1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya agen infeksius maupun noninfeksius yang dapat memberikan paparan pada tubuh manusia membuat seseorang harus memiliki sistem pertahanan tubuh yang kuat agar tidak terserang penyakit. Sistem imun bertugas melindungi tubuh dari serangan agen asing sehingga tidak menimbulkan penyakit. Senyawa yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun dikenal sebagai imunomodulator. Imunomodulator tampak menjadi bagian terpenting dalam dunia pengobatan sebab imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan tubuh. Penggunaan tanaman sebagai obat memiliki beberapa keuntungan yaitu
ramah terhadap
lingkungan, mudah diperoleh, harganya ekonomis, serta memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sudarno dkk., 2011; Sari, 2006). Beberapa jenis tanaman obat yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator antara lain meniran dan pegagan (Suhirman dan Winarti, 2007). Tjandrawinata dkk. (2005) dan Sunarno (2007) melaporkan bahwa ekstrak meniran dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa sitokin spesifik seperti interferon-gamma, tumor nekrosis faktor-alfa dan beberapa interleukin, serta mengaktivasi sistem komplemen, dan sel fagositik seperti makrofag dan monosit dengan dosis efektif 3 x 50 mg perhari. Flavonoid yang terkandung dalam meniran merupakan komponen yang bersifat imunomodulator yang didominasi kandungannya oleh kuersetin yang dapat menstimulasi fagositosis 1
2
makrofag dan mengaktivasi Natural-Killer Cell (Suhirman dan Winarti, 2007; Yu dkk., 2010). Kuersetin memberikan absorpsi yang kurang baik, hanya sekitar 2030% untuk penggunaan peroral (Hollman dkk., 1997). Kuersetin memiliki bioavailabilitas yang rendah karena solubilitasnya di air rendah yaitu 1,53-12,5 mg/L sehingga absorbsinya terhambat (Tran dkk., 2014; Pool dkk., 2013). Sedangkan pegagan memiliki aktivitas imunomodulator dengan cara meningkatkan secara bermakna indeks fagositik nilai butir darah putih, dan rasio fagositik dengan rentang dosis 100-500 mg/kg BB (BPOM, 2010). Selain itu, penelitian oleh Mali dan Hatapakki (2008) menyatakan bahwa ekstrak Centella asiatica dapat menstimulasi sistem imun dengan peningkatan fagositosis neutrofil pada kisaran dosis 25-100 mg/mL secara in vitro. Asiatikosida merupakan penyusun kimia utama pada pegagan (Centella asiatica) (Qiu dkk., 2015). Akan tetapi, asiatikosida merupakan senyawa yang sulit diserap dalam usus sehingga bioavailabilitasnya sangat kecil. Liu dkk. (2010) melaporkan bahwa hanya sebesar 1,81% dari pemberian oral 200 mg/kg BB asiatikosida yang dapat terserap dalam saluran usus dan terdeteksi dalam plasma tikus. Adanya aktivitas imunomodulator dalam pegagan dan meniran membuat kedua tanaman ini dapat dikombinasikan sehingga diharapkan potensinya sebagai imunomodulator dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu, sistem ini dijadikan sebagai model dalam memformulasikan kedua tanaman dengan kandungan yang berbeda. Rasio perbandingan kedua fraksi adalah 1:1 berdasarkan dosis dari masing-masing ekstrak dengan total jumlah fraksi etil asetat pegagan dan fraksi etanolik meniran sebesar 100 mg.
