BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan di bidang kesehatan merupakan salah satu diantaranya. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersamasama. Untuk jangka panjang pembangunan bidang kesehatan diarahkan untuk tercapainya tujuan utama sebagai berikut: 1) peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan; 2) perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; 3) peningkatan status gizi masyarakat, 4) pengurangan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas); 5) pengembangan keluarga sehat sejahtera, dengan makin diterimanya norma keluarga kecil yang bahagia, dan sejahtera.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu dilakukan. Salah satu di antaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup penting ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan (Blum,1974). Adapun pelayanan kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta
17
memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan atau pun masyarakat (dijabarkan dari Levey and Loomba, 1973 dalam Azrul Azwar, 1995, hal.1).
Dalam rangka melakukan upaya pelayanan kesehatan masyarakat diperlukan adanya lembaga atau organisasi atau kelompok yang mempeloporinya. Lembaga kesehatan merupakan hal penting dalam suatu kelompok masyarakat yang memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Contoh lembaga/organisasi atau kelompok tersebut seperti Lembaga Kesehatan Masyarakat Indonesia (LAKSMI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan sebagainya. Salah satu contoh lembaga kesehatan di tingkat desa adalah posyandu yang berfungsi membantu puskesmas (lembaga kesehatan tingkat kecamatan) dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dalam lingkup desa atau kelurahan. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan
dari,
oleh,
untuk
dan
bersama
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).
Posyandu erat sekali kaitannya dengan peran serta aktif masyarakat. Sejak diperkenalkan tahun 1980-an, dimana dasar pelaksanaan posyandu sebagai bentuk legalitas
posyandu
ialah
Mendagri/Menkes/BKKBN.
Surat
Keputusan
Masing-masing
18
No.
Bersama 23
Tahun
(SKB): 1985.
21/Men.Kes/Inst.B./IV1985.112/HK-011/A/1985
tentang
Penyelenggaraan
Posyandu, posyandu diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan dan gizi. Betapa pentingnya keberadaan posyandu di tengah – tengah masyarakat yang mana posyandu merupakan pusat kegiatan masyarakat. Dalam kegiatan posyandu, masyarakat dapat berperan sebagai pelaksana sekaligus pihak yang memperoleh pelayanan kesehatan serta Keluarga Berencana. Di samping itu wahana ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar menukar informasi, pendapat dan pengalaman serta bermusyawarah untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi baik berbagai masalah keluarga ataupun masyarakat itu sendiri.
Namun seiring berjalannya waktu, posyandu semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat memeriksakan kesehatan balitanya ke Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu) mulai berkurang. Kondisi ini salah satunya dipengaruhi oleh cara pandang orang tua yang merasa anaknya tidak perlu lagi dibawa ke posyandu seiring dengan pertambahan umur. Selain itu, minimnya kepercayaan para orang tua terhadap kinerja kader Posyandu juga berkorelasi positif terhadap jumlah kunjungan balita ke posyandu (Kompasiana, 27 Mei 2014). Pemerintah membuat suatu kebijakan berupa Surat Edaran Mendagri Nomor 411.3/1116/SJ tahun 2001 tentang Revitalisasi Posyandu yang sampai saat ini masih terus dilakukan meskipun belum semua Posyandu melaksanakannya. Secara umum revitalisasi posyandu bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu sehingga bisa memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak sejak dalam
19
kandungan dan mampu meningkatkan atau mempertahankan status gizi serta derajat kesehatan ibu dan anak. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk : •
Meningkatkan kualitas kemampuan dan keterampilan kader Posyandu.
•
Meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan Posyandu.
•
Meningkatkan pemenuhan kelengkapan sarana, alat, dan obat di Posyandu.
•
Meningkatkan
kemitraan
dan
pemberdayaan
masyarakat
untuk
kesinambungan kegiatan Posyandu. •
Meningkatkan fungsi pendampingan dan kualitas pembinaan Posyandu (Depdagri 2001).
Untuk mendukung kebijakan Revitalisasi Posyandu tersebut, kemudian Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri no. 54 tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pembinaan Pos Pelayanan Terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi, pembinaan, fasilitasi, advokasi, dan bantuan yang berkaitan dengan fungsi dan kinerja Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pokjanal Posyandu merupakan kelompok kerja yang tugas dan
fungsinya
mempunyai
keterkaitan
dalam
pembinaan
penyelenggaraan/pengelolaan Posyandu yang berkedudukan di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan
Kecamatan.
