BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang merata diseluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari globalisasi dalam bidang informasi, teknologi dan tak terkecuali globalisasi ekonomi telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat yang terkena imbasnya. Globalisasi ekonomi dan munculnya era perubahan merupakan tantangan yang serius bagi para pemimpin perusahaan dalam mengelola perusahaannya. Dengan adanya perubahan tersebut diperlukan kehati-hatian para pemimpin perusahaan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menjaga kelangsungan perusahaannya agar mampu eksis dalam suatu bidang tertentu. Hadirnya era globalisasi seperti yang telah dikemukakan di atas membuat persaingan bisnis semakin ketat, sehingga semua elemen masyarakat yang terjun dalam dunia bisnis turut ambil bagian di dalamnya. Pemerintah perlu meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui program mutu pendidikan. Sedangkan perusahaan-perusahaan perlu mengadopsi visi, misi dan strategi yang tepat yang didukung pula dengan sumber daya manusia dan budaya korporasi yang tepat pula. Kemampuan perusahaan dalam menghadapi perubahan zaman ternyata didasari dengan adanya kesadaran dalam sebuah perusahaan dalam membangun budaya perusahaan atau budaya korporasi. Budaya korporasi mulai dilirik dan diminati untuk dikaji sekitar tahun 80-an di mana ketika itu harga minyak dan gas
Universitas Sumatera Utara
bumi yang merosot dan ekspor komoditi non-migas didorong oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan menengah dan besar di Indonesia merasakan pentingnya suatu budaya korporasi dan oleh karena itu mereka berusaha merumuskan dan menginternalisasikannya kepada karyawan perusahaan (Ndraha, 2005: 249). Pemahaman terhadap budaya perusahaan atau budaya korporasi dilakukan kepada seluruh anggota yang ada dalam perusahaan tersebut. Ini bertujuan untuk memberikan manfaat bagi karyawan ataupun pimpinan perusahaan. Hadirnya budaya korporasi akan menciptakan kesesuaian atau kesamaan nilai antar karyawan dengan lingkungan perusahaan yang nantinya akan lebih mudah menggerakkan sumber daya manusia untuk mencapai kemajuan dari suatu perusahaan. Pendiri perusahaan adalah salah satu pilar penting dalam perumusan budaya korporasi. Menurut Robbins (2008: 267) proses penciptaan budaya korporasi oleh para pendiri awalnya dapat terjadi dalam tiga cara. Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, para pendiri perusahaan melakukan indoktrinasi dan mensosialisasikan cara pikir dan berperilaku mereka pada karyawan. Ketiga, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model yang berperan untuk mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri yang pada akhirnya akan menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Jika sebuah perusahaan dianggap mencapai suatu kesuksesan, visi pendirilah yang dipandang sebagai faktor utama penentu keberhasilan tersebut. Pada titik itu seluruh kepribadian para pendiri akan berbaur dan melekat dalam
Universitas Sumatera Utara
budaya korporasi. Contoh perusahaan Google yakni perusahaan yang berbasis pada mesin pencari terbesar di dunia, di mana penggunanya berjumlah 82 juta orang per bulan, yang memiliki akses ke lebih dari 8 juta halaman web. Budaya Google sangat informal, para karyawan (Googlers) bekerja secara berkelompok di tempat yang sangat padat dengan tiga atau empat staf berbagi tempat dengan sofa dan anjing. Hierarki korporat hampir tidak kelihatan dan para karyawan mengenakan pakaian yang tidak seragam. Kebijakan perekrutan Google lebih menekankan kemampuan daripada pengalaman (Robbins, 2008: 253). Perusahaan Toyota sebagai salah satu produsen otomotif terkenal di Jepang juga menerapkan budaya korporasi dalam pengelolaan perusahaannya yang tertuang dalam 14 Prinsip dari The Toyota Way. The Toyota Way adalah sebuah filosofi manajemen yang digunakan oleh korporasi Toyota, yang meliputi Toyota Production System. Ide-ide utamanya adalah agar mendasarkan keputusan manajemen pada “pemahaman filosofis atas tujuan (perusahaan)”, berpikir jangka panjang, memiliki proses untuk memecahkan masalah, penambahan nilai bagi organisasi dengan cara mengembangkan orang-orangnya, dan menyadari bahwa pemecahan masalah secara terus-menurus mendorong proses belajar organisasi. Adapun yang menjadi 14 Prinsip The Toyota Way adalah : Prinsip 1: Dasarkan keputusan manajemen anda pada filosofi jangka panjang, bahkan bila harus mengorbankan tujuan keuangan jangka pendek. Prinsip 2: Buat alur proses yang kontinyu untuk mengangkat permasalahan ke permukaan. Prinsip 3: Gunakan sistem “tarik” (pull) untuk menghindari produksi yang berlebihan. Prinsip 4: Ratakan beban kerja (heijunka). (Bekerjalah seperti kura-kura, bukan
Universitas Sumatera Utara
seperti kelinci). Prinsip 5: Bangun budaya agar berhenti untuk memperbaiki masalah, sehingga kualitas yang tepat diperoleh sejak pertama kali. Prinsip 6: Tugas dan proses yang terstandar merupakan dasar untuk perbaikan secara terusmenerus dan pemberdayaan karyawan. Prinsip 7: Gunakan pengendalian visual agar tidak ada masalah yang tersembunyi. Prinsip 8: Gunakan hanya teknologi yang dapat dipercaya dan benar-benar teruji untuk melayani orang-orang dan proses. Prinsip 9: Kembangkan pemimpin yang benar-benar memahami pekerjaannya, menjiwai filosofinya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Prinsip 10: Kembangkan orang-orang dan tim yang luar biasa, yang bersedia mengikuti filosofi perusahaan Anda. Prinsip 11: Hormati jaringan mitra dan pemasok dengan cara terus menantang mereka dan membantu mereka memperbaiki diri. Prinsip 12: Pergi dan melihat sendiri untuk dapat benar-benar memahami situasi (genchi genbutsu). Prinsip 13: Ambil keputusan secara perlahan-lahan dengan konsensus, seksama dalam mempertimbangkan semua pilihan; mengimplementasikan keputusan dengan cepat (nemawashi). Prinsip 14: Menjadi organisasi pembelajar melalui refleksi yang terus-menerus (hansei) dan perbaikan
yang
berkesinambungan
(kaizen)
