1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Pada masa ini tak ada satu pun negara dapat menghindarkan diri dan arus globalisasi, tak terkecuali Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta menandatangani kesepakatan AFTA (Asia Free Trade Area), yaitu kesepakatan dalam bidang ekonomi yang diikuti oleh negara ASEAN, dimana aktivitas perdagangan dapat dilakukan secara bebas. Dalam era perdagangan bebas seperti ini, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang handal untuk mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN. Sumber daya manusia yang handal yaitu karyawan dengan produktivitas, proaktif, memiliki inisiatif tinggi dan rnempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan perusahaan dan karir mereka. Berlandaskan kebutuhan tersebut perusahaan memerlukan karyawan-karyawan yang energik dan berdedikasi, yaitu karyawan yang memiliki work engagement di dalam menjalani pekerjaanya (Bakker & Leiter, 2010). Selama ini para akademisi dan praktisi menganggap bahwa produktivitas dan efisiensi kerja individual karyawan maupun karyawan berpangkal pada komitmen individu pada organisasi. Namun, kemudian dibuktikan bahwa bukan sekedar komitmen individu pada organisasi ternyata engagement pada organisasi merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi (Ott, 2007). Menurut penelitian Perrin (2003) mengungkapkan bahwa engagement merupakan prediktor kinerja individu yang lebih kuat dibandingkan dengan
2
komitmen karyawan. Work engagement telah muncul sebagai konsep organisasi positif yang paling menonjol, khususnya di kalangan konsultan organisasi. Sebagai salah satu variabel psikologis yang sangat penting bagi karyawan di dalam sebuah organisasi, work engagement juga telah mendapat perhatian peneliti selama sepuluh tahun terakhir (Burke, Koyuncu, Jing, & Fiksenbaum, 2009). Work engagement diartikan sebagai suatu yang positif, keadaan pikiran yang berhubungan dengan pekerjaan dan pemenuhan diri yang memiliki karakteristik vigor, dedikasi dan absorpsi (Schaufeli, Taris, & Bakker, 2006). Vigor ditandai oleh tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental saat bekerja. Dedikasi mengacu pada melibatkan diri secara penuh dan merasa memiliki, antusiasme, dan merasa tertantang terhadap pekerjaan. Absorpsi ditandai dengan menjadi sepenuhnya terkonsentrasi, bahagia dan merasa asyik dalam melakukan pekerjaan, seakan-akan waktu berlalu dengan cepat. (Shimazu & Schaufeli, 2009; Bakker & Demerouti, 2008). Singkatnya, karyawan yang engaged memiliki tingkat energi yang tinggi dan antusias terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, mereka sering sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaan sehingga lupa akan waktu. Penelitian-penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang keuntungan dari work engagement. Watsonwyatt (2008) dalam sebuah penelitiannya menemukan bahwa semakin tinggi work engagement maka semakin tinggi pula kinerja pada suatu perusahaan. Selanjutnya, engagement berhubungan dengan hasil yang positif baik secara individu dan organisasi (Schaufeli & Salanova, 2007; Bakker, 2008). Secara individu, engagement dapat memainkan peranan yang krusial dalam memotivasi karyawan dalam melakukan tanggung jawab
3
yang didorong oleh sumber pekerjaan (Shimazu dkk, 2008). Bagi organisasi, karyawan yang engaged akan bekerja dengan semangat dan merasakan hubungan yang mendalam terhadap perusahaan atau organisasi tempat dimana mereka bekerja, mendorong adanya inovasi dan bergerak maju ke depan bersama organisasi (Truss, Soane, Edwards, Wisdom, Croll, & Burnett, 2006). Oleh sebab itu, engagement juga diklaim dapat memberikan keunggulan kompetitif pada organisasi (Schaufeli & Bakker, 2004). Di sisi lain, Salanova (sebagaimana yang dikutip dalam Lin, 2009), juga menemukan fakta bahwa work engagement yang rendah juga akan diikuti oleh performa karyawan yang juga rendah, adanya kebosanan karyawan (GonzálezRomá dkk, 2006) dan juga munculnya ketidakpercayaan terhadap organisasi (Chughtai & Buckley, 2009). Konsep work engagement tidak dapat dianggap remeh (Saks, 2006), karena dampak dari rendahnya work engagement dapat berimbas pada timbulnya efek negatif terhadap performa karayawan, maka diperlukan berbagai upaya untuk menanggulangi dan meminimalkan dampak tersebut (Salanova dkk, 2005). Upaya yang dilakukan para peneliti dan praktisi antara lain adalah mengembangkan kajian mengenai organisasi positif atau dikenal sebagai positif organization. Salah satu usaha dari positif organization adalah meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan melalui program QWL dalam pengelolaan sumber daya manusia. Program QWL dipandang sebagai sesuatu yang berpengaruh terhadap keterikatan karyawan. Selain work engagement, pandangan dan juga perasaan individu terhadap pekerjaannya harus tetap terjaga pada sisi positif, dengan kata lain individu tersebut harus memiliki dan menjaga kepuasan kerjanya agar
