BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi kesusastraan saat ini sangat mungkin mendapat pengaruh yang begitu variatif dari menjamurnya penerbit-penerbit swasta. Demikian pula halnya dengan pengaruh genre dalam fiksi. Genre hadir atas selera pembaca dan pada akhirnya penerbit yang terdorong menerbitkan fiksi sebagai konsumsi pembaca. Penentuan genre fiksi populer bergantung pada penonton dan penontonlah yang menjadi indikator dapat tidaknya fiksi tersebut terjual (Adi, 2011). Hal itu menunjukkan bahwa audiens menjadi penentu eksistensi sebuah genre dalam kesusastraan. Meski demikian, kondisi historis yang membuat pembaca mengkonsumsi genre dalam fiksi menjadi lebih besar dari sekadar selera pembaca. Kondisi historis merupakan gambaran atas fakta di luar teks sastra kendatipun mungkin juga terekam dalam teks fiksi yang terbit. Kenyataan sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik mampu memengaruhi kondisi termaksud: bagaimana hal tersebut memengaruhi kesusastraan yang diterbitkan oleh penerbit; bagaimana pembaca meminati genre yang sedang trend saat itu; atau bahkan bagaimana munculnya penerbit-penerbit yang mempublikasikan fiksi genre yang sedang diminati, terlepas dari dari kenyataan bahwa besar kemungkinan genre demikian sekadar mengikuti euforia pasar demi tuntutan keuntungan atau tidak. Betapapun, penerbit merupakan industri komersial yang berfokus pada profit
1
2
untuk perusahaannya. Kondisi yang terakhir mengingatkan pada kelahiran banyak penerbit saat ini dalam pengertian yang positif. Kondisi demikian lahir sebagai akibat dari dua peluang kemungkinan: pertama, meningkatnya jumlah pembaca yang membutuhkan bacaan; dan kedua, keuntungan yang besar dalam industri penerbitan belakangan ini yang menjadikan usaha penerbitan menjadi semakin menjamur. Data Depdikbud (1997) menyebutkan bahwa menjamurnya kelahiran penerbit swasta diawali sekitar tahun 50-an, sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Awalnya, motif yang diusung sangat kental berbau politis-idealis; ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan bertahan di Indonesia. Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Keberadaan yayasan ini berdampak pada akselerasi pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional. Akan tetapi, hasil akhir dari tumbuh-kembang penerbit itu tidak sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan. Penerbitan di Indonesia memiliki menara panoptik-nya sendiri atas buku-buku yang dicetak dan diedarkan. Penerbit yang memiliki hak menerbitkan buku-bukunya dipasaran adalah Balai Pustaka, sementara penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap asalkan atas persetujuan tim penilai. Dampaknya justru memengaruhi kelahiran-kelahiran penerbit yang menurut pemerintah saat itu adalah ‘penerbit liar’ yang mencetak buku-buku yang tidak layak beredar. Penerbitan buku harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya
3
Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya tidak dapat dipasarkan karena mereka difonis terlibat G30S/PKI. Serupa dengan nasib Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Era Baru, dan Pemimpin Baru yang tidak bisa dipasarkan karena cerita-ceritanya seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966 dianggap menyesatkan. Kesuksesan terhadap belenggu pengawasan penerbitan pemerintah Belanda telah diraih dengan kebebasan penerbit-penerbit Indonesia dalam mendirikan penerbit yang independen dan memiliki karakternya sendiri tanpa dibendung oleh aliansi apapun di tahun 1970-an. Pada masa itu, lahir dan matinya penerbit merupakan hal yang lumrah, terlepas dari turut campur tangan atau tidaknya pemerintah. Kelahiran, perkembangan, ataupun kematian penerbitpenerbit menjadi sebuah fenomena yang terjadi di Yogyakarta tahun 90-an (Adhe, 2007). Pertama, kelahiran penerbit tentu merujuk pada kecendrungan kebutuhan: kebutuhan masyarakat yang membutuhkan buku. Masyarakat yang memerlukan bacaan adalah mereka yang cenderung akademis. Yogyakarta, kota besar yang dikenal sebagai Kota Pelajar tentu mengalami fenomena euforia penerbitan tersebut. Terlebih lagi, sebagai kota dengan banyak kampus di dalamnya, kota ini memiliki penerbit kampus di hampir setiap lembaganya. Beberapa di antaranya adalah Universitas Gadjah Mada dengan UGM Press, Universitas Islam Indonesia dengan UII Press, dan sebagainya. Kedua, kematian penerbit di Yogyakarta dihadapkan pada kenyataan pahit kondisi yang menekankan penerbitan terhadap dua pilihan situasi; idealisme atau kapitalisme. Pilihan tersebut menjadi sulit karena penerbitan adalah sebuah
4
industri, kalau terlalu idealis tetapi tidak sesuai dengan selera pembacanya penerbit akan collapse. Sebaliknya, kalau terlampau kapitalis, produksinya akan cenderung sangat komersial. Itulah kenapa penerbit harus memiliki manajerial yang mapan untuk tetap berada di jalur idealismenya tetapi tetap diminati pasar. Itu yang membuat banyaknya penerbit, khususnya penerbit di Yogyakarta, mengalami kematian tak lama setelah dilahirkan, atau keadaan yang lebih baik dari itu adalah diakuisisi penerbit lain. Akhirnya, penerbit tersebut hidup di bawah lembaga penerbit yang lebih besar yang tidak menutup kemungkinan berbeda idealisme. Euforia merger-dimerger ini terjadi sekitar 1990-an. Tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga kota-kota lainnya: Jakarta dengan Kompas Gramedia Grup (KPG) yang menerbitkan novel pertamanya Saman tahun 1998 karya Ayu Utami; Laskar Pelangi tahun 2005 karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka yang mengalami collapse dan kemudian diakuisisi oleh Penerbit Mizan dan berganti nama menjadi Bentang Budaya. Salah satu kota yang memiliki penerbit kampus adalah Bandung dengan Penerbit Salman dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Ramai kabar kemunculan penerbit-penerbit khususnya penerbit kampus terjadi di tahun 1980-an ketika banyak akademisi yang membutuhkan buku-buku filsafat dan buku umum. Saat itu, kebutuhan terhadap buku-buku religius mengalami kondisi yang cukup signifikan sehingga banyak penerbit yang berlomba-lomba mendirikan penerbit yang berasas Islam. Penerbit Tinta Emas, Penerbit Bulan Bintang, dan Penerbit Salman ITB adalah tiga di antaranya. Melihat kondisi demikian, banyak mahasiswa yang juga memiliki gagasan untuk melahirkan penerbit yang sesuai
5
dengan idealisme mereka. Maret 1983, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin Shahab keluar dari penerbit kampus yang digawangi ITB dan merintis penerbit yang memiliki kebebasan untuk menerbitkan buku-buku bermutu dan pandangan maju, tetapi tetap Islami. Mereka kemudian menyulapnya sebagai media yang seimbang dalam menerbitkan buku-buku dari berbagai pemikiran filsafat. Selanjutnya, Mizan dipilih sebagai nama penerbitan mereka, yang berarti timbangan atau seimbang. Kelahiran Mizan bukanlah pertama dan satu-satunya. Faruk dalam pengantar buku Anotasi Buku-buku Islam (1998) menyebut bahwa kelahiran bukubuku Islam tersebut merupakan unsur “Kebangkitan Islam” yang ditandai dengan melimpahnya buku-buku Islam. Majalah Tempo mendominasi dengan 809 buku dalam periode 1980 – 1987. Dengan kata lain, setidaknya rata-rata lebih dari 100 judul buku keislaman yang terbit setiap tahunnya. Artinya, dalam angka rata-rata penerbit tersebut akan menghasilkan 100 buku Islam per bulan, 1–2 per minggu. Kecendrungan yang muncul pada dekade berikutnya justru mengalami peningkatan, terutama seiring dengan semakin mudah dan murahnya cara penerbitan buku, dan semakin banyaknya penerbit-penerbit kecil yang juga menerbitkan buku dengan serupa itu, seperti Mizan yang sekarang telah menjadi penerbit besar dan terkemuka, LKis, Pustaka Pelajar, Bentang, dan sebagainya. Sebagai penerbit yang berlandaskan Islam, Mizan memiliki idealisme terhadap buku-buku yang diterbitkannya. Dalam ranah non-fiksi, buku pertama yang diterbitkannya adalah buku Dialog Sunah-Syiah (1983) yang kemudian menjadi bestseller hingga memberi Mizan citra penerbit syiah. Sementara itu,