3
Salah satu upaya pengatasan rendahnya bioavailabilitas adalah dengan mengecilkan ukuran partikel obat hingga mencapai
nanometer. Formulasi
nanopartikel berbasis lemak lebih dipilih karena kedua fraksi mengandung senyawa aktif yang permeabilitasnya rendah sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas senyawa aktif dalam tubuh. SNEDDS adalah salah satu formulasi nanopartikel berbasis lemak. SNEDDS merupakan campuran isotropik antara minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika kontak dengan cairan lambung serta memiliki keunggulan yaitu dapat memperbaiki kelarutan dan ketersediaan hayati obat (Han dkk., 2011; Makadia dkk., 2013). Oleh sebab itu, fraksi etil asetat pegagan (Centella asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) diformulasikan ke dalam bentuk SNEDDS (Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System). Komponen dalam SNEDDS akan berpengaruh terhadap karakter SNEDDS yang dihasilkan. Fase minyak berperan sebagai pembawa obat sehingga minyak yang dipilih untuk formulasi SNEDDS adalah minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal (Makadia dkk., 2013). Dalam pembuatan SNEDDS, dapat digunakan minyak mineral maupun minyak nabati. Minyak nabati dipilih sebagai fase minyak dalam penelitian ini karena aman digunakan secara per oral dan lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme sehingga lebih ramah lingkungan. Minyak nabati terdiri dari campuran trigliserida yang mengandung asam lemak dari berbagai rantai dan derajat kejenuhan yang diklasifikasikan menjadi rantai pendek (<5 karbon), rantai medium (6-12 karbon), dan rantai panjang (>12 karbon) (Debnath dkk., 2011). Minyak nabati yang umum digunakan dalam formulasi SNEDDS yaitu olive oil, corn oil, dan virgin coconut
4
oil (VCO) (Patel dkk., 2010). Setelah dipilih minyak yang mampu melarutkan obat yang paling banyak, untuk menghasilkan SNEDDS yang homogen, jernih, teremulsifikasi secara spontan, dan stabil dalam saluran cerna maka diperlukan surfaktan dan ko-surfaktan dengan konsentrasi yang optimal. Adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjadi alternatif dan inovasi baru dalam formulasi herbal. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Apakah surfaktan dan ko-surfaktan pada kombinasi fraksi etil asetat pegagan (Centella asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) (1:1) dengan minyak nabati dapat menghasilkan emulsi jernih dan mempunyai waktu emulsifikasi yang singkat serta stabil dalam AGF dan AIF? 2. Apakah formula optimum SNEDDS kombinasi fraksi etil asetat pegagan
(Centella asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) (1:1) menghasilkan emulsi dengan droplet yang seragam dan berukuran nanometer? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kombinasi surfaktan dan ko-surfaktan dalam formulasi SNEDDS kombinasi fraksi etil asetat pegagan (Centella asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) yang dapat menghasilkan emulsi jernih, teremulsifikasi secara spontan, dan stabil dalam AGF dan AIF. 2. Mengetahui ukuran dan keseragaman droplet emulsi yang dihasilkan oleh formula optimum SNEDDS kombinasi fraksi etil asetat pegagan (Centella
5
asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) dengan minyak nabati. D. Manfaat 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pada perkembangan ilmu farmasi khususnya formulasi SNEDDS. 2. Bagi Masyarakat Kegunaan penelitian ini bagi masyarakat dan dunia kesehatan adalah dapat dijadikan sebagai alternatif dan inivasi baru dalam pengobatan berbasis herbal. 3. Bagi Peneliti Sebagai sarana belajar untuk mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Pegagan (Centella asiatica) Pegagan (Centella asiatica) merupakan tanaman herba tahunan yang di
Indonesia yang tumbuh liar di Pulau Jawa dan Madura pada ketinggian 1-2500 m dpl (diatas permukaan laut). Tumbuhan ini berbentuk seperti rumput, tersebar luas pada daerah tropik dan subtropik pada penyinaran matahari yang cukup atau pada naungan rendah yang subur, lokasi berkabut, di sepanjang sungai, di sela batu batuan, padang rumput, halaman, dan di tepi jalan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991; Dalimartha, 2006).
6
Gambar 1. Pegagan (BPOM RI, 2010)
a.
