BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Skripsi ini akan membahas dan melihat bagaimana dominasi pemerintahan kota terhadap pedagang Senapelan di Kota Pekanbaru Riau dan bagaimana juga bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pedagang terhadap Pemkot Pekanbaru. Konflik yang terjadi berawal dari kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru untuk melakukan peremajaan pasar tradisional Senapelan Pekanbaru, hingga sekarang konflik itu tidak terselesaikan dengan baik, mengingat banyak pedagang yang tidak puas dengan solusi yang ditetapkan oleh pemkot. Dengan demikian melahirkan konflik vertikal antara pemkot dan pedagang pasar senapelan yang berkepanjangan. Kasus ini menjadi penting untuk dilihat karena konflik vertikal antara pedagang dan Pemkot Kota Pekanbaru menarik perhatian masyarakat Riau secara umum dan masyarakat Kota Pekanbaru khususnya. Konflik adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan 1. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk kekerasan atau violence.2 Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau 1 2
Lihat Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, hal. 15 Ibid
Universitas Sumatera Utara
kelompok lain dengan cara-cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus value 3. Dan konflik ini dapat terjadi secara horizontal maupun vertiKal. 4 Konflik horizontal terjadi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan oleh agama, suku, bangsa dan lain-lain. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah dengan lapisan atas atau penguasa. 5 Kasus-kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia merupakan fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di wilayah Jakarta 6, dan juga kasus penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) serta masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Yogyakarta 7. Dalam penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang secara politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian masalah secara damai, win-win solution dalam penggusuran. Yang ada hanyalah raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si korban. Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara pedagang tradisional pasar Kodim atau Senapelan di kota Pekanbaru, propinsi Riau dengan pemerintah kota Pekanbaru dan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang 3
Lihat Susetiawan, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 34 4 Nasikun, Op. Cit., hal. 16 5 Lihat C. James Scott, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 20 6 Lihat Kompas, ”Penggusuran di Ibu Kota Jakarta”, 11 Oktober, Desember 2003. 7 Lihat juga Kompas, ”Satpol PP Yogyakarta Menggelar Operasi Bersih” 14 Mei 2004, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran paksa ratusan kios lama di pasar tersebut. Tindakan
yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota (pemkot) Pekanbaru dalam rangka peremajaan pasar Senapelan tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang pasar Senapelan. Kebijaksanaan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar tahun 2001 yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertical. 8 Tuntutan sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan cukup masuk akal, mereka meminta agar harga kios baru pasca peremajaan sesuai dengan kecukupan ekonomi yang dimiliki oleh pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memperindah wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang berbenah diri. 9 Disatu sisi, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dengan pihak investor P.T Peputra Maha Jaya (PMJ) telah menyepakati harga kios baru pasca peremajaan tanpa persetujuan para pedagang pasar Senapelan. 10 Pemko menetapkan harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar, mencapai Rp. 20 juta Per meter2. Sementara blok B dengan luas kios yang sama, harga ditetapkan Rp. 14,3 juta permeter2. blok ini berada di lantai dua dan tiga, sementara blok C berada di lantai empat dan lima dipatok dengan harga yang sama dengan blok B 11. Lain halnya dengan Pemkot, pedagang pasar Senapelan hanya sanggup membayar kios dengan harga tujuh (7) juta rupiah sampai dengan
8
Lihat Media Indonesia, ”Bentrokan Antara Masyarakat dan Satpol PP”, 17 Mei 2004, hal. 3 Lihat Media Indonesia, “Pemkot Pekanbaru Berbenah” 09 Juni 2004, hal. 3 10 Ibid. 11 Lihat Media Indonesia, “Tarif Baru Harga Kios Senapelan” 09 Juni 2004, hal. 3 9
Universitas Sumatera Utara
delapan (8) juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah (3,5) juta rupiah dengan lima (5) juta rupiah untuk blok C. 12 Selain permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh kebijakan Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan di lokasi tersebut. Yaitu kebijakan tersebut dibuat oleh Pemkot begitu saja tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan akan ditempatkan di blok B dan C, sedangkan blok A ditempati pengusaha dari Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C berada di belakang blok A, sangat tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan transaksi jual beli, dan akan semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu pintu benar-benar akan diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut. 13 Harga kios tersebut mulai dipersoalkan oleh pedagang pasar tradisional Senapelan. Melalui rapat yang mereka lakukan, sekitar 2000 yang terhimpun dalam Forum Komunikasi Pedagang Senapelan (FKPPS) menyepakati harga kios baru pascaperemajaan adalah Rp 8 juta per meter2 dan dilunasi dengan cara mencicil kepada investor14. Kesepakatan harga yang dibuat oleh pedagang ini kemudian menjadikan Pemerintah Kota Pekanbaru dan investor menunda sementara peremajaan pasar Senapelan sampai terjadi kesepakatan harga kios antara pedagang dan Pemkot.15 Tanggal 25 Januari, 2003, terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota Pekanbaru yang ditandatangani oleh Wali Kota Pekanbaru, Ketua DPRD Pekanbaru, direktur P.T Peputra Maha Jaya, dan perwakilan salah seorang
12
Ibid. Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid 13
Universitas Sumatera Utara
pedagang pasar Senapelan. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa segala bentuk aktivitas pembangunan pasar Senapelan akan dihentikan hingga kesepakatan hargai kios tercapai, dan bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat tersebut akan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia. 16 Kesepakatan yang telah dibuat tersebut awalnya dapat dijalankan dengan baik, tetapi memasuki tahun 2004, kesepakatan tersebut mulai goyah dan berakhir dengan aksi penggusuran pasar Senapelan dari kios mereka yang lama, tanggal 15 dan 18 April 2004. Aksi penggusuran tersebut diwarnai dengan bentrokan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan pedagan pasar Senapelan yang didukung oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Bentrok tersebut berakhir dengan kekalahan di pihak pedagang dan penangkapan sejumlah pedagang dan aktivis yang turut serta memperjuangkan nasib pedagang. 17 Tindakan pembongkaran kios yang pertama, aparat berhasil mengamankan sejumlah pedagang karena dianggap menghalangi upaya pembongkaran kios. Tindakan pembongkaran ini sempat terhenti karena ratusan pedagang yang kebanyakan adalah
ibu-ibu
menghalangi
masuknya
buldozer.