Sementara
yang
berkedudukan
di
Desa/Kelurahan disebut Pokja Posyandu.
Dengan dikeluarkannya Permendagri No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar Di Pos Pelayanan Terpadu yang menggabungkan dan memperluas jenis layanan sosial dasar masyarakat ke dalam
20
Posyandu seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Bina Keluarga Balita (BKB), Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), kesehatan usia lanjut, dan pengembangan ekonomi masyarakat berbasis keunggulan setempat, maka semakin perlulah dilakukan penguatan dan usaha yang sungguh-sungguh serta sistematik untuk meningkatkan peran dan fungsi Posyandu. Ini merupakan tugas daripada Pokjanal Posyandu dan tentu saja ini berarti keberadaan dan kinerja Pokjanal Posyandu semakin dibutuhkan dan diperlukan lagi.
Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri pun kemudian mengeluarkan surat edaran No. 411.42/326/SJ tentang Pembinaan dan Optimalisasi Peran Posyandu pada tanggal 25 Januari 2013 yang salah satu isinya menyatakan permintaan pembentukan (bagi daerah yang belum memiliki) dan pengaktifan (kembali) Pokjanal Posyandu di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan surat edaran tersebut, peneliti menemukan bahwa sejak tahun 2005 Kabupaten Deli Serdang telah memiliki atau membentuk Lembaga Pembina Posyandu (LPP) sebagai bentuk terdahulu dari Pokjanal Posyandu sebelum Permendagri no. 54 tahun 2007 dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti pula, diketahui bahwa SK Lembaga Pembina Posyandu (LPP) tersebut sudah tidak ada lagi dan telah digantikan dengan SK Pokjanal Posyandu yang baru dibentuk dan dikeluarkan pada tahun 2014. Karena terbilang masih baru (keberadaannya), maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembentukan Pokjanal Posyandu di Kabupaten Deli Serdang.
21
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Pembinaan Posyandu di Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Fokus Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, untuk menjamin kelancaran penelitian dan mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada pelaksanaan pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pembinaan Pos Pelayanan Terpadu sesuai dengan yang ditetapkan dalam Permendagri no. 54 tahun 2007. Dalam hal ini, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggungjawab dalam pembentukan Pokjanal Posyandu adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kabupaten Deli Serdang dan penelitian dilakukan hanya sebatas pada masalah sosialisasi, pembentukan, kepengurusan, dan pendanaan Pokjanal Posyandu Kabupaten Deli Serdang. 1.3 Rumusan Masalah Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabnya melalui kegiatan penelitian (Arikunto, 2002:47). Berkaitan dengan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni : Bagaimana implementasi dari Peraturan 22
Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Pembinaan Posyandu di Kabupaten Deli Serdang?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui pelaksanaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Pembinaan Posyandu di Kabupaten Deli Serdang. b) Untuk mengetahui hambatan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Permendagri nomor 54 tahun 2007 ini?
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Secara subyektif, penelitian ini bermanfaat untuk melatih, meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metodologi penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. b) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi terkait dan masyarakat khususnya ditempat penelitian ini dilaksanakan agar dapat terus melaksanakan kewajibannya. c) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan departemen
23
ilmu administrasi negara dan bagi kalangan penulis lain yang ingin meneliti hal yang sama.
1.6 Kerangka Teori
Menurut Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dengan adanya teori, peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya berdasarkan unsur ilmu dalam teori (Singarimbun, 1995:37).
1.6.1 Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi berbagai persoalan
dan
isu-isu
yang
ada
dan berkembang
di
masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu maupun untuk melakukan tindakan tertentu.
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumbersumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya, kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Chandler dan Plano dalam Tangklisan (2003:01).
24
Anderson dalam Tangklisan (2003:02) memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan publik itu adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan tindakan yang berorintasi kepada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan – tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat dan memaksa.
Kebijakan
publik
adalah
sejumlah
aktivitas
pemerintah
untuk
memecahkan masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi masyarakat.
1.6.1.1 Kebijakan Kesehatan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 3 menyatakan: “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
25
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.” Berdasarkan
Sistem
Kesehatan
Nasional
(SKN)
Tahun
2009,
pembangunan kesehatan perlu digerakkan oleh masyarakat di mana masyarakat mempunyai peluang dan peran yang penting dalam pembangunan kesehatan, oleh karena itu pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting atas dasar untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuannya sebagai pelaku pembangunan
kesehatan.