6
buku fiksi diterbitkan dua tahun kemudian setelah Mizan berdiri. Saat itu, Mizan yang mencoba mengikuti sukses serial Lima Sekawan menerbitkan beberapa buku dalam serial Tiga Sahabat, sebuah seri petualangan anak-anak bernuansa detektif yang terdiri atas Operasi Camar Hitam, Sindikat Pemeras, dan Pesta Perampok di tahun 1985. Setahun berikutnya diterbitkan seri buku Rumah Masa Depan pada 1986; Sepeda Pak Guru, Nenekku Manis, Anak Lurah, Anak Ajaib, dsb. Setelah itu serial tersebut dialihwahanakan menjadi sebuah serial televisi yang pada saat itu sedang populer. Serial Rumah Masa Depan yang disutradarai Ali Shahab dan dibintangi oleh Dedy Sutomo, Wolly Sutinah, dan Septian Dwi Cahyo. Karena Mizan dianggap sebagai sebuah penerbit yang berlandaskan Islam, tak bisa dipungkiri bahwa fiksi-fiksi yang diterbitkannya pun ber-genre keislamaan. Seri fiksi keislaman juga menjadi ciri khas Penerbit Mizan dalam buku-buku terbitannya yang dikhususkan untuk anak-anak dan remaja. Beberapa di antaranya seperti Serial Kisah Wanita Zaman Nabi dan Para Sahabat; Jalan Pintas ke Surga tahun 1986, Kaca-kaca Berdebu tahun 1987, Tebaran Cahaya Surga tahun 1994, Serial Kisah Zaman Nabi dan Para Sahabat; Rahasia Seuntai Kalung tahun 1985 Wanita Berlisan Suci tahun 1989, Sayap-sayap Menuju Surga di tahun 1994. Berdasarkan karakteristik tersebut, Mizan mampu tetap berada pada jalur idealismenya: islami, tetapi tetap berada di posisi jalur industri bisnis penerbitan sebagai penerbit buku fiksi dan non-fiksi yang bertahan hingga hampir 30 tahun lebih. Banyak penerbit lain yang lahir di era yang sama tetapi mati atau diakuisisi
7
penerbit lain. Saat ini, Mizan telah mengakuisisi beberapa penerbit seperti Penerbit Bentang dan Noura Books untuk memperbesar perusahaannya. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji karena Mizan menjadi saksi lahirmati-nya penerbitan di Indonesia, sekaligus menjadi bukti penerbit yang mampu bertahan bahkan menjadi penerbit besar dengan tetap mempertahankan idealismenya. Sejak awal berdiri hingga saat ini, Mizan telah memproduksi fiksi dan non-fiksi islami, mulai dari tema-tema keislaman periode 80-an hingga kini yang lebih mutakhir. Tema islami berada pada puncaknya di tahun 2000-an. Sebuah apresiasi yang layak diberikan kepada Penerbit Mizan atas eksistensinya dalam perkembangan kesusastraan Indonesia khususnya sastra bernuansa islami yang keberadaannya mulai diminati pembaca. Kenyataan ini tidak dapat menghapus fakta masa lalu yang menghadapkan penerbit ini dengan banyak kendala. Terlebih lagi pada masa Orde Baru yang demikian ketat. Mizan sebagai salah satu penerbit swasta yang besar di Indonesia membawa pengaruh kuat pada produksi kesusastraan Indonesia. Hal ini menunjukkan eksistensi penerbit terhadap produk-produk yang dilahirkannya. Jika awalnya Mizan dianggap sebagai penerbit yang bisa seimbang menyuarakan tema keislaman dan tema umum, dalam perkembangannya sebagai penerbit besar, Mizan juga mampu menjadi contoh yang memiliki karakter terhadap genre-genre fiksinya. Penerbit ini memiliki genre bernuansa keislaman yang kuat dalam fiksifiksi yang diproduksinya. Bahasan tentang hal ini akan dipaparkan pada bab selanjutnya.
8
Berbeda dengan gagasan Sartre tentang kondisi kesusastraan yang eksis karena esensinya semata (Escarpit, 2006), penelitian ini berangkat dari pemikiran Macherey tentang kondisi di luar teks yang disampaikan; bahwa ada teks-teks yang ada dalam ketiadaannya, bersifat silence dan bungkam. Dalam produksi sastra ada makna yang implisit, yang masih terkait dengan kondisi historis produk yang diproduksinya. Dengan demikian, penelitian ini akan mengkaji bagaimana produksi sastra bisa mengarahkan sastra pada kondisi yang tidak tersampaikan dalam teks-teks yang diproduksinya. 1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. 1.) Bagaimana produktivitas Mizan selama 30 tahun? 2.) Genre apa yang menjadi produk khas Mizan ? 3.) Apa yang tidak terkatakan dalam produk dan produksi Penerbit Mizan? 1.3 Tujuan Merujuk pada rumusan masalah di atas, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman baru terhadap produk dan produksi karya sastra yang berasal dari penerbit dan patronnya. Melalui gambaran dunia penerbitan yang komprehensif, yang kemudian menjadi dasar penelitian ini, akan diketahui ideologi serta proses produksi yang dilakukan oleh penerbit. Lebih jauh, bagaimana isu-isu yang berkembang akan memengaruhi karya-karya yang diproduksinya.
9
Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjembatani beberapa bidang keilmuan. Melaluinya, kajian ini akan berkontribusi positif memberi pemahaman akan pentingnya melihat sebuah produksi sastra secara kritis dan sosiologis. Penelitian yang pada gilirannya juga dikaitkan dengan kajian histroris yang nantinya dapat melahirkan pengetahuan baru yang bermanfaat bagi keberlangsungan sastra dan perkembangannya. 1.4 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa tulisan terkait pembahasan dalam tesis ini. Tulisantulisan tersebut dapat menjadi contoh konkret metodologis serta memuat kandungan data empiris—yang relevan dengan proyek ini—agar penelitian dapat berjalan lebih terarah. Beberapa penelitian itu juga menunjukkan orisinalitas tesis ini karena terbukti bahwa tidak ada kesamaan objek forma maupun objek material di antara keduanya. Beberapa pemikiran itu dijabarkan pada bagian berikut ini. Sebuah penelitian dilakukan oleh Macherey sebagai penggagas teori produksi sastra. Dalam bukunya Theory of Literary Production (1966) dengan judul Jules Verne: The Faulty Narrative, ia membahas mengenai penulis fiksiilmiah, Jules Verne dalam menghadirkan kontradiksi-kontradiksi imperialisme Prancis,
penaklukan
kolonialis
terhadap
bumi.
Setiap
petualangannya
berhubungan dengan penaklukan pahlawan terhadap alam. Dengan melihat ke dalam produksinya, Macherey menemukan bahwa Verne dipaksa untuk menghadirkan kisah yang lain. Verne melakukan sebuah representasi dan figurasi: representasi ideologi imperiaisme Prancis dan melakukan tindak
figurasi ke
10
dalam fiksinya. Ia meruntuhkan mitos secara terus-menerus tentang fakta bahwa tanah-tanah tersebut selalu sudah dikuasai. Storey dalam Studies dan Studi Budaya Pop (2006) juga membahas tentang sesuatu “yang tidak ada tetapi ada” dalam teks. Ia menghadirkan karakter James Bond sebagai figur yang diproduksi dan direproduksi melalui teks dan praktik budaya yang beragam. Tesisnya antara lain; 1) terdapat proyek ideologis dalam tiga momen James Bond. Pertama, momen awal kemunculannya pada akhir 1950-an dengan From Russia With Love dalam Daily Express, yang diikuti oleh kartun harian Bond di surat kabar yang sama. Dari sana Bond menjalankan sebuah resolusi imajiner yang sarat muatan ideologis terhadap kontradiksi historis real periode ini. Sebuah resolusi yang mengisyaratkan bahwa semua nilai terkait dengan Bond, dan dengan demikian, Barat khususnya, kebebasan dan individualisme, memperoleh kekuasaan atas apa yang terkait dengan penjahat, dan dengan demikian, Rusia, seperti totalitaranisme dan kekuatan birokrartis. Bond Juga mengartikulasikan seruan pada gagasan mengenai kebangsaan Inggris dalam satu periode kemunduran nasional yang menyolok. Bond tampak menawarkan janji untuk mengembalikan sejarah dan kembali pada suatu masa kepemimpinan dunia. Apa yang tidak bisa lagi diraih di dunia nyata, boleh jadi, secara simbolis dimainkan dalam dunia fiksional karakter ini. Kedua, momen Bond tejadi pada awal 1960-an, dengan dirilisnya film pertama Bond, Dr. No.