Tindakan
pembongkaran itu kemudian dilanjutkan pada tanggal 18 April 2004, kali ini Pemkot
berhasil
meratakan
seluruh
bangunan
kios.
Dalam
tindakan
pembongkaran ini, aparat kembali menahan sejumlah orang terdiri dari aktivis dan pedagang, karena dituduh memprovokasi massa. 18 Pada akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan 16
Ibid Ibid. 18 Lihat Bintan Pos, “Para Pedagang dan Aktivis Ditangkap Satpol PP” 19 April 2004, hal 5 17
Universitas Sumatera Utara
ukuran 3x2 m2 di jalan teratai Pekanbaru. Tempat penampungan sementara tersebut disediakan sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang disediakan gratis bagi pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS ternyata harus diperoleh pedagang dengan cara membeli atau menyewa kembali kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam dari pedagang terhadap kebijakan Pemkot. Kenyataan ini diperparah lagi dengan kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan Pemkot kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak dipakai dan tidak mencukupi untuk menampung pedagang korban penggusuran. 19 Dengan terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi penentangan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir, malahan semakin gencar, Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir tahum 2004, para pedagang dengan dibantu oleh beberapa elemen masyarakat melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru. Aksi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari aksi turun kejalan, mendirikan tenda darurat, penahanan, sampai pada aksi membakar salah satu capres tertentu sebagai bentuk kekecewaan terhadap kader dari parpol capres tersebut, yang menjadi ketua DPRD Pekanbaru. 20 Ratusan pedagang pasar Senapelan melakukan aksi memprotes kebijakan Pemkot yang tetap melanjutkan pembangunan pasar Senapelan tersebut. Mereka yang terdiri dari pedagan pasar, mahasiswa, dan LSM berkeinginan untuk bertemu dengan Wali Kota Pekanbaru dan menuntut agar menghentikan sementara pembangunan pasar tersebut sampai adanya kesepakatan harga antara pedagan 19 20
Ibid. Lihat Tempo,” Kemarahan yang Berbuah Pembakaran Foto Calon Presiden” 10 Juni 2004
Universitas Sumatera Utara
dengan investor penyelenggara pembangunan tersebut. Akan tetapi, aksi ini harus berakhir dengan kekecewaan dan di lampiaskan dengan mendirikan tenda darurat di depan kantor Wali Kota Pekanbaru. 21 Aksi memprotes kebijakan Pemkot yang dilakukan oleh pedagang Senapelan tidak hanya dilakukan di Kantor Wali Kota Pekanbaru, aksi ini juga dilakukan di gedung DPRD Pekanbaru 22. Aksi protes ke gedung DPRD Pekanbaru bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator mempertemukan pedagang dengan investor dan Wali Kota Pekanbaru. Tetapi tindakan ini kembali gagal mendapatkan hasil, karena DPRD hanya berjanji untuk merealisasikan saja, akan tetapi janji tersebut tidak pernah terwujud. Tidak adanya pertemuan yang terjadi antara pedagang Senapelan, investor dan Wali Kota, menjadikan pedagang semakin frustasi dan kecewa, bahkan para pedagang sempat menyandera ketua DPRD Pekanbaru selama beberapa jam, untuk kemudian dilepaskan kembali. 23 Bentuk solidaritas antara sesama kaum tertindas dilakukan oleh pedagang. Para pedagang pasar Senapelan menuntut beberapa orang teman mereka yang ditahan dalam aksi protes yang terjadi beberapa waktu lalu supaya dibebaskan. Para pedagang meminta pihak kepolisian untuk membebaskan mereka dari tahanan karena mereka harus mencari nafkah. Selain itu mereka juga meminta polisi agar mengusut tuntas dan menghukum Oknum Satuan Polisi Pamong Praja yang melakukan tindak kekerasan di saat aksi protes pedagang berlangsung. 24
21
Lihat Bintan Post, “Warga Bermalam di Kantor Wali Kota” 19 April 2004 Lihat Media Indonesia, ”Aksi Terus Berlanjut” 09 Juni 2004 23 Ibid 24 Lihat, Kompas, ”Bentrok Satpol PP dengan Pedagang Senapelan”, 7 Juni 2004. 22
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah Yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dominasi kekuasaan terhadap pedagang Pasar Senapelan ? 2. Bagaimana perlawanan masyarakat terhadap dominasi kekuasaan tersebut ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui bagaimana dominasi yang dilakukan oleh pemkot terhadap pedagang pasar Senapelan Kota Pekanbaru ? 2. Untuk mengetahu bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh para pedagang Senapelan terhadap dominasi kekuasaan pemkot Pekanbaru?
