BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini gelombang unjuk rasa anti Nurdin Halid gencar terjadi. Masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai pecinta sepak bola tanah air melakukan aksi demonstrasi menuntut Nurdin Halid yang kini menjabat sebagai Ketua Umum PSSI agar segera turun dari jabatannya. Masyarakat menilai selama ini belum ada prestasi yang bisa dibanggakan. Jangankan prestasi di level Asia, level Asia Tenggara saja Indonesia masih kalah bersaing dengan negara tetangga. Akibat minimnya prestasi timnas saat PSSI dipimpin Nurdin, tuntutan agar ia mundur sebagai ketua umum PSSI sudah dan masih terus disuarakan oleh banyak kalangan di berbagai penjuru tanah air. Ribuan suporter dari berbagai klub yang ada di Indonesia juga turun ke jalan menuntut agar segera dilakukannya Revolusi besar-besaran di tubuh PSSI. Tuntutan mereka tidak jauh berbeda dengan demonstran lainnya yang meminta Nurdin Halid mundur dari Ketua Umum PSSI. Selain faktor prestasi Nurdin Halid juga pernah tersangkut beberapa kasus misalnya kasus penyelundupan gula impor ilegal. Ia juga ditahan atas dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng. Akibatnya hampir dua tahun lamanya Nurdin mendekam di sel penjara. Namun hal tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk berhenti menjabat Ketua Umum PSSI. Meskipun banyak kalangan yang mengkritiknya, Nurdin Halid tetap ngotot untuk terus memimpin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI.
2
Demonstrasi anti Nurdin Halid mencapai puncaknya ketika ribuan suporter mendatangi kantor PSSI di Senayan, Jakarta. Mereka berorasi menuntut Nurdin Halid beserta anggotanya ditangkap. Massa yang berasal dari Bonek Surabaya dan Pasti Mania dari Ngawi, Jawa Timur itu terus menyebut Nurdin Halid sebagai penjahat sepakbola. Tidak hanya berorasi, para demonstran ini menyegel Kantor PSSI di Kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Selain di Jakarta, aksi demo menolak Nurdin Halid juga terjadi di beberapa daerah diantaranya Aceh, Medan, Padang, Palembang, Semarang, Serang, Yogyakarta, Samarinda, Pontianak, Jepara, Solo, Surabaya, Malang, dan Makassar. Tuntutan demonstran sama yakni meminta Nurdin Halid mundur dari Ketua Umum PSSI serta dilakukannya revolusi PSSI. Penolakan terhadap Nurdin Halid juga muncul di dunia maya melalui gerakan 1 juta facebooker. Tidak hanya dari kalangan suporter dan facebooker saja, beberapa pejabat negara juga menyuarakan hal yang sama meminta Nurdin mundur dari jabatannya. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan seperti yang dikutip pada Koran Tempo Makassar edisi Kamis, 3 Maret 2011 mendesak Nurdin Halid agar legowo turun dari jabatannya. Menurut Mangindaan, polemik persepakbolaan yang terjadi saat ini akibat Ketua Umum PSSI yang terus didesak tapi berusaha mempertahankan diri dengan berbagai cara. Mangindaan meminta Nurdin agar mendengarkan suara kalangan bawah. Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang juga Anggota Komisi X Angelina Sondakh menilai sudah waktunya Nurdin Halid
3
mundur. Angelina mengatakan orang yang berhasil akan diberi tepuk tangan ketika naik panggung, begitu pula saat turun (dikutip dari metrotvnews.com). Kecaman terhadap Nurdin Halid tidak hanya terjadi kali ini saja. Pada Piala AFF yang lalu beberapa fans tim nasional menyayangkan sikap Nurdin yang membawa tim Garuda berkunjung ke rumah Ketua Umum Partai Golkar padahal turnamen tersebut belum selesai. Banyak pihak menilai tindakan itu sebagai bentuk politisasi terhadap tim nasional. Sikap Nurdin menunjukkan kalau Partai Golkar memiliki peran yang sangat besar terhadap apa yang telah dicapai oleh Tim Nasional. Namun, bukannya mendapat pujian hal ini memancing reaksi dari para suporter timnas. Mereka menganggap kegagalan timnas pada partai Final Piala AFF lalu ada hubungannya dengan seringnya rombongan timnas dibawa ke berbagai tempat seperti kediaman Aburizal Bakrie, kunjungan ke salah satu Pondok Pesantren. Hal tersebut tentunya dapat mengganggu konsentrasi para pemain dan pelatih. Belakangan ini Nurdin Halid kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan media massa menyusul adanya pengakuan dari Hamka Yandu bahwa Nurdin Halid ikut menerima suap dari Miranda Gultom. Bahkan beberapa orang yang tergabung dalam kelompok Save Our Soccer
