1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Saat ini belanja merupakan aktivitas rutin, trend tersendiri di kalangan masyarakat urban. Belanja seringkali menjadi pelampiasan hasrat seseorang, buruknya hasrat ini hanyalah hasrat ingin memiliki bukan karena meman g mebutuhkan.Sarana membelanjakan uang pun tersebar di berbagai kota-kota besar di Indonesia.Di jakarta khususnya, pusat perbelanjaan (mall) hampir menghiasi setiap sudut strategis kota.
Tumbuh suburnya pusat perbelanjaan, tak lepas berimbas pada budaya konsumerisme di kalangan masyarakat kota. M engkonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun dewasa ini disadari bahw a masyarakat tidak hanya mengkonsumsi, tetapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berakses negatif terhadap lingkungan hidup, keberlangsungan hidup bumi, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di dalam benak masyarakat.
Apa itu Konsumerisme? apakah konsumerisme berbahaya? apakah masyarakat Indonesia pada umumnya atau masyarakat Jakarta pada khusnya merupakan masyarakat konsumer?
2
Kata konsumerisme berasal dari kata consumpt yang berarti memakai atau menggunakan. Kata konsumerisme sendiri memiliki dua makna (1) dilihat sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan. Ini pengertian yang dikemukakan oleh Engel dkk. (2) paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Sehingga di sini konsumerisme dimaknai sebagai gaya hidup yang tidak hemat dan keterpakuan pada peningkatan pembelian barang-barang. M akna kedua inilah yang akan kita bahas sebagai pintu gerbang adanya gerakan semacam antikonsumerisme dan “Buy Nothing Day” itu sendiri.
Dunia konsumerisme adalah dunia yang dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan, kepanikan, bebas hasrat, ekstasi, kecepatan, “hysteria” dan sebagainya. Spirit itulah yang membawa dunia ke sebuah kondisi yang melampaui batas, sebuah situasi yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh manusia, ke dalam kondisi yang “disarati” oleh ketidakpuasan materi.
Pertumbuhan Masyarakat Konsumer di Jakarta Banyaknya produk yang muncul di karenakan adanya permintaan pasar, tetapi dari mana permintaan ini ada? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya sejarah perkembangan Indones ia diperiksa. Sejak tahun 1960an negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, mulai masuk perekonomian global. Sebagai akibat, perekonomian negara-negara tersebut berkembang cepat. M enuju
3 kepada krisis moneter pada tahun 1997 Indonesia mengalami inflasi rendah serta investasi asing yang tinggi (Mcleod, 1998: 31-32). Selama waktu itu munculnya kelas menengah baru. Ciri kelas menengah ini termasuk tingkat konsumerisme yang tinggi. Anggota kelas ini mampu dan cenderung membeli barang yang diinginkan – mobil, rumah, perjalanan dan sebagainya (Leisch, 2002). Pertumbuhan konsumerisme dikarenakan permintaan masyarakat menengah yang terus bertambah.
Indonesia selalu menjadi pasar yang “terlalu baik” untuk hampir segala macam produk. Jiwa konsumtif bangsa Indonesia, mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi di pemerintahan, seakan tidak bisa dikontrol. Orang miskin yang berlagak kaya. Orang yang sedang-sedang saja berlagak konglomerat. Orang yang berkecukupan berlagak negara ini miliknya. Derajat dan harga diri seseorang kini dinilai dari kepemilikan properti dan penampilan. Liberalisasi Global telah membuat negara-negara dunia ketiga sebagai negara pekerja, kelas pekerja tidak mempunyai kemampuan untuk mencipta oleh karena itu kelas pekerja cuma ahli di dalam satu hal yaitu mengkonsumsi. Sehingga masyarakat negara-negara dunia ketiga memang lebih cenderung untuk lebih konsumtif. M asyarakat di Indonesia sangat terkenal dengan julukan masyarakat konsumtif. Sayangnya budaya itu adalah budaya yang dianggap wajar oleh manusia Indonesia.