1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah untuk: a. Bagi Pemko Pekanbaru Riau agar dapat menjadikan pelajaran untuk mengambil dan melaksanakan kebijakan yang lebih arif dan bijaksana untuk kasus yang serupa di kemudian hari. b. Bagi Masyarakat/Pedagang agar dapat memahami bentuk dominasi kekuasaan oleh pemerintah dan juga mengetahui bentuk perlawanan yang ada.
Universitas Sumatera Utara
c. Bagi Akademisi dapat menjadi khasanah atau sumber referensi baru untuk memahami konflik yang terjadi di dalam masyarakat khususnya konflik antara pemerintah kota dan pedagang pasar tradisional. d. Bagi penulis sebagai salah satu media untuk mengasah kemampuan menulis dan mengaplikasikan teori-teori yang pernah didapat.
1.5. Kerangka Teori Konflik merupakan peristiwa yang seringkali terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan. Berkaitan dengan konflik, Neil J. Smelser menyatakan bahwa : “Teori konflik modern membuat asumsi sebagai berikut: a) yang utama pada masyarakat yang akan datang adalah perubahan, konflik dan kekerasan’ b) struktur masyarakat didasarkan pada dominasi oleh beberapa kelompok terhadap kelompok lain; c) masing-masing kelompok dalam masyarakat memiliki kecenderungan perhatian umum, apakan para anggotanya memahami atau tidak; d) ketika orang-orang memahami kecenderungan umumnya, mereka mungkin membentuk kelas sosial, dan e) intensitas konflik kelas bergantung pada adanya kepastian politik dan kondisi sosial.” 25 Sementara , Dahrendorf dalam Johnson (1986) menjelaskan bahwa; 1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial ada di mana-mana, 2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada di mana-mana, 3. Setiap elemen dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan, 4. Setiap masyarakat di dasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. 26
Dengan mendasarkan pada pemikiran Dahrendorf, Ian Craib mengurai pemikiran konflik dalam memandang fenomena sosial sebagai berikut:
25
Lihat Muchtar, Sunyoto Usman dan Lambang Trijon, Konflik Dalam Transportasi Kota di Kota Malang, Yogyakarta: Fisipol UGM, 2001, hal. 41 26 Lihat Johnson dan Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia
Universitas Sumatera Utara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kepentingan adalah unsur dari kehidupan sosial, Kehidupan sosial perlu terbagi, Kehidupan sosial melahirkan oposisi, Kehidupan sosial melahirkan konflik struktural Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian-bagian Diferensiasi sosial melibatkan kekuasaan Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksikontradiksi, dan 8. Sistem-sistem sosial cenderung untuk berubah. 27
Dilihat dari asal usul terjadinya konflik, Soekanto menyatakan bahwa konflik mencakup suatu proses di mana bermula dan pertentangan hak atau kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya di mana salah satu pihak berusaha menghancurkan pihak yang lain. 28 Sementara K. Sanderson lebih menekankan pada bentuk-bentuk
konflik:
“konflik
adalah pertentangan
kepentingan antara individu dan kalangan berbagai individu dan kelompok sosial, baik yang mungkin terlihat secara gamblang ataupun tidak, baik yang mungkin pecah menjadi tertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun tidak”. 29 Senada dengan penjelasan di atas, Dahrendorf berkesimpulan bahwa: Pertama. hubungan wewenang adalah suatu bentuk hubungan antara supra- dan subordinasi, hubungan: atas-bawah, Kedua, di mana terdapat hubungan wewenang, di situ unsur atas larangan-larangan-mengendalikan perilaku unsur bawah (subordinat), Ketiga, perkiraan demikian secara relativ lebih dilekatkan kepada posisi sosial daripada kepribadian individual. Keempat, berdasarkan pada kenyataan ini, hubungan wewenang selalu meliputi spesifikasi orang-orang yang harus
tunduk kepada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang mana saja
pengendalian itu diperbolehkan. Kelima, wewenang adalah sebuah hubungan 27
Lihat Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, hal. 22 Lihat Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, hal, 37 29 Lihat Stephen Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Jakarta: Raja Grafindo, 1995, hal. 63. 28
Universitas Sumatera Utara