meminta
Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Nurdin Halid sebagai tersangka kasus korupsi. Dari catatan mereka, Nurdin diduga terlibat dua kasus korupsi. Ia diduga menerima Rp 500 juta dalam kasus pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sementara dalam kasus Persatuan Sepakbola Samarinda (Persisam), Nurdin diduga menerima Rp 100 juta
4
dari Aidil Fitrio, mantan Manajer Persisam yang terbukti korupsi dana APBD untuk klub tersebut senilai Rp 1,7 miliar. Masih segar dalam ingatan kita pada saat pendaftaran calon ketua umum PSSI dimana ada empat kandidat bersaing satu sama lain yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro. Setelah komite pemilihan yang diketuai oleh Syarif Bastaman mengumumkan bakal calon yang akan bertarung pada kongres bulan Maret mendatang, nama Jenderal George Toisutta dan Pengusaha Arifin Panigoro tidak lolos verifikasi. Disisi lain komite pemilihan justru meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai bakal calon ketua umum PSSI periode 2011-2015. Dengan hanya lolosnya nama Nurdin dan Nirwan muncul kecurigaan dari beberapa pengurus daerah dan pihak George Toisutta serta Arifin Panigoro yang menilai komite pemilihan telah dintervensi oleh Nurdin Halid. Pernyataan ini cukup beralasan sebab sempat muncul kabar bahwa beberapa surat suara dari pengurus daerah hilang. Jika melihat komposisi komite pemilihan yang rata-rata adalah anggota partai politik maka hal diatas mungkin saja terjadi. Hasil keputusan komite pemilihan ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan mulai dari pengurus klub, suporter, mantan pemain sampai pada Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora). Mereka meminta agar George Toisutta dan Arifin Panigoro diloloskan sebagai bakal calon ketua umum PSSI. Selain itu, mereka menginginkan adanya keterbukaan dalam proses pemilihan ketua umum yang akan datang. Seakan tidak peduli, komite pemilihan tetap pada keputusannya. Masalah ini terus berlanjut terlebih saat komite banding yang
5
dipimpin Prof. Tjipta Lesmana mengeluarkan keputusan yang cukup mengejutkan banyak pihak dengan menganulir semua calon baik yang menyatakan banding maupun calon yang sudah lolos verifikasi. Keputusan komite banding ini dianggap sebagai keputusan terbaik yang diambil ditengah memanasnya suhu persepakbolaan di tanah air. Meskipun demikian, ratusan bahkan ribuan suporter dari berbagai daerah terus mendatangi Kantor Pusat PSSI di Senayan Jakarta. Mereka beroarasi menuntut adanya revolusi pada organisasi sepak bola terbesar di Indonesia itu. Para demonstran anti Nurdin Halid ini tak henti-hentinya menyuarakan agar Ketua Umum PSSI itu turun dan tidak lagi mencalonkan diri pada kongres PSSI yang akan datang. Tak heran jika pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik tertuju pada sosok Nurdin Halid. Meskipun pada waktu yang bersamaan ada isu lain yang tak kalah hangatnya yaitu isu perombakan kabinet. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang selalu memberikan pantauan dan laporannya. Di antara sekian banyak koran lokal yang ada di Kota Makassar yang rutin mengikuti perkembangan dan intens serta selalu update untuk memberitakannya kepada khalayak adalah Koran Tempo Makassar. Koran Tempo adalah salah satu koran berskala nasional dan memiliki beberapa biro salah satunya di Makassar. Koran Tempo merupakan media yang kritis dalam memberitakan suatu peristiwa. Menurut peneliti media dari Jerman Anett Keller, Koran Tempo dinilai sebagai media yang memiliki otonomi redaksi dan isi berita paling independen (tempo interaktif.com).