(http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=The_Toyota_Way&oldid=4898831). Selain Toyota, perusahaan komputer dunia HP juga mengembangkan budaya korporasinya. HP berusaha menanamkan budaya perusahaan berdasarkan elemen kunci yang antara lain adalah : passion for customers, meaningful innovation serta speed and agility. Melalui tiga spirit itu, kemudian HP berusaha untuk selalu berinovasi dalam teknologi yang diminati konsumennya. Hasilnya
Universitas Sumatera Utara
Toyota adalah salah satu perusahaan otomotif terkemuka di dunia sementara HP setelah bergabung dengan Compaq mulai menjadi perusahaan terdepan dalam berinovasi
dibidang
teknologi
komputer
(http://market-
insight.blogspot.com/2008/12/konon-perusahaan-yang-unggul-diawali.html). Dari dalam negeri sendiri, ada sebuah perbankan yang memiliki budaya korporat yang baik. Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah contoh dari perusahaan yang
memiliki
budaya
korporat
yang
memberikan
pengaruh
terhadap
keberlangsungan dan produktivitas pelayanan BRI yang meliputi etos kerja, keselarasan dengan nasabah, kemampuan menangani masalah nasabah, kepuasan nasabah, karyawan yang bermutu dan mampu diberdayakan, dan peningkatan mutu jasa dan proses. Budaya korporat yang dimiliki BRI sebenarnya telah lama ada, mengakar tumbuh dan berkembang tetapi masih dalam bentuk tradisional dan tidak tertulis. Proses pembakuan budaya korporat tersebut dilaksanakan mulai tahun 1998 dengan tujuan agar dapat dijadikan acuan yang perlu dipatuhi baik oleh karyawan maupun pimpinan BRI. Budaya korporat yang baku tersebut dapat dijadikan perekat untuk mencapai tujuan perusahaan (Moeljono, 2003: 130). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulyani (2007) Bank BNI (Bank Negara Indonesia) juga memiliki budaya korporat yang baik. BNI mempunyai nilai pokok budaya korporat yang fleksibel yaitu nilai loyalitas tinggi yang diwujudkan dalam menjalankan aktivitas perusahaan dan menjalankan kewajiban sebagai karyawan perusahaan. Bank BNI juga menghargai karyawan dengan proses yang dapat menciptakan perubahan yang sangat berguna, misalnya: leadership yang berkaitan dan pengelolaan hierarki. Hal ini berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
perilaku pimpinan yang sangat memperhatikan segenap mitra usahanya dan mempelopori perubahan bila diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang logis meskipun perubahan tersebut mengandung resiko. Perusahaan-perusahaan yang bergerak sebagai perusahaan produksi juga menerapkan budaya korporasi dalam kegiatan perusahaannya. PT. Ace Hardware Medan yang merupakan perusahaan perkakas yang memiliki bentuk budaya korporat yang mengikat para karyawan dan pemimpin perusahaan dengan mengutamakan produk-produk yang baik dari segi kualitas, kelengkapan barang dan kesesuaian harga dengan kualitas serta memberikan pelayanan pada pelanggan dengan kenyamanan toko yang bersih, rapi, penerangan yang cukup, keamanan yang terjamin dan adanya keleluasaan ruang gerak (Napitupulu, 2010: 106). Melihat beberapa contoh di atas, dapat dimengerti bahwa budaya korporat sangat berkaitan dengan bagaimana karyawan sebagai sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan memahami budaya perusahaan tersebut. Pemahaman ini tentulah berkaitan dengan langkah-langkah atau kebijakan dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pimpinan atau karyawan perusahaan. Menurut Robbins dalam Moeljono (2003: 21), ada beberapa hal mengapa budaya korporat itu menjadi penting dalam sebuah perusahaan. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal ini berarti bahwa budaya korporat menciptakan pembedaan yang jelas antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Kedua, budaya korporat membawa suatu rasa identitas bagi anggotaanggota perusahaan. Ketiga, budaya korporat mempermudah timbulnya
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan komitmen pada suatu yang lebih luas daripada kepentingan individual. Keempat, budaya korporat itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Terkait dengan point keempat, budaya korporat dapat berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standarstandar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang juga sedang menghadapi era globalisasi. Globalisasi yang hadir juga merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk ke dalam dunia bisnis yang kental dengan perusahaan. Perusahaan-perusahaan pun dihadapkan dengan berbagai kondisi global yang ada. Bukan hanya perusahaan yang bergerak di bidang jasa, telekomunikasi maupun transportasi yang harus bertransformasi menghadapi era perubahan ini, perusahaan perkebunan pun turut serta di dalamnya. Sumatera Utara merupakan daerah di mana dapat ditemukan berbagai perusahaan perkebunan yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit, antara lain : PT. Socfin, PT. Lonsum, PT. Dami Mas, PT. Tunggal Yunus, dan PT. Bina Sawit Makmur dan Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS), dsb. Dalam penelitian ini saya memilih PT. Lonsum yang sudah lama malang-melintang dalam dunia perkebunan jika dibanding dengan perusahaan-perusahaan yang lainnya. Minimnya literatur mengenai budaya perusahaan perkebunan juga merupakan alasan peneliti mengapa memilih mengkaji budaya korporasi pada perusahaan perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
PT. Perusahaan Perkebunan Lonsum adalah salah satu contoh konkrit dari perusahaan yang mampu eksis di bidangnya. Perusahaan yang pada awalnya bergerak di bidang tanaman karet, teh dan kakao lambat laun lebih memfokuskan usahanya pada tanaman karet sejak awal Indonesia merdeka dan kemudian mengalami perubahan lagi menjadi kelapa sawit pada era 1980an. Akhirnya kelapa sawit menjadi komoditas utama perusahaan menggantikan karet (http://www.londonsumatra.com/content.aspx?code=10000000). Lonsum memiliki 38 perkebunan inti – kebun yang dibangun oleh perusahaan perkebunan dengan kelengkapan fasilitas pengolahan dan dimiliki oleh perusahaan perkebunan tersebut dan dipersiapkan menjadi pelaksana Perkebunan Inti Rakyat – dan 14 perkebunan plasma di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelolaan kebun dilakukan dengan menerapkan kemajuan penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-manajemen dan tenaga kerja yang terampil serta professional. Ironisnya untuk mendapatkan sumber daya manusia yang terampil, professional dan kompetitif bukanlah hal yang mudah.
