BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat semakin berkembangnya teknologi dan informasi, maka bisa dikatakan bahwa keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini mempunyai peran yang cukup penting. Bank sebagai sarana dalam bertransaksi terutama transaksi yang mempunyai nilai yang tinggi. Dengan demikian kehadiran bank terutama bagi pelaku bisnis sangatlah diperlukan. Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Hal ini semakin tampak jika diperhatikan fenomena transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat khususnya di kalangan pebisnis dalam decade terakhir ini dimana sistem pembayaran yang dilakukan mengarah kepada sistem pembayaran giral yakni menggunakan instrument surat berharga. Pembayaran dalam transaksi bisnis dengan menggunakan lembaga perbankan dianggap cukup aman dibandingkan jika mereka melakukan pembayaran secara langsung 1. Fenomena yang berkembang saat ini menunjukkan makin berkembangnya pertumbuhan sistem keuangan dan perbankan syariah di tanah air secara khusus dan di dunia secara umum. Hal ini disebabkan karena sistem keuangan syariah salah satu diantara yang mampu bertahan dalam krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi saat ini. Di satu sisi hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan dan patut mendapatkan apresiasi, namun di sisi lain perlu adanya peningkatan pemahaman dari seluruh masyarakat tentang informasi yang lengkap mengenai produk pembiayaan berdasarkan akad-akad syariah, sehingga masyarakat menyadari betul manfaat dan keunggulannya dibanding dengan sistem konvensional 2.
1
Hermansya.Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2005). Hal 68 Muhamad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996). Hal. 248-249 2
1
Universitas Sumatera Utara
2
Pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang
Dasar
1945.
Dalam rangka
memelihara
kesinambungan
pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk akad pembiayaan dalam perbankan syariah 3. Dengan kesadaran yang muncul dari pemahaman ini diharapkan mampu menghantarkan mereka menjadi konsumen/nasabah yang loyal terhadap produk-produk syariah. Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Sejarah perbankan syariah pertama kali muncul di mesir pada tahun 1963. Sedangkan di Indonesia sendiri perbankan syariah baru lahir pada tahun 1991 dan secara resmi dioperasikan tahun 1992. Berbagai prinsip perbankan syariah telah diterapkan dengan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
3
M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Syariah Di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007). Hal. 22
Universitas Sumatera Utara
3
sesuai dengan syariah. Adapun jenis produk atau jasa perbankan syariah adalah jasa untuk peminjam dana dan jasa untuk penyimpan dana 4. Dalam dunia usaha yang selalu bergerak dinamis, pelaku usaha selalu mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini semakin terasa di era global saat ini dimana ekspansi dunia bisnis telah menembus batas ruang, waktu dan teritorial suatu negara. Terobosan yang dilakukan oleh pelaku bisnis dalam pengembangan usaha telah melahirkan berbagai bentuk format bisnis. Munculnya berbagai bentuk bisnis tersebut tentu membawa suatu konsekuensi logis terhadap dunia hukum, diperlukan pranata hukum yang memadai untuk mengatur suatu bisnis di suatu negara, demi terciptanya kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam bisnis ini 5. Hubungan bisnis tersebut dalam pelaksanaannya tentunya di dasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam lapangan kehidupan seharihari seringkali dipergunakan istilah perjanjian, meskipun hanya dibuat secara lisan saja. Tetapi di dalam dunia usaha, perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut bidang usaha yang digeluti. Mengingat akan hal tersebut dalam hukum perjanjian merupakan suatu bentuk manifestasi adanya kepastian hukum. Oleh karena itu dalam prakteknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam hukum perjanjian dikenal asas
4
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum, Bisnis-Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty.1993). Hal. 97 5 Soeyono dan Siti Ummu Adillah, 2003, Diktat Mata Kuliah Hukum Pembiayaan Perbankan, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unissula, Semarang , Hal. 41
Universitas Sumatera Utara
4
kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Tujuan dari Pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis dan seterusnya. Jadi dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi 6: a. Perjanjian yang telah diatur oleh Undang-Undang. b. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam Undang-Undang. Namun dalam perkembangannya di Indonesia muncul bentuk-bentuk kontrak standar atau baku, dimana suatu kontrak telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak dan pihak yang lainnya hanya dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut. Perjanjian baku atau standar lahir sebagai bentuk dari perkembangan dan tuntutan dunia usaha 7. Kontrak standar telah banyak diterapkan dalam dunia usaha seperti perbankan, lembaga pembiayaan konsumen, dan berbagai bentuk usaha lainya 8. Kontrak standar atau baku dipandang lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Secara formal di Indonesia aturan hukum mengenai perjanjian baku atau standar belum 6
Purwahid Patrik. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang. (Jakarta: Mandar Maju. 1986). Hal. 45-47 7 Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, Bandung . 1997) Hal. 95 8 Ibid
Universitas Sumatera Utara
5
diatur dengan jelas, sehingga perlu mendapatkan kajian lebih lanjut.