6
Pemberitaan tentang Nurdin Halid ini menarik untuk diangkat karena beberapa hal. Pertama, masalah ini cukup banyak menyita perhatian publik. Tidak hanya kalangan stakeholder sepak bola saja tetapi juga dari akademisi, pemerintah dalam hal ini Menpora dan DPR, serta kalangan masyarakat luas. Kedua, salah satu pemilik saham Koran Tempo Makassar adalah PT Batu Putih yang merupakan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Ilham Arief Sirajuddin. Ilham Arief Sirajuddin yang juga Walikota Makassar secara politis berseberangan dengan Nurdin Halid. Ilham Arief Sirajuddin selain sebagai Walikota Makassar, juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Sulawesi Selatan sementara Nurdin Halid merupakan kader Partai Golkar. Untuk itu, menarik dilihat kecenderungan pemberitaan Koran Tempo terhadap Nurdin Halid. Mengingat banyaknya pemberitaan mengenai Nurdin Halid, maka fokus pada penelitian ini adalah berita-berita tentang Nurdin Halid yang ada kaitannya dengan PSSI karena pada saat itu Nurdin Halid masih menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Peneliti mengambil sampel berita yang terbit bulan Februari sampai bulan Maret karena pada saat itu masalah Nurdin Halid mulai mencuat dan ramai diberitakan di media massa. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis model Robert N. Entman. Selain elemen framing define problem, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendations, dalam model Entman juga dapat dianalisis melalui kata, kalimat, gambar dan citra yang ingin ditampilkan kepada khalayak.
7
Pemberitaan yang gencar terhadap Nurdin Halid tentunya memunculkan opini yang berbeda-beda di masyarakat. Media memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan peristiwa mana yang akan diangkat. Peristiwa yang sama bisa saja diberitakan secara berbeda pula tergantung bagaimana media mengkonstruksi realitas yang ada. Hal inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul : “Analisis Framing Tentang Pemberitaan Nurdin Halid Pada Koran Tempo Makassar”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa masalah penelitian yang dituangkan dalam bentuk rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana frame Koran Tempo Makassar terhadap pemberitaan Nurdin Halid? 2. Bagaimana Koran Tempo Makassar mencitrakan Nurdin Halid dalam pemberitaannya?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui frame Koran Tempo Makassar terhadap pemberitaan Nurdin Halid b. Untuk mengetahui pencitraan yang dilakukan Koran Tempo Makassar terhadap Nurdin Halid
8
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Kegunaan Teoretis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan berguna bagi pengembangan penelitian
komunikasi selanjutnya
khususnya yang berkaitan dengan media massa dalam hal ini Framing.