Film itu memperluas basis sosial
11
popularitas Bond dan melakukan remodeling ideologis atas figur Bond. Dari sanalah film Bond merelokasi Bond berdasarkan hubungan Timur-Barat; mengeluarkannya dari pahlawan perang dingin menjadi pembela
perdamaian;
lalu
keinggrisan
Bond
tidak
lagi
merepresentasikan upaya untuk meletakan sejarah pada posisi sebaliknya, melainkan kian memajukan sejarah. Mengejewantahkan nilai-nilai Inggris yang mengikuti arus mode. Selain itu, modifikasi dilakukan terhadap kelaziman ideologis Bond selama periode beroperasinya figur cewek Bond kontruksi gender dan hubungan seksual yang baru. Momen ketiga karir Bond sebagai pahlawan populer berlangsung sejak 1987-an, ditandai dengan aktivasi startegis dan selektif terhadap kelaziman ideologis Bond yang telah mapan. Popularitas Bond semakin dilembagakan sebagai hiburan keluarga meskipun masih menjadi figur dalam iklan dan produksi komoditas. Tokoh ini tidak lagi dipasarkan dalam konteks seksualitas dan kebangsaan, tetapi melalui teknologi yang semakin terihat jelas dalam film-film Bond. 2) Storey kemudian melihat bahwa film memproduksi pembacaan populer bagi novel-novelnya. Apa yang memiliki kepentingan metodologis dan teoritis yang krusial adalah film-film itu (dan teksteks Bond lainnya) yang kemudian membantu mengorganisasi dan memengaruhi pembaca untuk membaca novel dengan cara tertentu. Apa yang menyatukan teks ini bukanlah pengarang (meskipun jelasnya
12
novel ditulis pengarang) melalui figur Bond. Figur Bond yang memberi prinsip operatif dalam klasifikasi tekstual, tatkala Bond berubah, berperan bagi determinasi kultural dan sosial yang memengaruhi teks-teks terkait siap baca. Eileen Sypher hadir meramaikan diskusi produksi yang sebelumnya telah dikemukakan Macherey dan Storey. Melalui The Production of William Morris News From Nowhere (1984), ia berusaha menunjukkan bahwa ideologi berada pada gap/jarak antara intensitas atau proyeknya dan produk-nya yang menjadi landasan baginya dalam melihat sebuah produksi berdasarkan pada apa yang tidak dikatakan dalam teks tersebut. Pembaca perlu menggunakan pembacaan simptomatik untuk mengkonstruksi kondisi historis yang dapat memunculkan sebuah rangkaian kalimat. Langkah awal dimulai dari mengkonstruksi proyek Morris, kemudian mempelajari produk sebagai sebuah penyimpangan. Dua hal yang dapat ditarik dalam penelitian Sypher adalah: 1) Proyek Nowhere, merepresentasikan pernikahan sebagai suatu hal yang melawan kemungkinan historis. Fiksinya menunjukkan dunia yang dapat memberi pengetahuan dan motivasi kepada pembaca untuk keluar dari representasi ketidaknyamanan, dan secara tidak langsung, mengajari pembaca untuk menerima posisi istimewa secara representatif dalam dunia untuk muncul di dalamnya. Bagi Macherey karakter ideologis pada sebuah genre, relatif buta terhadap perkiraan historis pada dasarnya, yang bisa dilihat dari kehadiran jejaknya atau dalam istilah Macherey disebut ketidakhadiran. Dalam kemungkinan sebuah karya yang dianggap mungkin untuk diproduksi, jejak ada karena produksi tidak selalu ada dalam
13
proyek yang dimaksudkan. 2) Produk Nowhere, dalam melihat News from Nowhere, Sypher melihat beberapa pematahan dimensi ideologis atau tujuannya, yang menggambarkan bentuknya lebih besar dari genre utopia. Dari sanalah kondisi historis dapat diteorisasikan. Perlu ditekankan bahwa pembedaan produk nyata tidak selalu menunjukkan ideologi, tetapi menumbuhkan pokok-pokok fakta-fakta memperjuangkan visi komunis. Yang dimaksud dimensi-dimensi dalam The News from Nowhere adalah mempertimbangkan peta masyarakat yang melengkapinya (keseluruhan subjek utopis) dan dua penyimpangan dalam figurasinya dalam fungsi karakter, kuasa Nowhere memberikan figurasi dan penanganannya pada objek yang diinginkan, contohnya adalah peran perempuan. Kajian terhadap penyimpangan ini diperkenankan untuk mulai menteorisasikan aspek kondisi historis yang memungkinkan dalam produksi semacam ini. News from Nowhere dianggap gagal memetakan secara teknis atau institusi politis, menyelesaikan kelengkapannya. Suvin menemukan ketidakhadiran yang nampak dari konstruksi definisi utopia itu sendiri, menentang bahwa Nowhere, dengan demikian, keluar dari genre utopis. Suvin mengkategorikannya ke dalam surga keduaniawian, yang dalam gagasan Athusser teks ini gagal memetakan aparat ideologis negara atau ISA. Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, M.M Wahyuningtyas Dewi, yang diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul Industri Buku Bacaan Anak, Antara Idealisme dan Kelangsungan Hidup: Studi Banding antara Penerbit Dar Mizan dan Penerbit Grasindo, juga membahas topik dalam tesis ini. Penelitian ini memaparkan analisis manajemen
14
media dalam industri buku bacaan anak di Indonesia yang dilatarbelakangi permasalahan mengenai dominasi karya-karya terjemahan yang semakin meningkat dari hari ke hari. Penelitiannya fokus pada dua penerbit yang masih konsisten menerbitkan karya penulis lokal. Idealisme yang kuat membuat penerbit tersebut konsisten pada kebijakannya. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori ekonomi media yang melihat struktur pasar industri buku di Indonesia. Dari struktur tersebut akan terlihat pengaruh perilaku media (conduct) dan pada akhirnya bagaimana perilaku performa media tersebut. Hasil analisis kemudian digunakan untuk melihat apakah idealisme yang dianut selama ini dapat menjamin kelangsungan hidupnya atau terdapat hal-hal yang harus dikorbankan agar tetap dapat menjamin terjaganya kelangsungan hidup. Betapapun, idealisme adalah sesuatu yang harus dipertahankan dan diterjemahkan ke dalam produk-produknya. Idealisme juga tidak bisa mengabaikan kepentingan pasar agar kelangsungan hidup bisa terjaga. Metode penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan teoriteori ekonomi media yang dikaitkan dengan teori ekonomi media liberal. Dipilih dua penerbit yang mempunyai idealisme yang hampir sama sebagai subjek penelitian. Subjek tersebut menitikberatkan kepada pendidikan dan tumbuh kembang anak dengan cara menerbitkan karya penulis lokal. Hasil analisis diketahui bahwa penerbit Dar Mizan dengan kreativitasnya dapat menerjemahkan idealismenya ke dalam produk-produk yang diminati pasar. Baginya, idealisme bukanlah sesuatu yang selalu berat dan tidak menjual, tetapi dengan kreativitas yang selalu dijunjung tinggi, didukung oleh pembidikan segmen yang tepat,
15
produknya relatif bisa diterima oleh pasar. Dengan begitu, performa penerbit ini bisa dikatakan berhasil mencapai tujuan antara idealisme dan kelangsungan hidupnya.
