1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Negara Jepang di mata dunia dipandang dengan perkembangannya dalam berbagai bidang, baik teknologinya, budayanya, alam dan tata perkotaannya, bahkan dikagumi sebagai salah satu negara yang berhasil mempertahankan eksistensi kebudayaannya yang kental di tengah kemajuan teknologinya yang sangat cepat. Kehebatan Jepang tersebut tentu saja tidak lepas dari sejarah panjang pembangunan negara mereka sejak berabad-abad yang lalu. Ketika membicarakan sejarah panjang negara Jepang, tentu saja tidak bisa terlepas dari bidang kesusastraannya. Bidang kesusastraan di Jepang banyak dikatakan dimulai sejak zaman Nara pada tahun 710 - 794 (yang lebih dikenal dengan istilah Sastra Kuno dengan masuknya pengaruh-pengaruh dan huruf-huruf dari Cina), sastra Klasik (pada zaman Heian), sastra jaman pertengahan (zaman Kamakura, Namboku-cho, Muromachi), sastra modern (zaman Azuchi-momoyama, zaman Edo), dan sastra kontemporer yang dimulai sejak zaman Meiji hingga sekarang. Perubahan besar pada bidang kesusastraan di Jepang terjadi di era sastra modern dan sastra kontemporer, dikarenakan masuknya pengaruh-pengaruh dari dunia sastra Barat. Masuknya pengaruh Barat dinilai bermula ketika pada tahun 1882 terbit sekumpulan puisi Amerika dan Inggris dalam bahasa Jepang. Setelah itu
2
muncullah penulis-penulis bergaya modern seperti Natsume Soseki (1867-1916), Mori Oogai (1862-1922), dan Akutagawa Ryuunosuke (1892-1927). Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo, pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu. Irifunecho merupakan daerah yang dihuni oleh orang-orang asing dan pada waktu itu disana hanya ada tiga rumah orang Jepang. Sekitar sembilan bulan setelah Akutagawa lahir, ibunya menjadi gila hingga kematiannya pada 1902. Hisako yang merupakan kakak Akutagawa dan anak kedua dari tiga bersaudara mengatakan bahwa ibunya berhati lemah dan lebih senang memendam perasaannya sendiri. Ibunya merasa bersalah telah mengajak kakak pertama Akutagawa, Hatsuko, ke Shinjuku sehingga Hatsuko mengalami masuk angin dan meninggal dunia sebelum Akutagawa lahir. Watak ayahnya yang kasar juga menambah beban hidup ibunya. Ketika Ryuunosuke lahir, ayahnya berumur 42 tahun sedangkan ibunya berumur 33 tahun dan angka tersebut merupakan usia sial menurut orang jepang. Untuk menghindari kemalangan, Ryuunosuke seolah-olah dibuang dengan dibesarkan oleh teman lama ayahnya, Matsumura Senjiro. Ibunya yang sakit jiwa sehingga meninggal dunia juga dianggap sebagai bagian dari kemalangan tersebut. Ryuunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya, Akutagawa Michiaki, dan juga kakak perempuan ibunya yang tidak menikah yang bernama Fuki. Dua tahun setelah meninggalnya ibunya baru secara resmi Ryuunosuke menggunakan nama Akutagawa., yakni ketika berusia dua belas tahun (Wibawarta, 2004: 2-6) Sejak kecil Akutagawa Ryuunosuke banyak sekali membaca karya-karya klasik Jepang dan China. Minatnya terhadap karya sastra memang sudah besar
3
sejak sekolah dasar, dan dia sama sekali tidak mendapatkan pertentangan dari pihak keluarga karena orang-orang di sekitarnya pun menyukai kesusastraan. Ia menyukai karya penulis pertengahan zaman Meiji yaitu Ozaki Koyo dan Koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya besar para sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Barulah sejak sekolah menengah umum Akutagawa menyukai karya-karya sastrawan Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France, Dostoyevski, Euken, dan Spinosa. Kebiasaannya adalah menghadiri pameran ataupun diskusi sastra bersama temannya, Tsuneto Kyo, serta membaca buku di perpustakaan umum atau keliling (Wibawarta, 2004: 6-7). Akutagawa menghabiskan masa pendidikannya di Tokyo. Mulai dari Sekolah Dasar Umum Edo, Sekolah Menengah Pertama Tokyo, Sekolah Menengah Atas Tokyo. Pada tahun 1913 ia masuk jurusan sastra Inggris Universitas Tokyo dan bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menghidupkan kembali majalah sastra universitas Shinshicho (Aliran Pemikiran Baru) dan mulai menerbitkan karya-karyanya pada majalah tersebut. Akutagawa memulai karyanya dengan menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang benar-benar karangannya pertama muncul di Shinshicho yang berjudul Ronen. Setahun kemudian, pada tahun 1915, ia meluncurkan salah satu cerpennya yang terbaik dan menjadi judul kumpulan cerpennya yang pertama, Rashomon. Pada tahun 1916 tercatat sebagai tahun kesuksesannya, yakni ketika cerpennya yang berjudul Hana (Hidung) dipuji oleh Natsume Soseki, sastrawan besar pada saat itu, dan majalah sastra mulai melirik Akutagawa Ryuunosuke. Soseki menulis surat ucapan selamat kepada Akutagawa, “Saya akui karya Anda sangat menarik.