Hukum pada
dasarnya adalah untuk perlindungan kepentingan manusia. Dalam setiap hubungan hukum, termasuk perjanjian harus ada keseimbangan antara para pihak supaya tidak terjadi konflik kepentingan. Namun dalam realitasnya tidak selalu demikian. Selalu terdapat kemungkinan salah satu pihak mempunyai posisi yang lebih kuat baik dari sisi ekonomis maupun dari penguasaan teknologi atau suatu penemuan yang spesifik. Dalam kondisi ini salah satu pihak lebih mempunyai peluang untuk lebih diuntungkan dalam suatu perjanjian. Seringkali pihak penyusun menentukan syarat-syarat yang cukup memberatkan apalagi kontrak tersebut disajikan dalam bentuk kontrak standard, karena ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dapat dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian pada pihaknya. Dalam hal demikian salah satu pihak hanya punya pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut 9. Timbulnya perjanjian baku di dalam lalu lintas Hukum Perjanjian Nasional dan Internasional dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan transaksi. Oleh karena itu, karakter utama dari sebuah perejanjian baku adalah pelayanan yang cepat (efisien) terhadap kegiatan transaksi yang berfrekuensi tinggi, namun tetap dapat memberikan kekuatan serta kepastian hukum (efektif). Agar perjanjian baku dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat (conditional) perjanjian baku harus ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir, kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir-formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Adapun dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian baku ini pada umumnya hanya menguntungkan pihak kreditur sedangkan
9
R. Subekti. Hukum Perjanjian. (Bandung: Intermasa, Bandung. 1987) .Hal. 19-20
Universitas Sumatera Utara
6
konsumen (debitur) seringkali dirugikan dengan perjanjian baku ini. Untuk melindungi hak-hak konsumen agar tidak dirugikan dengan perjanjian baku, maka pemerintah mengatur hal ini dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang pencantuman klausula baku. Hubungan bisnis tersebut dalam pelaksanaannya tentunya di dasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam lapangan kehidupan seharihari seringkali dipergunakan istilah perjanjian, meskipun hanya dibuat secara lisan saja. Dalam hukum perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan 10. Namun dalam perkembangannya di Indonesia muncul bentuk-bentuk kontrak standar atau baku, dimana suatu kontrak telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak dan pihak yang lainnya hanya dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut 11. Perjanjian baku atau standar lahir sebagai bentuk dari perkembangan dan tuntutan dunia usaha. Kontrak standar telah banyak diterapkan dalam dunia usaha seperti perbankan, lembaga pembiayaan konsumen, dan berbagai bentuk usaha lainya. Kontrak standar atau baku dipandang lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Sebagian besar masyarakat umum tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun
10 11
didalam
praktek
kehidupan
sehari-hari
masyarakat
tersebut
telah
Op.Cit Hal 48 Subekti. Hukum Perjanjian. (Jakarta: PT Intermasa, Cetakan ke IX. 1992). Hal 39
Universitas Sumatera Utara
7
membubuhkan tandatangannya pada suatu perjanjian pada menerima/ menyetujuinya setiap dokumen yang isisnya memuat klausula baku 12. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam perjanjian atau dokumen yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen 13. Setiap perjanjian baku atau perjanjian standar (standard contract) merupakan suatu ketentuan yang menjadi tolak ukur yang memuat hak dan kewajiban bagi para pihak dalam suatu transaksi baik barang atau jasa yang dibuat secara tertulis yang harus dipatuhi 14. Pengertian kredit dalam norma hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11) menyebutkan : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persutujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Perjanjian kredit yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pihak debitur dan pihak kreditur dalam tenggat waktu yang telah ditentukan akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang tersebut kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan imbalan jasanya 15. Didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, tidak menentukan bentuk perjanjian kredit sehingga pihak debitur
12
R Subekti dan, R Tjitrosudibio, Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: PT Pradnya Paramita.1997) 13 Marhainis Abdul hay. Perjanjian Baku, (Jakarta: Sumur Bandung, 1989). Hal 19 14 Mariam Darus Badrulzaman, Keputusan-Keputusan Tentang Perkara Perdata, (Medan: Bappit Cabang Sumatra Utara. 1978). Hal 48 15 Sutan Remy Sjahdeini, Perjanjian Kredit Antar Bank¸(Bandung: Binacipta, 1999). Hal 55
Universitas Sumatera Utara
8