Hal
yang harus ditingkatkan
dan dipertimbangkan
menurut
Wahyuningtyas, Dar Mizan memperluas segmen pembacanya, sehingga kesan mengkotak-kotakkan anak-anak tidak lagi ditemui. Berbeda dengan Grasindo yang masih terpaku pada idealisme yang membuat produk-produknya kurang diminati anak-anak. Untuk menyiasati kelangsungan hidupnya, penerbit ini melakukan subsidi silang untuk beberapa produk bacaan anak. Selain itu, Grasindo juga harus melakukan kreativitas dalam hal pemasaran untuk tetap dapat bertahan hidup dengan idealismenya. Cara yang dilakukan adalah berusaha agar produknya bisa digunakan oleh institusi pendidikan di seluruh Indonesia dengan cara
mengikuti
tender-tender
yang
diselenggarakan
pemerintah.
Untuk
meningkatkan performa tersebut, sarannya, akan lebih baik jika Grasindo meningkatkan kreativitas dalam memproduksi buku bacaan anak, sehingga buku tersebut dapat benar-benar dikonsumsi anak-anak. Publikasi skripsi Hariyah dengan berjudul Bacaan anak Islami terbitan Mizan 1996-2000 evaluasi elemen penceritaan dongeng sebelum tidur dan cerita Balita, yang membahas tentang bacaan anak islami juga dirasa cukup relevan dengan topik pembahasan tesis ini. Karya ilmiah tersebut diterbitkan Mizan antara tahun 1996-2000 khususnya seri Dongeng Sebelum Tidur (DST) dan seri Cerita Balita (CB). Alasan pengambilan tema tersebut karena bacaan anak terutama bacaan anak isiami dalam perkembangannya memainkan peran yang cukup penting. Bukan sekedar bacaan yang menambah pengetahuan dan pengalaman
16
anak tetapi juga memberikan nilai-nilai luhur, nilai-nilai yang baik dalam konsep kerangka islami. Unsur-unsur yang dikaji dalam elemen bacan anak tersebut meliputi latar, alur, tokoh, tema, gaya penceritaan, ilustrasi, jenis dan bentuk penyajian bacaan anak. Skripsi demikian merupakan hasil penelitian pustaka atau pengkajian dokumen dengan menggunakan metode content analysis atau analisis isi dokumen. Informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui buku, artikel majalah, laporan penelitian, dan internet. Berdasarkan penelitiannya dapat dikatakan bahwa perkembangan produk Mizan selama sepuluh tahun mengalami kemajuan yang cukup pesat, terlihat dari ragam produk yang semakin banyak dan kualitas penyajian yang meningkat. DST pada dasarnya dikemas dalam bentuk picture story book, sementara CB dikemas dalam wordless picture book (tidak akan terdapat kata atau kalimat cerita). Kekurangan yang tampak jelas dalam DST adalah penyajian ilustrasi cerita yang belum digarap secara menarik. Demikian halnya dengan CB, ilustrasinya masih terkesan kosong dengan warna-warna yang kalem dan kurang berani. Gaya ilustrasi dinilai kurang beragam dalam terbitan kedua seri teranalisis tersebut. Penampilan tokoh utama DST dan CB masih bersifat; hanya menampilkan satu sisi tokoh cerita—baik atau tidaknya seorang tokoh. Aksentuasi menggurui juga demikian kental hadir melalui petunjuk langsung dari seorang tua. Namun demikian, tema DST dan CB dirasa sudah demikian beragam. Begitu pula dengan gaya penceritannya yang ringan dan mudah dipahami anak. Dalam CB, penceritaan tidak menggunakan gaya langsung atau sudut pandang orang pertama yang cocok untuk anak.
17
1.5 Landasan teori Pierre Macherey menulis selayaknya filsuf Marxis. Ia merupakan bagian dari Partai Komunis Prancis. Macherey bekerja dalam problematika Althusser awal dan mengalamatkan dirinya pada pertanyaan sastra sebagai bagian dari usaha besar memikirkan dan menemukan kembali materialisme historis setelah masa Stalininisme melalui The Theory of Literary Production (1966), dengan semboyannya “mobilisasi beberapa gagasan dalam menangkap fakta wilayah ideologis (kritik sastra)” kemudian juga dibahas dalam salah satu esai pilihan di bukunya In A Materialist Way (1998). Berbeda halnya dengan teks kanon Marxis, Macherey melihat fenomena sosial bukan sebagai intervensi dalam sederet kejadian sejarah yang spesifik, melainkan lebih interferensi teoritis yang mengemukakan kembali relasi antara teks sastra, ideologi, dan sejarah. Pembauran tersebut diperlukan untuk mengkritik kesalahan pada sebuah makna memproduksi hubungan dalam idealisme borjuis dan strukturalisme. Hal demikian sejalan dengan gagasan Marx tentang materialisme historis, bahwa manusia dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah, dan dengan demikian produksi dan distribusi barangbarang serta jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan eksistensinya (Ramly, 2013). Macherey kemudian memfokuskan produksi sastra berdasar pada kondisi historis dan membedakan gagasan sastra berdasarkan humanisme. Kondisi materiealisme kemudian menjadi muara dari proses pembedaan itu. Faktanya, dalam konteks pemikiran Macherey karya sastra diubah
18
menjadi istilah produk, dan proses kesastraan menjadi produksi. Terjadi proyek ideologis dalam kondisi historis manusia. Baik Althusser maupun Macherey, ideologi tidak lebih dari tubuh tak berbentuk dari imaji-imaji dan ide-ide yang bebas mengapung dalam masyarakat manapun, ideologi memiliki koherensi struktural tertentu. Karena ideologi memiliki koherensi semacam itu, maka ideologi dapat menjadi objek analisis ilmiah; dan karena teks-teks kesusastraan ‘termasuk’ dalam ideologi, maka teksteks tersebut juga dapat menjadi objek analisis ilmiah semacam ini. Suatu kritik ilmiah perlu menjelaskan karya sastra dalam term struktur ideologi dimana ia menjadi bagian, bahkan dimana ideologi mengubah (struktur ideologis) ke dalam karya seninya (Eagleton, 2002). Dari ideologi inilah, Macherey melihat bahwa dalam sebuah proses produksi, ideologi berperan mengubah bentuk-bentuk estetik untuk tujuan tertentu, secara sadar maupun tidak. Produksi sastra menjadi sebuah alat untuk mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi Penelitian ini berkonsentrasi pada gagasan Pierre Macherey tentang Spoken dan Unspoken yang akan diindonesiakan menjadi Yang Terkatakan dan Yang Tak Terkatakan. Baginya (1966) karya berasal dari ketiadaan, tetapi ketiadaan itulah yang menjadi dasar karya tersebut berbicara, keadaan yang tersebut membentuk sebuah figurasi. Sebuah karya tidak cukup dimaknai dengan apa yang tampil secara eksplisit darinya, melainkan juga dititikberatkan pada apa yang tidak ada dalam buku itu sendiri. Suatu bentuk keabsenan, yang tanpanya buku tersebut tidak akan ada. Macherey menyadari bahwa yang terpenting dari sebuah karya adalah apa yang tidak dikatakannya. Disadari atau tidak yang
19
eksplisit memerlukan yang implisit sebab untuk mengatakan suatu hal, ada hal lain yang tidak dikatakan, baik itu secara sengaja ataupun tidak. Freud memelajari sebuah ketiadaan ini sebagai sebuah ketidaksadaran (uncounscious). Untuk mencapai sebuah perkataan yang utuh, semua perkataan ujaran dilingkupi oleh yang tak terkatakan (unspoken). Secara sederhana, dalam kondisi yang tak terkatakan ini, terdapat beberapa sifat yang dapat menjelaskan bahwa kondisi tak terkatakan ada karena ada yang sudah dikatakan. Macherey menganggap bahwa harus ada sebuah pernyataan atas apa yang tidak terkatakan itu, alasan yang kenapa ada hal-hal yang tidak diketahui atau tidak diketahui, atau juga dilarang untuk diketahui. Penjelasan tentang Yang Terkatakan dan Yang Tak Terkatakan akan dijelaskan secara terpisah dan dipaparkan berdasarkan kepentingan penelitian. 1.5.1
Yang Terkatakan (Spoken) Produksi merupakan proses penciptaan atau kreasi (Macherey, 1966: 68).