Bahkan menurut data dari United Nations for Development
Program (UNDP), tentang Human Development Index Indonesia (HDI) pada tahun 2009, Indonesia berada di peringkat ke 111 dari 182 negara. Fakta ini merupakan bukti bahwa Indonesia sedang mengalami penurunan kualitas sumber daya manusia, karena pada tahun 2008 Indonesia berada di peringkat 109 dari 179 negara.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah perusahaan dapat dikatakan sukses jika perusahaan itu dapat mengoptimalkan seluruh sumber-sumber potensial yang ada di perusahaan tersebut termasuk di dalamnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah para karyawan yang telah memahami budaya korporasi yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Sehingga dalam perjalanan menjadi seorang karyawan yang masih belum mengenal budaya korporasi tempatnya bekerja (para karyawan baru) proses sosialisasi budaya korporasi menjadi suatu hal yang penting agar para karyawan baru dapat mengerti nilai-nilai dan visi misi perusahaan yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Lonsum sendiri memiliki visi untuk menjadi perusahaan agribisnis (perkebunan) terkemuka yang berkelanjutan dalam hal tanaman – biaya – lingkungan
(3C
Crops-Cost-Condition)
yang
berbasis
penelitian
dan
pengembangan. Sedangkan misi dari Lonsum adalah menambah nilai bagi “stakeholders” dibidang agribisnis. Nilai-nilai budaya korporasi yang dimiliki oleh Lonsum adalah integritas, jujur, bertanggung jawab, kerja sama, saling menghormati, peduli, unggul, disiplin dan perbaikan terus menerus. Namun, hal ini tidaklah mudah diterapkan begitu saja oleh para karyawan yang juga memiliki budayanya masing-masing. Sehingga saya merasa tertarik untuk melihat bagaimana Lonsum sebagai perusahaan perkebunan terkemuka berupaya agar para karyawan dapat turut serta dalam budaya perusahaan itu serta bagaimana Lonsum mensosialisasikan budaya perusahaan terhadap para karyawannya demi tercapainya tujuan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
1. 2 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian Fokus kajian ini adalah mengenai budaya korporasi PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk di Medan. Untuk menghindari melebarnya masalah penelitian, penulis membatasi dengan melihat bagaimana budaya korporasi di PT. PP London Sumatra Indonesia di Medan dan bagaimana proses sosialisasi yang berperan penting dalam sebuah budaya perusahaan yang nantinya budaya tersebut akan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini tertuang dalam tiga pertanyaan penelitian, yakni : 1. Bagaimana budaya korporasi yang dimiliki oleh PT. PP London Sumatra Indonesia di Medan ? 2. Bagaimana perusahaan mensosialisasikan budaya tersebut kepada para karyawan atau staf untuk mencapai tujuan perusahaan ? 3. Bagaimana para karyawan atau staf mengimplementasikan nilai-nilai budaya korporasi tersebut dalam pengelolaan perusahaan ? Penelitian dilakukan di kantor pusat PT. PP London Sumatra Indonesia di Medan, yang berada di Jl. Ahmad Yani No.2. Pemilihan tempat didasarkan karena perusahaan ini telah berkecimpung cukup lama dalam bidangnya dari tahun 1906 dan masih eksis sampai sekarang. Penulis juga menetapkan Rambong Sialang Estate (salah satu kebun yang dimiliki perusahaan) di Perbaungan. Pemilihan Rambong Sialang Estate karena selain merupakan salah satu kebun terbesar yang dimiliki oleh Lonsum, di Rambong Sialang juga terdapat Sanggar (Training Centre) tempat di mana diadakannya pelatihan-pelatihan bagi karyawan maupun staf baru. Selain dikedua tempat tersebut, penulis juga melakukan penelitian di
Universitas Sumatera Utara
Begerpang POM (Palm Oil Mill – pabrik pengolahan minyak kelapa sawit) di Kec. Tanjung Morawa sebagai lokasi penelitian. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas kedekatan lokasi dekat tempat tinggal penulis selain itu pabrik ini juga mampu menampung dan mengolah FFB (Fresh Fruit Bunch) dengan kapasitas 45ton/jam berbeda dengan pabrik lain yang hanya mampu 20ton/jam.