4
Sederhana dan serius tanpa mencoba untuk melucu. Soseki menambahkan bahwa karya tersebut mengandung cerita humor yang luar biasa, bahannya segar dan menarik, dan gaya penulisannya anggun. Dalam Hana terdapat ketidakpastian, kebimbangan dan kekalahan manusia di hadapan masyarakat yang berhasil dibawakan dengan lebih manusiawi. Soseki pun lanjut berpesan, “Lanjutkan dan hasilkan dua puluh atau tiga puluh cerita seperti ini. Tidak lama lagi Anda menjadi tidak tertandingi dalam dunia kesastraan.” Pada tahun-tahun inilah Akutagawa mencapai keemasannya, terutama dengan menjadi murid dari Natsume Soseki bersama dengan seniornya di kampus, Suzuki Miekichi. Tahuntahun berikutnya Akutagawa bersama Suzuki Miekichi memulai penulisan cerita anak untuk diterbitkan pada majalah sastra anak Akai Tori. Karya-karyanya yang dimuat di Akai Tori adalah Kumo no Ito (Jaring Laba-laba), Toshisun, Majutsu (Ilmu Sihir), dan lain-lainnya. Akutagawa lulus dari universitas pada tahun 1916 dengan nilai terbaik peringkat dua dari 20 mahasiswa dengan skripsinya yang berupa analisis terhadap karya William Morris. Akutagawa kemudian mengajar bahasa Inggris di Akademi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Yokosuka sebagai dosen tidak tetap. Ditengah kesibukannya sebagai pengajar pun Akutagawa tetap berusaha berkarya dengan melahirkan antologi cerpen Rashomon dan kumpulan cerpen berjudul Yabu no Naka. Pekerjaan sebagai pengajar pun hanya bertahan selama dua tahun setelah Akutagawa memutuskan untuk fokus pada dunia tulis menulis karena telah memiliki kontrak dengan surat kabar Osaka Mainichi Shinbun untuk terus menulis karya fiksi terhitung sejak Maret 1918. Pada 12 Maret 1919, Akutagawa menikah
5
dengan Tsukamoto Fumi yang merupakan kemenakan dari temannya, Yamamoto Kiyoshi, dan merupakan anak dari mayor Angkatan Laut Tsukamoto Nogoro. Pada Maret 1921, Akutagawa dikirim ke China oleh Osaka Mainichi Shinbun tempat dia bekerja selama empat bulan dan disanalah kesehatannya semakin memburuk. Di Shanghai inilah ia menghasilkan karya-karya seperti Jigokuhen (Lukisan Neraka) dan Hokyonin no Shi (Martir). Semenjak kembalinya dari China pun kesehatan Akutagawa semakin merosot. Hal tersebut ia ceritakan kepada temannya dalam sebuah surat yang isinya adalah keluhan dirinya yang sedang menderita kelelahan saraf, kejang-kejang perut, sakit kantung kemih, dan memiliki masalah jantung. Surat tersebut juga berisi penyakit-penyakit yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya. Memasuki masa inilah popularitas Akutagawa sebagai seorang penulis pun menurun, dan karyakaryanya pun berubah aliran menjadi semacam autobiografi. Karya-karya tersebut dikenal dengan istilah Yasukichi-mono karena tokoh utama pada karya-karya tersebut bernama Yasukichi. Kecenderungan tersebut berlanjut hingga cerpencerpen terakhirnya yaitu Haguruma dan Kappa yang dihasilkan pada Tahun 1927 pada sesaat sebelum kematiannya. Pada Juli 1927, di usianya yang mencapai 35 tahun, Akutagawa terlihat sudah sangat putus asa dan tidak kuat menahan beban mental dan fisik yang selama ini dia jalani. Tanda-tanda keputusasaannya tersebut sudah mulai terlihat pada karyanya yang berjudul Kappa. Narator cerita Kappa adalah seorang pasien rumah sakit jiwa yang menderita penyakit gila turunan, dan ada juga di dalamnya tokoh yang bernama Tok, seorang pujangga depresif yang akhirnya bunuh diri.