Modifikasi terhadap kata ini bukan tanpa beralasan. Macherey memandang dari perspektif berbeda dengan kaum humanis dalam melihat seni. Dari pemikiranpemikirannya terhadap seni, termasuk sastra, jelas terlihat bahwa Macherey sangat kritis melihat sebuah kreasi sebagai bentuk eksploitasi terhadap seni. Macherey memandang seni bukan sebagai bentuk justifikasi negatif terhadap seni itu sendiri, tetapi perspektif muncul sebagai kritik terhadap pemikiran kaum humanis. Bagi kaum humanis, baik penulis atau pengarang dan juga seniman adalah seorang kreator atau pencipta (Maceherey, 1966: 65). Dalam ideologi ini manusia dibebaskan dari fungsinya, dari kuasa di luar dirinya, dan memberi kuasa atas
20
dirinya sendiri. Pengarang menjadi individu yang tidak terikat oleh apapun (ideologi sekalipun); dibatasi oleh hanya sumber daya alam sendiri; membuat hukum untuk dirinya sendiri; menjadi seorang pencipta/kreator yang membuat man (manusia); seperti apa yang menjadi dasar humanisme: dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Kemanusiaan menjadi landasan utama kaum humanis. Seni bukanlah kreasi manusia. Ia tak lebih dari sekedar produk. Produser bukanlah subjek yang berpusat dalam kreasinya, yang merupakan unsur dalam situasi atau sistem, yang telah memilih tempat di antara semua ilusi spontan yang spontanitas, yang tentunya semacam kreasi (Macehery, 1966: 65). Menurutnya, produk murni humanisme adalah agama seni. Macherey menentang gagasan pengarang sebagai kreator. Esensialnya, pengarang berperan sebagai produser yang menyusun materi biasa tertentu ke dalam produk baru. Pengarang tidak membuat materi dengan materi yang dia kerjakan. Bentuk, nilai, dongeng, simbol, ideologi muncul padanya setelah dikerjakan. Meminjam istilah Althusser tentang praktik yang merupakan proses transformasi dari bahan mentah yang sudah pasti ke dalam produk yang sudah pasti, transformasi diefektifkan oleh buruh manusia tertentu dengan menggunakan perangkat yang sudah pasti (dari produksi). Konsep ini diterapkan antara hal lain pada praktik yang kita kenal dengan seni. Para pemain menggunakan model produksi tertentu, teknik-teknik khusus seninya, untuk mengubah materi bahasa dan pengalaman ke dalam produk yang sudah pasti.
21
Merujuk pada uraian singkat di atas, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada ‘yang tampak’, ‘yang hadir’, ‘yang disampaikan’, dan juga yang terkatakan dalam teks baik produksi dan produknya (karya) terlebih dahulu, untuk kemudian menemukan apa yang tak terkatakan. Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan yang terkatakan adalah apa yang tampak, yakni proses produksi dan produk yang dihasilkannya, di dalamnya terangkum hal-hal seperti proses kelahiran penerbit, perkembangan, siapa tokoh-tokoh dibalik kelahiran dan perkembangan penerbit tersebut, pengarang atau penulis sebagai kreator, manajemen produksi, dan sebagainya. Sementara itu, sebagai bentuk produk, fiksi menjadi wujud dominan dalam proses produksi kesusastraan, kekhasan fiksi menjadi unsur utama dalam kategori ini. Bagaimana sebuah penerbit mampu memiliki serta menjadi karakter figurnya yang tentu saja, mewakili dirinya. 1.5.2
Yang Tak Terkatakan (Unspoken) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaan ‘yang tak
terkatakan’ hadir atas keberadaan ‘yang disampaikan’. Berangkat dari hipotesis itu, ditemukan esensi dari ketiadaan, ketidakhadiran, keabsenan, atau juga kebungkaman yang dalam istilah Macherey disebut silence. 1.5.2.1 Proyek Ideologis Ilmu menurut Macherey merusak ideologi, teks fiksi menantang ideologi dengan menggunakannya, membuatnya jelas dan karena itu bisa dianalisis dan dipertandingkan. Misalnya, dalam pembahasannya mengenai karya penulis fiksi ilmiah populer Prancis, Jules Verne, memerlihatkan bagaimana karya Verne menghadirkan
kontradiksi-kontradiksi
imperialisme
Prancis
akhir
abad
22
kesembilan belas. Macherey mengatakan bahwa proyek ideologis karya Verne adalah menampilkan secara fantastis petualangan imperialisme Prancis, penaklukan kolonialisnya atas bumi. Setiap petualangan berhubungan dengan penaklukan sang pahlawan atas alam (pulau misterius, bulan, dasar lautan, pusat bumi). Dalam mengisahkan cerita-cerita ini, Verne dipaksa mengisahkan yang lain: setiap perjalanan menjadi perjalanan menemukan kembali sebagaimana pahlawan-pahlawan Verne menemukan bahwa yang lain-lain telah ada di sana sebelumnya atau sudah pernah ada. Bagi Macherey, signifikansi hal ini terletak pada disparitas yang dirasakannya antara representasi (apa yang diniatkan oleh subjek narasi) dan figurasi (bagaimana direalisasikannya, pembubuhannya dalam dalam narasi). Verne merepresentasikan ideologi imperialisme Prancis, sembari, melalui tindak figurasi (membuat bahan dalam bentuk fiksi), meruntuhkan salah satu mitos utamanya di dalam penghadiran terus-menerus fakta bahwa tanah-tanah itu selalu sudah dikuasai (Storey, 2006: 41). Di dalam transisi dari level representasi ke level figurasi, ideologi mengalami modifikasi lengkap (Macherey, 1966: 230), barangkali karena tak ada ideologi yang cukup konsisten untuk menjalani prosedur figurasi. Jadi, dengan memberikan bentuk fiksional pada ideologi imperialisme karya Verne (untuk membuatnya berlawanan dengan makna yang dimaksudkannya) dihadirkan kontradiksi-kontradiksi antara mitos dan realitas imperialisme. Cerita-cerita itu tidak memberi kita pengaktifan ilmiah—pengetahuan dalam pengertian ketat— atas imperialisme. Akan tetapi, melalui tindak pembacaan symptomatik yang mengeluarkan karya tersebut secara internal, kisah-kisah itu membuat kita
23
melihat, memahami, merasakan kontradiski-kontradiksi yang buruk sekali dari wacana-wacana ideologis yang darinya setiap teks karya Verne terbentuk, menunjukkan kondisi ideologis dan historis eksistensinya (Storey, 2006: 41). Proyek ideologis adalah representasi ideologis yang berhubungan dengan kondisi ideologi pada umumnya. Ideologi ini sama persis dengan bentuk ideologi pada kondisi sosial sebuah masyarakat sebagai bentuk ketidaksadaran sosial (darimana subjek berasal) kondisi sastra atau pada penulisan, bentuk naratif, karakter khas, dan bahkan situasi penulis, sejauh mana ideologi tersebut merepresentasikan profesi: audien, penerbit, diantara yang lain. Representasi ini dijelaskan ketika Macherey melihat Verne memasukkan proyek khusus dalam karyanya: proyek ideologis (penaklukan alam, posisi sosial ilmiah) memasukkan sastra dan akan mengekspresikan dirinya di dalamnya meskipun tidak memiliki kebebasan sepenuhnya karena kembali lagi, ini adalah sebuah fiksi, yang pastinya tidak bisa menjadi sastra; harus terlebih dulu mengalami beberapa perubahan, melakukan perluasan yang diubah melalui objek sastra. Dalam tujuannya, proyek harus menciptakan dan menggunakan cara baru (di luar proyek/program), cara yang mempertemukan syarat nyata praktik produksi sastra. 1.5.2.2 Realisasi Macherey menampik apa yang disebut kesalahan interpretatif, pandangan bahwa sebuah teks memiliki makna tunggal yang merupakan tugas dari kritik untuk
menemukannya.