1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui budaya korporasi perusahaan sehingga para karyawan beserta staf dapat memahami dan menjalankannya serta dapat mengetahui bagaimana proses sosialisasi dan penerapan budaya perusahaan dalam pengelolaan perusahaan demi tercapainya tujuan perusahaan. Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan secara praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan dan memperkaya literatur mengenai budaya korporasi yang dikaji melalui perspektif Antropologi. Sedangkan secara praktis, penelitian ini juga berguna bagi perusahaan sebagai masukkan agar ke depannya perusahaan dapat lebih maju ke arah yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
1. 4 Tinjauan Pustaka Sebuah
perusahaan
memiliki
budaya
korporasinya
sendiri
yang
menjadikannya berbeda dari perusahaan lain. Terlebih lagi jika perusahaan itu telah lama malang-melintang dalam bidang usaha tertentu. Budaya korporasi A belum tentu sama dengan budaya korporasi B. Itulah mengapa budaya di suatu perusahaan belum tentu dapat di terima secara utuh di perusahaan lain. Bukan berarti budaya korporasi A lebih hebat atau superior dibanding budaya korporasi B atau sebaliknya. Tiap perusahaan pastilah memiliki budayanya sendiri dan dalam budaya itu memiliki sistem nilai dan cara pandangnya masing-masing. Jadi ketika perusahaan yang satu pergi ke daerah atau perusahaan lain dengan latar budaya berbeda, perusahaan itu menanggapi sekelilingnya dengan sudut pandang budaya korporasinya, dan bila ini dibiarkan mampu merugikan perusahaan itu sendiri. tidak ada dua budaya korporasi yang persis sama. Maka budaya korporasi tersebut sifatnya relatif. Relativisme budaya menyatakan bahwa tidak ada budaya yang lebih unggul daripada budaya yang lainnya. Claude Levi-Strauss mengemukakan bahwa: “Cultural relativism affirms that one culture has no absolute criteria for judging the activities of another cultures as “low” or “noble”. However, every culture can and should apply such judgment to its own activities, because its members are actors as well as observers” (Levi-Strauss dalam Cliffort Geertz, 1997: 7).
Universitas Sumatera Utara
Relativisme budaya menegaskan bahwa suatu budaya tidak memiliki kriteria yang mutlak untuk menilai budaya lain rendah maupun mulia. Masyarakat dari sebuah kebudayaan harus berpikir dua kali sebelum menerapkan norma-norma dari satu orang, kelompok atau masyarakat yang lain. Budaya dalam sebuah perusahaan dapat dianalogikan seperti budaya di dalam suatu masyarakat. Budaya dalam suatu masyarakat merupakan lahan kajian untuk ilmu Antropologi sendiri, karena Antropologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dan kebudayaannya. Namun seiring perkembangan zaman, Antropologi bermetamorfosis menjadi ilmu yang tidak hanya mempelajari ‘masyarakat primitif’ namun beranjak menuju masyarakat-masyarakat yang modern. Meluasnya bidang ilmu Antropologi ditandai dengan lahirnya kajian mengenai budaya korporasi dari perspektif Antropologi. Sejak tahun 1930 an, antropologi budaya telah mengkonduksikan penelitian di berbagai latar industri dan budaya yang berfokus dengan budaya korporasi di AS. Sebagai contoh, sekolah yang mempelajari hubungan antar manusia meneliti pada tahun 1930 dan 1940an tentang sebuah etnografi yang menunjukkan bagaimana pola budaya internal dapat mempengaruhi tujuan dari para manajer. Sebelum melangkah terlalu jauh ada baiknya perlu diketahui terlebih dahulu apa pengertian perusahaan dan apa pula yang dinamakan budaya. Secara sederhana, perusahaan dapat dimaknai sebagai suatu badan yang di bentuk atau didirikan yang bertujuan untuk menghasilkan laba. Menurut Wikipedia, perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produksi. Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
tinjauan hukum istilah perusahaan mengacu kepada badan hukum dan perbuatan badan usaha yang menjalankan usahanya. Perbuatan badan usaha tersebut mencakup perbuatan ekonomi yang komersial yang bertujuan mendapatkan keuntungan atau laba. Termasuk di dalamnya segala aktifitas perdagangan, pelayanan, dan industri dengan bentuk badan usaha yang berbeda-beda seperti perusahaan
komanditer
(CV)
dan
perusahaan
terbatas
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091011200354AAEOmTU). Budaya telah dimaknai dengan banyak cara. Bahkan antropolog masih belum setuju satu sama lain dengan satu pengertian. Berbagai definisi budaya yang ada tidak hanya mengacu pada benda-benda fisik atau perilaku lahiriah semata, melainkan juga pada hal-hal yang tidak terindera oleh manusia, itulah yang menyebabkan banyak sekali pendapat para ahli mengenai budaya. Menurut Edward Burnett Tylor (1871) salah seorang antropolog berkebangsaan Inggris mendefinisikan kebudayaan sebagai: “kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan, dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.” (E.B.Tylor dalam William Haviland, 1985:332). Menurut A.L Kroeber dan C. Kluckhohn, kebudayaan dimaknai sebagai “pola-pola nilai, ide dan sistem simbolik lainnya yang disebarluaskan dan mengarahkan perilaku.” Sedangkan menurut seorang ahli konsultan asal Belanda Geert Hofstede yang merupakan salah satu pionir dalam meletakkan keberagaman budaya dalam agenda kerjanya. Beliau lah peneliti pertama yang mempertanyakan bagaimana mengadaptasi teori manajemen perusahaan-perusahaan Amerika dan
Universitas Sumatera Utara