yang sah; tidak tunduk kepada perintah orang yang berwenang dapat dikenai sangsi tertentu. 30 Baik Smelse maupun Dahrendorf menyatakan bahwa konflik sosial terjadi antara dua kelompok yang berbeda kepentingan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang ada. Satu kelompok berusaha untuk mengendalikan kelompok yang lainnya. Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukakn oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superdinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat.31
1.5.1. Teori Dominasi Kekuasaan Mosca dalam karyanya The Rulling Class Yang dikutikp oleh Sastroandmodjo dalam Perilaku Politik menyatakan: “Dalam setiap masyarakat, … terdapat dua kelas penduduk. Satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama” 32. Pandangan ini menekankan, bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol, yaitu kelas yang memerintah dan yang diperintah, kelas pertama yangmenguasai politik, yakni memonopoli kekuasaan sekaligus menguasai hasilhasilnya. Kelas yang kedua sebaliknya, mereka yang jumlahnya lebih besar tetapi
30
Lihat Ralf Dahrendorf, Konflik Dalam Masyarakat Industri; Sebuah Analisa-Kritik, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1986, hal. 67 31 Ibid. 32 Lihat Satroadmodjo, Perilaku Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 1995, hal 19
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kekuasaan atau fungsi politik, mereka diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama dengan cara-cara tertentu 33. Mengenai konflik sosial, para ahli ilmu sosial memiliki pandangan penekanan yang berebeda. Setiap konflik yang terjadi di antara kelas atau kelompok yang ada dimasyarakat memiliki sebab dan akibat yang beragam, ada yang dikarenakan oleh status, kekuasaan, kekayaan, usia , peran menurut gender, dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Hal ini dapat berakibat pada terbentuknya suatu tatanana atau struktur sosial, terjadinya kekerasan, penindasan, dan bahkan peperangan. 34 Marx mendefinisikan kelas sebagai kelompok individu atau kelompok kesatuan yang pada dasarnya bukan ditentukan semata-mata oleh tempatnya dalam proses produksi. Tetapi dari kedudukan ekonomi dapat juga ditentukan kelas sosialnya. Marx menyatakan bahwa penyebab penugasan kelas tertentu terdapat kelas lainnya dikarenakan oleh hubungan produksi yang tidak seimbang (surplus value) dalam suatu hubungan produksi yang kapitalistik. Ekonomi politik merupakan penekanan khusus yang dibicarakan Marx dalam pertentangan ini. Marx menganggap perbincangan mengenai modal dan kerja, dan antara modal dan tanah perlu dijelaskan secara rinci, yang belum pernah disinggung dalam setiap perbincangan ekonomi dan politik 35. Marx menjelaskan, bahwa semakin miskin keadaan pekerja atau tenaga kerja, semakin banyak kekayaan yang diproduksikannya. Semakin banyak kekayaan yang diproduksikannya, semakin besar pula kekuasaan yang terbentuk
33
Ibid., hal. 20 Ibid. 35 Lihat Antonio Gidens dan David Held, Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hal. 39 34
Universitas Sumatera Utara
dan semakin luas pula pengaruh kekuasaan tersebut. Pekerja menjadi komoditi murah. Semakin murah harga komoditi itu semakin banyak barang yang dihasilkannya. Devaluasi dunia manusia semakin membesar, hal mana berhubungan lansung dengan peningkatan nilai benda. Kerja tidak hanya menciptakan benda-benda, tetapi juga menciptakan kerja itu sendiri dan pekerja sebagai komoditi dalam proposisi yang sama dengan produksi barang-barang 36. Lain halnya dengan Marx, para pengikut Marx (dikenal dengan kaum Marxis, menyatakan bahwa faktor ekonomi jelas mempunyai peranan yang menentukan terhadap cara produksi atau terhadap susunan sosial. Tetapi faktor yang bersifat politis dan idiologis (super struktur) juga mempunyai peranan yang penting. Kelas sosial ditentukan oleh tempatnya dalam kesatuan praktek-praktek sosial dalam arti menurut tempatnya dalam kesatuan pembagian kerja yang mencakup hubungan-hubungan politik dan idiologi. Tempat ini berhubungan dengan determinasi kultural dari kelas, yakni cara yang ditentukan oleh struktur (hubungan produksi, dominasi, politik, idiologi) yang berpengaruh terhadap praktek-praktek kelas 37. Dalam The communist Manifesto, Marx menyatakan: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin peusahaan dan orang luntang-lantang, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu sama lain, yang berlangsung tak putus-putusnya dalam suatu pertarungan yang kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas-kelas yang bercekcok tersebut” 38.
