasi keuntungan dari pertukaran luar negeri, rejim neoliberal menempuh kebijakan untuk memperluas sektor agroekspor, serta memimpin pengusiran paksa petani penghasil dari tanahnya. Kebangkrutan dan pengusiran tidak hanya berarti meningkatnya angka pengangguran atau merosotnya jumlah pendapatan tapi, juga penduduk yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan komunitas dan keluarganya yang terdekat. Itu juga berarti, "kehancuran," sebuah pengalaman keterasingan yang mendalam. Ancaman dan kenyataan yang diakibatkan oleh neoliberalisme secara khusus ditemukan di wilayah pedesaan, dimana tidak ada alternatif untuk tempat tinggal, komunitas dan pekerjaan. Dampak yang paling menghancurkan dari neoliberalisme semakin terasa kuat di wilayah pinggiran ketimbang di perkotaan. Secara subyektif, pemimpin tani yang baru lahir memiliki pendidikan yang lebih baik, terpolitisasi dan independen dari pengaruh elite perkotaan dan mesin partai, lebih mengerti tentang politik nasional dan internasional dan bebas dari
32
James Petras, Strategi-strategi Perjuangan: Sentralisasi Gerakan Tani di Amerika Latin, Bacaan Organizer Serikat Tani Nasional, 2005, hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
pengaruh hegemoni pengacara provinsi dan pemimpin-pemimpin petani profesional lainnya di masa lalu. Selain itu, tidak seperti serikat buruh lama dan kepemimpinannya yang terbirokratisasi dan menjadi bagian yang menyatu dengan komisi "tri-partite",
gerakan tani yang baru lahir di atas basis kelas yang
independen dan perjuangan etnis menentang persetujuan dagang antara kelas penguasa lokal dan negara imperial. Untuk kedua alasan subyektif dan obyektif ini, gerakan tani diasumsikan pada waktu dan negara yang tepat untuk menjadi "pelopor/vanguard," sebagai pemicu ledakan perubahan sosial besar-besaran dalam menentang elite neoliberal. Masyarakat petani di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka (1950-1960-an) sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan sosial Barat. Kajian terhadap masalah petani terutama berpusat pada hubungan mereka (petani) dengan negara, terutama jika mereka menimbulkan masalah bagi negara (revolusioner dan membangkang). Konteks hubungan petani dan negara tersebut secara spesifik adalah konteks penetrasi kapitalisme Barat (terutama Amerika Serikat) ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka. Tumbuhnya perhatian besar terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka bukan semata-mata didorong oleh minat dan kehausan intelektual, melainkan karena tekanan internal dan eksternal dalam ilmu sosial 33, yakni kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang memiliki relevansi teoretis dan politis. Dengan kata lain, perhatian tersebut didasari oleh kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang sesuai dengan kepentingan ideologi-politik yang
33
www.prp-indonesia.org/2008/03/04 Sadikin Gani, Posisi Petani dalam Penelitian Sosial: Arena Pertempuran Kuasa, 2007, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
dominan maupun marjinal dalam sebuah masyarakat. Pertempuran antara kubu ekonomi moral lawan ekonomi rasional yang muncul dalam konteks “Perang Vietnam” misalnya, bukan semata-mata perdebatan antara kubu kaum substantifis dan rasionalis yang murni muncul karena pertimbangan-pertimbangan teoretis, melainkan dipicu oleh pertempuran kapitalisme lawan sosialisme; kaum revolusioner lawan kontra-revolusioner. Demikian pula perdebatan antara intelektual pengusung gagasan reforma agraria lawan pendukung revolusi hijau dalam konteks Perang Dingin dan era state-led-development (tahun 1960-1970an) pada dasarnya merupakan pertempuran antara kubu kapitalisme lawan sosialisme dan populisme. Sampai pada titik ini kita bisa menyepakati Scott yang mengatakan, bahwa perdebatan ilmiah bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh konteks historis dan politisnya. Menurut James C. Scott “ Perlawanan (resistensi)penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya: sewa, pajak, penghormatan. Yang dikenakan oleh kelas itu pada kelas diatasnya (misalnya:negara, tuan tanah, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk megajukan tuntutan sendiri (misalnya:pekerjaan, rumah, lahan, kemurahan hati dan penghargaan) terhadap kelas-kelas diatasnya.” 34 Dari defenisi diatas ada 3 hal yang perlu dijelaskan: 1. Tidak ada keharusan bagi perlawan untuk mengambil bentuk aksi bersama 2. Perlawanan merupakan permasalahan yang sangat pelik
34
James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 302.
Universitas Sumatera Utara
3. Defenisi ini mengakui apa yang dapat dikatakan perlawanan simbolis atau ideologis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas. Lebih lanjut Scott menjelaskan tentang perlawanan yang sesungguhnya bersifat: 35 1. Terorganisir, sistematis dan kooperatif 2. Berprinsip atau tanpa pamrih 3. Mempunyai akibat-akibat revolusioner 4. Mengandung gagasan dan tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri Sebaliknya Scott menjelaskan juga perlawanan yang bersifat insidental yaitu: 1. Tidak terorganisir, tidak sistematis dan individual 2. Bersifat untung-untungan dan berpamrih 3. Tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner 4. Maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada Perbedaan ini penting bagi setiap analisis yang bertujuan untuk mencoba menggambarkan berbagai bentuk perlawanan kaitannya satu sama lain dan kaitannya dengan bentuk dominasi yang di dalamnya terjadi semuanya itu. Selanjutnya dalam pandangan Scott, posisi ini secara fundamental memberikan gambaran yang salah mengenai dasar perjuangan ekonomi
politik yang
sebenarnya, yang sehari-hari dilakukan oleh kelas-kelas bawahan tetapi juga para
35
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
petani dan pekerja. Posisi ini didasarkan atas gabungan yang ironis dari asumsi kaum Leninis dan borjuis tentang apa yang membentuk aksi politik. Harus dimengerti bahwa perlawanan itu bukannya apa yang sekedar yang dilakukan kaum tani untuk mempertahankan diri serta rumah tangganya. Banyak dari apa yang mereka perbuat itu harus dimengerti sebagai suatu kerelaan sekalipun disertai gerutuan. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komuditi kecil atau pekerja, dapat memaksa beberapa dari mereka untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan teman-temannya. Bagi Scott meyakini bahwa para petani senantiasa berperilaku menghindari resiko yang dinilainya sebagai karakter dari masyarakat tradisional, masyarakat tradisional mempunyai suatu tertib moral yang tak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan petani telah menghasilkan system jaminan keamanan hidup internal yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi semua orang desa. Kolonialisme telah mengukir eksploitasi tanpa batas yang dikenakan pada para petani sedemikian rupa sehingga terbentuklah diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria, kemorosotan dari moral mengutamakan kebersamaan, dan kapitalisme agraria yang rakus kesemuanya ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup petani. Scott selanjutnya menekankan moralitas dan kemarahan petani sebagai respon yang niscaya begitu adanya menghadapi hilangnya jaminan keamanan subsistensi minimum. Alhasil, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat dari keinginan konservatif dan restoratif (mempertahankan dan atau mengembalikan tatanan yang terdahulu). Selain Scott, Jeffry Paige (1975) 36 dengan karyanya “Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga “ yang 36
Jeffry Paige, Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negaranegara Dunia Ketiga, Pasuruan: Pedati, 2004, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
tidak memperdulikan soal-soal moralitas, rasionalitas. Paige menggunakan analisis kepentingan kelas pada situasi pedesaan yang diistilahkannya menjadi “Objektive Vector of Capitalism” . Ia merujuk pada situasi nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan lainnya. Selanjutnya Paige mempermasalahkan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi atau tampilan politik petani. Model analisa Marxis menjadi rujukan Paige ini memperkirakan kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala: 1.
Suatu kelas penguasa tanah berkuasa terus atas dasar penguasaan tanahnya
2.
Para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas
3.
Kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas
Sadikin Gani 37, dalam artikelnya didasari oleh 3 pengandaian tentang perlawanan tkaun tani: Pertama, perlawanan petani merupakan upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan mereka atas sebidang tanah– merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria (tanah) merupakan gejala dan/atau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak37
Sadikin Gani, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial, Op. Cit. hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui dan/atau merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini sebagai miliknya. Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria. Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial, karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani untuk mewujudkan reforma agraria. Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan reforma agraria bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan refor ma agraria.
5.2. Teori Hegemoni Negara Konsep hegemoni merupakan sumbangan Gramscy yang utama terhadap teori politik dan bersumber pada revisinya terhadap Marxisme klasik. Tapi, Gramscy tidak memutarbalikkan model basis super struktur tradisional Marxis, tetapi menafsirkan kembali secara crocean. Disinilah hal yang menarik dari
Universitas Sumatera Utara
konsep
Gramscy.
Ia
menolak
interpretasi
“Materialisme
Vulgar”
dan
kecenderungan sosiologi positifis evolusioner seperti yang digagas oleh Bhukarin yang mengatakan bahwa kejatuhan kapitalisme dan munculnya sosialisme akan berlangsung secara alami seperti malam mengikuti siang. Menurut Marx, masyarakat membentuk negara dan masyarakat dibentuk pula oleh cara produksi yang dominan dan hubungan-hubungan produksi yang ada di dalamnya. Karena itu negar merupakan ekspresi politik dari struktur klas yang melekat dalam produksi. Dalam masyarakat berkelas, seperti masyarakat kapitalis,
negara
didominasi oleh kaum borjuis, dan oleh sebab itu negara marupakan ekspresi politik dari klas dominan. 38 Munculnya negara dalam masyarakat kapitalis adalah akibat dari tidak terdamaikannya pertentangan klas (antara borjuis dan proletar) dalam struktur masyarakat tersebut. Negara juga mengontrol perjuangan sosial dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol tersebut dipegang oleh klas yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian negara juga menjadi alat represif dari klas yang berkuasa. Selain kekuatan represif tersebut, negara juga menjalankan kekuatan hegemoni yang mampu melanggengkan kekuasaannya, yang berarti kekuasaan dari klas dominan. Maka, hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator. Atau dengan kata lain, salah satu hal yang menyebabkan kapitalisme bertahan adalah genggaman ideologisnya terhadap massa proletar.
38
Antonio Gramscy: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003,
hal. 17
Universitas Sumatera Utara
Dalam telaah negara dan hegemoni menurut Gramscy, mengajukan hipotesa bahwa kritik Gramscy terhadap Marxisme klasik adalah upaya untuk mengakomodasikan perhatian idealis atas pentingnya gagasan dan kehendak dalam penciptaan tindakan. Hal ini berkaitan erat dengan solusi tindakan politisnya untuk melawan hegemoni kapitalisme dengan terlebih dahulu melawan aparatis ideologinya. Dengan demikian, formulasi tentang negara adalah sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni didukung oleh sarana penekan (masyarakat politik). Hegemoni sebagai superstruktur mempunyai pengaruh dalam masyarakat sipil dalam melakukan radikal.
perubahan sosial yang
39
Konsep kekuasaan negara telah menjadi debat panjang dari pemikirpemikir pada Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles 40 dalam pandangannya menyatakan bahwa negara itumembutuhkan kekuasaan
yang
mutlak
untuk
mendidik rakyatnya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pada jaman pertengahan ide tersebut mengalami rekonstruksi dalam lingkup kekuasaan teologis gereja. Pada saat itu negara dianggap sebagai wakil gereja di dunia dan gereja adalah wakil Tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Ini lantas menjadi legitimasi kekuasaan mutlak dari negara. Pada masa Renaisance terjadi proses sekularisasi yang memisahkan negara dan gereja. Pada jaman ini lahir pandangan bahwa negara merupakan wakil kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya memiliki kepentingan pribadi dan terpecah-pecah. Hal senada diperkuat oleh konsep
39 40
Ibid, hal. 18 Ibid. hal. 23
Universitas Sumatera Utara
dialektikanya Hegel 41 yaitu Negara adalah ungkapan Roh dimana roh objektif tersebut merupakan cermin dari kehendak, pikiran dan hasrat. Dengan demikian negara merupakan institusi yang paling paham akan kehendak para individu, rakyat tidak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah negara karena ia secara objektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara subjektif. Hal ini berbeda dengan pandangan Marx, yang beranggapan eksistensi negara justru diakibatkan oleh adanya ketidakberesan yang bersifat fundamental dari masyarakat. Negara tidak mengabdi terhadap seluruh kepentingan masyarakat melainkan hanya melayani kepentingan klas-klas sosial tertentu saja, menjadi satu alat klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka. Negara adalah alat untuk menjamin kedudukan klas atas yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha klas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan klas atas. Munculnya gerakan kiri baru yaitu sebuah kekuatan yang menjelaskan bagaimana sebuah kekuasaan di negara-negara industri maju mampu mempertahankan lingkaran kekuasaannya sekaligus memberi legitimasi pada kekuasaan borjuis. Disamping itu masih dengan pandangan Gramscy yang cukup dominan mengenai hegemoni karenanya Gramscy disebut sebagai “Post Marxis”. Gagasan Gramscy yaitu hegemoni belum lagi menjadi sesuatu yang sentral dalam sebuah teori sosial Marxis. Konsep itu tidak pernah muncul secara eksklusif, karena itu konsepsi Marxis tentang negara sering diambil dari kritik Marx terhadap Hegel. Beberapa dasar teoritis dari Marx yang dapat dijadikan basis argumentasinya 42: 1) Memadang kondisi material dari masyarakat sebagai basis dari struktur sosial dan kesadaran manusia. Maka, bentuk negarapun muncul dari 41 42
Ibid. hal. 24 Ibid. hal. 28-30
Universitas Sumatera Utara
hubungan-hubungan produksi dan bukan berdasarkan perkembangan umum manusia atau keinginan manusia untuk berkolektif. Baginya, mustahil untuk memisahkan interaksi manusia sebagai bagian dari masyarakat dengan interaksinya yang lain: bahwa kesadaran manusia yang membimbing dan menentukan hubungan individual itu adalah produk dari kondisi material atau cara suatu benda diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. 2) Marx berpendapat bahwa negara merupakan ekspresi politik dari struktur klas yang melekat dalam produksi. Sementara Hegel menganggap negara adalah representasi “Kolektivitas Sosial” yang berdiri di atas kepentingan tertentu klas-klas dan menjamin bahwa persaingan antara individuindividu dan kelompok terpelihara secara teratur, ketika kepentingan seluruh kolektif sosial dilindungi dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara. Marx menolak pandangan Hegel. Ia menekankan bahwa negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat dan menawarkan formulasinya tentang masyarakat capital sebagai sebuah masyarakat berkelas yang didominasi oleh kaum borjuis, karenanya negara merupakan ekpresi politik dari klas dominan. Senada dengan Marx, Engels dalam pandangannya tentang negara menyebutkan bahwa negara memiliki asalusulnya untuk mengontrol perjuangan sosial antar kepentingan ekonomi yang berbeda. 3) Marx berpendapat bahwa negara adalah dalam cengkeraman masyarakat borjuis yang merupakan senjata represif dari masyarakat borjuis untuk
Universitas Sumatera Utara
menjaga pertentangan klas adalah hakikat dari negara atau dengan kata lain negara merupakan pelayan bagi klas yang dominan yaitu klas borjuis. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, John Markoff 43 dalam bukunya “Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik”, mempelajari kekuasaan negara dari dua perspektif yang agak berbeda. Pertama, mempertimbangkan kemampuan negara dalam membuat dan menjalankan kebijakan atau apa yang disebut dengan “kapasitas kekuasaan”. Kedua, mempertimbangkan klaim atas apa yang membuat masyarakat mau mematuhi kehendak para penguasa dan mengapa mereka harus melakukannya. Apakah karena para penguasa tersebut mengklaim diri mereka adalah wakil Tuhan atau apakah mereka memegang mandat dari rakyat. Ketika kita mendapati klaim yang membenarkan penggunaan kekuasaan, maka berhubungan dengan legitimasi. Negara seringkali membuat legitimasi atas suatu klaim, yakni klaim dalam mempraktekkan demokrasi. Dalam ruang lingkup gerakan sosial petani melawan hegemoni negara meluasnya
peran
negara
dalam
proses
transformasi
pedesaan
yang
mengakibatkan 44: Pertama, perubahan hubungan petani lapisan kaya dan lapisan miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan bentuk perlawanan kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelokan kultural. Ketiga, terjadinya atau terbangunnya senjata gerakan
43
John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 25 44 Dr. Mustain, Petani Vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, klas kaum lemah seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif Dengan demikian, konsepsi tentang negara menjadi pembahasan menarik dalam penelitian ini dimana dominasi hegemoni negara terhadap masyarakat sipil dalam hal ini gerakan sosial petani dalam menuntut hak atas tanah adalah salah satu unsur yang terlibat dalam lingkaran sengketa agraria oleh karena arah kebijakan yang mengedepankan dominasi segelintir atau klas pemilik modal.
6. Metode Penelitian. 6.1 Jenis Penelitian Menurut Hadari Nawawi 45, metode penelitian deskripstif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyrakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan. Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat pencanderaan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana basis konflik dan perlawanan gerakan sosial petani dalam hal ini Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang (STN Pematang Lalang) – Kecamatan Percut Sei 45
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Tuan – Kabupaten Deli Serdang – Propinsi Sumatera Utara terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, yang dilegitimasi oleh negara (apparatus). Yang digambarkan lewat perjuangannya melalui strategi taktik perlawanan Serikat Tani Nasional Pematang Lalang (STN Pematang Lalang). Disamping itu juga penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. 6.2 Lokasi penelitian Dalam penelitian ini, lokasi yang menjadi sumber penelitian yaitu di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di organisasi gerakan sosial petani Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. 6.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian, tahap pertama yang diperlukan adalah pengumpulan data. Data merupakan segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data, antara lain penelitian kepustakaan (library research), yang sering disebut dengan metode dokumentasi, dan penelitian, dan penelitian lapangan (field research), seperti wawancara (interview) dan observasi. 46 Oleh karenanya dalam penelitian ini penulis menggunakandua teknik pengumpulan data yakni: pertama, metode lapangan (field research). Dimana penulis akan 46
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 130.
Universitas Sumatera Utara
langsung menginvestigasi untuk mendapatkan data-data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung dengan masalah yang akan diteliti. Kedua, metode kepustakaan (library research). Sumber data lainnya diperoleh dari text book yaitu buku bacaan, artikel, majalah/ surat kabar dan web site.
6.4
Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran (out put) dari hasil yang ingin dicapai dari proses penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian di analisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis perlawanan gerakan sosial petani yaitu Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang dalam sengketanya melawan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Metode analisa dalam penelitian ini adalah metode deskriptif metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan kemudian
diinterpretasikan.
Sehingga
memberikan
keterangan-keterangan
terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian. Selanjutnya, dalam penelitian ini menggunakan perspektif gerakan sosial petani dalam melawan hegemoni negara dan pengusaha.
Universitas Sumatera Utara