6
Kedua tokoh dalam cerpen Kappa ini dinilai merupakan potret diri Akutagawa. Karya-karya yang dihasilkan menjelang kematian adalah Jippon no Hari (Sepuluh Jarum), dan dua esai Kristiani Saiho no hito dan sekuelnya Zoku Saiho no Hito yang merupakan hasil dari kegiatannya untuk selalu membaca kitab suci sebelum tidur menjelang kematiannya. Setelah menyelesaikan tulisannya yang berjudul Zoku Saiho no Hito tersebut, pada 24 Juni 1927 Akutagawa meninggal dunia dengan menenggak obat tidur dalam dosis tinggi. Akutagawa meninggalkan seorang putra sulung bernama Akutagawa Hiroshi, yang kemudian menjadi aktor, putra ketiga yang bernama Akutagawa Yasushi, yang menjadi konduktor dan komponis, sedangkan putra nomor duanya, Akutagawa Takashi, telah gugur terlebih dahulu dalam perang. Pada masa jayanya, banyak kritikus yang mengakui kecerdasan dan kepiawaian Akutagawa dalam mengolah cerita. Mereka memuji integritas artistik dan gaya bahasa Akutagawa yang sangat khas. Menjawab pertanyaan mengapa ia menulis, Akutagawa mengatakan bahwa ia menulis bukan untuk uang ataupun untuk publik, melainkan karena ada sesuatu yang aneh dan kacau di dalam dirinya yang mendorongnya untuk mengekspresikan sesuatu tersebut dalam bentuk dan waktu yang tepat. Menurutnya, seni adalah ungkapan, dan ia menentang pandangan umum di masyarakat bahwa seorang penulis harus memulai karyanya dengan memikirkan isi apa yang akan ditulis dan baru merangkainya ke dalam bentuk tertentu, seakan-akan sebuah proses kreatif penulisan karya sastra memiliki dua unsur yang terpisah. Bagi Akutagawa, menganggap bentuk atau isi
7
lebih unggul merupakan kesalahan. Ia beranggapan bahwa seorang seniman harus selalu berusaha menyempurnakan karyanya (Wibawarta, 2004: 19-21). Semasa hidupnya, Akutagawa telah menghasilkan banyak karya yang dinilai sangat luar biasa, sehingga ia dinobatkan sebagai raja cerpen dalam kesusastraan Jepang modern. Bahkan temannya semasa kuliah yang juga menjadi seorang penulis fiksi sepertinya, Kikuchi Kan, mendirikan Akutagawasho (Penghargaan Akutagawa) pada 1935. Sampai sekarang Akutagawasho menjadi penghargaan yang paling bergengsi bagi para penulis baru di Jepang. Bahkan karya-karya Akutagawa pun sampai sekarang masih dicantumkan dalam buku teks sebagai bacaan pembelajaran murid sekolah menengah di Jepang. Pada salah satu cerpen anak karya Akutagawa Ryuunosuke yang berjudul Majutsu (Ilmu Sihir), Akutagawa memasukkan pengaruh-pengaruh budaya asing ke Jepang. Hal tersebut terlihat dalam cara Akutagawa menyajikan adanya tokoh asing non-Jepang, ilmu sihir, kaitannya dengan jin dan roh, dan juga gaya kehidupan Barat yang sedang masuk ke Jepang pada zaman itu. Cerpen ini mengisahkan tentang tokoh Aku yang mendatangi seorang asing berkebangsaan India bernama Matiram Misla yang merupakan seorang ahli sihir. Tokoh Aku terpana dengan sihir-sihir yang ditunjukkan oleh seorang India tersebut dan menyatakan niatnya untuk mempelajari ilmu sihir tersebut. Misla mengijinkan Aku untuk mempelajari ilmu tersebut dengan satu syarat, bahwa tokoh Aku tidak boleh terpengaruh oleh nafsu dalam menggunakan ilmu tersebut. Selanjutnya cerita bergeser maju menuju sebulan setelah tokoh Aku mempelajari ilmu sihir dari Misla. Ketika tokoh Aku berkumpul bersama teman-temannya di suatu bar,