Menurutnya,
teks
bukanlah
teka-teki
yang
menyembunyikan makna; teks adalah suatu kontruksi dengan beragam makna. Menjelaskan sebuah teks berarti mengakui hal ini, lebih jauh meninggalkan
24
gagasan bahwa teks adalah kesatuan harmonis yang berkaitan terus-menerus dari momen orisinal penciptaan. Sebuah momen intensionalitas tinggi. Untuk membantah gagasan ini, Macherey mengatakan bahwa teks fiksi itu tersebar, sesuangguhnya teks fiksi itu tidak lengkap. Artinya, ada sesuatu yang perlu ditambahkan demi membuatnya menjadi satu kesatuan. Inti dari pandangannya adalah semua teks fiksi itu tidak berpusat pada intensi autor, dalam pengertian khusus karena teks-teks itu tersusun atas konfrontasi di antara beberapa wacana eksplisit, implisit, sunyi, dan absen. Tugas dari praktik kritis adalah menjelaskan kesenjangan atau gap (Macherey,1966: 7) di dalam teks yang menunjuk pada sebuah konflik makna. Bukanlah persoalan membuat apa yang ada bisa berbicara dengan lebih banyak kejelasan sehingga akhirnya menjadi makna teks yang lengkap/utuh, karena makna teks yang bersifat dalam dan absen hanya mengulang pemahaman diri teks yang berarti gagal menjelaskan teks dengan benar. Tugas praktik kritis yang sepenuhnya kompeten bukanlah membuat terdengar apa yang bisik-bisik semata, dan juga bukan melengkapi apa yang tak terkatakan oleh teks, melainkan menghasilkan suatu pengetahuan baru tentang teks tersebut, sesuatu yang menjelaskan
kepentingan
ideologis
dari
kebisuannya,
ketidakhadirannya,
kekurangkomplitannya yang menstruktur, penyajian apa yang tidak bisa dikatakan. Efek sastra hakikatnya lebih untuk merusak (deform) daripada meniru. Jika imaji keseluruhan seimbang (dapat disamakan) dengan realitas (seperti dalam sebuah cermin), imaji menjadi identik dengan realitas dan berhenti menjadi citra
25
sama sekali. Karakteristik gaya sastra yang menganggap semakin seseorang menjauhkan dirinya sendiri dari objek, semakin dia benar-benar menirunya, yang menurut Macherey merupakan sebuah model dari semua aktivitas artistik, sastra hakikatnya sebuah produk (Eagleton, 2002: 61-62). Sastra bisa dibilang tidak berdiri sendiri dengan objeknya dalam bentuk refleksi, simetris, dan hubungan satu-satu. Objek sastra dirusak bentuknya (deformed), dibiaskan (refracted), dan dibubarkan (dissolved), setidaknya menghasilkan kembali sebuah cermin yang kemudian memproduksi objeknya, barangkali dengan cara tampilan dramatis yang memproduksi ulang teks dramatik. Lebih tepatnya, kondisi yang terealisasikan merupakan sebuah ‘kebenaran’ yang disampaikan (Storey, 2006: 41) seperti teks-teks yang diproduksi, fiksi-fiksi yang kemudian disampaikan, yang kesemuanya adalah sebuah bentuk realisasi dari proyek ideologis yang sebelumnya telah dibahas. Karena sebuah ideologi, proyek ideologis tentulah harus disampaikan, dalam hal ini disampaikan atau dikatakan melalui teks atau karya. Dalam melihat teks, karya, atau produk, dalam perspektif ‘yang tak terkatakan’ akan jelas sangat berbeda dari pandangan teks sebagai sebuah makna tunggal dari pemikiran humanis, realisasi dalam hal ini akan menunjukkan bagaimana sastra dipakai sebagai sebuah alat ideologis. 1.5.2.3 Ketidaksadaran Teks Secara sederhana, dalam kondisi yang tak terkatakan ini, terdapat beberapa sifat yang dapat menjelaskan bahwa kondisi tak terkatakan ini ada karena ada yang sudah dikatakan. Macherey menganggap bahwa harus ada
26
sebuah pernyataan atas apa yang tidak terkatakan itu, alasan yang kenapa ada halhal yang tidak diketahui atau tidak diketahui, atau juga dilarang untuk diketahui. Silence Keabsenan mendasari perkataan sebuah karya, silences kemudian yang membentuk semua perkataan itu (Macherey, 1966: 85). Silence inilah yang pada gilirannya akan selalu ada (eksis), bertahan (survive), dan akan muncul (dimunculkan kembali) di waktu yang tepat. Lantas, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk kebungkaman (silence) ini? Bagi Macherey kebungkaman tidak dapat dihilangkan, ada dan memiliki banyak makna yang menimbulkan beragam bentuk, manifestasi sebuah karya, membongkar yang tidak bisa dikatakan. Kebungkaman inilah yang kemudian menghidupkan karya itu sendiri. Macherey menggambarkan antara ujaran/perkataan dan kebungkaman ini dengan figure dan ground. Figure atau figurasi adalah simbol dari sebuah ujaran/perkataan,
sementara
ground
diidentifikasikan
dengan
silence,
kebungkaman, atau absensinya, ini lebih kepada sebuah bentuk yang implisit dan eksplisit. Adanya sebuah unsur kesengajaan atas keabsenan ini, keberadaan, titik awal, permulaan, dasar esensial, puncak, asal-muasal absolut inilah yang kemudian menjadi titik awal dari gagasan atas yang tak terkatakan dalam sebuah buku atau karya yang mempertanyakan adanya sebuah konektivitas yang membentuk
unspoken
ini.
Pemikiran
Macherey
didasari
oleh
sifat
silence/kebungkaman: apakah bisa berbicara, apa yang kemudian dibicarakannya melalui unspoken/yang tak terkatakan, apa maknanya, seberapa jauh sebuah
27
kepura-puraan
ini
bicara,
apakah
sesuatu
yang
disembunyikan
dapat
diungkap/dihadirkan. Oleh karena itu, baginya semakin banyak sebuah buku berbicara, semakin ada apa yang tidak dibicarakannya. Jika dalam sebuah karya atau buku tersebut tidak ada yang disembunyikan, Macherey percaya bahwa yang tak terkatakan itu hanya hilang. Kebungkaman tidak mencerminkan kontradiksi historis, sebaliknya hal tersebut
membangkitkan,
menghadirkan,
dan
menampilkan
kontradiksi-
kontradiksi historis itu, yang bukan memberikan sebuah pengetahuan ilmiah, tentang ideologi, tetapi sebuah kesadaran dihadapan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya, gagal melakukan apa yang diandaikan dilakukan ideologi. Ideologi sendiri ada justru untuk menghapuskan semua jejak kontradiksi (Macherey, 1966). Ketika sebuah teks berbicara, ada yang tidak dikatakannya, meskipun apa yang tidak dikatakan tersebut dimaksudkan untuk atau tidak dengan sengaja tidak diungkapkan. Macherey mengistilahkan hal ini dengan silences atau kebungkaman. Ia memfokuskan kajiannya terhadap kebungkaman-kebungkaman dalam produksi sastra. Bahwa sastra mungkin untuk dipikirkan, diperhatikan, serta diketahui gagasannya adalah ketika membaca produksinya. Metode Pengungkapan Silence Cara kerja sebuah unspoken ini adalah menempatkan perkataan pada posisinya dan mengatur domainnya. Dengan itu silence/kebungkaman menjadi inti dan dasar karena dengan silence itulah, perkataan itu ada. Macherey membedakan antara perkataan sebuah kebungkaman dan kebungkaman sebuah perkataan. Ini adalah hal yang berbeda berdasarkan sifat latennya, apakah
28
tersembunyi ataukah disembunyikan. Dalam hal ini gagasan yang terpenting dari laten adalah bagaimana sebuah kemunculan keabsenan perkataan melalui perkataan yang absen. Perkataan menimbulkan prasangka sebagai sebuah pendapat, sama halnya dengan fakta kemunculan (titik awal) yang memunculkan sebuah alegori kritik dan perkataan ada karena telah disiapkan sebelumnya untuk sebuah alasan. Tampak atau tidak, terungkap ataupun tersembunyi, bahasa sebuah kebungkaman. Sebuah bab yang berjudul The Two Question dalam bukunya, Theory of Literary Production (Macherey, 1966) membahas bahwa terdapat sebuah pertanyaan yang sifatnya menjebak. Pertanyaan ini yang akan membawa peneliti (pengkritik)
kepada
pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya,
dimulai
dengan
pertanyaan pertama beserta ujarannya yang kemudian akan beralih kepada sebuah pertanyaan (kedua) sebagai bentuk silence. Berikut gambaran yang menjelaskan bentuk pertanyaan dalam buku Macherey.
utterance question 1
question 2
Inti dari silence ini adalah apa yang ada dalam the second question, bahwa yang menjadi gagasan kritis, yang menjadi fokus pertanyaan adalah pertanyaan kedua yang sifatnya dialektik dengan pertanyaan pertama. Pertanyaan kedua ini tidak mungkin ada tanpa ujaran dari pertanyaan pertama. Jadi, silence akan muncul seiring dengan apa yang menjadi satu pernyataan (jawaban) dari
29
pertanyaan pertama. Pertanyaan ini sifatnya dialektis, meskipun Macherey menyatakan bahwa silence dimiliki sepenuhnya oleh sang pengkritik, bukanlah atas objeknya (Macherey, 1966: 89). Metode Pembacaan Simptomatik Wacana ideologis adalah sebuah sistem tertutup (Althusser, 1969). Demikian juga, wacana ideologis sesungguhnya hanya bisa menjelaskan problemproblem itu sejauh untuk mampu dijawab. Agar dapat aman di dalam batas-batas yang ditentukannya sendiri, wacana ideologis harus tetap diam terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengancamnya untuk keluar dari batas-batas ini. Formulasi ini mengantarkan Althusser pada konsep problematika. Sebuah problematika adalah struktur teoritis (dan ideologis) yang merangkai dan memproduksi repertoire wacana yang silang-silang dan berkompetisi yang di dalamnya sebuah teks secara material diorganisasi. Problematika sebuah teks menghubungkan momen eksistensi historisnya dengan apa yang diekslusikannya sama banyak dengan apa yang dimasukannya. Dengan kata lain, problematika mendorong sebuah teks untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi olehnya, tetapi pada saat bersamaan mendorong lahirnya jawaban-jawaban tak jelas atas pertanyaan yang ingin disingkirkannya. Jadi, sebuah problematika terstruktur melalui apa yang tidak ada (apa yang tidak diucapkan) sama banyak dengan apa yang ada (apa yang dikatakan). Tugas praktik kritis adalah mendekonstruksi teks (membacanya secara simptomatis) untuk menguak mekanisme problematikanya dan dengan begitu membangun hubungannya dengan kondisi historis eksistensi.
30
Pembacaan simptomatik membentangkan peristiwa yang tak terkuak di dalam teks yang dibacanya, dan dengan cara yang sama menghubungkannya pada sebuah teks yang berbeda, yang hadir sebagai ketidakhadiran yang diperlukan pertama kali. Seperti pembacaan pertamanya, pembacaan kedua Marx mengandaikan eksistensi dua teks, dan pengukuran yang pertama terhadap yang kedua. Namun, apa yang membedakan pembacaan ini dari pembacaan klasik adalah fakta bahwa pembacaan yang baru, teks kedua diartikulasikan dengan perubahan dalam teks pertama. Melalui pembacaan simptomatik atas Smith, Marx mampu mengukur problematika yang awalnya tampak di dalam tulisan-tulisannya, berhadapan dengan problematika tak tampak yang terkandung dalam paradoks sebuah jawaban yang tidak sesuai dengan setiap pertanyaan yang diajukan. Dengan begitu, membaca sebuah teks secara simptomatis berarti melakukan pembacaan ganda, membaca teks manifes terlebih dahulu, dan kemudian melalui perubahan dan distorsi, kebisuan dan ketidakhadiran (simptom-simptom problem yang coba dihadapi) di dalam teks yang manifes, menghasilkan dan membaca teks laten, yaitu problematik (Storey, 2006: 35). 1.6 Hipotesis dan Variabel Dengan memperhatikan landasan teori di atas, dapat ditarik hipotesis berdasarkan kaitan antara objek forma dan objek materia yang akan dianalisis. Bahwa proyek ideologis direalisasikan melalui fiksi-fiksi yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan, dari fiksi-fiksi yang diterbitkannya tersebut adalah representasi atas apa yang dikatakannya melalui produksi fiksi-fiksinya. Sementara itu, jika
31
terdapat kehadiran atas perkataan dari fiksi-fiksinya (produksi), berarti ada yang tidak dikatakannya. Artinya, dari sekian proyek ideologis yang eksplisit melalui realisasinya, ada yang tidak dikatakan oleh Penerbit Mizan, yang berupa silences atau kebungkaman. Jika
Penerbit
Mizan
memiliki
proyek
ideologis
dan
kemudian
merealisasikannya dalam bentuk fiksi-fiksi yang diterbitkannya secara produktif, maka ada yang tidak dikatakan melalui produksinya. Semakin produktif Penerbit Mizan memproduksi karya-karya fiksi melalui proyek ideologisnya, maka semakin dalam pula yang tidak dikatakannya. 1.7 Metode Penelitian Perbedaan dalam mengaplikasikan metode penelitian antara penelitian kualitatif yang mengolah data lunak dalam bentuk kata-kata, foto, dan simbol, sementara data kuantitatif berwujud data keras berupa angka (Adi, 2011: 243). Dalam perkembangannya, penelitian ini akan mengaplikasikan metode mix antara teknik pengolahan data kuantitatif dan kualitatif. Metode ini merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasikan atau menegosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif. Ada keterlibatan asumsi-asumsi filosofis, aplikasi pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan campuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian. Pendekatan ini lebih kompleks dari sekedar mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data. Ia juga melibatkan fungsi dari dua pendekatan penelitian secara kolektif sehingga kekuatan penelitian ini secara keseluruhan lebih besar dibandingkan penelitian kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 2013: 5).
32
Strategi yang dilakukakan dalam penelitian ini dengan menggunakan strategi metode campuran konkuren, yang merupakan prosedur-prosedur di mana di dalamnya peneliti mempertemukan atau menyatukan data kuantitatif dan data kualitatif untuk memperoleh analisis komprehensif atas masalah penelitian. Dalam strategi ini dilakukan dua pengumpulan dua jenis data tersebut pada satu waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interpretasi hasil keseluruhan atau startegi ini akan memasukkan satu data yang lebih kecil ke dalam sekumpulan data yang lebih besar untuk menganalisis jenis-jenis pertanyaan yang berbeda-beda. 1.7.1
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini akan dilakukakan studi wawancara, observasi, dan
dokumen tertulis berupa fiksi-fiksi yang diterbitkan oleh Mizan. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dalam rangka memeriksa secara langsung pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuan tentang Penerbit Mizan. Data utama dalam penelitian ini adalah katalog dan buku seri ulang tahun Mizan yang berasal dari sumber terpercaya, yakni Penerbit Mizan. Berikut buku seri serta katalog Mizan yang menjadi data penelitian sekaligus mewakili tuturan dari Penerbit Mizan: 1. Mosaik (1993), katalog dan sambutan 10 tahun Mizan. 2. Mosaik (1998), katalog dan sambutan 15 tahun Mizan. 3. Remaja Delapan Belas Tahun itu Bernama Mizan (2001), katalog dan sambutan 18 tahun Mizan.