mengaplikasikannya ke dalam berbagai konteks budaya. Budaya menurutnya adalah: “sebagai pemrograman mental secara kolektif yang menghasilkan perbedaan antara anggota kelompok masyarakat yang satu dengan anggota kelompok masyarakat yang lain” (Geert Hofstede dalam Alois A Nugroho, 2003: 35). Lalu apa yang pula yang dimaksud dengan budaya perusahaan atau budaya korporasi. Schein (1985) dalam Moeljono (2003: 17) menyebutkan bahwa budaya korporasi yang mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi-organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins (2003: 525) menyatakan bahwa: “organizational culture refers to a system of shared meaning held by members that disguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organizations values” – budaya organisasi adalah sebuah sistem pemaknaan bersama yang dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi”. Beliau juga mengungkapkan ada tujuh kata kunci yang penting dari sebuah budaya korporasi yaitu : a. Innovation and risk taking yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk melakukan inovasi dan berani mengambil resiko. b. Attention to detail yakni sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan analisis, dan perhatian kepada rincian. c. Outcome orientation yaitu sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil dan bukannya pada teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
Universitas Sumatera Utara
d. Team Orientation yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan oleh tim-tim bukannya individu-individu. e. People Orientation yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam perusahaan itu. f. Aggressiveness maksudnya adalah sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dalam perusahaan. g. Stability Menurut John P. Kotter dan James L. Heskett (1997: 4) ada dua tingkatan yang berbeda dalam sebuah budaya korporasi yang dapat dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanan budaya tersebut terhadap perubahan. Pertama, pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya merujuk kepada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Kedua, pada tingkatan yang lebih terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Geertz Hofstede mengatakan ada beberapa tipe dasar budaya (Peters, 2003: 95) yang memiliki pengaruh yang sangat nyata dalam proses informasi dan interaksi orang, baik secara pribadi maupun sebagai kolega bisnis, tipe-tipe tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Rentang Kekuasaan Maksud dari dimensi budaya yang satu ini adalah menggambarkan bagaimana individu-individu dalam suatu masyarakat – perusahaan – memandang
kekuasaan
dan
konsekuensinya
dalam
memandang
peranannya dalam pengambilan keputusan atau perintah yang tidak melibatkan masukan dari mereka. Pada masyarakat dengan rentang kekuasaan yang tinggi, pegawai tidak mencari peran dalam pengambilan keputusan. Dalam budaya rentang kekuasaan rendah, pegawai akan lebih banyak menerima tanggung jawab. Budaya yang rentang kekuasaannya rendah cenderung bersifat individualistis.
2. Individualisme VS Kolektivisme Nilai-nilai yang dianut masyarakat akan menentukan bagaimana nantinya seseorang menjelaskan dirinya sendiri, apakah sebagai orang bebas atau sebagai anggota suatu kelompok, organisasi atau perusahaan. Masyarakat yang percaya pada pola pikir kolektif akan menghargai keselarasan dan berupaya mengendalikan perilaku individu melalui sanksi internal seperti dipermalukan atau dikucilkan dari kelompok. Pengambilan keputusan dalam budaya individualis lebih cepat, tetapi penerapan suatu perubahan kebijakan seperti proses kode etik perusahaan yang baru yang akan lebih lambat dari budaya kolektif. Sedangkan dalam lingkungan yang bersifat kolektif, pencapaian konsensus
Universitas Sumatera Utara
mungkin akan makan waktu lama tetapi sekali keputusan selesai dibuat penerapannya akan lebih cepat. Hofstede memberikan pengertian masyarakat yang individual dan kolektif sebagai berikut : “Individualism pertains to societies in which the ties between individuals are loose; every is expected to look after himself and his or her immediate family. Collectivism as its opposite pertains to societies in which people from birth onwards are integrated into strong, cohesive in groups, which throughout people’s lifetime to protect them in exchange for unquestioning loyalty - Istilah individualisme berkaitan dengan masyarakat di mana hubungan antar individual begitu renggang; setiap orang lebih peduli pada dirinya dan keluarga dekatnya. Sementara itu istilah collectivism, kebalikan dari individualism, berkaitan dengan masyarakat di mana seseorang sejak dilahirkan merupakan bagian integral dari kelompok masyarakat” (Hofstede dalam Sobirin, 2006: 83) 3. Sikap Terhadap Ketidakpastian Dimensi ini menyoroti tentang bagaimana sebuah korporasi menghadapi ketidakpastian dalam menghadapi masa depan. Hofstede dalam Sobirin 2006: 87 mendefinisikan upaya menghindari ketidakpastian atau ketidaktentuan (uncertainty avoidance) sebagai “the extent to which the members of a culture feel threatned by uncertain or unknown situation” – sejauh mana masyarakat merasa terancam oleh situasi yang tidak menentu atau tidak di ketahui sebelumnya. Reaksi yang timbul akibat situasi yang tidak menentu pada seseorang atau kelompok dalam sebuah perusahaan tergantung pada sejauh mana orang atau kelompok dalam perusahaan tersebut merasa terancam. Sehingga, secara umum sikap terhadap ketidakpastian (uncertainty avoidance) terbagi dua :
Universitas Sumatera Utara
a. Strong uncertainty avoidance yang maksudnya adalah toleransi yang relatif rendah terhadap situasi ketidakpastian. b. Weak Uncertainty avoidance yang cenderung berupaya untuk menghindari ketidakpastian, masyarakat dengan weak uncertainty avoidance cenderung toleran terhadap ketidakpastian.