4
produktivitasnya dapat terus ditingkatkan. Seperti yang dikatakan oleh Robbins & Judge (2008), bahwa salah satu aspek yang sering digunakan untuk melihat kondisi suatu organisasi adalah tingkat kepuasan kerja para anggotanya. Kepuasan kerja yang rendah menimbulkan dampak negatif seperti mangkir kerja, pindah kerja, produktivitas yang menurun, kesehatan tubuh yang menurun, kecelakaan kerja, pencurian, dan perilaku negatif yang lain. Sementara kepuasan kerja yang tinggi akan sangat membantu dan mempengaruhi kondisi kerja yang lebih positif dan dinamis, sehingga akan memberikan keuntungan yang baik bagi perusahaan. Individu mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi apabila individu memiliki sikap dan perasaan yang positif terhadap pekerjaannya sebaliknya individu yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya memiliki sikap dan perasaan yang negatif terhadap pekerjaannya (Levy, 2003). Kepuasan kerja merupakan bentuk kesesuaian antara kebutuhan individu dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Best & Norma, 2006). Kepuasan kerja sendiri merupakan suatu perasaan menyenangkan yang timbul sebagai akibat dari persepsi karyawan, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau berusaha untuk menyelesaikan tugas memiliki peran yang penting (Cascio, 1995). Sementara Robbins (2008), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum dari individu terhadap pekerjaannya. Sikap tersebut merupakan ungkapan emosional baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja. Ketika semua kebutuhan tersebut sesuai atau tidak terjadi kesenjangan maka karyawan akan merasa puas. Sebaliknya, apabila tidak sesuai maka akan terjadi ketidakpuasan kerja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sang, Ison, dan Dainty (2009), yang menemukan ketidakpuasan dari seorang karyawan itu terletak pada hal gaji, manajemen
5
perusahaan, promosi, jam kerja, dan kesempatan mereka untuk menggunakan kemampuan mereka. Selaras dengan hasil penelitian Riyono (1991), menjelaskan bahwa ada lima aspek dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek tersebut adalah, yang pertama adalah gaji, yaitu suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayarnya. Kemudian yang kedua adalah pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar serta menerima tanggung jawab. Lalu yang ketiga adalah promosi, yaitu adanya kesempatan untuk maju. Keempat adalah rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja bersahabat kompeten dan saling mendukung. Kemudian yang terakhir, supervisi yaitu kemampuan atasan untuk membantu dan mendukung pekerja atau bawahannya. Mengingat pentingnya work engagement dan kepuasan kerja bagi organisasi maka perlu adanya upaya untuk meningkatkannya. Upaya dapat dilakukan dengan melihat faktor-faktor dari work engagement dan kepuasan kerja. Salah satu yang mempengaruhi performansi karyawan adalah lingkungan kerja, maka perusahaan bertanggung jawab dalam memberikan lingkungan kerja yang kondusif dan melihat pada sisi kemanusiaan serta kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang layaknya manusia. Hal tersebut ditawarkan oleh perusahaan yang mengembangkan program quality of work life (QWL). Oleh sebab itu, perusahaan harus memelihara kualitas kehidupan kerja dan membina tenaga kerja agar bersedia memberikan kontribusinya secara optimal untuk mencapai tujuan perusahaan (Pruijt, 2003). Ketika perusahaan menawarkan kualitas kehidupan kerja kepada karyawan mereka, hal tersebut merupakan
indikator yang
baik
untuk
6
meningkatkan citranya dalam menarik serta mempertahankan karyawan terbaik dan berkompeten (Boonrod, 2009). Selain itu, menunjukkan bahwa perusahaan dapat menyediakan lingkungan kerja yang sesuai pada karyawan (Noor & Abdullah, 2012). Adanya kualitas kehidupan kerja menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam perusahaan (May, Lau, & Johnson, 1999), serta memungkinkan karyawan untuk mengembangkan dan menggunakan semua kapasitasnya dalam bekerja (Gupta & Sharma, 2011). QWL telah menjadi kajian dalam banyak penelitian akademis dan semakin diminati oleh kalangan manajer pada beberapa periode ini (Nadler & Lawler,
1983).
