BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daging merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani. Daging mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati. Banyak cara yang telah dilakukan oleh industri pangan untuk mengembangkan bahan pangan berbasis daging. Beberapa contoh produk pangan berbasis daging cukup populer saat ini antara lain sosis, beef burger, chicken nugget dan bakso. Bakso merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang sangat populer di semua lapisan masyarakat, bergizi tinggi, umumnya berbentuk bulat dan dibuat dari daging yang dicampur dengan bahan pengisi dan bumbu-bumbu berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan cita rasa. Standarisasi bakso sangat diperlukan mengingat banyaknya konsumen bakso sehingga perlu adanya jaminan keamanan pangan untuk dikonsumsi. Keamanan pangan diartikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kemis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Saparinto dan Hidayati, 2006). Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Pengolahan makanan biasanya diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma lebih menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik
serta awet. Berbagai bahaya dapat terjadi berhubungan dengan makanan. Bahaya ini mungkin terjadi karena proses-proses yang terjadi pada makanan itu atau merupakan sifat yang sudah terdapat dari asal, atau karena zat-zat berbahaya dari luar, masuk atau menempel mengotori makanan. Menurut
Kepmenkes
No:1098/Menkes/SK/VII/2003
dan
Peraturan
Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pada pasal 9 PP No. 28 Tahun 2004 dijelaskan bahwa cara produksi pangan siap saji yang baik harus memperhatikan aspek keamanan pangan dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. Keamanan pangan telah ditetapkan dalam undangundang, namun pelanggaran terhadap produk pangan masih tinggi. Menurut laporan Nurul (2009) dari tahun 2001-2009 tejadi pelanggaran poduk pangan dan pelanggaran tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu cemaran mikroba sebesar 5,85%, pemanis buatan yang tidak memenuhi syarat sebesar 46,2%, pengawet yag tidak memenuhi syarat sebesar 12,18%, formalin sebesar 9,81%, boraks 9,1%, serta pewarna bukan untuk makanan sebesar 19,1%. Kasus keracunan akibat bakso dan penggunaan boraks dan formalin pada bakso banyak terjadi di Indonesia, beberapa diantaranya yaitu;
Tabel 1. Kasus keracunan bakso di Indonesia Tahun 2010
2015
2015
2015
2015
2015
2016
2016
2016
2016
Lokasi Cirebon
Kasus Puluhan warga Kecamatan Suranenggala mengalami gejala keracunan. Keracunan itu disebabkan bakso yang mereka konsumsi sebelumnya mengandung bakteri patogen dan boraks (Lilis, 2010). Tasikmalaya Kasus keracunan 119 murid SD Cigantang, penyebabnya bakteri dan bahan kimia. Sampel positif mengandung bakteri E.coli Patogen, Bacillus coagulans, Staphylococcus saprophyticus. Sampel sumber air, bakso mentah, kecap, dan cabai bubuk kemasan (Firman, 2015). Sukabumi Kasus keracunan 160 pegawai pabrik PT Nina 2, penjual bakso menggunakan bahan kimia berbahaya atau ikan yang sudah membusuk sebagai bahan pembuatan bakso (Syahdan, 2015). Simeuleu, Kasus keracunan bakso yang menimpa belasan warga dan Aceh anak di Simeuleu. Hasil pemeriksaan sampel bahan bakso dan muntahan para korban positif mengandung boraks 50 mg/L hingga 100 mg/L (Ahmadi, 2015). Musi Rawas, Pengecekan lapangan oleh Disperindagsar menemukan Sumatera sebanyak 10 penjual mi dan bakso di Musi Rawas terindikasi Selatan barang dagangannya mengandung bahan pengawet boraks dan formalin (Hengky, 2015). Ciamis, Jawa Tim gabungan pemantau bahan makanan menemukan bakso Barat mengandung formalin di Pasar Manis, Ciamis. Kemasan nugget, kemasan bakso, dan kemasan lainnya yang tidak tertera tanggal kadaluarsa (Nurhandoko, 2015). Wonosari, Keracunan massal menimpa pelajar SMPN 1 Wonosari Malang disebabkan bakso yang dijual di sekolah mengandung bakteri dan formalin sampel makanan yang diambil meliputi kuah bakso, pentol, siomay, tahu, mie kuning, saus tomat, sambal, dan kecap (Brama, 2016). Medan Petugas BPOM Medan menemukan bakso mengandung boraks yang dijual di pusat jajanan musiman Ramadan. Sampel makanan sebanyak 27 jenis makanan yang diambil dan uji hasilnya ditemukan adanya bakso yang mengandung boraks (Issha, 2016). Tebing Puluhan Warga Tebing Tinggi Keracunan Jajanan Bakso. tinggi, Sampel dari penjual bakso tersebut dilakukan pemeriksaan Sumatera terkait adanya dugaan keracunan ini. Para korban mengalami Utara pusing dan mual yang merupakan ciri-ciri dari korban keracunan (Perayudi, 2016). Pasaman, Kasus keracunan bakso di Kabupaten Pasaman, diakibatkan Sumetera keracunan bakso bakar keliling. Sebanyak 23 anak SD Barat dilarikan kerumah sakit karena mengalami muntah, pusing dan mencret. (Yudha, 2016).