Tinuk
dalam
Iskandar
(2006)
menyatakan
pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, berperan aktif, bernegosiasi, memengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung gugat demi perbaikan kehidupannya. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, masyarakat berperanserta baik secara perorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat secara optimal oleh masyarakat seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu pendekatan untuk menemukan dan mengatasi persoalan gizi pada balita. Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat
26
dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006). Posyandu meliputi lima program prioritas yaitu Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi dan balita (Adisasmito, 2007). Posyandu erat sekali kaitannya dengan peran serta aktif masyarakat. Program Kesehatan Ibu dan Anak yang telah dilaksanakan selama ini, bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi, untuk itu diperlukan upaya pengelolaan program kesehatan ibu dan anak yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak setinggi-tingginya (Peraturan Presiden RI, 2012). Hal ini sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs) tujuan nomor empat: Menurunkan kematian anak yaitu menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Serta tujuan nomor lima: Meningkatkan kesehatan ibu yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2015 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2010). Untuk mencapai program MDGs Tahun 2015 dalam menurunkan kematian AKB dan AKI, pemerintah mengeluarkan dana bantuan operasional kesehatan (BOK). Sejak diperkenalkan tahun 1980-an, posyandu diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan dan gizi. Balita merupakan salah satu sasaran posyandu yang cukup penting oleh karena
27
balita merupakan proporsi yang cukup besar dari komposisi penduduk Indonesia (Depkes RI, 2006). Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat yang dimanfaatkan oleh ibu untuk memperoleh pelayanan dan sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuannya dalam hal gizi dan kesehatan. Pemantauan status gizi dan kesehatan anak dapat dilakukan dengan baik melalui kegiatan di posyandu (Madanidjah, 2007).
1.6.1.2 Kebijakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
1.6.1.2.1 Pengertian Posyandu
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 19 Tahun 2011, Pos Pelayanan Terpadu yang selanjutnya Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan
dari,
oleh,
untuk
dan
bersama
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi ( Depkes RI, 2006 ). Menurut Effendy (1998), Posyandu merupakan forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat, dari, oleh, dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini.
28
Adapun yang menjadi tujuan dari dibentuknya posyandu terbagi dalam dua bagian, yaitu: 1. Tujuan umum adalah menunjang percepatan penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia melalui upaya pemberdayaan masyarakat. 2. Tujuan khusus posyandu adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dasar, terutama yang berkaitan dengan penurunan AKI dan AKB. b. Meningkatkan
peran
lintas
sektor
dalam
penyelenggaraan
posyandu, terutama berkaitan dengan penurunan AKI dan AKB. c. Meningkatnya cakupan dan jangkauan pelayanan kesehatan dasar, terutama yang berkaitan dengan penurunan AKI dan AKB. 1.6.1.2.2 Jenis-Jenis Posyandu Strata atau tingkat perkembangan posyandu dapat dilihat pada pola pembinanan posyandu yang dikenal dengan telaah kemandirian posyandu (Depkes 1995, dikutip dalam Nain 2008) yaitu semua posyandu didata tingkat pencapaiannya dari segi pengorganisasian dan pencapaian programnya. Strata posyandu dari terendah sampai tertinggi (Hasanbasri dan Saripawan 2007; Nain 2008; Sembiring 2004) sebagai berikut : a) Posyandu pratama (warna merah) Posyandu tingkat pratama adalah posyandu yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas.
29
Keadaan ini dinilai ‘gawat’ sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang. Artinya kader yang ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi. b) Posyandu madya (warna kuning) Posyandu pada tingkat madya sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya (KB, KIA, Gizi, dan Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian posyandu sudah baik tetapi masih rendah cakupannya. Intervensi untuk posyandu madya ada 2 yaitu : •
Pelatihan Toma dengan modul eskalasi posyandu yang sekarang sudah dilengkapi dengan metoda simulasi.
•
Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan masalah dan mencari penyelesaiannya, termasuk menentukan program tambahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
c) Posyandu purnama (warna hijau) Posyandu pada tingkat purnama adalah posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, dan cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) lebih dari 50%. Sudah ada program tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang masih sederhana. Intervensi pada posyandu di tingkat ini adalah:
30
•
Penggarapan dengan pendekatan PKMD untuk mengarahkan masyarakat
menetukan
sendiri
pengembangan
program
di
posyandu •
Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat dengan cakupan anggota minimal 50% KK atau lebih.
d) Posyandu mandiri (warna biru) Posyandu ini berarti sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK. Intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat tersebut menggunakan prinsip JPKM. 1.6.1.2.3 Manfaat Posyandu 1. Bagi masyarakat a. Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan dasar, terutama berkaitan dengan penurunan AKI dan AKB. b. Memperoleh bantuan secara profesional dalam pemecahan masalah kesehatan terutama terkait kesehatan ibu dan anak. c. Efisiensi dalam mendapatkan pelayanan terpadu kesehatan dan sektor lain terkait. 2. Bagi kader, pengurus Posyandu dan tokoh masyarakat
31
a. Mendapatkan informasi terdahulu tentang upaya kesehatan yang terkait dengan penurunan AKI dan AKB. b. Dapat
mewujudkan
aktualisasi
dirinya
dalam
membantu
masyarakat menyelesaikan masalah kesehatan terkait dengan penurunan AKI dan AKB. 3. Bagi Puskesmas a. Optimalisasi pembangunan
fungsi
Puskesmas
berwawasan
sebagai
kesehatan,
pusat
pusat
penggerak
pemberdayaan
masyarakat, pusat pelayanan kesehatan strata pertama. b. Dapat lebih spesifik membantu masyarakat dalam pemecahan masalah kesehatan sesuai kondisi setempat. c. Meningkatkan efisiensi waktu, tenaga dan dana melalui pemberian pelayanan secara terpadu. 4. Bagi sektor lain a. Dapat lebih spesifik membantu masyarakat dalam pemecahan masalah sektor terkait, utamanya yang terkait dengan upaya penurunan AKI dan AKB sesuai kondisi setempat. b. Meningkatkan efisiensi melalui pemberian perlayanan secara terpadu sesuai dengan tupoksi masing-masing sektor.
1.6.1.2.4 Penyelenggaraan/Pengelolaan Posyandu
32
Kedudukan posyandu terhadap kelompok kerja operasional (pokjanal) adalah sebagai satuan organisasi yang mendapat binaan aspek administratif, keuangan, dan program dari Pokjanal Posyandu.
A. Waktu Penyelenggaraan
Posyandu buka satu kali dalam sebulan. Hari dan waktu yang dipilih, sesuai dengan hasil kesepakatan. Apabila diperlukan, hari buka Posyandu dapat lebih dari satu kali dalam sebulan.
B. Tempat Penyelenggaraan Tempat penyelenggaraan kegiatan Posyandu sebaiknya berada pada lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Tempat penyelenggaraan tersebut dapat di salah satu rumah warga, halaman rumah, balai desa/kelurahan, balai RW/RT/dusun, salah satu kios di pasar, salah satu ruangan perkantoran, atau tempat khusus yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. C. Kegiatan dalam Penyelenggaraan Posyandu Kegiatan rutin Posyandu diselenggarakan dan digerakkan oleh Kader Posyandu dengan bimbingan teknis dari Puskesmas dan sektor terkait. Pada saat penyelenggaraan Posyandu minimal jumlah kader adalah 5 (lima) orang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah langkah yang dilaksanakan oleh Posyandu, yakni yang mengacu pada sistim 5 langkah. Kegiatan yang dilaksanakan pada setiap langkah serta para penanggungjawab pelaksanaannya secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
33
Langkah
Kegiatan
Pelaksana
Pertama
Pendaftaran
Kader
Kedua
Penimbangan
Kader
Ketiga
Pengisian KMS
Kader
Keempat
Penyuluhan
Kader
Kelima
Pelayanan kesehatan
Kader atau kader bersama petugas kesehatan
Kegiatan
posyandu
terdiri
dari
kegiatan
utama
dan
kegiatan
pengembangan / pilihan. Secara rinci kegiatan Posyandu adalah sebagai berikut: 1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Pemberian pil tambah darah (ibu hamil), Pemberian vitamin A dosis tinggi (bulan vitamin A pada bulan Februarii dan Agustus), PMT, Imunisasi, dan Penimbangan balita rutin perbulan sebagai pemantau kesehatan balita melalui pertambahan berat badan setiap bulan. Keberhasilan program terlihat melalui grafik pada kartu KMS setiap bulan.
2. Keluarga Berencana (KB)
Pelayanan KB di Posyandu yang dapat diselenggarakan oleh kader adalah pemberian kondom dan pemberian pil ulangan. Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dilakukan suntukan KB, dan konseling KB. Apabila tersedia ruangan dan peralatan yang menunjang dilakukan pemasangan IUD.
3. Imunisasi 34
Pelayanan imunisasi di Posyandu hanya dilaksanakan apabila ada petugas Puskesmas. Jenis imunisasi yang diberikan disesuaikan dengan program, baikterhadap bayi dan balita maupun terhadap ibu hamil.
4. Gizi
Pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader. Sasarannya adalah bayi, balita, ibu hamil dan WUS. Jenis Pelayanan yang diberikan meliputi penimbangan berat badan, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan gizi, pemberian PMT, pemberian vitamin A dan pemberian sirup Fe. Khusus untuk ibu hamil dan ibu nifas ditambah dengan pemberian tablet besi serta kapsul Yodium untuk yang bertempat tinggal di daerah gondok endemik. Apabila setelah 2 kali penimbangan tidak ada kenaikan berat badan, segera dirujuk ke Puskesmas.
5. Pencegahan dan Penanggulangan Diare
Pencegahan diare di Posyandu dilakukan antara lain dengan penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Penanggulangan diare di Posyandu dilakukan antara lain penyuluhan, pemberian larutan gula garam yang dapat dibuat sendiri oleh masyarakat atau pemberian Oralit yang disediakan.
D.
Pembiayaan,
Pemanfaatan,
dan
Pengelolaan
Dana
dalam
Penyelenggaraan/Pengelolaan Posyandu 1. Sumber biaya atau pembiayaan Posyandu berasal dari berbagai sumber, antara lain: a) Masyarakat:
35
1) Iuran pengguna/pengunjung Posyandu. 2) Iuran masyarakat umum dalam bentuk dana sehat. 3) Sumbangan/donatur dari perorangan atau kelompok masyarakat. 4) Sumber dana sosial lainnya, misal dana sosial keagamaan, zakat, infaq, sodaqoh (ZIS), kolekte, punia paramitha, dan sebagainya. Apabila Forum Peduli Kesehatan Kecamatan telah terbentuk, upaya pengumpulan dana dari masyarakat ini seyogyanya dikoordinir oleh Forum Peduli Kesehatan Kecamatan. b) Swasta/Dunia Usaha Peran aktif swasta/dunia usaha juga diharapkan dapat menunjang pembiayaan Posyandu. Misalnya dengan menjadikan Posyandu sebagai anak angkat perusahaan. Bantuan yang diberikan dapat berupa dana, sarana, prasarana, atau tenaga, yakni sebagai sukarelawan Posyandu. c) Hasil Usaha Pengurus dan kader Posyandu dapat melakukan usaha yang hasilnya disumbangkan untuk biaya pengelolaan Posyandu. Contoh kegiatan usaha yang dilakukan antara lain: (1) Kelompok Usaha Bersama (KUB) (2) Hasil karya kader Posyandu, misalnya kerajinan, Taman Obat Keluarga (TOGA) d) Pemerintah Bantuan dari pemerintah terutama diharapkan pada tahap awal pembentukan, yakni berupa dana stimulan atau bantuan lainnya dalam bentuk
36
sarana dan prasarana Posyandu yang bersumber dari dana APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, APBDes dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. 2. Pemanfaatan dan Pengelolaan Dana a) Pemanfaatan Dana Dana yang diperoleh Posyandu, digunakan untuk membiayai kegiatan Posyandu, antara lain dalam bentuk: (1) Biaya operasional Posyandu. (2) Biaya penyediaan PMT. (3) Pengganti biaya perjalanan kader. (4) Modal usaha KUB. (5) Bantuan biaya rujukan bagi yang membutuhkan. b) Pengelolaan Dana Pengelolaan dana dilakukan oleh pengurus Posyandu. Dana harus disimpan di tempat yang aman dan jika mungkin mendatangkan hasil. Untuk keperluan biaya rutin disediakan kas kecil yang dipegang oleh kader yang ditunjuk. Setiap pemasukan dan pengeluaran harus dicatat dan dikelola secara bertanggungjawab. 1.6.1.3 Kebijakan Kelompok Kerja Operasional Pembinaan Posyandu Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat, yang dikelola dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan
37
kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan ini, Pemerintah sebagai aparatur negara menyediakan bantuan atau dukungan berupa fasilitasi, bimbingan teknis, pemenuhan sarana/prasarana dasar, seperti: bantuan vaksin, obat-obatan, dacin, sarung timbangan, dan sebagainya. Dengan pengertian seperti ini, maka fungsi pembinaan dari pemerintah terhadap Posyandu pada hakekatnya tetap ada. Oleh karena fungsi pembinaan dari pemerintah tersebut perlu dikoordinasikan dan diorganisasikan, maka Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2007 menetapkan pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Pembinaan Posyandu. Fungsi pembinaan tersebut meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek program, aspek kelembagaan dan aspek personil atau sumber daya manusia pengelola Posyandu. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2007 ini menyatakan bahwa Kelompok Kerja Operasional Pembinaan Pos Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut Pokjanal Posyandu adalah kelompok kerja yang tugas dan fungsinya
mempunyai
keterkaitan
dalam
pembinaan
penyelenggaraan/pengelolaan Posyandu yang berkedudukan di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan
Kecamatan.
Sementara
yang
berkedudukan
di
desa/kelurahan disebut sebagai Pokja Posyandu. Tujuan pengorganisasian pokjanal posyandu adalah untuk mengkoordinasikan berbagai upaya pembinaan yang berkaitan dengan peningkatan fungsi dan kinerja posyandu, yang secara operasional dilaksanakan oleh unit atau kelompok pengelola Posyandu di desa/kelurahan, melalui mekanisme pembinaan secara berjenjang oleh Pokjanal
38
Posyandu di daerah. 1.6.1.3.1 Pembentukan Pokjanal Posyandu Pembentukan organisasi pokjanal posyandu diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah masing-masing sebagaimana tercantum dalam bab III pasal 3, yaitu: (1) Pokjanal Posyandu Pusat berkedudukan di Pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. (2) Pokjanal Posyandu provinsi dibentuk dengan Keputusan Gubernur. (3) Pokjanal
Posyandu
kabupaten/kota
dibentuk
dengan
Keputusan
Bupati/Walikota. (4) Pokjanal Posyandu Kecamatan dibentuk dengan Keputusan Camat. (5) Pokja Posyandu desa/kelurahan dibentuk dengan Keputusan Desa/Lurah. Dalam proses pembentukannya, pokjanal posyandu dibentuk dengan menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: a) musyawarah mufakat; b) struktur organisasi ramping, sedehana, dan kaya fungsi. c) Kesetaraan; d) Keanggotaannya
fungsional
berdasarkan.kompetensi
masing-masing
unsur, sehingga ada kejelasan fungsi dan peran masing-masing dalam pengorganisasian Pokjanal/Pokja Posyandu; dan e) Mengutamakan prinsip koordinasi dan konsultasi. f) Memanfaatkan sumberdaya yang ada di masyarakat.
39
Sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 54 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (1), pokjanal posyandu kabupaten/kota mempunyai tugas: a. menyiapkan data dan informasi dalam skala kabupaten/kota tentang keadaan maupun perkembangan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan program Posyandu; b. menyampaikan
berbagai
data,
informasi
dan
masalah
kepada
instansi/lembaga terkait untuk penyelesaian tindak lanjut; c. menganalisa masalah dan kebutuhan intervensi program berdasarkan pilihan alternatif pemecahan masalah sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal; d. menyusun rencana kegiatan tahunan dan mengupayakan adanya sumbersumber pendanaan untuk mendukung kegiatan pembinaan Posyandu; e. melakukan bimbingan, pembinaan, fasilitasi, advokasi, pemantauan, dan evaluasi pengelolaan program/kegiatan Posyandu secara rutin dan terjadwal; f. memfasilitasi penggerakan dan pengembangan partisipasi, gotong royong, dan swadaya masyarakat dalam mengembangkan Posyandu; g. mengembangkan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan; h. melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Bupati/Walikota dan Ketua Pokjanal Posyandu provinsi. Adapun fungsi Pokjanal/Pokja Posyandu sebagaimana tercantum dalam Permendagri No. 54 Tahun 2007 pasal 10, yaitu sebagai berikut:
40
a. penyaluran aspirasi masyarakat dalam pengembangan Posyandu; b. pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pembinaan Posyandu; c. pengoordinasian pelaksanaan program yang berkaitan dengan pengembangan Posyandu; d. peningkatan kualitas pelayanan Posyandu kepada masyarakat; dan e. pengembangan kemitraan dalam pembinaan Posyandu. 1.6.1.3.2 Kepengurusan Pokjanal Posyandu Kepengurusan
Pokjanal
Posyandu
berasal
dari
instansi/lembaga
pemerintah, lembaga lainnya dan anggota masyarakat. Lembaga lainnya tersebut antara lain Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan
Dunia
Usaha
yang
mempunyai
keterkaitan
dalam
penyelenggaraan/pengelolaan Posyandu. Kepengurusan Pokja Posyandu di desa/kelurahan kemasyarakatan,
terdiri
dari
organisasi
kepala
desa,
keagamaan,
dan
perangkat anggota
desa,
organisasi
masyarakat
yang
mempunyai keterkaitan dalam penyelenggaraan/pengelola Posyandu. Adapun struktur kepengurusan pokjanal posyandu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2007 pada pasal 13 ayat 1 dan 2, yaitu sebagai berikut: a) pembina; b) ketua; c) wakil ketua; d) sekretaris;
41
e) bendahara; f) bidang-bidang sesuai kebutuhan: 1. bidang kelembagaan; 2. bidang pelayanan kesehatan dan keluarga berencana; 3. bidang komunikasi, informasi dan edukatif; 4. bidang sistem informasi Posyandu; 5. bidang sumberdaya manusia; dan 6. bidang bina program. Dalam memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut, maka dibentuklah sekretariat tetap Pokjanal Posyandu di setiap tingkat pemerintahan di daerah, sebagai berikut: (1) Sekretariat tetap Pokjanal Posyandu pusat yang berkedudukan di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. (2) Sekretariat tetap Pokjanal Posyandu provinsi yang berkedudukan di Dinas/Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan desa provinsi. (3) Sekretariat tetap Pokjanal Posyandu kabupaten/kota yang berkedudukan di Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Pemberdayaan Masyarakat. (4) Sekretariat tetap Pokjanal Posyandu kecamatan yang berkedudukan di Kantor Kecamatan. (5) Sekretariat tetap Pokjanal Posyandu desa/kelurahan yang berkedudukan di Kantor Kepala Desa/Lurah. Adapun yang menjadi tugas Sekretariat Pokjanal Posyandu pusat, 42
provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, yaitu: a. melakukan
peran
sebagai
Satuan
Tugas
Administrasi
Pangkal
(SATMINKAL) Pokjanal Posyandu melalui pengendalian teknis dan administrasi kegiatan pembinaan dan pengembangan Posyandu; b. membantu sekretaris dalam melakukan koordinasi pembinaan operasional pengelolaan program/kegiatan pembinaan dan pengembangan Posyandu. c. menampung usul rencana pembinaan dan pengembangan Posyandu sebagaimana menjadi tugas dan tanggungjawab bidang-bidang pada Pokjanal Posyandu. d. menyusun rencana pertemuan rutin dan berkala serta mngagendakan pertemuan insidentil berdasarkan kebutuhan. e. menyusun dan menyampaikan laporan hasil kegiatan kepada Ketua Pokjanal Posyandu. 1.6.1.3.3 Pembiayaan Pokjanal Posyandu Adapun sumber-sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kab/Kota, APBDes dan sumber-sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat. Dana tersebut digunakan untuk: a) Biaya operasional kesekretariatan/sekretariat tetap; b) Biaya operasional pembinaan, supervisi, bimbingan teknis; c) Biaya operasional penyelenggaraan Posyandu, seperti pengadaan KMS, Dacin, obat-obatan, vaksin, dan sebagainya; d) Dukungan biaya operasional kader, dan sebagainya.
43
1.6.2 Implementasi Kebijakan
1.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pada pihak yang telah ditentukan dalam kebijakan. Implementasi kebijakan sendiri biasanya ada yang disebut sebagai pihak implementator dan kelompok sasaran. Implementator kebijakan adalah mereka yang secara resmi diakui sebagai individu / lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program di lapangan. Kelompok sasaran adalah menunjuk kepada pihak yang dijadikan sebagai objek kebijakan. Implementasi merupakan sebuah ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik perubahan maupun pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap. Jadi berbagai rangkaian aktivitas yang berkelanjutan. Implementasi kebijakan dipahami juga sebagai suatu proses, output, dan outcome. Implementasi juga dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi berbagai rangkaian aktivitas yang berkelanjutan. Implementasi juga diartikan sebagai output yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan implementasi sebelumnya atau bahkan mengalami penyimpangan-penyimpangan. Akhirnya implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes. Konseptualisasi ini terfokus pada
44
akibat yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah baru dalam masyarakat (Lester dan Stewart dalam Kusumanegara, 2010:98-99). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah kebijakan yang mempunyai peranan penting karena menyangkut tindakan yang berlangsung antara perumusan kebijakan dengan dampak yang dihasilkan oleh kebijakan itu. 1.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan Publik Untuk menjelaskan kegiatan dalam tahapan implementasi kebijakan, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi dari suatu kebijakan. Model-model tersebut antara lain:
1. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni: (a) standar dan sasaran kebijakan; (b) sumber daya; (c) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (d) karakteristik agen pelaksana; (e) disposisi implementor; (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik.
a) Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik harus mempunyai standar suatu sasaran kebijakan jelas dan terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan. Dalam standar sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak biasa terjadi multi-interpretasi dan mudah 45
menimbulkan kesalahpahaman dan konflik di antara para agen implementasi. b) Sumber daya. Dalam suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya materi (matrial resources) dan sumber daya metoda (method resources). Dari ketiga sumber daya tersebut, yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik. c) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut. Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari sebuah organisasi agar programprogramnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya. d) Karakteristik agen pelaksana. Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, normanorma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan yang telah ditentukan. e) Disposisi implementor.
