BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap
manusia
pasti
memiliki
kebutuhan-kebutuhan
pokok
untuk
keberlangsungan hidupnya. Kebutuhan pokok manusia terdiri dari pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi (Stepanek, 1985; Sinaga, 2014). Untuk dapat memenuhi kebutuhankebutuhan pokok tersebut maka individu memerlukan uang yang bersumber dari penghasilan yang didapatkan individu (Argyle, 2001; Hadjam & Nasiruddin, 2003). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan individu untuk mendapatkan penghasilan, salah satunya adalah dengan bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Bekerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia saat ini untuk memenuhi kebutuhan dan kebanyakan pekerja menghabiskan waktu rata-rata delapan jam sehari di tempat kerjanya (Harter, Schmidt & Hayes, 2002; Sianturi & Zulkarnain, 2013) Individu yang sudah bekerja dapat berstatus belum berumah tangga atau sudah berumah tangga. Bagi indvidu yang sudah bekerja dan berumah tangga, pekerjaan dan keluarga merupakan dua aspek penting dalam kehidupan individu yang saling berkaitan satu sama lain. Hal ini membuat individu memiliki dua peran utama dalam kehidupannya, yaitu peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarga ( Pleck, 1977; Ahmad, 2008). Masing-masing peran tersebut menuntut individu untuk melaksanakan peran yang berbeda antara pekerjaan dan keluarga. Dalam
1 Universitas Sumatera Utara
pekerjaan, individu dituntut untuk fokus dalam bekerja agar dapat mencapai hasil yang maksimal di pekerjaannya. Namun di sisi lain, individu juga memiliki tanggung jawab terhadap keluarga seperti memenuhi kebutuhan hidup keluarga, menyediakan waktu luang bersama keluarga, merawat anak, memberikan pendidikan pada anak, dan mengurus rumah. Dalam menjalankan dua peran tersebut, bisa saja terjadi saling tumpang tindih antara satu peran dengan peran lainnya. Sesuai dengan pernyataan Frone (2003) yang mengatakan bahwa kehadiran salah satu peran dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (Ahmad, 2008). Hal ini disebabkan karena tenaga, waktu dan perhatian yang diperlukan untuk dapat sukses dalam menjalankan satu peran dapat menyebabkan kurangnya tenaga, waktu dan perhatian terhadap peran yang lainnya sehingga menghasilkan konflik antara dua peran tersebut (Burke, 1986; Lathifah, 2008). Hal ini menyebabkan individu mengalami konflik antara peran di pekerjaan dan peran di keluarga, yang disebut dengan konflik peran ganda (work-family conflict). Menurut Greenhaus & Beutell (1985) Work-family conflict merupakan suatu konflik antar peran yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara tuntutan peran di pekerjaan dan tuntutan peran di keluarga (Amstad, Meier, Fasel, Elfering & Semmer, 2011). Work-family conflict dapat dialami oleh karyawan pria maupun karyawan wanita. Meskipun demikian, berdasarkan hasil penelitian Apperson, dkk (2002) menyatakan bahwa intensitas terjadinya work-family conflict pada karyawan wanita cenderung lebih besar dibandingkan karyawan pria. Karyawan wanita yang memiliki karakteristik pekerjaan yang sifatnya lebih formal dan manajerial seperti
2 Universitas Sumatera Utara
jam kerja yang relatif panjang dan pekerjaan yang berlimpah cenderung dapat mengalami work-family conflict. Di samping itu, work-family conflict juga dapat dialami oleh karyawan pria. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Vallone & Donaldson (2011) yang menemukan bahwa 30% karyawan pria khawatir dengan kehidupan pekerjaan mereka yang akan mengganggu kehidupan keluarga mereka sehingga dapat membuat mereka mengalami work-family conflict (Sianturi & Zulkarnain, 2013). Work-family conflict juga dapat dialami oleh karyawan yang sudah memiliki anak maupun yang belum memiliki anak. Berdasarkan hasil penelitian Galinsky, Bond, dan Friedman (1996) menyatakan bahwa 17% karyawan yang telah berumah tangga yang memiliki anak dan 12% karyawan yang telah berumah tangga yang belum memiliki anak melaporkan bahwa mereka mengalami workfamily conflict (Sianturi & Zulkarnain, 2013). Work-family conflict pada karyawan dapat memunculkan beberapa dampak negatif terhadap perusahaan (Allen, Herst, Bruck, & Sutton, 2000; Butler & Skattebo, 2004). Karyawan yang mengalami work-family conflict dapat menyebabkan berkurangnya kepuasan kerja dan meningkatnya intensitas turnover (Bruck, Allen, & Spector, 2002; Greenhaus, Parasuraman, & Collins, 2001; Ahmad & Omar, 2013). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bhuian (2005) dan Wayne (2004) yang menyatakan bahwa semakin tinggi intensitas work-family conflict maka semakin rendah tingkat kepuasan kerja pada karyawan. Selain itu, work-family conflict yang dialami karyawan juga dapat menyebabkan performa kerja karyawan menjadi menurun (Netemeyer, 2005; Ahmad, 2008).