Klasifikasi Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosida Bangsa : Apiales Suku : Apiaceae Marga : Centella Jenis : Centella asiatica (L.) Urban (BPOM RI, 2010)
b.
Nama lain Pegagan di Indonesia dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Pegagan, Daun kaki kuda, Penggaga, Rumput kaki kuda, Pegago, Pugago, Cowet gompeng, Antanan, Gagan-gagan, Ganggagan, panigowang, Palduh, Sarowati, Kolotidi Manora, Pagaga, Wisu-wisu (BPOM RI, 2010). Selain itu, Pegagan (Centella asiatica) juga dikenal dengan nama lain, yaitu: India penny wort, Vllari, Yoshanavalli, Chandaki, Pindeeri, Mandookaparni, Tholkari, Artniya-e-hindi, Kudakam, Ji xue co (Dalimartha, 2006).
c.
Deskripsi tanaman Habitus
: Semak rendah, panjang 0.1-0.8 meter.
Batang
: Pendek, percabangan batang merayap.
Daun
: Tunggal, dalam susunan roset atau spiral terdiri dari 2-10 daun bentuk ginjal. Daunnya lebar dengan tepi bergigi,
7
berukuran 1-7 x 1.5-9 cm, panjang tangkai daun 1-50 cm dan pada pangkalnya berbentuk pelepah. Bunga
: Tersusun dalam susunan payung, tunggal atau majemuk yang terdiri dari 2-3 bunga, berhadapan dengan daun, bertangkai 0.5-5 cm. Bunga semula tumbuh tegak kemudian membengkok ke bawah dengan 2-3 daun pembalut.
Buah
: Lebar buah lebih panjang dibanding tinggi buah dengan tinggi 3 mm, berlekuk dua tidak dalam, berwarna merah muda kekuningan, dan berusuk.
Mahkota
: Daun kemerahan dengan pangkal pucat dan memiliki panjang 1-1.5 mm (Sudarsono dkk., 2002; Dalimartha, 2000).
d.
Kandungan kimiawi Metabolit yang ditemukan dalam pegagan (Centella asiatica) adalah golongan triterpen antara lain asam asiatat, asam madekasat, asiatikosida, dan madekasosida sebagai metabolit utama. Selain itu terdapat asam madasidat, bramosidat (3.8%) dan brahminosida (1.6%). Menurut Sudarsono dkk. (2002) pegagan juga mengandung senyawa ester glikosida yaitu tankunisida, isotankunisida, asam tankuniat, asam isotankuninat. Ditemukan pula asam sentat, asam sentoat, dan asam sentenilat, asam indosentoat dan indosentelosida, hidrokotilin, kaemferol, kuersetin, beta-
8
sitoserin, asam palmitat, asam stearat, minyak astiri, mesonoid, sentelosa, dan asam klorogenat.
Gambar 2. Struktur Kimia Asiatikosida (Liu dkk., 2010)
e.
Efek Biologi dan Efek Farmakologi Pegagan (Centella asiatica) Pegagan sebagai imunomodulator dapat meningkatan indeks fagositik nilai butir darah putih, dan rasio fagositik dari 0,18% senyawa asiatikosida pada kisaran dosis 100-500 mg/kg BB (BPOM RI, 2010). Penelitian Punturee dkk. (2005) mengemukakan bahwa ekstrak etanolik pegagan pada dosis 100 mg/kg BB pada tikus menunjukkan peningkatan respon antibodi. Selain itu, penelitian oleh Mali dan Hatapakki (2008) menyatakan bahwa ekstrak etanolik Centella asiatica dapat menstimulasi sistem imun dengan peningkatan fagositosis neutrofil pada kisaran dosis 25100 mg/mL secara in vitro.
9
2.