36
Ibid, hal, 40 Ibid 38 Johnson, Op., Cit., hal, 43 37
Universitas Sumatera Utara
Pemilikan atau kontrol terhadap alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal sampai ke kapitalisme modern. Walaupun demikian, karakteristik dari kelas yang berbeda-beda dan sifat hubungan sosial diantara kelas-kelas tersebut akan berbeda dalam masyarakat yang berbeda dan tahap yang berbeda pula. 39 Kelas penguasa adalah yang mengekploitasi dalam sistem hubungan produksi yang diajukan (terutama jka ada hubungan-hubungan produksi lain dalam masyarakat itu) melalui totalitas kadar dan bentuk intervensi Negara dalam jangka waktu tertentu. Kelas pengasa tidak harus merupakan kelas dominant secara ekonomi dalam arti kelas yang mengeksploitasi menurut cara produksi dominant, di mana terdapat berbagai cara produksi, seperti pertanian, subsistensi, feodalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya 40. Mengenai kelas atau kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Mosca menjelaskan, seperti yang dikutip dalam Soekanto. Kelas pertama (berkuasa) biasanya terdiri dari orang-orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua fungsi-fungsi politik,
memonopoli kekuasaan
dengan
menikmati segala
keuntungan dari kedudukan sebagai pemegang kekuasaan. Kelas yang kedua (dikuasai), terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh kelas pertama, dengan cara-cara yang kurang legal, sewenang-wenang atau dengan kekerasan. Kelas kedua tersebut meyediakan sarana untuk dapat hidup dan bertahan, serta hal-hal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik. 41
39
Ibid. Antonio Gidens, Op., Cit., hal. 45 41 Soerjono Soekamto, Op., Cit., hal. 38 40
Universitas Sumatera Utara
Sementara Weber, mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas, selain prestise dan kekuasaan politik. Kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Weber menyatakan bahwa jika ingin berbicara tentang suatu kelas, tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang: 1) sejumlah orang yang sama-sama memiliki suatu komponen tertentu yang merupakan sumber dalam kesempatan hidup mereka, 2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa pemilikan benda-benda dan kesempatankesempatan untuk memperoleh pendapatan, 3) hal itu terlihat dalam kondisikondisi komoditi atau pasar tenaga kerja. 42 Tidak seperti kelas ekonomi, kelompok (kelas) status berlandaskan pada ikatan subyektif antara para anggotanya, yang terikat menjadi satu karena gaya hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh perkawinan di dalam kelompok itu sendiri, serta oleh perasaan-perasaan akan jarak sosial dari kelompok-kelompok status lainnya. Mereka saling mengenal dan menyebut masing-masing sebagai “orang kita” dan berjuang mempertahankan perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran 43. Selain posisi ekonomis dan kehormatan kelompok status, dasar yang lain untuk stratifikasi sosial adalah kekuasaan politik. Bagi Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak seseorang meskipun mendapat tantangan dari orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan seseorang, khususnya dalam mempengaruhi perilaku. Kekuasaan tersebut digunakan terus-menerus 42 43
Johnson, Op., Cit., hal. 36 Ibid
Universitas Sumatera Utara
untuk menanamkan suatu kepercayaan akan haknya untuk berbuat demikian, berusaha untuk menegakkan legitimasi kekuasaan sebagai batu loncatan bagi peningkatan posisi ekonomi atau status44. Menurut kaum Marxis, kelas penguasa ketika berkuasa tidak mutlak membuat semua keputusan bagi masyarakat sebagai suatu unit yang kompak. Kekuasaan kelas penguasa dilaksanakan melalui seperangkat mekanisme yang secara obyektif saling berkaitan tetapi tidak harus menyatu secara pribadi. Melalui cara ini, teknik eksploitasi yang ada direproduksi. Kelas penguasa bukanlah suatu subyek kekuasaan yang bersatu. Kekuasaan diwujudkan dalam proses sosial yang obyektif, yang memelihara dan memperluas cara produksi tertentu serta dijamin oleh pemerintah atau Negara 45. Gramsci, ia menyatakan bahwa kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu: melalui cara dominasi 46 (dominio) atau paksaan (coercion) dan melalui kepemimpinan intelektual dan moral, yang disebut dengan hegemoni 47. Hegemoni merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, pengaruh dari jiwa ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik, dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan pada moral. Upaya untuk menggiring individu agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang telah ditentukan, sebuah rantai kemenangan yang di 44
Ibid., hal. 37-38 Antonio, Op., Cit., hal. 27 46 Dominasi diartikan sebagai penguasaan, penempatan posisi bagus dan kuat; pengaruh besar (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-barry, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Arkola, Surabaya). 47 Berasal dari bahasa Yunani kuno disebut eugomoni, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi Negara-negara kota lainnya (Franz Magnis-Suseno, 2003, Dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka, Gramedia, Jakarta) 45
Universitas Sumatera Utara
dapat melalui mekanisme consensus dengan mekanisme institusi yang ada dimasyarakat. Perlu diingat, bahwa Gramsci beranggapan hegemoni bukan hanya kepemimpinan intelektual dan moral saja tanpa diikuti praktek dominasi atau paksaan. Akan tetapi dapat terjadi sebagai kepemimpinan intelektual dan moral sekaligus diiringi dengan praktek dominasi atau paksaan. 48
I.5.2. Teori Perlawanan Kekuasaan,
sebagaimana
yang
dikemukakan
Weber
merupakan
kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah- tengah mereka. 49 Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau sosial movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya. 50 Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian, yaitu: perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan
48
Lihat Patria dan Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 44. 49 Lihat Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi Tentang Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, 2002, hal. 19 50 Lihat Tarrow, Power In Movement, Social Movement, Collective Action and Politics, Sidney: Cornel University
Universitas Sumatera Utara
perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript). 51 Kedua kategori tersebut, oleh Scott, dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk,
karekteristik,
wilayah
sosial
dan
budaya.