4. Maskulinitas VS Feminitas Tipe ini membicarakan tentang nilai dan sikap sosial. Masyarakat yang berorientasi ‘maskulin’ menghargai agresivitas dan ketegasan serta mengharapkan sasaran berupa pencapaian material. Sedangkan yang berorientasi ‘feminim’ lebih menghargai hubungan pribadi, meletakan kualitas hidup sebelum pencapaian material, dan menunjukkan kepedulian terhadap golongan yang tidak beruntung. Budaya korporasi merepresentasikan persepsi budaya umum yang dimiliki oleh semua pekerjanya. Ini merupakan bentuk eksplisit dari dimana mereka mendefinisikan budaya sebagai suatu sistem makna. Di dalam hal ini kita dapat mengharapkan bahwa individu dengan latar belakang dan pangkat berbeda dalam suatu perusahaan akan mendeskripsikan perusahaan itu dengan bahasa yang sama. Kehadiran budaya korporasi di sebuah perusahaan tidaklah muncul begitu saja tanpa melalui suatu proses. Ada beberapa unsur yang melandasi terbentuknya suatu budaya korporasi (Atmosoeprapto dalam Moeljono 2003: 22), yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Lingkungan Usaha yaitu lingkungan di tempat perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan. b. Nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi. c. Panutan atau keteladanan, orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya. d. Upacara-upacara diselenggarakan
(rites oleh
dan
ritual),
perusahaan
acara-acara
dalam
rangka
rutin
yang
memberikan
penghargaan pada karyawannya. e. Network, jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai budaya perusahaan. Namun bukan hal yang mudah untuk dapat menerapkan sebuah budaya korporasi kepada setiap karyawan di perusahaan. Untuk itulah dibutuhkan suatu proses sosialisasi agar budaya korporasi itu dapat diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh oleh para karyawan. Sosialisasi yaitu merupakan proses yang mengadaptasikan karyawan dengan kultur organisasi (Robbins, 2008: 269), yang terdiri dari beberapa tahapan, yakni : a. Tahap pra-kedatangan, yaitu periode pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum karyawan baru bergabung dengan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap perjumpaan, yaitu tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru melihat seperti apa sesungguhnya organisasi dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan itu berbeda. c. Tahap metamorphosis, yaitu tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru harus berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja dan organisasi (Robbins, 2008: 272).
Proses sosialisasi adalah menggambarkan proses mengenai kebudayaan sebagai bagian dari proses sosialisasi individu. Semua pola tindakan individuindividu yang menempati berbagai kedudukan dalam masyarakatnya yang dijumpai seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sejak ia dilahirkan, dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan menjadikan pola-pola tindakan tersebut
sebagai
bagian
dari
kepribadiaannya
(Talcott
Parsons
dalam
Koentjaraningrat, 1996: 143-145). Kejadian inilah yang juga dihadapkan oleh sebuah korporasi. Para karyawan juga diharuskan melalui proses sosialisasi agar nilai-nilai dan visi misi dari perusahaan tersebut dapat diselami dan akan menjadikan nilai-nilai tersebut pola-pola tindakan sebagai bagian dari kepribadian karyawan tersebut. Proses sosialisasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan : 1.
Cerita, ini khususnya mengandung narasi tentang para pendiri
organisasi, pelanggaran terhadap aturan, kesuksesan dari tidak mampu menjadi kaya raya, pengurangan tenaga kerja, pemindahan karyawan, reaksi terhadap kesalahan masa silam, dan penanganan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.
Ritual yaitu serangkaian aktivitas berulang yang mengungkapkan
dan memperkuat nilai-nilai kunci organisasi, tujuan mana yang terpenting, orang mana yang penting, dan mana yang dapat dikeluarkan. Salah satu contohnya adalah nyanyian perusahaan Wal-Mart yang diawali oleh pendirinya Sam Walton sebagai cara untuk memotivasi dan menyatukan para pekerjanya. 3.
Simbol – Simbol Materi, ini menyampaikan kepada karyawan
siapa yang penting, tingkat egalitarianisme yang diinginkan oleh manajemen puncak, dan jenis perilaku (misalnya berani mengambil resiko, konservatif, otoriter, partisipatif, individualistis, sosial) yang tepat. Contoh-contoh lainnya dalah ruang kantor yang luas, perabotan yang bagus, bonus eksekutif dan pakaian khusus (seragam). 4.
Bahasa. Para karyawan menegaskan penerimaan mereka terhadap
budaya dan membantu melestarikan budaya dengan mempelajari bahasa.
Setelah budaya korporasi itu dapat diterima oleh para karyawannya, ada beberapa karakteristik penting yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana budaya korporasi itu hidup dan eksis di suatu perusahaan. Robbins dalam Moeljono (2003: 20) mengemukakan ada 10 karakteristik penting untuk memahami dan mengukur keberadaan budaya, yakni : (1) inisiatif individu, (2) toleransi resiko, (3) arahan, (4) integrasi, (5) dukungan manajemen, (6) kontrol, (7) identitas, (8) sistem imbalan, (9) toleransi konflik, dan (10) pola komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Kotter dan Heskett, (1992: 37) dalam penelitiannya tentang Harvard Bussiness School memberikan bukti nyata bahwa budaya korporasi mampu berdampak kuat dan besar pada prestasi kerja organisasi atau perusahaan. Hasil penelitian itu memiliki empat kesimpulan yaitu : 1. Budaya korporat dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam waktu jangka panjang. 2. Budaya korporat bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam menetukan sukses atau kegagalan perusahaan dalam dekade mendatang. 3. Budaya korporat menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka panjang adalah tidak jarang dan budaya itu berkembang dengan mudah, bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan orang yang bijaksana dan pandai. 4. Walaupun sulit untuk diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih meningkatkan prestasi.