Meniran (Phyllanthus niruri) Meniran (Phyllanthus niruri L.) merupakan tumbuhan terna semusim,
tumbuh tegak, bercabang-cabang, tinggi 30-50 cm. Meniran tumbuh liar di tempat lembab dan berbatu, seperti di sepanjang saluran air, semak-semak, dan tanah terlantar di antara rerumputan. Tumbuhan ini bisa ditemukan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl (Dalimartha, 2000)
Gambar 3. Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.)
a.
b.
Klasifikasi Kingdom Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies Sinonim
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Phyllanthus : Phyllanthus niruri L. : Phyllanthus carolinanus, P. Sellowianus, P. Fraternus, P. kirganella, P. Lathyroides, P. Lonphali, Nymphanthus niruri (Taylor, 2003).
Nama lain Di Indonesia, meniran (Phyllanthus niruri) dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Ba’me tano, Sidukung anak, Dudukung anak, Baket sikolop, Meniran, Meniran merah, Meniran ijo, Memeniran, Bolobungo, Sidukung
10
anak, Belalang babiji, Gosau ma dungi, Gosau ma dungi roriha (Diperta Jabar, 2012). Selain itu, meniran (Phyllanthus niruri) mempunyai beberapa nama lain, yaitu: Zhen zhu cao, Hsieh hsia chu, Chanca piedra, Quebra pedra, Kilanelli, Child pick a back, Stone breaker, Shaterrstone, Chamber bitter, Leafflower, Quinine weed (Diperta Jabar, 2012). c.
Deskripsi Tanaman Habitus
: herba tahunan dengan tinggi 30 – 60 cm.
Batang
: batang berpencar, cabangnya mempunyai daun tunggal yang berseling yang tumbuh mendatar pada batang pokok. Tinggi batang 30 – 50 cm. Batang berwarna hijau pucat atau hijau kemerahan.
Daun
: daun tunggal, letak berseling. Helaian daun bundar telur sampai bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan bawah berbintik kelenjar, tepi daun rata, panjang 1,5 cm lebar sekitar 7 mm, dan berwarna hijau.
Bunga
: pada satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan keluar dari bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar dari atas ketiak daun.
Buah
: berupa buah kotak, bulat pipih, licin, diameter 2- 2,5 mm.
Biji
: biji kecil, keras, berbentuk ginjal, berwarna cokelat.
(Diperta Jabar, 2012)
11
d. Kandungan Kimiawi Meniran
mengandung
lignan
yang
terdiri
dari
phyllanthine,
hypophyllanthine, phyltetralin, lintretalin, nirathin, nitretalin, nirphylline, nirurin, dan niruriside. Terpen yang terdiri dari cymene, limonene, lupeol, dan lupeol acetate. Flavonoid terdiri dari quercetin, quercitrin, isoquercitrin, astragalin, rutine, dan physetinglucoside. Lipid terdiri dari ricinoleat acid, dotriancontanoic acid, asam linoleat, dan asam linolenat. Benzenoid terdiri dari metil salisilat. Alkaloid terdiri dari norsecurinine, 4-metoxynorsecurinine, entnorsecurinina, dan phyllochrysine. Steroid berupa beta-sitosterol. Alkana berupa triacontanal dan triacontanol. Komponen lain berupa tanin, vitamin C, dan vitamin K (Diperta Jabar, 2012). e.
Efek Biologi dan Farmakologi Efek farmakologi herba meniran, antara lain: antioksidan, antikarsinogen,
pereda demam (antipiretik), antiradang, peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak, peluruh haid, menerangkan penglihatan, dan penambah nafsu makan (Diperta Jabar, 2012). Selain itu, meniran bersifat sebagai imunomodulator terutama imunostimulan karena dapat meningkatkan kemampuan dan kapasitas fagositosis (Zalizar, 2013). Tjandrawinata dkk. (2005) telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak meniran dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa sitokin spesifik seperti interferon-gamma, tumor nekrosis faktor-alfa dan beberapa interleukin, serta mengaktivasi sistem komplemen, dan sel fagositik seperti makrofag dan monosit.