Perlawanan
terbuka
dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas-kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat. Sementara perlawanan sembunyi- sembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas-kelas subordinat dengan kelas-kelas superdinat. Untuk melihat pembedaan yang lebih jelas dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, organik, sistematik dan kooperatif. Kedua, berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri. Ketiga, berkonsekuensi revolusioner, dan/atau Keempat, mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi. 52 Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan dan lain- lain merupakan konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superdinat. 53 Menurut Fakih, gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada perubahan, dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja menurut prosedur baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul saat itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak memiliki kepemimpinan formal, seorang aktivis gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan karena keberhasilannya mempengaruhi massa dengan kepiawaiannya
51
Lihat James C. Scoot, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 69 52 Ibid, hal. 58 53 Tarrow, Op., Cit., hal. 37
Universitas Sumatera Utara
dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta memiliki rencana yang paling efektif dalam mencapainya. 54 Soekanto dan Broto Susilo memberikan empat ciri gerakan sosial, yaitu: Pertama, tujuannya bukan untuk mendapatkan persamaan kekuasaan, akan tetapi mengganti kekuasaan. Kedua, adanya penggantian basis legitimasi, Ketiga, perubahan sosial yang terjadi bersifat massif dan pervasive sehingga mempengaruhi seluruh masyarakat, dan Keempat, koersi dan kekerasan biasa dipergunakan untuk
menghancurkan rezim lama dan mempertahankan
pemerintahan yang baru. Dan J. Smelser menyatakan, bahwa gerakan sosial ditentukan oleh lima faktor. Pertama, daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural (structural strain) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan. 55 Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga dapat menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat menguntungkan tersebut. Keempat, faktor yang dapat memancing tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali, seperti adanya rumor atau isu-isu yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan. Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk 54
Zubir, Op., Cit., hal. 25 Lihat Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 48 55
Universitas Sumatera Utara
melakukan tindakan tindakan yang telah direncanakan. 56 Sedangkan perlawanan sembunyi-sembunyi dapat dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, Tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual, Kedua, Bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, Ketiga, Tidak berkonsekuensi revolusioner, dan; atau Keempat, Lebih akomodatif terhadap sistem dominasi. Oleh karena itu, gejala- gejala kejahatan seperti: pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi dibelakang membangkang) mempakan perwujudan dari perlawanan sembunyi sembunyi. Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah sistem dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam sistem terse but sekarang, minggu ini, musim ini. Percobaan- percobaan untuk menyedot dengan tekun dapat memukul balik, mendapat keringanan marjinal dalam eksploitasi, dapat menghasilkan negosiasi- negosiasi tentang batas- batas pembagian, dapat mengubah perkembangan, dan dalam peristiwa tertentu dapat menjatuhkan sistem. Tetapi, menurut, semua itu hanya mempakan akibat- akibat yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan hidup dan ketekunan. 57 Bagaimanapun, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas- kelas lainnya) akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakansingkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orangorang
yang
mengadakan perlawanan.
Perlawanan
ini dilakukan untuk
mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komoditi kecil atau pekerja, mungkin dapat memaksa beberapa orang dari 56 57
Ibid, hal. 48-49 James, Op., Cit., hal. 60-61
Universitas Sumatera Utara
kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya. 58 Scott menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi- sembunyi) tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana- mana, melawan efek-efek pembangunan kapitalis asuhan negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas- komunitas kecil dan pada umumnya tanpa sarana- sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif, menggunakan sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan birokratis. Tetapi merupakan suatu koordinasi dengan aksi- aksi yang dilakukan dalam komunitas dengan jaringan jaringan informasi yang padat dan sub kultursub kultur perlawanan yang kaya. 59
1.5.3. Teori Resolusi Konflik Konflik merupakan faktor yang turut membangun perkembangan masyarakat. Konflik akan bisa membangun solidaritas kelompok dan hubungan antar warga Negara maupun antar kelompok. Konflik tidak bisa dihindari oleh setiap aktor, namun yang paling penting adalah cara untuk menyelesaikan konflik agar ancaman (threat) bias menjadi kesempatan (oppurtunity) dan bahaya timbulnya konflik terbuka secara meluas dilokalisasi dengan membangun suatu model pencegahan dan penanggulangan dini. 60 Suatu kebiasaan khas dalam konflik adalah memberikan prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya sendiri. Jika kepentingan si A 58
Lihat James C. Scoot, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 27 Ibid. 60 Riza Sihbudi, Op., Cit., hal. 66 59