33
4. Seri Ulang Tahun Mizan Sembilan Belas Tahun: Menjemput Kreativitas (2002). 5. 20 Tahun “Madzhab” Mizan (2003), katalog dan sambutan 20 tahun Mizan. 6. 25 (2008), katalog dan sambutan 25 tahun Mizan 7. Company Profile. 8. Katalog Periode Agustus 2014. Di lain pihak, pengumpulan data melalui observasi langsung adalah dengan cara deskriptif secara terperinci mengenai aktivitas, perilaku, dan sifat Mizan. Terakhir, data yang diperiksa adalah data yang berupa dokumen tulis, dilakukan dengan mencari data tertulis berupa kutipan-kutipan dokumen tulis, publikasi, dan laporan statistik dengan melihat jumlah fiksi yang diterbitkan Mizan dalam periode tertentu. Setelah itu, melihat keseluruhan dalam data bagaimana Mizan memunculkan genre, tokoh, tema, serta bentuk fiksi-fiksinya. Analisis konten kemudian akan membantu data-data yang diolah menjadi lebih faktual. Penelitian fiksi populer memberlakukan identifikasi materi yang akan dianalisis. Dalam hal ini, telah tercatat data berupa novel-novel terbitan Mizan. Selanjutnya, akan dipertimbangkan bagaimana fiksi-fiksi tersebut diolah kemudian membuat sistem untuk mencapai aspek-aspek yang ada (baik data fiksi maupun data statistik) dari sana akan dihitung seberapa sering kata-kata, formula, atau tema muncul. Pengolahan data fiksi akan menggunakan kajian genre yang dibahas dalam metode analisis data. Analisis genre itu yang nantinya dapat menentukan genre fiksi apa yang ditawarkan atau direpresentasikan oleh Mizan
34
selama ini. Sementara metode pembacaan simptomatik digunakan sebagai alat untuk melihat gejala-gejala dalam produksi fiksi yang dilakukan oleh Mizan dan lini-lininya. Untuk mempermudah sebuah keterangan penelitian, data statistik historis yang berdasarkan atas daftar karya atau pengarang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai gejala dalam sebuah evolusi (Escarpit, 2005). Dengan begitu, data statistik dan garis besar fakta sastra dapat diungkapkan. Selain itu data tersebut harus diinterpretasikan dengan menggunakan data objektif tipe lain yang diperoleh dalam studi struktur sosial. Untuk menunjukkan produktivitasnya, digunakan model statistik produksi yang akan memperlihatkan jumlah produk Mizan dari tahun 1983–2014 yang hanya ditekankan pada produk fiksi bernuansa islami berdasarkan pada analisis genre terdahulu. Dengan menggunakan statistik dasar, penelitian akan dengan jelas menunjukkan tingkat produksi Mizan sebagai sebuah penerbit yang produktif selama 30 tahun. 1.7.2 Metode Analisis Data Selain teori produksi sastra, terdapat metode lain yang berfungsi mendapatkan studi khusus tentang genre yang lebih spesifik sehingga meluruskan ketimpangan pada analisis produk Mizan. Dengan demikian, dapat diketahui genre apa yang menjadi ciri khas serta produk unggulan Mizan yang menerbitkan fiksi bernuansa islami. Demi mengetahui genre apa yang diproduksiya, digunakan mode kajian genre dan formula John Cawelti (1971) yang mengkategorikan genre fiksi populer berdasarkan tema dan formulanya. Misalnya genre adventure, romance, alien beings, misteri, dan melodrama, sehingga tampak sebagai genre
35
yang sudah mapan. Definisi konvensional genre cenderung berdasarkan pada konvensi unsur-unsur teks fiksi seperti tema dan latar, genre diciptakan melalui dialog antara kesamaan dan perbedaan formula dari banyak fiksi. Konvensi dan invensi yang dilakukan dalam studi genre naratif populer menyajikan gambaran dan arti yang sudah akrab bagi audience sekaligus menekankan kesinambungan nilai; invensi-invensi merupakan persepsi atau arti baru yang belum disadari sebelumnya. Fungsi keduanya ini penting bagi budaya, konvensi membantu
menciptakan stabilisasi
budaya, sedangkan invensi
membantu merespon keadaan yang berubah dan memberikan informasi baru tentang dunia (Cawelti, 1971). Dalam lain perkataan, penelitian genre dapat disamakan dengan penelitian pendekatan sejarah, yaitu dengan membuat seleksi sumber-sumber data dan membuat interpretasi berdasarkan fakta-fakta yang diambil dari sumber yang berlandaskan pada paradigma tertentu. Pendekatan dengan formula ini merupakan sistem konvensional dalam menstrukturkan produk budaya. Formula dan arketipe berbeda, arketipe adalah cerita yang tidak dibatasi oleh kebudayaan tertentu maupun oleh waktu (Cawelti, 1971). Formula didefiniskan sebagai konvensi budaya yang spesifik antara satu budaya dengan budaya lain. Pendekatan semantik ini bertumpu pada bangunan genre dengan melihat ciri-ciri dari serangkaian fiksi populer dalam suatu genre dan memaknainya dengan menghubungkan ciri-ciri tersebut dengan latar belakang kemunculannya. Dalam meneliti keberadaan ciri tersebut, jumlah fiksi populer tidak hanya berarti dilihat pada kesamaan dari kemunculan ciri atau formulanya, tetapi juga
36
ditekankan pada perubahan atau ketidakadaan suatu ciri. Melaluinya, fiksi-fiksi populer Mizan dalam satu atau banyak genre dapat dimaknai. 1.7.3
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini akan diidentifikasi melalui fiksi-fiksi yang
diterbitkan Mizan. Maksudnya, sebatas pada perannya sebagai distributor. Mizan selain sebagai penerbit, juga merupakan sebuah media distribusi. Mizan memiliki jangkauan
yang luas
terhadap fiksi-fiksi
yang diterbitkan serta
yang
didistribusikannya, tetapi bukan berada pada wilayah di luar Penerbit Mizan. Jadi, meskipun memiliki media penjualan yang menjual buku-buku atau fiksi di luar terbitannya, buku-buku itu bukanlah bagian dari distribusi, tetapi lebih kepada perantara penjualan. Berdasarkan Mizan online bookstore, ditemukan beberapa buku terbitan non-Mizan, seperti Gramedia Pustaka Utama atau Republika. Bukubuku tersebut di luar batasan penelitian. Penelitian ini nantinya akan membawa analisis ke dalam proses produksi Mizan dimulai dari fiksi pertama yang diproduksi hingga tahun 2014. Fiksi-fiksi tersebut kemudian dibagi menjadi periode-periode sehingga dapat menunjukkan garadasi genre yang akan membantu dalam penelitian. Untuk memudahkan proses kerja, penelitian ini akan dirunut berdasarkan data yang diperoleh dari Penerbit Mizan, katalog resmi Mizan, internet, buku, serta informasi dari wawancara. Terdapat 280 lebih data berupa fiksi bernuansa islami yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan yang dijadikan data, dengan metode genre akan dipilah fiksi-fiksi yang mampu mewakili ke-280 lebih fiksi yang memiliki karakter sama dengan yang lainnya. Berikut fiksi-fiksi yang akan membantu penelitian ini.
37
1. Jalan Pintas ke Surga (1986) karya Djamil Suherman 2. Para Pengawal Fajar (1989) karya Ahmad Hadi 3. Wanita Berlisan Suci (1989) karya Muhammad Ali 4. Serenade Biru Dinda (2000) karya Asma Nadia 5. Dialog Dua Layar (2000) karya Asma Nadia 6. Diorama Sepasang AlBanna (2003) karya Ari Nur 7. Di Serambi Makkah (2005) karya Tasaro 8. Lafaz Cinta (2007) karya Sinta Yudisia 9. Dilatasi Memori (2008) karya Ari Nur 10. Elegi Cinta Maria (2009) karya Waheeda El-Humayra 11. Misteri Kematian Syekh Siti Jenar (2009) karya Abdul Munir Mulkhan 12. Runtuhnya Menara Azan (2009) karya Yanti Soeparmo 13. Alena: Selubung Cinta di Musdalifah (2009) karya Ifa Avianty 14. Izinkan Aku Bersujud (2009) karya Tyas Effendi 15. Serambi Mujahid Mesopotamia (2010) karya Yoki R. Sukarjaputra 16. Dari Jendela Hauzah (2010) karya Otong Sulaeman 17. Sang Pencerah (2010) karya Akmal Nasery Basral 18. Sabil (2011) karya Sayf Muhammad Isa 19. Cahaya di Atas Cahaya (2012) karya Oki Setiana Dewi 20. Cut Nyak Dien (2015) karya Sayf Muhammad Isa Pemilihan sampel dilakukan dengan purposif (sampel bertujuan) dengan penentuan sampel tergantung dari hasil atau langkah yang sudah ditempuh. Startegi ini dilakukan karena selama proses penelitian berlangsung, peneliti terus-
38
menerus melakukan pembacaan terhadap karya-karya fiksi yang bisa didapatkan dan kemudian melakukan interpretasi. Tujuan dari tindak pembacaan dan interpretasi tersebut adalah memilah-milah data yang penting dan tidak. 1.8 Sistematika Penelitian Penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab: 1) Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian; 2) Bab II membahas produksi Penerbit Mizan selama 30 tahun, 3) Bab III analisis genre fiksi–fiksi terbitan Mizan; 4) Bab IV berupa analisis yang tidak terkatakan dalam produksi fiksi-fiksi Penerbit Mizan; dan 5) Bab V merupakan penutup berupa kesimpulan dan saran dari hasil akhir penelitian.