Dalam implementasi kebijakan sikap atau
disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga hal, yaitu; (a) respons
46
implementor
terhadap
kebijakan,
yang
terkait
dengan
kemauan
implementor untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan; dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut. f) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
2. Teori George C. Edwards III (1980)
Model implementasi kebijakan menurut pandangan Edwards III (1980), dipengaruhi empat variabel, yakni; (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c) disposisi dan kemudian (d) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.
a) Komunikasi. Implemetasi kebijakan publik agar dapat mencapai keberhasilan, mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau
47
bahkan tujuan dan sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu; (1) penyaluran (transmisi) yang baik akan menghasilkan implementasi yang baik pula (kejelasan); (2) adanya kejelasan yang diterima oleh pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan, dan (3) adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan. Jika yang dikomunikasikan berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan. b) Sumber daya. Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumber daya baik sumber daya manusia, materi dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada masyarakat. c) Disposisi. Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat demokratis.
Implementor baik harus
memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat
48
kebijakan. Implementasi kebijakan apabila memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasinya menjadi tidak efektif dan efisien. d) Struktur birokrasi.
Organisasi, menyediakan peta sederhana untuk
menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya. Garis-garis antara berbagai posisi-posisi itu dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu; (1) jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang bertanggungjawab kepada siapa?”; (2) pelembagaan berbagai jenis kegiatan oprasional sehingga nyata jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”; (3) Berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan apa?”; (4) jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual; (5) hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai satuan kerja yang lain. Dalam implementasi kebijakan, struktur organisasi mempunyai peranan yang penting. Salah satu dari aspek struktur organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures/SOP). Fungsi dari SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi
49
yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal demikian pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Gambar I.1: Model Implementasi Edward III
komunikasi
Sumber Daya Implementasi Disposisi
Struktur Birokrasi Sumber: Indiahono
1.7 Definisi konsep Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna
50
konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut definisi konsep. Secara sederhana, definisi diartikan sebagai batasan arti. Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa penelitian ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Jadi, definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:136-138). Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah : 1) Kebijakan Publik, merupakan sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan beranjak dari kebijakan kesehatan menuju kepada penetapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu. 2) Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu, adalah kelompok kerja yang tugas dan fungsinya mempunyai keterkaitan dalam pembinaan penyelenggaraan/pengelolaan Posyandu yang berkedudukan di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan. 3) Implementasi, penelitian ini menggunakan 4(empat) variabel Edward III (1980) dan menambahkan 1(satu) variabel Van Meter dan Van Horn
51
(1975), dengan tidak menutup kemungkinan bila kedepannya muncul variabel-variabel baru yang mungkin akan ditemukan atau muncul saat penelitian berlangsung. Variabel yang dipergunakan tersebut yakni sebagai berikut: a. Komunikasi. penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan dengan jelas, agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas.Dan kelompok sasaran juga mengerti dan menerima kebijakan tersebut. b. Sumber daya. implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumberdaya manusia, materi dan metoda. Sasaran,
tujuan
dan
isi
kebijakan
walaupun
sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan
sumberdaya
untuk
melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien. c. Disposisi ialah karakteristik yang menempel erat kepada implementator kebijakan / program. Karakter yang penting dimiliki oleh implementator adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. d. Struktur Birokrasi. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme dan stuktur organisasi pelaksana sendiri. e. Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik harus mempunyai standar suatu sasaran kebijakan jelas dan terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan.
52
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, fokus masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, serta sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini mengurai tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian, berupa sejarah singkat serta hal-hal yang melengkapi gambaran lokasi penelitian.
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Bab ini memuat penyajian data yang diperoleh saat penelitian dan selanjutnya dianalisis secara mendalam, serta memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti. BAB V
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan memuat saran-saran yang dianggap perlu sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian tersebut.
53