1. 5 Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
ini
digunakan
untuk
menghasilkan
data-data
etnografis
yang
mendeskripsikan mengenai budaya korporasi PT. PP London Sumatra Indonesia di Medan. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, maka diperlukan beberapa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Bungin (2007: 107) mengatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
“metode pengumpulan data kualitatif yang paling independent terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet”. Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dijadikan data utama, sementara data kuantitatif digunakan untuk melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta sumber internet yang berkenaan dengan masalah penelitian.
1.5.1
Penentuan Informan Agar dapat menghasilkan data yang akurat, maka peneliti
menggunakan tiga kategori informan, yakni informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Namun pada akhirnya informan pangkal berfungsi ganda sebagai informan kunci karena informan tersebut memiliki banyak pengetahuan seputar masalah penelitian. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal sekaligus kunci saya adalah karyawan HRD (Hamimah, Desynta), Manager training (Pak Riyanto), new staff estate (Junaidi), new staff mill (Dahril). Informan kunci lainnya adalah Karyawan
Universitas Sumatera Utara
estate (Sakiman, Erlina Wati), Manager mill (Pak Marbun), Karyawan mill (Bambang, Murni). Penentuan informan kunci didasarkan atas beberapa pertimbangan selain karena orang-orang yang menjadi informan kunci memliki banyak pengetahuan seputar masalah penelitian, penentuan ini juga didasarkan atas lamanya masa kerja diatas 5 tahun, kedudukan atau posisi dari orang tersebut. Untuk informan kunci mengenai bagaimana proses training atau sosialisasi karyawan/staf baru, saya memilih karyawan/staf yang sedang mengikuti proses training dan yang sedang on job training (masa percobaan). Selain menggunakan informan kunci, peneliti juga menggunakan informan biasa yaitu yang berasal dari karyawan estate (Legiran, Joko Suyanto, Aan, Suryadi). Karyawan kantor (Syafrizal, Evi, Budi, Supriadi) serta yang karyawan mill (Liliek, Josef, Susi, Arya, Nur Sahara). Pemilihan informan ini didasarkan atas keaktifan informan dalam mengikuti kegiatankegiatan perusahaan, serta senioritas dalam perusahaan. Jumlah seluruh informan adalah 24 orang yang terdiri dari karyawan atau staf kebun, pabrik dan juga kantor.
1.5.2
Wawancara Wawancara adalah percakapan (tanya-jawab) yang dilakukan
dengan maksud tertentu antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai (informan) dengan atau tanpa menggunakan pedoman
Universitas Sumatera Utara
wawancara. Dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara tak berstruktur yang bersifat fokus dan wawancara mendalam (in depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara tak berstruktur yang bersifat fokus adalah wawancara yang biasanya terdiri dari pertanyaan yang tak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu berpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat, 1997: 139). Wawancara ini dilakukan pada informan biasa. Data yang didapat dari wawancara ini adalah bagaimana sikap dan perilaku karyawan atau staf terhadap budaya korporasi Lonsum yang didalamnya terkandung nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam pengelolaan perusahaan. Selain itu digunakan juga wawancara mendalam yang diterapkan pada informan kunci yang telah ditetapkan sebelumnya. Metode ini dapat mendekatkan diri secara emosional dengan informan, selain itu data-data otentik dari sudut pandang emic (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara. Wawancara ini dilakukan guna mendapatkan data mengenai bagaimana budaya korporasi, kegiatan apa saja yang dilakukan perusahaan serta proses sosialisasi budaya korporasi terhadap karyawan dalam pengelolaan perusahaan.
1.5.3
Observasi Partisipasi Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari
observasi partisipasi yang dilakukan untuk melihat secara langsung proses sosialisasi budaya korporasi dan berbagai kegiatan perusahaan. Untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh data yang akurat mengenai proses sosialisasi, penulis turut serta dalam kegiatan sosialisasi (training) yang dilakukan di RSTC. Penulis diizinkan mengikuti ITC dan ikut terjun ke lapangan (kebun) untuk mengetahui bagaimana proses kerja karyawan seperti mengambil kelapa sawit, penyemprotan tanaman sawit dengan pestisida, dan pemasangan pancang untuk mengukur jarak tanam kelapa sawit. Penulis juga ikut berpartisipasi dengan turut membantu karyawan kantor selama satu minggu dengan melakukan kegiatan kerja seperti input data, membuat surat dan scanning file. Dari observasi selama seminggu, penulis dapat melihat bagaimana keseharian kerja para karyawan Lonsum apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai budaya Lonsum atau tidak. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. Namun selama proses observasi di pabrik, penulis hanya diizinkan sekali berkeliling pabrik dan melihat proses kedatangan buah hingga buah tersebut menjadi CPO. Di sini penulis hanya sekedar mengamati proses kerjanya tanpa boleh berpartisipasi aktif dalam melihat proses kerja mesin-mesin yang ada di pabrik. Dalam penelitian ini yang menjadi objek observasi berkaitan dengan pelaku, kegiatan dan benda-benda atau alat yang turut ada dalam proses sosialisasi budaya korporasi yang mungkin terlihat dalam sikap atau perilaku para karyawan dalam sistem kerja yang mereka lakukan. Observasi partisipasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai
Universitas Sumatera Utara
sosialisasi dan penerapan budaya korporasi kepada karyawan/staf. Dapat dilihat apa saja kegiatan yang karyawan lakukan, bagaimana lingkungan usaha, nilai-nilai yang ada diperusahaan, upacara atau ritual budaya yang biasa dilakukan di PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk.