4
Fakta Konsumerisme dan Dampaknya pada lingkungan Konsumerisme memang bukan sekadar soal shopping. Tetapi, shopping merupakan gerbang, melalui mana "konsumsi seperlunya" cepat berubah menjadi "konsumsi yang mengada-ada". Dan, seperti diketahui, sentra baru gejala itu adalah supermalls serta pusat-pusat shopping tertentu yang berdiri di atas penggusuran ruang-publik, lahan konservasi, dan wilayah hunian kaum miskin.
Tahukah anda berapa jumlah mall yang ada di Jakarta? menurut survey terakhir terdapat kurang lebih 120 mall yang telah dibangun dan isunya akan ada 40% lagi mall yang akan dibangun didaerah strategis di Jakarta. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sebesar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.
M enyusutnya daerah resapan air akibat ruang hijau terbuka yang di alih fungsikan menjadi daerah komersial membuat Jakarta mempunyai potensi besar akan terjadinya banjir.
M enurut data dari Badan Pengendalian Lingkungan
5 Hidup Daerah (BPLHD) DKI
Jakarta
aktivitas pembangunan telah
menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.
Selain itu, kawasan komersial (mall) juga akan menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Hal itu disebabkan oleh pengunjung dari pusat belanja tersebut sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. M eningkatnya kemacetan lalu lintas ini tidak hanya akan mengurangi waktu produktif warga kota, tapi juga meningkatkan biaya kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkannya.
Konsumerisme manusia jaman sekarang bukan hanya mengganggu ketenagan jiwanya tapi nafsu yang tumbuh semakin besar untuk mengkonsumsi lebih banyak, Juga akan merusak keseimbangan lingkungan, tumpukan sampah yang makin tak terkendali. Sebenarnya peningkatan konsumsi dan peningkatan kerusakan lingkungan memiliki kaitan dan hubungan langsung. Untuk memenuhi barang-barang
yang
diperlukan
masyarakat
konsumerisme
memerlukan
pemanfaatan sumber daya alam yang lebih besar, baik hutan, tanah, air, serta sumber-sumber bawah tanah. Hal ini sendiri jelas akan menyebabkan perusakan lingkungan
dengan
persoalan
seperti
penebangan
pohon/
hutan,
terkontaminasinya tanah, terpolusinya air dan udara, penumpukan sampah diluar batas, juga yang paling penting adalah pemanasan global.
6 Atas dasar itulah tercetus ide untuk melakukan gerakan perlawanan antikonsumerisme dengan satu Hari Tanpa Belanja (Buy Nothing Day). Sebuah Ide sederhana yang lahir dari sikap kritis pada budaya konsumerisme.Hari Tanpa Belanja pertama kali di cetuskan oleh seniman kanada bernama Ted Dave di Vancouver pada september 1992, lalu dilanjutkan oleh Adbuster sebagai majalh internasional yang memang fokus terhadap isu-isu sosial budaya, Adbuster juga merupakan tempat bernaung Ted dave sebagai ilustrator. tujuan awal Hari Tanpa Belanja pun sederhana, agar konsumen mempertanyakan kembali produk-produk yang dibelinya apakah berbahaya bagi lingkungan atau tidak dan bagi perusahaan (produsen) dituntut agar lebih jujur .
Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis bukan saatnya lagi menjadi “mindless consumer” yang tidak berotak dan gampang dibodohi. M ulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk yang kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan iklan untuk membeli dan mempertanyakan proses dibalik pembuatan barang yang akan kita beli, sebagai konsumen kita berhak melakuakannnya karena kita adalah Raja. We are what we eat.
1.2
Lingkup Proyek TA Dalam kaitannya dengan bidang studi Desain Komunikasi Visual, maka ruan g lingkup proyek Tugas Akhir ini dibatasi pada hal-hal yang dapat ditangani dan dipecahkan melalui pendekatan desain komunikasi visual yaitu perancangan buku untuk mendukung event Buy Nothing Day.