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan kepentingan B, A cenderung mengabaikan kepentingan B, atau secara aktif menghancurkannya. Menurut Miall, pihak pihak yang berkonflik biasanya cenderung melihat kepentingan mereka sebagai kepentingan yang bertentangan secara diametrikal, oleh karena itu, berkesimpulan bahwa hasil yang diperoleh adalah hasil kalah- menang. 61 Untuk itu, menurut Dahrendorf, perlu diadakan suatu peraturan pertentangan yang mensyaratkan tiga faktor. Pertama, kedua kelompok yang terlibat dalam pertentangan harns mengakui pentingnya dan nyatanya situasi pertentangan dan dalam hal ini, mengakui keadilan fundamental dari maksud pihak lawan. Pengakuan adilnya maksud lawan tentu saja bukan berarti bahwa subtansi kepentingan lawan harns diakui sebagai adil dari awal. Pengakuan di sini berarti bahwa kedua kelompok yang bertentangan menerima untuk apa pertentangan itu, yakni menerimanya sebagai suatu hasil pertumbuhan yang tak terelakkan. Syarat Kedua, adalah organisasi kelompok- kelompok kepentingan. Selama kekuatan- kekuatan yang bertentangan itu terpencar- pencar dalam kesatuan yang kecil yang masing- masing erat ikatannya, peraturan pertentangan tidak akan efektif. Dan Ketiga, adanya keharnsan bagi kelompok- kelompok yang berlawanan dalam pertentangan sosial menyetujui aturan formal tertentu yang menyediakan kerangka hubungan bagi mereka. 62 Berdasarkan buku panduan pengelolaan konflik yang dikeluarkan oleh The British Council, bahwa penyelesaian suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
61
Hugh Miall, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah dan Mengubah Konflik BersumberPolitik, Sosial, Agama, dan Ras, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, hal. 18 62 Dahrendorf, Op., Cit., hal. 73
Universitas Sumatera Utara
1. Negosiasi, suatu proses untuk memungkinkan pihak- pihak yang berkonflik untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka. 2. Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihak pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri. 3. Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian. 63
Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah membantu pihakpihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero- sum (keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non- zero- sum (di mana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau keduanya sama- sarna tidak memperoleh hasil) dan kemudian membantu pihakpihak yang berkonflik berpindah ke arah hasil yang positif. Untuk menciptakan hasil non- zero- sum, mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi menyelesaikan konflik. 64 Konsiliasi, tidak melibatkan pihak manapun dalam menyelesaikan suatu pertentangan. Konsiliasi lebih cenderung pada upaya damai yang dilakukan oleh pihak pihak yang bertentangan terhadap pertentangan yang mereka alami. Menurut Dahrendorf, ketiga bentuk penyelesaian pertentangan tersebut, yakni konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi dapat dilaksanakan sebagai peraturan pertentangan secara berurutan atau dapat pula diterapkan secara terpisah- pisah menurut situasi yang dihadapi. 65 Menurut Dahrendorf, mediasi merupakan bentuk yang paling ringan dari campur tangan pihak luar dalam menyelesaikan pertentangan. Kedua kelompok
63
Ibid. Hugh Miall, Op., Cit., hal. 73 65 Ibid, hal. 75 64
Universitas Sumatera Utara
yang bertentangan sepakat untuk berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta memberikan nasihat. Akan tetapi, nasihat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kelompok yang bertentangan. Sekilas, hal ini hanya menjanjikan pengaruh sedikit, tetapi dari pengalaman di berbagai bidang kehidupan sosial menunjukkan bahwa mediasi merupakan suatu tipe penyelesaian pertentangan yang berhasil. 66 Berkaitan dengan keberhasilan mediasi, Kerr dalam Dahrendorf, mengungkapkan lima hal positif dari model ini: Pertama, mengurangi sikap irrasional, Kedua, menyingkirkan sikap non- rasional, Ketiga, menjajaki penyelesaian,
Keempat,
membantu
pengenduran
perlahan,
dan
Kelima,
meningkatkan biaya pertentangan. Dahrendorf (1986) juga mensyaratkan empat hal sebagai syarat wajib dipenuhi oleh pihak ketiga:
1. Otonom, dibekali hak untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain. 2. Memegang posisi monopoli, merupakan satu- satunya institusi dalam suatu perserikatan (satu- satunya kelompok di luar dua kelompok yang bertikai). 3. Perannya harns dipatuhi, keputusan- keputusan yang telah dicapai harns mengikat kedua kelompok kepentingan.Demokratis, kedua kelompok yang bertentangan di dengar dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat sebelum keputusan diambil. 67
Berkaitan dengan arbitrasi, Lockwood mengandung dua konsep, yaitu konsep politik dan pengadilan. Konsep pertama memberikan kesan bahwa adalah menjadi tugas untuk menemukan titik kompromi yang dapat dilaksanakan di antara isu- isu yang bertentangan. Sedangkan konsep kedua melihat pertentangan dari sudut pandangan hukum, yakni memberikan tugas kepada arbitrator untuk 66 67
Dahrendorf, Op., Cit., hal 86 Ibid. hal. 88
Universitas Sumatera Utara
menilai kebaikan isu yang dipertentangkan itu menurut ukuran yang pasti, benar atau salah 68.
1.6. Metode Penelitian Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang digunakan dalam proses penelitian. Metode berguna untuk memberikan ketepatan, kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi. 69 Untuk itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai kebenaran ilmiah, yakni: jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, pemilihan informan, dan teknik analisa data.