Penelitian-penelitian
yang
dilakukan
sebelumnya,
telah
menyumbangkan berbagai definisi QWL (Sheel, Sindhwani, Goel, & Pathak, 2012). Terdapat berbagai macam definisi tentang QWL yang diungkapkan oleh para ahli dan mencakup beberapa perspektif yang berbeda (Tabassum, Rahman, & Jahan, 2011). Menurut Cascio (1995) kualitas kehidupan kerja mengartikan QWL sebagai persepsi pegawai bahwa mereka merasa aman, secara relatif merasa puas dan dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. Dimensi-dimensi QWL
tersebut
menurut Cascio (1995) terdiri dari: (a) Partisipasi
anggota
organisasi; (b) Pengembangan karir; (c) Penyelesaian konflik; (d) Komunikasi; (e) Kesehatan kerja; (f) Keselamatan kerja; (g) Kompensasi atau upah yang layak; (h) Kebanggaan pada organisasi. Sejalan dengan Casio (1995), menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) QWL merupakan pandangan dalam meningkatkan kesejahteraan seluruh karyawan; memperkenalkan budaya dalam organisasi; meningkatkan kesejahteraan
karyawan baik fisik maupun
psikologis. Konsep QWL tersebut terdiri dimensi yang sifatnya fisik (gaji) dan
7
nonfisik (growth & development) sehingga kesejahteraan yang harapkan mencakup kesejahteraan subjektif (subjective well-being) (Sirgy, Efraty, Siegel, & Lee, 2001). Sedangkan, Riyono (2012) mendefinisikan QWL sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan, kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan psikologis karyawan (psychological well-being). Adapun dimensi psikologis yang membangun QWL menurut Riyono (2012) adalah (a) trust (b) care; (c) respect; (d) learn; (e) contribute. Konsep QWL yang sama juga dikemukakan oleh Hackman dan Oldham (sebagaimana yang dikutip dalam Muftah & Lafi, 2011), QWL berkaitan dengan perkembangan psikologis serta menjelaskan interaksi antara lingkungan kerja dan kebutuhan individu. Definisi QWL ini menjelaskan bahwa konsep QWL terdiri dari dimensi-dimensi yang bersifat psikologis. QWL merupakan konsep yang masih terus berkembang (Zulkarnain, 2013). Dari berbagai pandangan mengenai pengertian kualitas kehidupan kerja memang tidak ada definisi baku dari kualitas kehidupan kerja (QWL), tetapi secara umum para ahli setuju bahwa QWL berhubungan dengan kesejahteraan karyawan (well being) (Sirgy dkk, 2001). Berbagai definisi yang telah dikemukakan, terdapat dua konsep QWL yang berbeda yaitu pertama konsep QWL yang terdiri dari dimensi yang sifatnya fisik dan nonfisik. Tetapi, konsep ini memungkinkan adanya kesamaan dengan dimensi dari kepuasan kerja. Kedua adalah QWL yang terdiri dari dimensi yang bersifat psikologis. Mahapatra (2011) mengatakan bahwa QWL dapat memiliki arti yang berbeda-beda pada tiap orang. Beberapa orang menganggap QWL sebagai suatu program yang menyenangkan seperti yang dirasakan serikat pekerja
8
bahwa QWL adalah insentif yang diterima karyawan atau hal lain sebagai alat yang
mampu
meningkatkan
produktivitas, seperti pengembangan
kerja,
partisipasi karyawan, humanisasi kerja, job enrichment yang merupakan program-program QWL yang diimplementasikan. Adanya usaha untuk menciptakan QWL merupakan faktor yang signifikan dalam mempengaruhi dan meningkatkan job performance sehingga menurunkan tingkat absen, kecelakaan, keluhan, turnover dan burnout (Beh & Rose, 2007; Nayeri, Salehi, & Noghabi, 2011). Tetapi, belum ada pembuktian, penelitian atau keterangan lebih lanjut mengenai konsep QWL yang lebih berpengaruh terhadap job performance diantara dua konsep QWL yang berbeda tersebut. Pelaksanaan QWL yang tepat akan membantu perusahaan dalam meningkatkan performansi karyawan yang berdampak pada produktivitas perusahaan. QWL menekankan pada peningkatan lingkungan dan kondisi kerja untuk memenuhi harapan tenaga kerja agar lebih sejahtera dan terdidik yang berdampak pada kebutuhan organisasi untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas. Melalui