12
Senyawa aktif dalam meniran yang berperan sebagai imunomodulator adalah flavonoid yakni kuersetin. Penelitian Yu dkk. (2010) melaporkan bahwa kuersetin dapat menstimulasi fagositosis makrofag dan mengaktivasi NaturalKiller Cell. Hal yang sama diungkapkan oleh Zulnaidi (2010) melaporkan bahwa kuersetin dapat meningkatan jumlah sel monosit, netrofil batang, eusinofil, dan limfosit pada ayam broiler sehingga dapat disimpulkan bahwa kuersetin memiliki aktivitas imunostimulan. Dosis efektif ekstrak meniran sebagai imunomodulator, yaitu 3 x 50 mg/hari untuk orang dewasa (Sunarno, 2007). 3.
SNEDDS (Self-nanoemulsifying drug delivery system) Self-nanoemulsifying drug delivery sistem (SNEDDS) merupakan sistem
penghantaran obat yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying) ketika kontak dengan fase air dengan agitasi yang ringan. Di dalam tubuh, SNEDDS akan membentuk nanoemulsi saat kontak dengan cairan dalam saluran cerna yang agitasinya dibantu oleh gerakan lambung. Partikel berukuran nanometer (kurang dari 500 nm) dapat menghantarkan obat secara efisien sehingga bioavailabilitasnya dapat ditingkatkan (Acosta, 2009). Formulasi SNEDDS yang optimal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan, rasio masing-masing komponen, pH dan suhu terjadinya emulsifikasi, dan sifat fisikokimia obat (Date dkk., 2010). SNEDDS dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis. Penggolongan SNEDDS berdasarkan tampilan visual disajikan dalam tabel I
13
Tabel I. Penggolongan SNEDDS berdasarkan Tampilan Visual (Belhadj dkk., 2013)
Dispersibilitas
Tampilan
Kategori Emulsifikasi cepat I Emulsifikasi cepat II III IV V
Emulsifikasi lambat Emulsifikasi lambat Emulsifikasi sangat lambat
Jernih dan sedikit kebiruan Agak jernih dan sedikit kebiruan Putih cerah Putih pudar dan sedikit berminyak Droplet berukuran besar pada permukaan emulsi
Waktu Emulsifikasi <1 menit <2 menit <3 menit >3 menit >3 menit
Komponen SNEDDS yaitu: a. Minyak Minyak merupakan salah satu eksipien yang paling penting dalam formulasi SNEDDS karena merupakan komponen pembawa obat. Minyak yang digunakan dalam pembuatan SNEDDS merupakan campuran trigliserida yang mengandung asam lemak dari berbagai rantai dan derajat kejenuhan. Trigliserida diklasifikasikan menjadi rantai pendek (<5 karbon), rantai medium (6-12 karbon) contohnya asam lemak palmitat, laurat, serta miristat, dan rantai panjang (>12 karbon) contohnya asam lemak oleat, linoleat, dan linolenat (Debnath dkk., 2011). Minyak yang mengandung trigliserida rantai medium misalnya VCO dan minyak kelapa, semantara minyak yang mengandung asam lemak rantai panjang misalnya olive oil, corn oil, dan soya oil. Minyak yang dipilih untuk formulasi SNEDDS adalah minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal dan mampu menghasilkan emulsi dengan tetesan yang berukuran nanometer (Makadia dkk.,
14
2013). Minyak dengan trigliserida rantai panjang misalnya minyak kedelai lebih sulit membentuk emulsi namun lebih stabil dibandingkan minyak dengan hidrokarbon medium dan rantai pendek (Anton dan Vandamme, 2009; Sadurni dkk, 2005). b. Surfaktan Surfaktan adalah suatu senyawa kimia yang dapat mengaktifkan permukaan suatu zat lain yang awalnya tidak dapat berinteraksi. Surfaktan dapat berinteraksi dengan senyawa polar maupun nonpolar karena strukturnya memiliki gugus polar dan nonpolar yang seimbang (Sahumena, 2014). Jenis-jenis surfaktan meliputi surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan amfoter. Pemilihan surfaktan juga merupakan faktor kritis pada formulasi SNEDDS. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka minyak (lipofilik). Karakteristik surfaktan seperti HLB, viskositas, dan afinitas terhadap fase minyak memiliki pengaruh yang besar pada proses emulsifikasi dan ukuran tetesan nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Surfaktan yang digunakan dalam SNEDDS adalah surfaktan dengan HLB >12. Nilai HLB yang tinggi akan memudahkan pembentukan emulsi minyak dalam air. Surfaktan terpilih harus acceptable pada rute administrasi yang ditentukan dan juga harus sesuai dengan regulasi yang berlaku (Date dkk., 2010). Penggunaan komposisi surfaktan yang tinggi (> 60%) bersifat toksik dan membatasi kemampuan permeasi obat ke dalam membran karena turunnya aktivitas termodinamik dari obat (Yadav dkk., 2013) serta dapat menyebabkan iritasi pada mukosa lambung (Cuiné dkk., 2007).