1.5.4 Pengalaman dalam Penelitian Sebagai upaya dalam mendukung pengumpulan data yang lebih akurat, penulis akan mendeskripsikan secara sederhana bagaimana pengalaman dan kendala-kendala apa saja yang terjadi selama melakukan penelitian. Pengalaman penelitian di lapangan guna mendapatkan data untuk penyusunan skripsi ini memberikan sesuatu yang baru bagi penulis. Diawali dengan kunjungan pertama ke PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk untuk bertanya apakah penulis dapat melakukan penelitian di sana. Kesan pertama yang didapat adalah sikap acuh para karyawannya ketika menanggapi maksud kedatangan penulis.
Kunjungan kedua ternyata tidaklah mengecewakan karena mereka (para karyawan) sudah agak mulai menunjukkan sikap bersahabat kepada penulis yang notabene adalah orang luar yang ingin melakukan penelitian di kantor mereka. Sebelum melakukan penelitian untuk menghimpun data guna penyelesaian skripsi, penulis sudah lebih dahulu melakukan kunjungan sebanyak tiga kali untuk memperoleh gambaran sederhana mengenai PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk. Mulai dari situlah
Universitas Sumatera Utara
penulis bertemu banyak dengan orang-orang baru dan sedikit mengetahui bagaimana situasi kantor dari sebuah perusahaan swasta terkemuka di Medan. Pengurusan surat-surat lapangan adalah langkah selanjutnya yang dilakukan. Bertolak dari hasil seminar yang mengharuskan penulis untuk tidak hanya melihat budaya korporasi Lonsum dari kantor saja juga membawa kaki ini menuju pabrik dan kebun yang dimiliki Lonsum. Kendala yang menghambat dalam upaya pengumpulan data adalah lamanya proses ‘approve’ atau persetujuan dari kantor Medan untuk dapat terjun langsung ke lapangan (kebun dan pabrik). Hal ini disebabkan karena urusan administrasi yang sedikit berbelit-belit, namun hikmah yang didapat adalah terasahnya kesabaran penulis. Tiga minggu setelah surat penelitian lapangan diberikan, barulah penulis diberikan izin untuk mengunjungi salah satu kebun yang dimiliki oleh Lonsum. Rambong Sialang Estate adalah salah satu kebun terbesar yang dimiliki Lonsum dan disana juga terdapat Rambong Sialang Training Center (RSTC) yang menjadi tempat proses training para new staff mill and estate. Serta di RSTC inilah yang menjadi tempat hunian penulis selama dua minggu. Pengalaman baru didapat dengan mengikuti beberapa kelas dengan para new staff mill and estate serta turut berpartisipasi membantu karyawan RSTC untuk mempersiapkan keperluan training.
Universitas Sumatera Utara
Setelah kebun, lokasi yang menjadi tujuan adalah pabrik, lagi-lagi proses surat persetujuan yang lama menjadi kendala. Sebulan setelah kepulangan dari kebun barulah surat persetujuan itu diterima oleh manager mill. Mill yang menjadi lokasi adalah Begerpang Palm Oil Mill (BGPOM) yang berada di kawasan Deli Serdang. Sikap bersahabat terlihat dari suasana kerja para karyawan pabrik yang sering melontarkan lelucon lelucon pada sesama mereka. Waktu yang penulis habiskan selama di pabrik selama tiga hari. Namun selama berada di pabrik, penulis hanya diizinkan sekali saja untuk melihat bagaimana proses kerja karyawan mulai dari kedatangan buah hingga buah menjadi CPO dan ampasnya diletakkan ke bagian composting. Berbeda dengan situasi di kebun, di mana penulis tinggal selama dua minggu di RSTC, di pabrik penulis melakukan perjalanan pulang hari dengan di antar – jemput oleh salah satu karyawan pabrik yang kebetulan searah dalam perjalanan pulang. Lokasi terakhir sekaligus lokasi penelitian yang menurut penulis sulit untuk memperoleh data adalah kantor Lonsum Medan. Izin yang diperoleh untuk dapat melakukan observasi langsung ke kantor pun ternyata lebih lama lagi. Awal Agustus penulis baru diberi izin untuk turut serta dalam kegiatan kantor dan hanya berlangsung selama seminggu. Seminggu di kantor dan berpartisipasi dalam melakukan proses kerja, seperti membuat surat, stempel dan menginput data pelamar kerja, membuat penulis sedikit memahami situasi kantor yang bersifat tertutup jika dibandingkan dengan kebun dan juga pabrik.
Universitas Sumatera Utara
1.5.5 Analisa Data Analisa data yang dilakukan adalah dengan meneliti kembali data yang telah diperoleh dari lapangan. Data yang didapat dari observasi partisipasi dan wawancara, nantinya akan diklasifikasikan sesuai dengan bagiannya masing-masing. Setelah itu data akan disesuaikan dengan kategori-kategori tertentu unsur-unsur pembentuk budaya perusahaan serta mengacu pada pendapat Hofstede yaitu rentang kekuasaan, individualime versus kolektivisme, maskulinitas versus femininitas. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk bersikap objektif, dengan tidak mengurangi ataupun menambahi data yang diperoleh selama proses penelitian sehingga tidak akan mengurangi keaslian data yang diperoleh dari lapangan.
Universitas Sumatera Utara