QWL, perusahaan berusaha untuk lebih mendayagunakan kemampuan karyawan dan menyediakan lingkungan yang mendorong meraka untuk meningkatkan kemampuan dalam menunjang kinerja, serta memberikan kesempatan dalam peningkatan karir yang lebih tinggi. Dalam budaya QWL karyawan dianggap sebagai aset yang berharga yaitu sumber daya manusia yang perlu dikembangkan, bukan hanya sekedar digunakan (Davis & Newstrom, 1993; Kanten & Sadullah, 2012). Penerapan QWL (fisik & nonfisik) tidak hanya fokus pada kepuasan kerja, tetapi juga kepuasan terhadap tempat kerja, dan subjective well being (kesejahteraan subjektif) (Sirgy dkk, 2001). Pandit dan Pant (2010) menyoroti
9
QWL yang memainkan peran penting dalam menentukan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan karyawan sehingga memiliki efek yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan. QWL merupakan persepsi individu terhadap pemenuhan kebutuhan yang berasal dari tempat kerjanya (Normala, 2010). Perusahaan
yang
mengembangkan
program
QWL,
seperti
pemberian
remunerasi yang memadai dan adil, kondisi kerja yang aman dan sehat serta integrasi sosial (QWL terdiri dari dimensi fisik & nonfisik) dalam bekerja organisasi yang memungkinkan individu untuk mencapai kepuasan kerja (Sirgy dkk, 2001). Sedangkan,
kajian
literatur
Schaufeli
dan
Salanova
(2007)
mengungkapkan bahwa tingkat psychologycal well being (kesejahteraan psikologis) yang lebih tinggi berhubungan dengan work engagement yang akan meningkatkan kinerja individu serta organisasi. Penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman memiliki pekerjaan yang bermakna, menjadi kondisi psikologis yang paling kuat yang terkait dengan work engagement. Work engagement tergantung pada keberhasilan karyawan dalam menemukan makna dari pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai fundamental mereka (Schaufeli & Salanova, 2007). Salah satu strategi yang dapat memberikan makna dalam bekerja adalah penerapan budaya yang memperhatikan QWL. Orang-orang dalam organisasi adalah sumber daya yang paling penting dalam suatu organisasi karena mereka dapat dipercaya (trust), tanggung jawab, dan mampu memberikan kontribusi (contribution) yang bernilai serta mereka seharusnya diperlakukan dengan bermartabat dan terhormat (Gupta & Sharma, 2011). Hal tersebut merupakan merupakan penerapan budaya dalam organisasi yang memperhatikan kualitas
10
kehidupan kerja karyawan. Beberapa
perusahaan
secara
teratur
mengidentifikasi
kebutuhan
karyawannya untuk memastikan bahwa program QWL mereka responsif dan relevan. Pengembangan QWL ditujukan untuk membantu menyeimbangkan pekerjaan dengan kebutuhan, minat, dan tekanan yang dihadapi oleh karyawan sehingga bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dan mengurangi turnover karyawan (Kheradmand, Mohammadreza, & Alireza, 2010). Quality of work life (QWL) merupakan konsep utama yang patut mendapat perhatian organisasi (Lewis, Kevin, Paul, Lynne, & Erin, 2001). Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa QWL dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para karyawan terhadap perusahaan melalui sikap dan perilaku positif yang ditampilkan karyawan karena adanya work engagement. Dengan melakukan penyelidikan secara empiris mengenai QWL diharapkan menemukan QWL yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dapat memberikan sumbangan efektif bagi peningkatan work engagement sehingga memberi manfaat bagi kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan dalam persaingan yang ketat. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran QWL (fisik-nonfisik) dan QWL (psikologis) terhadap work engagement dan kepuasan kerja melalui pemeriksaan statistik dan mencari kebenaran suatu model hubungan antara variabel QWL (fisik-nonfisik), QWL (psikologis), work engagement dan kepuasan kerja.