15
Surfaktan yang sering digunakan dalam SNEDDS salah satunya polioksietilen (20) sorbitan monooleat yang biasa disebut juga dengan tween 80 yang termasuk dalam jenis surfaktan nonionik. Tween 80 memiliki bobot molekul 1310 gram/mol, densitas sebesar 1,06-1,09 gram/mL. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan larut dalam air. Gugus hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida) (Rowe dkk., 2009). Tween merupakan surfaktan yang biodegradabel dan tidak toksik (Quintero dkk., 2005). Selain tween 80, tween 20 juga sering digunakan dalam formulasi SNEDDS, sebab tween 20 memiliki nilai HLB yang tinggi yaitu 16,7 (Singh dkk., 2009). Tween 20 memiliki bobot molekul 1128 g/mol, berwujud cairan minyak berwarna kuning, larut dalam air, alkohol, etil asetat, dioksan, namun praktis tidak larut dalam petroleum dan parafin cair (Rowe dkk., 2009) Tween 20 dan tween 80 telah berhasil digunakan dalam
formulasi
SNEDDS Ketoprofen dengan asam oleat sebagai fase minyak dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan yang menghasilkan emulsi jernih dan homogen dengan ukuran tetesan emulsi dibawah 100 nm dengan waktu emulsifikasi kurang dari 1 menit (Sahumena, 2014). c.
Ko-surfaktan Penambahan ko-surfaktan dilakukan dengan tujuan meningkatkan drug
loading pada formula, mempercepat waktu emulsifikasi, dan mengatur ukuran tetesan nanoemulsi (Date dkk., 2010). Ko-surfaktan amfifilik seperti propilen glikol, PEG, dan eter glikol sering digunakan dalam SNEDDS (Date dkk., 2010). Polietilen glikol merupakan senyawa yang stabil, termasuk dalam substansi
16
hidrofilik yang tidak mengiritasi kulit. PEG 400 berbentuk cairan jernih tak berwarna, larut dalam air dan dapat bercampur dengan beberapa polietilen glikol lain. F. Landasan Teori Self-nanoemulsifying drug delivery system (SNEDDS) merupakan sistem penghantaran obat yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying) ketika kontak dengan fase air dengan agitasi yang ringan. Di dalam tubuh, SNEDDS akan membentuk nanoemulsi secara spontan saat kontak dengan cairan dalam saluran cerna yang agitasinya dibantu oleh gerakan lambung. Nanoemulsi yang terbentuk memiliki ukuran droplet kurang dari 100 nm dan stabil dalam saluran cerna (Doh dkk., 2013). Fase minyak dalam SNEDDS merupakan komponen pembawa obat. Minyak yang dipilih dalam SNEDDS adalah minyak yang paling banyak melarutkan ekstrak. Minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS berdasarkan sifat fisikokimia minyak yaitu volume, polaritas, dan viskositas untuk menentukan spontanitas emulsifikasi, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat (Bouchemal dkk., 2004). Surfaktan berperan sebagai pengemulsi minyak ke dalam air melalui pembentukan dan penjaga stabilitas lapisan film antarmuka, serta kosurfaktan berperan membantu tugas surfaktan membentuk nanoemulsi yang jernih. Ko-surfaktan juga berperan sebagai ko-solven dalam meningkatkan drug loading serta berpengaruh terhadap waktu emulsifikasi, dan ukuran tetesan nanoemulsi (Makadia dkk., 2013).