1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan penekanan pada deskriptif dan analitis. Bogdan dan Taylor mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata- kata baik tertulis maupun lisan dan pelaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif ini dipilih karena dapat menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden serta lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan pola- pola nilai yang dihadapi 70 Deskriptif - analitis adalah suatu upaya untuk menggambarkan hasil dari data data yang diperoleh di lapangan, baik secara lisan maupun tulisan untuk kemudian dianalisis sebagai suatu kesimpulan
68
Ibid. hal. 97-98 Lihat Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: CV. Mandar Maju, 1996, hal. 17 70 Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 69
Universitas Sumatera Utara
penelitian. 71 Penelitian ini berusaha menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk dominasi kekuasaan yang terjadi terhadap pedagang, bagaimana perlawanan yang dilakukan oleh pedagang, dan upaya seperti apa yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Sedangkan pedekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan studi kasus (case study), yakni suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. 72
1.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini diadakan di kelurahan Padang Bulan kecamatan Senapelan kota Pekanbaru, propinsi Riau. Dipilihnya lokasi ini karena beberapa pertimbangan, diantaranya: Pertama. lokasi ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki pasar tradisional yang cukup besar dan telah lama berdiri kurang lebih tiga puluh tahun dengan mayoritas pedagang yang memiliki modal ekonomi menengah kebawah, lokasi penelitian berada di tengah kota, ibukota propinsi Riau (sebagai pusat pemerintahan), sangat berpengaruh dan menjadi model bagi daerah- daerah lainnya di propinsi Riau, Ketiga. merupakan pusat ekonomi menengah ke bawah sehingga sangat sesuai bagi terjadinya konflik vertika4 dan Keempat. lebih mudah dijangkau dan dekat dengan akses informasi lainnya, yang berhubungan dengan penelitian ini.
71
Kartini Kartono, Op., Cit., hal. 21 Lihat Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hal. 26 72
Universitas Sumatera Utara
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalarn penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun cara-cara tersebut dapat dibagai atas tiga bagian, yakni melalui: observasi atau pengamatan, dan dokumentasi. Observasi berfungsi sebagai data primer, sedangkan dokumen dokumen berfungsi sebagai data sekunder. 73
1.6.3.1. 0bservasi Observasi adalah teknik atau cara pengumpulan data melalui pengamatan terhadap fenomena- enomena sosial dan gejala- gejala alam. Menurut Faisal, pengamatan dapat juga dilakukan terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, dan penampilan tingkah laku seseorang. 74 Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung. Di mana peneliti melakukan kunjungan langsung ke lapangan berkaitan dengan perilaku atau kondisi lingkunngan yang relevan dengan maksud penelitian ini sebagai tambahan dimensi- dimensi baru dalam konteks memahami fenomena yang diteliti tersebut.75 Dalam hal penelitian ini, observasi dilakukan pada saat pedagang sedang melakukan transaksi jual beli di pasar Senapelan. Kebanyakan pengamatan ini dilakukan pada waktu siang hari. Dengan harapan, observasi yang dilakukan akan lebih menyeluruh, karena dapat melihat kondisi pedagang secara holistik ketika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat lainnya, dan dengan sesama 73
Lihat Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, hal. 27 Ibid. 75 Lihat Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, Jakarta: Rajawali Pers, 2003, hal. 23 74
Universitas Sumatera Utara
pedagang dari beragam tingkatan penghasilan dan modal yang mereka miliki. Selain itu juga dilakukan pada waktu peneliti melakukan kegiatan wawancara di lapangan dengan pedagang. Dan kebanyakan observasi ini difokuskan Pada kondisi sosial yang dihadapi pedagang ketika mereka harus mencari nafkah ditempat yang ''tidak memadai".
1.6.3.2. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumen dokumen yang dianggap penting dan berkaitan dengan penelitian ini. Dokumen dokumen dalam penelitian ini berupa teks- teks yang dapat ditafsirkan lebih lanjut. Teks- teks ini berbentuk arsip, statistik, hasil laporan, buku- buku, koran harian, website, ataupun hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap permasalahan (berkaitan) dengan penelitian ini. 76 Dokumen- dokumen berupa buku berguna untuk mendapatkan data tentang sejarah kota Pekanbaru dan sejarah Senapelan. Untuk mengisi data- data statistik yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan buku- buku yang berasal dari Biro Pusat Statistik sebagai penunjangnya. Selain itu, juga terdapat data dari koran harian dan website yang digunakan sebagai penunjang kekuatan informasi dalam penelitian ini.
1.6.5. Teknik Analisa Data Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah didapat, baik yang diperoleh dari wawancara, pengamatan, atau pun dari
76
Ibid. hal. 23-24.
Universitas Sumatera Utara
studi terhadap dokumen-dokumen. Keseluruhan data yang di dapat tersebut dirangkum dan dikategorisasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya, kategori kategori yang telah diklasifikasikan tersebut dikontruksikan dengan pendekatan kualitatif dalam sebuah deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh. 77
1.7. Sistematika Penulisan Tulisan penelitian ini akan terdiri dari 4 bagian (BAB) dengan urutan penulisan sebagai berikut: •
Bab I Pendahuluan; akan mengulas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan peneilitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
•
Bab II Dominasi Kekuasaan Pemko Terhadap Pedagang Senapelan; bab ini akan memaparkan deskripsi lokasi Pasar Senapelan, dan bagaimana bentuk-bentuk dominasi kekuasaan yang terdapat pada kasus peremajaan pasar Senapelan, Pekanbaru.
•
Bab III Perlawanan Pedagang Senapelan Terhadap Pemko; sedangkan pada bagian ini menceritakan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan dan juga akan membahas resolusi konflik terhadap masalah yang terjadi.
•
77
Bab IV Penutup: Kesimpulan dan saran menjadi isi pada bagian ini.
Ibid. hal. 31
Universitas Sumatera Utara