Beberapa kasus tersebut menunjukkan masih adanya produsen bakso yang menggunakan bahan kimia berbahaya misalnya boraks dan formalin yang menyebabkan keracunan dan beresiko terhadap kesehatan konsumen. Hasil penyelidikan juga menunjukkan adanya bakteri patogen pada sampel bakso. Hal tersebut menunjukkan buruknya sanitasi dan hieginitas selama produksi bakso. Kasus mengenai pemalsuan bakso sapi, Kabid Kesehatan Hewan Dispertahut Bantul, melakukan uji petik terhadap berbagai macam makanan yang beredar di Kabupaten Bantul, dari kegiatan tersebut, ditemukan bakso sapi dan soto positif menggunakan daging babi. Pencampuran daging babi ke dalam soto daging maupun bakso dinilai melanggar undang-undang tentang keamanan pangan asal hewan. Pedagang bakso warga Kecamatan Srandakan, Bantul disangka melanggar Undang-Undang tentang keamanan pangan asal hewan, karena sesuai hasil uji laboratorium beberapa waktu lalu, bakso daging sapi yang diproduksinya mengandung daging babi. Pihak kepolisian sudah memberikan surat teguran kepada yang bersangkutan agar tidak mengulangi perbuatan yang merugikan konsumen, sebab dalam kemasan yang pernah diambil sampel tercantum bakso daging sapi (Markus, 2016). Berita tersebut menunjukan tidak bertanggungjawabnya produsen terhadap label atau komposisi produknya apalagi menyangkut kehalalan pangan yang mana mayoritas negara Indonesia merupakan masyarakat yang menganut agama Islam. Bakso merupakan produk pangan berbasis daging yang sangat rentan terhadap kerusakan. Kandungan nutrisi bakso cukup lengkap dengan nilai pH mendekati netral dan nilai Aw tinggi menyebabkan bakso menjadi tempat ideal bagi
pertumbuhan mikroba. Makanan bakso yang berasal dari sektor informal kemungkinan memberikan dampak merugikan bagi kesehatan. Bakso yang mengandung zat gizi lengkap dapat membahayakan konsumen apabila proses pengolahan dan penyajiannya tidak higienis. Sanitasi yang kurang baik dan penggunaan bahan-bahan kimia juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Masalah keamanan pangan dan dampak penyimpangannya merupakan masalah yang menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri, dan konsumen. Cara mengetahui kelayakan dan kualitas suatu pangan khususnya bakso, dapat dicermati melalui analisis Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang dapat dikaji dari aspek Good Manufacturing Practice (GMP) dan aspek dalam Standard Sanitation Operating Prosedure (SSOP). B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang muncul dari latar belakang di atas yaitu : 1. Masih ditemukan produsen bakso menggunakan formalin dan boraks seperti pada kasus keracunan bakso di Simeuleu dan Ciamis akibat coraks dan formalin pada bakso. 2. Masih ditemukan kemasan bakso tanpa label komposisi dan tanggal kadaluwarsa, seperti kasus pemalsuan bakso sapi di Bantul. 3. Kasus keracunan bakso di Tasikmalaya dan Cirebon, sampel positif bakteri patogen seperti E.coli, Staphylococcus, dan Bacillus sp yang merupakan salah satu akibat buruknya penerapan HACCP produksi bakso daging sapi.
4. Pencampuran daging babi dan bahan kimia berbahaya dalam pembuatan bakso sapi, bukti masih adanya produsen bakso yang tidak memenuhi standar produksi bakso daging sapi. 5. Kurangnya wawasan produsen bakso mengenai HACCP menyebabkan buruknya mutu bakso dan menyebabkan kasus keracunan di beberapa tempat. C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis HACCP pada semua tahapan produksi bakso di produsen A, B dan C yang meliputi pemilihan/pembelian bahan baku, preparasi daging, penggilingan, pencampuran bumbu, pencetakan bakso, perebusan, penirisan dan penyimpanan. 2. Menguji cemaran mikrobiologis, uji emis dan uji sensoris/organoleptik dalam produksi bakso untuk mengetahui kualitas bakso. Uji mikrobiologis yaitu dengan menghitung Angka Lempeng Total, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Uji sensoris/organoleptik dengan parameter yang diukur yaitu tekstur, bau, warna dan rasa sedangkan uji kemis yaitu dengan uji formalin dan uji boraks. D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sanitasi produksi bakso A, B dan C ? 2. Bagaimana HACCP produk bakso di produsen A, B dan C ? 3. Bagaimana kualitas produk bakso A, B dan C dillihat dari kriteria mikrobiologis, fisik/sensoris, dan kimia ?
E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sanitasi produksi bakso A, B, dan C. 2. Mengetahui HACCP produk bakso di produsen A, B, dan C. 3. Mengetahui kualitas bakso produsen A, B, dan C dilihat dari kriteria mikrobiologis, fisik dan kimia. F. Manfaat Penelitian Bagi peneliti : 1. Sebagai aplikasi illmu yang telah diperoleh dalam bidang keamanan pangan dan Mikrobiologi 2. Memperoleh wawasan terkait dengan penanganan dan pengawasan mutu bahan pangan. Bagi produsen : 1. Memberi tambahan wawasan dan pengetahuan kepada produsen dan distributor mengenai manajemen mutu dan keamanan pangan seperti HACCP secara utuh dalam pelenyenggaraan usaha yang dikelola.