17
Flavonoid pernah diformulasikan menjadi SNEDDS dengan komposisi castor oil, tween 80, Cremophor RH 40, dan PEG 400 (20:16:34:30 b/b ) oleh Tran dkk. (2014) dengan senyawa aktif kuersetin yang menghasilkan peningkatan kadar kuersetin dalam plasma sebanyak 2-3 kali dibandingkan suspensi kontrol dengan ukuran rerata droplet 208,8±4,5 nm. Sementara itu, formulasi ekstrak daun kesemek ke dalam bentuk SNEDDS dengan komposisi Cremophor EL, Transcutol P, Labrafil M 1944 CS (56:34:10 b/b) yang menghasilkan nanoemulsi dengan rerata ukuran droplet 38,5 nm dapat meningkatkan bioavailabilitas oral senyawa flavonoid yang terkandung di dalamnya sebesar 1,5-1,6 kali (Li dkk., 2011). VCO juga telah berhasil diformulasikan ke dalam SNEDDS Ketoprofen yang homogen dengan tween 80 sebagai surfaktan, dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan yang memiliki ukuran droplet sebesar 2,8 ± 0,7 nm dengan waktu emulsifikasi dalam AGF dan AIF dibawah satu menit dan stabil selama satu minggu dalam AGF dan AIF (Zein, 2014). Formulasi SNEDDS ekstrak temulawak dan sambung nyawa oleh Hafizah (2014) dengan komponen berupa VCO, tween 80, dan PEG 400 menghasilkan SNEDDS yang homogen dengan rerata ukuran droplet nanoemulsi sebesar 4,43 nm. Wulandari (2013) dalam penelitiannya telah berhasil memformulasikan SNEDDS GVT-0 yang diperoleh melalui formula yang terdiri dari 10% minyak zaitun, 67,5% tween 80, dan 22,5% PEG 400. SNEDDS tersebut dapat membentuk nanoemulsi dengan rerata ukuran droplet 30,37 ± 4,10 nm, memiliki waktu emulsifikasi dalam AGF dan AIF kurang dari satu menit, dan stabilitas dalam saluran cerna lebih dari 4 jam. Oleh karena itu, diharapkan formulasi kombinasi ekstrak pegagan dan meniran dengan menggunakan minyak
18
nabati, surfaktan, dan ko-surfaktan terpilih dapat menghasilkan SNEDDS yang homogen yang dapat membentuk nanoemulsi dengan waktu emulsifikasi yang singkat dalam AGF dan AIF, serta memiliki stabilitas yang baik dalam saluran pencernaan. G. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Kombinasi surfaktan dan ko-surfaktan dalam formulasi SNEDDS kombinasi fraksi etil asetat pegagan (Centella asiatica) dan fraksi etanolik meniran (Phyllanthus niruri) (1:1) dapat menghasilkan emulsi jernih, teremulsifikasi secara spontan, dan stabil dalam AGF dan AIF. 2. Formula optimum SNEDDS kombinasi ekstrak pegagan (Centella asiatica) dan meniran (Phyllanthus niruri) dengan minyak nabati dapat menghasilkan emulsi dengan droplet berukuran nanometer dan terdristibusi seragam.