yang diberikan pinjaman uang oleh pihak kreditur tidak diberikan keleluasaan dalam menentukan isi perjanjian sehingga yang dilemahkan dalam hal ini adalah pihak debitur. Keadaan tersebut diatas adalah kenyataan pada era sebelum berlakunya UndangUndang perlindungan konsumen, dimana belum ada suatu produk peraturan PerundangUndangan yang melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku yang bersifat pembebasan atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha sehingga pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk membuat klausula baku yang merugikan konsumen. Namun dalam era perlindungan konsumen dibawah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 keberadaan klausula baku yang merugikan konsumen secara limitatif dilarang. Dengan adanya pengaturan klausula baku dalam Undang-Undang perlindungan konsumen, maka dalam hal ini membatasi pengertian dan pemberlakuan asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 KUH Perdata 16. Hal ini berarti asas kebebasan berkontrak jangan lagi dipahami dalam pengertian secara mutlak. Oleh sebab itu, asas kebebasan berkontrak hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-Undang perlindungan konsumen. Dengan demikian kedudukan diharapkan dapat setara atau seimbang dalam menghadapi pelaku usaha dalam membuat suatu perjanjian. Perjanjian baku (standard contract) dalam sisi hukum menjadikan kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut tidak pada posisi seimbang, ada pihak tertentu yang didudukan dengan status yang lebih lemah dibandingkan pihak lainnya, hal ini seringkali terjadi dalam perjanjian kredit perbankan atau perjanjian perburuhan, ada pihak-pihak dengan kondisi atas-bawah dala dimensi hukum. Beranjak pada pengertian debitur dalam perjanjian kredit perbankan maka tidak akan terlepas dari ketentuan yang ada berkaitan dengan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang 16
. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: ALUMNI, 1992), Hal.203
Universitas Sumatera Utara
9
No.8 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur arti konsumen disebutkan bahwa: “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” 17. Berdasarkan pengertian tersebut, debitur dapat dikatakan juga sebagai konsumen, hal tersebut karena dalam dunia perbankan debitur telah memakai/pemakai jasa dari lembaga perbankan yang tersedia di masyarakat, sebagaimana pengertian Jasa dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian Konsumen juga tidak terbatas kepada mereka yang mendapatkan barang dan /atau jasa atas dasar perjanjian saja (misalnya jual beli), namun termasuk di dalamnya yaitu setiap orang yang mendapatkan sesuatu barang dan/atau jasa atas dasar pemberian (misalnya memperoleh kiriman/parcel). Di atur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi 18.” Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini membahas tentang akad pembiayaan yang dilakukan pada perbankan syariah yaitu PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan. Akad pembiayaan pada PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan 17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Undang-Undang Hukum Perlindungan Konsumen dan Komentar-Komentarnya. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Hal 81 18
. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, PT Grasindo, 2004),
hal. 80
Universitas Sumatera Utara
10
dilakukan selain berdasarkan ketentuan UU No. 10/1998 tentang Perbankan, UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah dan hukum perjanjian. Adapun akad-akad pembiayaan pada PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan didasarkan pada prinsipprinsip syariah, seperti murabahah. Sedangkan jenis produk akad pembiayaan syariahnya bervariasi, ada yang bersifat jasa dan ada pula yang bersifat investasi. Semua jenis produk ini dibuat dengan bentuk pembiayaan yang menggunakan klausula baku. Begitu juga dengan akad murabahah sebagai salah satu akad yang paling diminati oleh konsumen . Sepanjang keberadaan PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan, akad murabahah ini juga merupakan akad yang paling pesat perkembangannya di hampir seluruh bank syariah di Indonesia karena akad ini menawarkan pembiayaan-pembiayaan konsumtif kepada konsumen. Berdasarkan hal tersebut di atas serta untuk lebih mengetahui tentang alasan dimasukannya klausula baku dalam perjanjian akad pembiayaan pada perbankan syariah dan untuk meneliti lebih lanjut materi yang ada, maka penelitian dengan judul ”Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada PT.Bank Muamalat Cabang Utama Medan)”menjadi penting untuk dilakukan.
B. Permasalahan Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah yang menjadi latar belakang pencantuman klausula baku dalam akad pembiayaan paa PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan? 2. Bagaimanakah penerapan klausula baku dalam akad pembiayaan di PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
Universitas Sumatera Utara
11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun hal yang menjadi tujuan dilakukannya penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang pencantuman klausula baku dalam akad pembiayaan paa PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan 2. Untuk mengetahui penerapan klausula baku dalam akad pembiayaan di PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan dikaitkan dengan UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sedangkan yang menjadi manfaat dilakukannya penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Teoritis Secara teoretis penelitian ini diharapkan akan menambah dan memperluas wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya hukum perbankan. 2. Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan sumbangan
pemikiran
upaya
pembaharuan
hukum
ekonomi,
khususnya dalam memberikan masukan bagi dunia perbankan mengenai Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi dunia perbankan dalam membuat dan menjalankan kebijakan tentang
Universitas Sumatera Utara
12
Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat, khususnya bagi nasabah untuk lebih mengetahui tentang Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada PT.Bank Muamalat Cabang Utama Medan)”. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang “Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada PT.Bank Muamalat Cabang Utama Medan)”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara.