3 Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa work-family conflict pada karyawan merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian. Menurut Ahmad (2008) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan work-family conflict pada karyawan, yaitu faktor pekerjaan, faktor keluarga, dan faktor individual. Faktor pekerjaan meliputi tipe pekerjaan, komitmen waktu pekerjaan, keterlibatan dalam pekerjaan, peran kerja yang berlebihan, dan fleksibilitas jadwal kerja. Faktor keluarga meliputi jumlah anak, tahapan siklus hidup, keterlibatan dalam keluarga, dan pola pengasuhan anak. Sedangkan faktor individual meliputi value tentang peran, orientasi peran gender, kepribadian, dan evaluasi diri. Dari ketiga faktor tersebut, sampai saat ini sudah banyak dilakukan berbagai penelitian pada faktor pekerjaan dan faktor keluarga terkait dengan work-family conflict. Pada faktor pekerjaan, salah satunya adalah hasil penelitian Duxbury & Higgins (2003) yang mengungkapkan bahwa karyawan yang berada di posisi manajerial dan profesional melaporkan lebih banyak mengalami work-family conflict daripada karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan nonprofesional. Selain itu, pada faktor keluarga, salah satunya adalah hasil penelitian Greenhaus,
Parasuraman,
Collins
(2001)
yang
mengungkapkan
bahwa
keterlibatan dalam keluarga memiliki hubungan yang positif dengan work-family conflict. Pada faktor individual, masih sedikit penelitian yang telah dilakukan terkait dengan work-family conflict, khususnya pada kepribadian (Priyadharshini & Wesley, 2014). Terdapat beberapa karakteristik kepribadian yang dapat
4 Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi kecenderungan karyawan untuk mengalami work-family conflict, seperti neuroticism, workaholics, dan locus of control (Ahmad, 2008). Sampai saat ini, masih sedikit penelitian yang dilakukan berkaitan dengan karakteristik kepribadian locus of control. Lebih jauh lagi hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya yang hanya terbatas pada locus of control internal saja, seperti hasil penelitian Noor (2002) yang mengungkapkan bahwa karyawan dengan locus of control internal cenderung mengalami work-family conflict dengan intensitas yang rendah. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan Andreassi & Thompson (2007) mengungkapkan bahwa locus of control internal memiliki hubungan negatif dengan work-family conflict. Locus of control merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang mengacu pada keyakinan individu mengenai sumber penentu perilakunya, dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan yang terjadi di dalam kontrol (internal) atau di luar kontrol dirinya (eksternal). Individu yang memiliki locus of control internal menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya berada di bawah kontrol dirinya sendiri, sehingga ia meyakini bahwa hasil yang diperolehnya tergantung pada seberapa banyak usaha yang .dilakukannya. Sedangkan individu yang memiliki locus of control eksternal menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya berada di luar kontrol dirinya, sehingga ia meyakini bahwa hasil yang diperolehnya tergantung dari luar dirinya (Schulz & Sindrey, 1993; Jaya & Rahmat, 2005). Individu dengan locus of control internal memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan daripada individu dengan
5 Universitas Sumatera Utara
locus of control eksternal (Arsenault, Dolan, & Ameringen, 1991, Dharsani, 2014). Dalam konteks organisasi, karyawan dengan locus of control internal memiliki kontrol dari dirinya sendiri dalam mengatasi tekanan berupa konflik yang muncul akibat ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dan keluarga. Karyawan dengan locus of control internal menganggap konflik antara peran di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari dalam dirinya dan ia memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family conflict. Lain halnya dengan individu yang memiliki locus of control eksternal cenderung lebih tinggi dalam merasakan suasana hati yang negatif ketika mengalami situasi yang penuh dengan tekanan (Darshani, 2014). Hal ini membuat karyawan yang memiliki locus of control eksternal menjadi lebih sulit dalam menghadapi tekanan berupa konflik yang muncul akibat ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dan keluarga. Karyawan dengan locus of control eksternal menganggap konflik antara peran di pekerjaan dan keluarga yang dialaminya berasal dari luar dirinya dan ia tidak memiliki kontrol dari dirinya sendiri ketika mengalami work-family conflict. Dari penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan workfamily conflict ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal pada karyawan.
6 Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan workfamily conflict ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal pada karyawan.
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan workfamily conflict ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal pada karyawan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data-data empiris yang berkaitan dengan work-family conflict dan locus of control. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi industri dan organisasi mengenai work-family conflict dan locus of control. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penelitianpenelitian selanjutnya yang berkaitan dengan work-family conflict dan locus of control.
7 Universitas Sumatera Utara
b. Bagi pihak perusahaan dapat mengetahui work-family conflict dan locus of control yang terjadi pada karyawan di perusahaan tersebut sehingga dapat menindaklanjutinya.
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dengan sistematika penelitian sebagai berikut: 1. BAB I : Pendahuluan Bab ini menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. 2. BAB II : Landasan Teoritis Bab ini menyajikan teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai work-family conflict dan locus of control. 3. BAB III : Metode Penelitian Bab ini menjabarkan mengenai metode penelitian yang berisi tentang identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode dan alat pengumpulan data, uji coba alat ukur yang tediri dari validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data. 4. BAB IV : Analisis Data dan Pembahasan Bab ini berisi penyajian data dan analisis dari data yang sudah dikumpulkan. Terdiri dari deskripsi deskripsi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
8 Universitas Sumatera Utara
5. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan mengenai hasil penelitian dan saran-saran yang meliputi saran metodologis dan saran praktis.
9 Universitas Sumatera Utara