8
tokoh Aku berhasil diminta oleh teman-temannya untuk menunjukkan kemampuan sihirnya. Tokoh Aku berhasil mengubah bara api menjadi emas. Teman-temannya menginginkan emas tersebut dan mengajak tokoh Aku untuk bertanding kartu untuk mempertahankan emas, bahkan mereka mempertaruhkan harta benda mereka masing-masing hanya untuk memaksa tokoh Aku tetap bermain. Karena keinginannya untuk menguasai harta benda teman-temannya, tanpa disadari tokoh Aku sudah terbawa oleh nafsunya sendiri. Sesaat kemudian tokoh Aku merasa baru saja bangun dari tidurnya dan masih berada di kediaman Misla sebulan sebelum itu, masih ketika tokoh Aku berkunjung pertama kali untuk memohon belajar ilmu sihir. Ternyata kejadian selama sebulan hingga berpuncak di bar tersebut hanyalah mimpi tokoh Aku yang dibuat oleh hipnotis sang ahli sihir Misla. Karena melihat bahwa tokoh Aku mudah terbawa oleh nafsunya tersebut dan tidak pantas menerima ilmu tersebut, Misla memutuskan untuk tidak jadi mengajarkan ilmu sihirnya kepada tokoh Aku. Pada cerpen Majutsu ini terlihat nuansa non-Jepang yang sangat kental, dengan deskripsi dari situasi rumah dan bar yang tokoh Aku datangi, dan adanya penggunaan unsur-unsur sihir oleh seorang yang berkebangsaan asing. Akutagawa pun dengan sangat cerdas mendeskripsikan pengalaman-pengalaman pribadi si tokoh Aku selama berada dalam alur cerpen tersebut, mulai dari perjalanan menuju rumah sang ahli sihir hingga perasaan tokoh Aku ketika tokoh Matiram Misla menolak mengajarkan ilmu sihir kepadanya karena ketidakmampuan tokoh Aku sendiri.
9
Penulis memutuskan untuk melakukan penelitian berbasis analisis tekstual semiotik terhadap cerpen Majutsu ini dikarenakan adanya banyak makna-makna tersirat yang berusaha disampaikan oleh Akutagawa Ryuunosuke melalui unsurunsur yang dibangun dalam cerpen ini. Nuansa rumah yang berbeda dengan rumah-rumah di Jepang pada umumnya pada waktu itu, teknik-teknik ilmu sihir yang ditunjukkan oleh Misla, bahkan penyebutan jin atau roh kepada pembantu Misla menimbulkan misteri tersendiri di dalam cerpen tersebut. Walaupun Akutagawa memang mengarang cerpen ini khusus untuk dimasukkan dalam majalah anak-anak dan ditujukan untuk anak-anak, tampaknya Akutagawa memiliki maksud tersendiri yang ingin dia sampaikan. Entah maksud tersebut berupa kritik sosial masyarakat pada zaman itu, kritik politik, atau bahkan ungkapan perasaan pengarang (semacam otobiografi), penganalisisan tanda-tanda yang
membangun
cerpen
tersebut
dilakukan
untuk
menyimpulkannya.
Penganalisisan tanda-tanda dengan menggunakan teori analisis tekstual semiotik Roland Barthes adalah yang dijadikan pokok pembahasan dalam penelitian kali ini. 1. 2 Rumusan Masalah Roland
Barthes,
salah
satu
ahli
semiologi
aliran
Saussurean
mengembangkan salah satu teori yang cukup sering digunakan untuk mengkaji makna-makna dari tanda-tanda dalam karya sastra di seluruh dunia, yaitu teori analisis tekstual sebuah karya sastra. Teori Barthes yang satu ini biasa digunakan untuk mencari amanat ataupun makna yang tersirat dalam sebuah karya sastra, terutama prosa.
10
Dengan latar belakang tersebut, diperlukan penggunaan teori analisis tekstual Roland Barthes tersebut untuk mengetahui amanat dan makna yang berusaha disampaikan oleh Akutagawa Ryuunosuke dalam cerpennya yang berjudul Majutsu. Rumusan masalah dalam penelitian kali ini adalah: 1. Apa sajakah tanda-tanda yang memiliki makna tersendiri dalam cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke ini? 2. Apa makna dari tanda-tanda dalam cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke ini dengan menggunakan teori analisis tekstual Roland Barthes? 3. Apa amanat yang ingin disampaikan oleh Akutagawa Ryuunosuke dalam cerpen Majutsu ini berdasarkan makna-makna yang tersirat dalam cerpen tersebut?
1. 3 Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah tujuan teoritis dan tujuan praktis. Yang dimaksud tujuan teoritis adalah mengungkapkan makna, memahami serta menganalisis tanda-tanda yang terdapat dalam cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dengan menggunakan teori analisis tekstual Roland Barthes. Selain itu, penulis ingin menemukan amanat yang ingin disampaikan oleh Akutagawa Ryuunosuke dalam cerpen ini. Ada beberapa kemungkinan amanat dalam cerpen ini, yaitu amanat yang ingin disampaikan oleh Akutagawa untuk pembaca, ataukah amanat dalam bentuk otobiografi hidup Akutagawa Ryuunosuke pada saat cerpen ini diciptakan. Sedangkan tujuan praktis
11
dari penelitian ini adalah memperkaya pengetahuan pembaca terhadap karyakarya Akutagawa Ryuunosuke, terutama karena cerpen Majutsu ini tidak sepopuler cerpen-cerpennya yang lain. Selain itu juga untuk membantu meningkatkan minat masyarakat Indonesia untuk membaca karya sastra asing, khususnya karya sastra Jepang.
1. 4 Landasan Teori 1. 4. 1 Teori Strukturalisme Sebuah karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur dari sebuah karya sastra juga merupakan sebuah hubungan timbal-balik yang saling menentukan dan mempengaruhi yang secara bersama-sama membangun sebuah kesatuan utuh yang memiliki maknanya sendiri. Analisis struktural sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu (Nurgiyantoro, 1995: 36 – 37). Unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra, dalam hal ini adalah cerpen, adalah tema, cerita, plot, penokohan, dan latar. Dalam kajian kesastraan, secara umum dikenal adanya analisi struktural dan semiotik. Analisis yang pertama menekankan pada adanya sebuah fungsi dan hubungan antar unsur (intrinsik) dalam sebuah karya, sedangkan yang kedua pada pemaknaan karya itu yang dipandangnya sebagai sebuah sistem tanda. Sebuah penelitian semiotik terhadap karya sastra tidak bisa terlepas dari unsur-unsur yang
12
membangun karya sastra itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian kali ini akan menganalisis cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dengan metode strukturalisme terlebih dahulu sebelum memasuki analisis menggunakan teori analisis tekstual Roland Barthes. Strukturalisme harus dipandang sebagai salah satu pendekatan (penelitian) kesusastraan yang menekankan pada kajian antarunsur pembangun karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002: 36). Selain itu yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur tersebut dan sumbangan apa yang diberikan unsur-unsur tersebut terhadap makna keseluruhan karya sastra (Nurgiyantoro, 2002: 37). a. Tema Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dari sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah, yang tentunya sudah ditentukan oleh pengarang sebelumnya, yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro, 2002: 70). Dengan kata lain, pengembangan cerita akan selalu didasari pada batasan gagasan umum yang telah disiapkan oleh pengarang, sehingga berbagai peristiwa, konflik, penokohan, dan latar yang ada dimunculkan oleh pengarang untuk membangun gagasan umum tersebut. Oleh karena itu, tema merupakan salah satu unsur pembangun karya sastra yang hanya bisa didapatkan secara implisit dari dalam cerita yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang lain. Tema pada umumnya selalu mengangkat masalah kehidupan yang selalu dialami oleh manusia, baik masalah khusus ataupun masalah umum yang telah
13
universal. Sebuah karya sastra, dalam hal ini adalah cerpen, mengangkat masalah kehidupan manusia yang tampak atau diketahui oleh pengarangnya, baik dialami sendiri oleh pengarangnya ataupun mendengar atau mengetahuinya dari pihak lain. Berbagai permasalahan kehidupan tersebut, setelah melalui penghayatan dan pemikiran yang intens oleh pengarang, ditampilkan dan diolah dengan daya imajinasi-kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan. Beberapa peneliti sering menggolongkan tema kepada berbagai kategori, contohnya tema tradisional dan tema nontradisional, tema fisik, organik, sosial, egoik, dan divine, serta tema utama dan tema tambahan. Pada penelitian kali ini yang akan digunakan adalah pengelompokan tema secara tema umum (mayor) dan tema tambahan (minor). Tema mayor adalah gagasan pokok, gagasan umum yang digunakan oleh pengarang untuk membangun sebuah karya sastra tersebut. Tema minor atau tema tambahan adalah gagasan-gagasan khusus yang membangun gagasan utama yang terdapat pada tema mayor. Jadi, hubungan antara tema-tema minor tersebut yang biasanya akan membantu ditemukannya gagasan umum atau tema mayor pengarang. b. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan Penokohan bukannya memiliki kesamaan arti, akan tetapi kedua istilah tersebut cenderung digunakan bersamaan untuk menghadirkan kelengkapan dalam sebuah analisis. Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20 via Nurgiyantoro.) Akan tetapi
14
istilah tokoh seringkali dibedakan dengan istilah perwatakan, sehingga analisis akan sebuah tokoh hanya akan membawa penelitian pada sosok tokoh tersebut tanpa mengetahui apa yang dimaksudkan pengarang melalui hadirnya tokoh tersebut. Sehingga istilah penokohan pun lebih tepat untuk ditambahkan karena analisis mengenai penokohan suatu tokoh akan membawa penelitian tersebut pada hal-hal implisit karya sastra tersebut yang membangun sebuah gagasan utama yang ingin disampaikan oleh pengarang. c. Latar Seperti yang telah disampaikan diatas, dalam penelitian kali ini cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke ini akan berusaha dianalisis sesuai dengan budaya dan latar belakang sejarah yang terjadi pada saat cerpen ini dibuat untuk mengetahui apa sebenarnya gagasan utama yang ingin disampaikan oleh pengarang. Oleh karena itu, sebuah analisis strukturalisme pada bagian latar cerita tersebut sangat penting. Latar dibagi menjadi tiga jenis, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Dalam cerpen Majutsu ini latar tempat, waktu, maupun sosial yang digunakan oleh pengarang sangat menunjang makna apa yang ingin disampaikannya. Pertama, latar tempat menunjukkan sebuah ke-khas-an tersendiri yang ingin disampaikan oleh pengarang. Latar tempat menunjuk pada berbagai tempat berbeda yang masing-masing mencerminkan karakteristiknya sendiri. Terutama pada cerpen yang berlatar belakang sejarah, seperti pada cerpen Majutsu ini, latar tempat pada waktu tersebut sangat penting digunakan supaya pembaca mengetahui situasi yang terjadi pada waktu itu di tempat tersebut.
15
Kedua, latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi. Masalah waktu tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca tersebut akan memudahkan pembaca untuk bisa masuk ke dalam suasana cerita tersebut. (Nurgiyantoro, 2002: 230) Ketiga, latar sosial mencerminkan tata cara kehidupan sosial yang berusaha disampaikan oleh pengarang. Latar tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, atau bahkan status sosial sang tokoh. Ketiga unsur pokok latar di atas bukannya berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling melengkapi sehingga membantu pembaca untuk lebih bisa masuk ke dalam suasana cerita dan mengerti makna atau tema apa yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerita fiksi tersebut.
1. 4. 2 Analisis Tekstual Semiotik Roland Barthes Kemunculan Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce mengawali cara pandang baru terhadap bahasa dengan dimulainya suatu semiologi kontemporer. Bahasa sebagai ekspresi manusiawi diperkenalkan kepada taraf yang baru yang melebihi pemahaman klasik tentang bahasa sebagai kesatuan yang formal. Pemahaman baru tentang bahasa sebagai ekspresi manusiawi mulai dipahami dan sedikit demi sedikit dikaji dengan sudut pandang bahasa sebagai
16
sebuah kesatuan tanda-tanda yang memiliki berbagai macam makna dan mencerminkan banyak hal. Ilmu bahasa yang dikhususkan untuk mengkaji tanda-tanda dalam penggunaan bahasa disebut dengan semiologi, atau semiotika. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Istilah lain dari semiotika adalah semiologi. Kedua istilah tersebut tidak mengandung perbedaan konseptual. Perbedaannya terutama terletak pada wilayah pemakaiannya, yaitu semiotika yang pada mulanya digunakan oleh Charles Sanders Peirce yang lebih lazim dipakai di dunia Anglo-Sakson dan semiologi yang pada awalnya digunakan oleh Ferdinand de Saussure lebih lazim digunakan di Eropa Kontinental. Istilah yang dipandang menyatukan keduanya adalah semiotika (Baryadi 2007: 46) Ada dua jenis pandangan terhadap hakikat tanda. Pandangan pertama disebutnya sebagai pandangan formal yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, seorang pelopor linguistik modern. Karena lebih menitikberatkan pada pandangan formalnya, tradisi ini biasa disebut dengan tradisi Strukturalisme. Sedangkan pandangan kedua merupakan tradisi yang dipelopori oleh Charles Sanders Peirce yang berupa tradisi pragmatis. Charles Sanders Peirce adalah seorang ahli filsafat dan logika. Beliau melihat bahwa penilaian sebuah tanda tidak bisa dilihat dari strukturalisme formalnya saja, tetapi juga penggunaannya. Pada akhirnya, Charles Sanders Peirce dalam linguistik lebih dikenal dengan teori fungsionalisme. Roland Barthes merupakan tokoh semiotika Perancis yang merupakan aliran Saussurean. Barthes lahir pada 12 November 1915, dan meninggal pada 25 Maret 1980. Barthes merupakan ahli teori Perancis yang berjaya pada tahun 1960-
17
an dan tahun 1970-an. Menurutnya, semiologi bukanlah suatu perkara (Cause), bukanlah suatu ilmu, suatu disiplin ilmu, suatu aliran, suatu pergerakan yang diidentikkan dengan diri pribadinya sendiri. Semiologi adalah sebuah petualangan (aventure), yaitu bahwa ilmu ini mendatanginya (Barthes, 1967: 74) Walaupun Barthes merupakan penganut aliran Saussurean, dia beberapa kali berusaha mendistingsikan analisis struktural dan analisis tekstual, seperti yang dilakukannya dalam menganalisis dongeng Edgar Poe (Barthes, 1967: 75). Barthes sama sekali tidak berkeinginan untuk menyatakan kedua analisis tersebut antagonis satu sama lain. Analisis struktural yang asli diterapkan terutama atas cerita oral (atas mitos), sementara analisis tekstual diaplikasikan secara eksklusif pada cerita tertulis. Analisis tekstual tidak berusaha mendiskripsikan struktur suatu karya sastra, tetapi lebih merupakan usaha untuk mencari tahu bagaimana naskah tersebut dapat menarik pembacanya kapan pun walaupun telah diciptakan dengan latar sejarah jauh sebelum sang pembaca tersebut membacanya (Barthes, 1985: 389). Barthes biasa menggunakan empat langkah penelitian dalam usahanya untuk melakukan analisis tekstual, yaitu: 1. Pemotongan teks menjadi beberapa segmen yang berkelanjutan (melekat berdekatan) dan yang umumnya sangat pendek. Segmen-segmen tersebut adalah sebuah unitas-unitas (kesatuan yang berdiri sendiri) yang biasa disebut dengan nama leksia-leksia. Pemecahan teks naratif ini menjadi leksia-leksia ini murni bersifat empiris, yang ditentukan oleh kebutuhan
18
kenyamanan sang peneliti. Leksia yang berguna adalah leksia yang di dalamnya hanya lewat satu atau dua atau tiga makna. 2. Pengamatan makna (sens). Dengan istilah makna (sensi), tentu saja bukan makna kata ataupun kelompok kata seperti yang terdapat pada kamus dan gramatika yang akan dibicarakan, tetapi yang dicari adalah pemahaman akan konotasi-konotasi leksia sebagai makna yang kedua. Makna-makna konotasi ini dapat berupa asosiasi (misalnya deskripsi tokoh), relasi (hubungan antar tokoh ataupun tempat). 3. Analisis yang bersifat progresif runtut atas kode-kode dan maknanya yang terdapat pada setiap leksianya. 4. Mencari apa yang menjadi dasar dari suatu teks, baik dari satu teks yang sama ataupun sesuatu yang dapat dimungkinkan membangun teks tersebut secara ekstrinsik.
1. 5 Tinjauan Pustaka Sejauh yang penulis ketahui, telah banyak penelitian yang dilakukan dalam usahanya menganalisis karya-karya Akutagawa Ryuunosuke, baik dengan teori Strukturalisme Semiotik, Semiotik murni, Psikoanalisis, Internasionalisme, maupun Sosioanalisis, akan tetapi belum satu pun penelitian yang menggunakan teori analisis tekstual Roland Barthes. Karya-karya Akutagawa yang sudah pernah dianalisis sebelumnya, baik hanya satu kali maupun sudah berkali-kali dengan pijakan teori yang berbeda, adalah Hana, Yabu no Naka, Buutokai, Kesa to
19
Maritoo, Jigokuhen, Tabako to Akuma, Shiro, Rashomon, Imogayu, Kappa, Mikan, Kumo no Ito, Toshisun. Jadi, sejauh yang penulis ketahui, penelitian pada cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dengan pengaplikasian teori analisis tekstual Roland Barthes sebagai pisau analisisnya belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya.
1. 6 Metode Penelitian Metode penelitian adalah urutan-urutan bagaimana suatu kegiatan penelitian dilakukan oleh peneliti (Nazir via Sangidu, 1985:51). Berdasarkan landasan teori di atas, terdapat lima langkah dalam menganalisis cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke tersebut. 1. Menganalisis cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke dengan analisis struktural yang dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen berupa tema, tokoh dan penokohan, latar, dan juga hubungan antar unsur-unsur tersebut. 2. Membagi cerpen Majutsu karya Akutagawa Ryuunosuke tersebut menjadi susunan leksia-leksia. 3. Pengamatan kemungkinan adanya makna-makna khusus yang terdapat pada leksia tersebut. 4. Sebelum terlalu masuk ke dalam salah satu analisis makna, secara progresif menyelesaikan terlebih dahulu penyeleksian kemungkinan adanya makna-makna khusus hingga akhir cerita.
20
5. Mencari relasi dari bagian-bagian leksia yang bermakna tersebut, baik dengan sesuatu yang juga telah ditunjukkan pada bacaan tersebut, ataupun sesuatu yang dapat mempengaruhi proses kreatif pengarang secara ektrinsik terhadap karya sastra tersebut.
1. 7 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab. Bab I adalah pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi cerpen dan analisis struktural cerpen berupa analisis tema, tokoh dan penokohan, serta latar, dan juga hubungan antar unsur-unsurnya. Bab III berisi analisis tekstual Roland Barthes dengan pembagian leksia-leksianya dan analisis terhadap segala kemungkinan makna yang terdapat di dalamnya. Bab terakhir yaitu bab IV berisi kesimpulan dari hasil penelitian.