E. Tinjauan Kepustakaan Untuk mengetahui tentang Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi
Universitas Sumatera Utara
13
Pada PT.Bank Muamalat Cabang Utama Medan) perlu didasarkan kepada kerangka pemikiran dari berbagai literatur yang ada sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Timbulnya perjanjian baku di dalam lalu lintas Hukum Perjanjian Nasional dan Internasional dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan transaksi. Oleh karena itu, karakter utama dari sebuah perejanjian baku adalah pelayanan yang cepat (efisien) terhadap kegiatan transaksi yang berfrekuensi tinggi, namun tetap dapat memberikan kekuatan serta kepastian hukum (efektif). Agar perjanjian baku dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat (conditional) perjanjian baku harus ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir, kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir-formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian baku ini pada umumnya hanya menguntungkan pihak kreditur sedangkan konsumen (debitur) seringkali dirugikan dengan perjanjian baku ini. Untuk melindungi hak-hak konsumen agar tidak dirugikan dengan perjanjian baku, maka pemerintah mengatur hal ini dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang pencantuman klausula baku. Hukum dan sistem sosial masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana hukum ada karena kehendak dari mayarakat dan tujuan dari dibentuknya hukum adalah untuk masyarakat. Hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu, karena hukum merupakan suatu proses dan sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial sebagai bagian dari
Universitas Sumatera Utara
14
sistem sosial itu sendiri. Hukum secara sosiologis adalah penting, dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai- nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Klausula baku merupakan aturan sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha yang biasanya dicantumkan ke dalam bentuk kwitansi, faktur atau bon, dan perjanjian atau dokumen lainnya dalam jual beli yang di dalamnya biasanya menyatakan bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”, “Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan”, dan sebagainya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penerapan klausula baku yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lemah yaitu konsumen, atau hal ini biasa dikenal dengan istilah “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omstadigheden). Perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak untuk membayar kerugian pada pihak lain memiliki ciri sebagai berikut: 1. Pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat; 2. Pihak lemah pada umumnya tidak ikut dalam menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian; 3. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut; 4. Bentuknya tertulis; 5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Universitas Sumatera Utara
15
F. Metode Penelitian 1. Metode pendekatan Di dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dimana penelitian normatif cukup dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dan penelitian lapangan hanya berfungsi sebagai penunjang data sekunder tersebut. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitis. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang permasalahan yang ada pada masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku, sehingga akhirnya dapat diperoleh simpulan. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh guna penyusunan penulisan hukum lebih lanjut yang meliputi : a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan dengan cara wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan (guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi ketika wawancara. b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoretis terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada PT.Bank Muamalat Cabang Utama Medan). Disamping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh
Universitas Sumatera Utara
16
bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku, literatur, tulisantulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa: 1). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas: (a)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(b) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (c)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(d) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 2). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan dengan materi penelitian. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas: (a)
Kamus Hukum
(b) Kamus Umum Bahasa Indonesia
4. Populasi dan Teknik Sampling Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah PT. Bank Muamalat Cabang Utama yang berada di Medan . Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik non random sampling, karena tidak semua unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi wakil dari populasi. Jenis sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu penelitian dengan menggunakan pertimbangan dalam menentukan sampel berdasarkan pengetahuan yang cukup serta ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
17
5. Metode Analisis Data Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan disusun dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab yang tiap-tiap babnya terdiri pula dari beberapa sub bab. Bab satu sebagai pendahuluan meliputi latar belakang yang berisi isu-isu yang mengantarkan sampai pada permasalahan, tentang keaslian penulisan, tujuan secara umum dan secara khusus dilakukannya penilisan dan manfaat penulisan. Selanjutnya diuraikan tentang metode penelitian yang digunakan, sera sistematika penulisan. Bab dua menjelaskan mengenai analisis mengenai latar belakang pencantuman klausula dalam akad pembiayaan pada PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan. Sub bab yang dibahas adalah antara lain tentang gambaran umum PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan, serta jenis akad pembiayaan syariah paa PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan. Kemudian pada bab tiga diuraikan tentang Penerapan Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada PT. Bank Muamalat Cabang Utama Medan). Adapun sub bab yang dibahas adalah tentang Penerapan Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah, Upaya yang dilakukan konsumen jika klausul baku dalam akad pembiayaan syariah melanggar ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
18
Bab empat berisi kesimpulan dan saran dari berbagai hal yang penting dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, serta menyampaikan saran sebagai wujud rekomendasi dari skripsi berdasarkan analisis yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara