1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama di daerah tropis dan sub tropis (Bohra and Andrianasolo, 2001; Ooi et al., 1997). World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 juta orang terinfeksi virus Dengue dan penyebarannya sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara dan Pasifik Barat (Gubler and Clark, 1995). Kasus DBD pertama dilaporkan di filipina tahun 1953 dan di Australia pertama terjadi di tahun 1987. Wabah DBD juga ditemukan terjadi di Bangkok pada tahun 1958 dan sepanjang tahun 1950an telah terjadi kasus DBD sporadis di hampir seluruh wilayah Thailand (Ooi and Gubler, 2008). Kejadian luar biasa DBD mengakibatkan banyak kematian di beberapa negara diantaranya India, Indonesia, Srilanka, Thailand dan Singapura (Pathirana et al., 2009). Kasus DBD pada tahun 2010 menyerang seluruh negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, Carribean, Venezuela dan Afrika (WHO, 2010). Kasus DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dan tercatat 58 penderita dengan jumlah kematian 24 orang (CFR: 41,5%). Demam Berdarah Dengue ditemukan di Jakarta pada tahun 1969, sedangkan di Bandung dan Yogyakarta tahun 1972 dan sampai saat ini penyakit DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia (Soegijanto, 2004). Penyebaran kasus
11
2
DBD di Indonesia tidak hanya terjadi di daerah perkotaan tetapi juga telah menyebar ke daerah pedesaan sejak tahun 1975 (Suwandono et al.,2006). Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 112.511 kasus (IR 45,85 per 100.000 penduduk) dengan jumlah kematian 871 orang (CFR 0,77%). Propinsi Sumatera Barat berada pada urutan 13 dari 33 propinsi di Indonesia berdasarkan jumlah kasus yang dilaporkan berjumlah 2.206 kasus (IR 46,63 per 100.000 penduduk) dan tersebar di 17 kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2014). Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Barat dengan jumlah kasus DBD sebesar 108 kasus. Kejadian DBD di Kabupaten Dharmasraya mulai meningkat sejak tahun 2011 dengan jumlah 23 kasus dan tahun 2012 berjumlah 46 kasus serta pada tahun 2013 mencapai 108 kasus. Penyebaran DBD di Kabupaten Dharmasraya pada tahun 2013 dengan jumlah kasus tertinggi di Puskesmas Koto Besar yaitu 39 kasus atau IR 167,98 per 100.000 penduduk (Dinkes Kab.Dharmasraya, 2014).
39
24 16 11 5
5 0
Tiumang
2
Pd.Laweh
5 10
S.Limau
Sitiung II
00
32
S.Rumbai
4
Kt.Baru
Gn.Medan
Sitiung I
00
1
Timpeh
4
10
Silago
1
7
Kt.Besar
9
Sialang
14
S.Dareh
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gambar 1. Distribusi Kasus DBD Tahun 2012-2013 per Puskesmas di Kabupaten Dharmasraya Sumber : Dinas Kesehatan Dharmasraya tahun 2014 2
3
Penyebaran DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, keberadaan kontainer buatan maupun alami, mobilitas dan kepadatan penduduk, perilaku masyarakat maupun kegiatan pemberantasan yang telah dilakukan (Yudhastuti and Vidiyani, 2005). Tempat-tempat yang berpotensi untuk terjadinya penularan DBD adalah faktor penentu kerawanan suatu daerah seperti (1) daerah yang endemis, (2) tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai wilayah, (3) daerah pemukiman baru (Depkes RI, 2005). Salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus DBD adalah meluasnya wilayah penyebaran dan tingginya kepadatan vektor. Kepadatan populasi nyamuk sangat tergantung pada pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungannya (Mardihusodo, 2006). Nyamuk penular penyakit DBD di Indonesia adalah Aedes aegypti (Ae. aegypti) dan Aedes albopictus (Ae. albopictus),
namun yang menjadi vektor
utamanya adalah Ae. aegypti sedangkan Ae. albopictus merupakan vektor sekunder (Soedarmo, 1988). Kedua vektor tersebut terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di daerah ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Hiswani, 2003). Penentuan kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat diukur melalui indikator entomologi seperti house index (HI), container index (CI), breteau index (BI), resting index (RI), ovitrap index (OI), pupa index (PI) dan angka bebas jentik (ABJ). Indikator entomologi sangat efektif dipergunakan dalam pemantauan daerah rawan yang sering terjadi kasus DBD sehingga dapat mengantisipasi munculnya kasus baru (WHO-SEARO, 2004).
3
4
Kepadatan vektor DBD berdasarkan indikator HI di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 20% (Kemenkes, 2013). Menurut Soeroso (2002) HI di atas 5% berisiko terjadinya penularan. Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2005) HI di Kota Palembang sebesar 44,7%, di Jakarta Timur HI sebesar 11,5%, CI sebesar 6,5% dan BI sebesar 13,3 (Novelani, 2007). Kota Semarang menjadi daerah endemis karena Indikator OI pada lingkungan rumah di Kota Semarang mencapai 36.6% (Wahyuningsih et al., 2007). Indikator entomologi vektor DBD diketahui dengan memahamani aspek epidemiologi, hal ini sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan insidensi/KLB. Indikator ini berguna dalam upaya pelaksanaan sistem kewaspadaan dini (SKD) atau disebut juga early warning system (EWS), di daerah yang hampir setiap tahun ditemukan kasus DBD (Mardihusodo et al., 2007). Pengendalian vektor DBD dilakukan dengan metode pengendalian secara kimia dan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara kimia dengan insektisida merupakan metode yang sering dipakai di Indonesia dan telah digunakan sejak tahun 1970-an. Insektisida yang sering digunakan yaitu insektisida golongan organofosfat dengan tujuan pemberantasan nyamuk pada stadium dewasa dan jentik. Penggunaan insektisida dengan frekuensi tinggi dapat menimbulkan resistensi nyamuk terhadap insektisida (Mardihusodo, 1995). Pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD pada daerah endemis atau kasus di Kabupaten Dharmasraya dilakukan oleh petugas puskesmas bersama Dinas Kesehatan menggunakan insektisida malation yang diaplikasikan
4
5
dengan thermal fogging. Daerah non endemis Nagari Bonjol di Kecamatan Koto Besar pengendalian vektor DBD juga diaplikasikan dengan thermal fogging menggunakan insektisida malation yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dibidang kelapa sawit yaitu PT Selago Makmur Plantation (PT SMP). Pengendalian yang dilakukan di Nagari Bonjol menggunakan insektisida malation dengan Frekuaensi setiap bulan terutama di perumahan karyawan Jorong Sungai Likian. Pengendalian jentik nyamuk menggunakan insektisida temefos dilakukan dengan cara penaburan pada tempat penampungan air di rumah tangga. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah salah satu sistem informasi yang dipakai sebagai alat untuk melakukan analisis data yang dapat menghasilkan gambaran lengkap dan komprehensif terhadap suatu masalah kesehatan terkait dengan keruangan/spasial (Aronoff, 1989). Informasi dihasilkan dari pemetaan spasial berupa variabel yang berhubungan dengan kejadian penyakit DBD terutama indikator entomologi. Hal ini dapat dipergunakan pada kegiatan program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD. Intervensi yang dilakukan tiap wilayah akan berbeda sesuai dengan tingkat kerawanan masing-masing daerah, sehingga intervensi yang dilakukan menjadi efektif dan efisien. Kasus DBD serta hal yang berhubungan dengan kasus seperti lokasi penderita, jenis kelamin, umur serta angka kepadatan jentik dan kondisi kebarsihan lingkungan baik di desa maupun kota dapat digambarkan melalui SIG. Analisis spasial dapat memberikan analisis grafis dari indikator entomologi (HI, CI, BI, OI), indikator kebersihan lingkungan (MI) serta upaya pencegahan yang akan dilakukan.
5
6
Sistem Informasi Geografi (SIG) berperan penting dalam pemecahan masalah kesehatan serta dapat membantu petugas melakukan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit. Analisis hubungan antara lingkungan dengan kejadian penyakit serta masalah kesehatan lainnya dan sistem manajemen pelayanan kesehatan bisa digunakan SIG (Kamel Boulos et al., 2001). Penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari surveilans vektor yang menghasilkan data tentang peta pola sebaran kasus DBD tahun 2013 di Nagari Abai Siat (daerah endemis) Kecamatan Koto Besar, perbedaan indikator entomologi DBD, peta kerawanan DBD, status kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan temefos di daerah endemis dan daerah non endemis (Nagari Bonjol). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pola sebaran kasus DBD tahun 2013 di Nagari Abai Siat (daerah endemis) Kecamatan Koto Besar?
2.
Bagaimanakah perbedaan indikator entomologi DBD dan Maya Index di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar?
3.
Bagaimanakah perbedaan status kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan temefos di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar?
4.
Bagaimanakah perbedaan kerawanan dihubungkan dengan breteau index di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar? 6
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui pola sebaran kasus DBD tahun 2013 di Nagari Abai Siat (daerah endemis) Kecamatan Koto Besar.
2.
Mengetahui perbedaan indikator entomologi DBD (HI, BI, CI, OI) dan Maya Index di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar.
3.
Mengetahui perbedaan status kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan temefos di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar.
4.
Mengetahui perbedaan kerawanan DBD dihubungkan dengan breteau index di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Koto Besar. D. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan analisis spasial terutama mengenai
sebaran kasus DBD tahun 2013, perbedaan indikator entomologi dan Maya Index, perbedaan kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan temefos belum pernah dilakukan baik di wilayah Puskesmas Koto Besar maupun di Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya.
7
8
Tabel 1. Daftar Keaslian Penelitian No
Nama Peneliti, Tahun
1. Daud, 2008
Judul
Studi epidemiologi kejadian penyakit demam berdarah dengue dengan pendekatan spasial sistem informasi geografis di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu
Perbedaan Indikator
entomologi
DBD : HI, BI, CI, OI,
Maya Index, status kerentanan dan tingkat kerawanan DBD
2. Farid, 2009
Analisis spasial kasus demam berdarah dengue di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2005 – 2007
Indikator
entomologi
DBD : HI, BI, CI, OI,
Maya Index, status kerentanan dan tingkat kerawanan DBD
3. Wanti, 2010
4.
Dwinata, 2012
5. Prasetyo, 2012
Demam berdarah dengue di Indikator entomologi Kota Kupang : kondisi iklim, DBD : Maya Index, status entomologis dan bukti status kerentanan dan adanya infeksi transovarial virus dengue pada nyamuk Aedes tingkat kerawanan DBD aegypti dan Aedes albopictus (diptera : culicidae) Kajian lapangan penggunaan Status kerentanan dan autocidal ovitrap terhadap penurunan angka populasi tingkat kerawanan DBD nyamuk Aedes di Kabupaten Gunungkidul Analisis spasial penyebaran penyakit demam berdarah dengue di Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan
Indikator
entomologi
DBD : HI, BI, CI, OI,
status kerentanan dan tingkat kerawanan DBD
6. Munsaroh, 2013
Penggunaan sistem informasi geografis untuk pemetaan tingkat kerawanan demam berdarah dengue dan strategi pengendaliannya di Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang
Indikator
entomologi
DBD : HI, BI, CI, OI,
Maya indek dan status kerentanan
8
9
E. Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan masukkan pada program pengendalian DBD di wilayah Puskesmas Koto Besar.
2.
Sebagai
pedoman
dalam
perencanaan
program
terkait
manajemen
pengendalian DBD dimasa yang akan datang di Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. 3.
Sebagai dasar referensi penelitian lebih lanjut, khususnya yang berhubungan dengan indikator entomologi dan faktor risiko kejadian DBD di Kabupaten Dharmasraya.
9