b. Kegunaan Praktis 1. Memberikan gambaran kepada pembaca yang ingin mengetahui Koran Tempo Makassar dalam membingkai berita tentang Nurdin Halid 2. Sebagai masukan bagi peneliti yang bersangkutan untuk memecahkan masalah 3. Untuk pembuatan skripsi sebagai salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
D. Kerangka Konseptual Penelitian Maraknya aksi demonstrasi terhadap Nurdin Halid membuat media massa menyorotinya. Koran Tempo Makassar aktif memuat pemberitaan terkait Nurdin Halid dan bahkan beberapa edisi menjadi headline atau berita utama. Dari pemberitaan tersebut dapat kita lihat cara media mengemas dan secara sadar atau tidak telah menggiring opini khalayak. Lalu bagaimana Koran Tempo Makassar mengemas pemberitaan Nurdin Halid? Untuk mengetahui hal tersebut, penelitian ini berusaha mengamati frame
9
yang dibentuk Koran Tempo Makassar dalam membingkai pemberitaan Nurdin Halid. Oleh karena itu, penelitian ini berlandaskan pada paradigma konstruksionis dengan menggunakan analisis framing Model Robert N. Entman yang banyak dipakai dalam menganalisis media. Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2009:161). Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Disini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami dalam bentukan tertentu. Hasilnya pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknis jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai
10
dan ditampilkan. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman (Eriyanto, 2002:13). Ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap
11
dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
12
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan kosnsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap oleh kesadaran wartawan. Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidispliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri
13
bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapreasiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya (Sudibyo dalam Sobur, 2009:162). Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan dalam Sobur, 2009:162). Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung untuk
14
menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media, seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan aktor menampilkan dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya. Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa tiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari. Gitlin (1980) dalam Sobur, 2009:163 mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Ia menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita dengan mengatakan, “Frames memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah besar informasi secara tepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak.
15
Konsepsi framing dari para konstruksionis dalam literatur sosiologi ini memperkuat
asumsi
mengenai proses
kognitif
individual penstrukturan
representasi kognitif dan teori proses pengendalian informasi dalam psikologi. Berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan. Model Robert N. Entman Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media. Entman (Sobur, 2009:163) melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua fakor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Dibalik semua ini, pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi berita.
16
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Penonjolan aspek Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika tertentu dari suatu isu aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Sumber : Eriyanto, 2002:187 Penonjolan merupakan proses membuat
informasi menjadi lebih
bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan pelbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan. Pada dasarnya, pola penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana : upaya menyuguhkan pada publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya lebih diterima. Kata penonjolan (salience) didefinisikan sebagai membuat sebuah informasi lebih diperhatikan,
17
bermakna, dan berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas penerima akan lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan. Bagian informasi dari teks dapat dibuat lebih menonjol dengan cara penempatannya atau pengulangan atau mengasosiasikan dengan simbol-simbol budaya yang sudah dikenal. Bagaimanapun tingkat penonjolan teks dapat sangat tinggi bila teks itu sejalan dengan skemata sistem keyakinan penerima. Skemata serta konsep-konsep tersebut erat berhubungan dengan kategori, scripts, atau stereotype, yang merupakan kumpulan ide didalam mental yang memberi pedoman seseorang untuk memproses informasi. Karena penonjolan merupakan sebuah produk interaksi antara teks dan penerima, maka kehadiran frame dalam teks tidak menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak. Framing memiliki implikasi penting bagi komunikasi politik. Frames menurut Entman menuntut perhatian pada beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Mereka bersama jurnalis membangun frame berita. Dalam konteks ini framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik dan frame dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak. Ia menunjukkan identitas para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks.
18
Namun, Entman menyayangkan banyak teks berita dalam merefleksikan permainan kekuasaan dan batas wacana atas sebuah isu, memperlihatkan homogenitas framing pada satu tingkat analisis dan belum mempersaingkannya dengan framing lainnya. Konsep framing dalam pandangan Entman secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel. Dalam analisis framing, yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus/peristiwa yang diberitakan. Metode semacam ini tentu saja berusaha mengerti dan menafsirkan makna dari suatu teks dengan jalan menguraiakan bagaimana media membingkai isu. Peristiwa yang sama bisa jadi dibingkai secara berbeda oleh media. Dalam model Entman lebih memfokuskan gagasan tentang bagaimana peristiwa dipahami oleh media, bagaimana peristiwa itu disajikan dan dibingkai oleh media. Analisis framing Robert N. Entman menekankan pada empat aspek yaitu define problems (pendefinisian masalah), diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), make moral judgement (membuat keputusan moral), dan treatment recommendation (menekankan penyelesaian).
19
Untuk lebih memperjelas serta memudahkan dalam melakukan penelitian lebih lanjut maka disusunlah bagan kerangka konseptual sebagai berikut : Gambar 1. Bagan Kerangka Konseptual
Koran Tempo Makassar
Berita tentang Nurdin Halid
Framing Model Robert N. Entman
Define Problems
Diagnose Causes
Make Moral Judgement
Hasil analisis
Treatment Recommendation
20
E. Definisi Operasional Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep atau istilah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Untuk menghindari adanya makna ambigu serta interpretasi yang berbeda-beda, maka peneliti menganggap perlu membuat batasan pengertian sebagai berikut : a. Analisis framing merupakan salah satu cara menganalisis teks media untuk melihat bagaimana Koran Tempo Makassar mengangkat isu tentang Nurdin Halid dan aspek apa yang ingin ditonjolkan dari isu/peristiwa tersebut. b. Pemberitaan Nurdin Halid adalah laporan Koran Tempo Makassar yang berkaitan dengan Nurdin Halid. c. Koran Tempo Makassar adalah koran lokal yang ada di Kota Makassar yang intens memuat berita mengenai Nurdin Halid. d. Define problems adalah pemaknaan Koran Tempo Makassar terhadap peristiwa atau masalah Nurdin Halid. e. Diagnose causes adalah aktor/orang yang menyebabkan peristiwa atau masalah Nurdin Halid. f. Make moral judgement adalah nilai moral yang disajikan Koran Tempo Makassar untuk menjelaskan masalah Nurdin Halid. g. Treatment recommendations merupakan penyelesaian yang ditawarkan Koran Tempo Makassar untuk mengatasi masalah Nurdin Halid.
21
F. Metode Penelitian 1. Waktu dan Objek Penelitian Penelitian ini berlangsung sejak Februari 2011 hingga Mei 2011, dengan memilih berita-berita yang berkaitan dengan Nurdin Halid yang terbit pada bulan Februari
hingga bulan Maret 2011 dengan jumlah berita secara keseluruhan
sebanyak 21 berita. Objek penelitian ini adalah Koran Tempo Makassar. 2. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran bagaimana sebuah realitas dibingkai oleh Koran Tempo Makassar menjadi sebuah berita yang kemudian menjadi realitas media dalam hal ini pemberitaan mengenai Nurdin Halid. Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan paradigma atau pendekatan konstruksionis. Paradigma konstruksionis memandang bahwa tidak ada realitas yang obyektif, karena realitas tercipta melalui proses konstruksi dan pandangan tertentu.
3. Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling atau sampel bertujuan. Sampel dipilih secara sengaja untuk menjawab masalah penelitian. Adapun sampel dalam penelitian ini yaitu Koran Tempo Makassar edisi Minggu 20 Februari 2011, Rabu 23 Februari 2011, Sabtu 26 Februari 2011, Senin 28 Februari 2011, Selasa 1 Maret 2011, Kamis 3 Maret 2011, Jumat 4
22
Maret 2011, Selasa 8 Maret 2011, Rabu 9 Maret 2011, Rabu 16 Maret 2011, Selasa 29 Maret 2011, Rabu 30 Maret 2011, dan Kamis 31 Maret 2011.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. a. Data primer Mengumpulkan data secara langsung dalam hal ini berita-berita yang terkait dengan Nurdin Halid dalam rentang waktu bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011. b. Data sekunder Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka (library research) dengan mempelajari dan mengkaji buku-buku, artikel, serta situs internet yang relevan dengan masalah yang diteliti
5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan analisis framing yang mengacu pada Model Robert N. Entman. Analisis framing pemberitaan Nurdin Halid dilakukan dengan mengidentifikasi empat hal. Pertama, define problems yaitu bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?Sebagai apa?Atau sebagai masalah apa. Kedua, diagnose causes yaitu peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa?Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah?Siapa (Aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?.
23
Ketiga, make moral judgement yaitu nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah?Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?. Keempat, treatment recommendation yaitu penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu?Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?.