11
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian-uraian di atas, mengenai sebuah masalah teoritis mengenai konsep QWL dan kepuasan kerja serta pentingnya variabel work engagement, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimanakah model struktural hubungan antara variabel QWL (fisiknonfisik), QWL (psikologis), work engagement dan kepuasan kerja ?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini bertujuan untuk memeriksa dan mencari kebenaran dari suatu model hubungan antara variabel QWL (fisik-nonfisik), QWL (psikologis), work engagement dan kepuasan kerja. Serta untuk menyelidiki lebih lanjut peran QWL fisik-nonfisik dan QWL psikologis yang paling besar pengaruhnya terhadap work engagement dan kepuasan kerja. 2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah teori dalam bidang Psikologi Indutri dan Organisasi utamanya mengenai pengetahuan dan pemahaman tentang work engagement dan lebih khusus mengenai perspektif mengenai QWL, yang mana masih ada perbedaan pendapat dan belum ada definisi baku mengernai konsep QWL. Serta dapat memberikan pandangan atau alternatif solusi tentang konsep QWL yang relevan untuk penelitian mengenai QWL yang terkait dengan work engagement dan kepuasan kerja. Disamping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan referensi yang dapat menjadi
12
tambahan wawasan bagi para pembaca, khususnya bagi kalangan akademisi psikologi dan bagi peneliti selanjutnya yang mengadakan kajian dalam topik yang sama.
b. Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan
masukan
dan
referensi
bagi
organisasi
dalam
rangka
pengelolaan SDM untuk perencanaan dan pengembangan perusahaan kearah yang lebih baik. Khususnya dalam usaha menciptakan QWL sebagai usaha untuk peningkatan work engagement karyawan yang dapat meningkatkan fungsi organisasi secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai QWL telah banyak dilakukan oleh peneliti. Kanten dan Sadullah (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “An empirical research on relationship quality of work life and work engagement” yang dilakukan di perusahaan marmer terbesar di Turki dengan jumlah subjek sebanyak 138 karyawan.
Pengukuran
variabel
QWL
menggunakan
skala
QWL
yang
dikembangkan oleh Timossi dkk (2008) dan variabel work engagement menggunakan skala work engagement yang dikembangkan oleh Salanova dkk (2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa QWL berpengaruh terhadap work engagement. Pada penelitian Apriani (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Iklim Organisasi dan Quality Of Work Life (QWL) Terhadap Work Engagement Pada Perawat” yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi dan quality work life terhadap work engagement. Penelitian ini
13
melibatkan perawat dengan masa kerja lebih dari 6 bulan rumah sakit X Semarang, yang dibagi menjadi dua kelompok, 30 sebagai uji coba skala dan 75 sebagai responden penelitian. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari kuesioner untuk mengukur work engagement (UWES), iklim organisasi (OCQ) dan quality of work life. hasil tersebut menunjukkan bahwa quality of work life dan iklim organisasi secara bersama-sama mampu memprediksi work engagement. Sumbangan efektif yang diberikan kedua variabel bebas sebesar 23,4%. Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, maka penelitian ini dapat dikatakan asli. Tujuan dari penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian – penelitian yang sudah ada, yaitu memeriksa dan mencari kebenaran dari suatu model hubungan antara variabel QWL fisik-nonfisik, QWL psikologis, work engagement dan kepuasan kerja. Dalam penelitian ini menggunakan dua konsep QWL yang berbeda yaitu QWL yang terdiri dari dimensi yang bersifat fisiknonfisik dan QWL yang terdiri dari dimensi yang bersifat psikologis. Penelitian ini tidak hanya mengkorelasikan antara variabel-variabel dalam penelitian, tetapi selanjutnya membandingkan besaran pengaruh yang didapat. Perbedaan lain dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja dan work engagement dengan QWL sebagai variabel independen. Penelitian sebelumnya dilakukan di perusahaan marmer terbesar di Turki dan di rumah sakit X Semarang dengan subjek adalah perawat, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada perusahaan yang bergerak dalam bidang public sector di Semarang dan Yogyakarta.