BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang bersifat multi etnik. Keragaman etnik dan dengan sendirinya keragaman budaya merupakan mutiara terpendam yang memerlukan penanganan yang sangat hatihati, terutama dalam memilih indikator untuk menetapkan jati diri bangsa Indonesia. Kelangkaan pakar dan pengamat serta tenaga ahli bangsa Indonesia yang memusatkan perhatian mereka pada budaya Indonesia yang bersifat multi etnik ini, sesungguhnya turut bertanggung jawab terhadap kenyataan yang ada sekarang ini, yakni kurang atau tidak dipahaminya secara benar dan tepat mengenai karakteristik budaya Indonesia tersebut oleh generasi penerus. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
1 Universitas Sumatera Utara
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa sehingga tuntutan akan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang benar-benar mampu menangani setiap kasus tindak pidana korupsi tidak dapat dielakkan lagi 1. Seluruh rakyat Indonesia sepakat bahwa tindak pidana korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan sudah sampai tahap sebagai pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan persoalan dan penegakan hukum semata-mata, tetapi juga merupakan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan persoalan hukum, sehingga harus segera dibenahi secara simultan. Alasan mengapa tindak pidana korupsi harus dianggap sebagai sebuah persoalan sosial adalah
karena
korupsi
telah
mengakibatkan
tidak
adanya
pemerataan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi pun harus dianggap sebagai persoalan psikologi sosial, karena tindak pidana korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit untuk disembuhkan. 2 Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang 1
Diakses dari http://www.jurnal.usu.ac.id, diakses tanggal 5 Maret 2015 Romli Atmasasmita, Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 9 2
2 Universitas Sumatera Utara
korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003. Akibat tindak pidana korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang telah di ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa: “ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;” ("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;") Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan, apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption / UNCAC 2003) yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikut sertanya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tanggal 21 maret 2006 yang kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan konvensi ini.
3 Universitas Sumatera Utara
Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah sebanyak 5 kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara khusus membahas tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset 3. Disahkannya UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC 2003 tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga menuntut peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia terutama
setelah
berakhirnya
era
orde
baru
yang jatuh karena
rasa
ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak terobosan yang dilakukan terutama dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi) sebagai “state auxiliary body” yang khusus menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk mempercepat pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini. 3
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption
4 Universitas Sumatera Utara
Sebagai
institusi
yang
mempunyai
peran
penting
dalam
upaya
pemberantasan korupsi ini, maka KPK mempunyai kewajiban untuk memastikan terimplementasinya UNCAC 2003 tersebut. Langkah awal untuk implementasi UNCAC 2003 adalah menyelaraskan undang-undang tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan sejumlah ketentuan yang tercantum dalam UNCAC 2003. Tentunya implementasi UNCAC 2003 tidak harus menunggu hingga seluruh peraturan perundangan terharmonisasi dengan UNCAC 2003, karena sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang diperintahkan oleh konvensi. Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi yang diharapkan oleh UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat pemerintah adalah subyek dan obyek dalam UNCAC 2003 ini. Terkait dengan UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan bagi Indonesia.
5 Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi menurut United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003? 2. Bagaimana hubungan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? 3. Bagaimana bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk
kerjasama
internasional dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi; 2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia;
6 Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis, yakni untuk menambah bahan penelitian bagi literatur yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, serta sebagai dasar penelitian selanjutnya pada bidang yang sama. 2. Manfaat praktis, yakni sebagai pengingat bagi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak melanggar ketentuan yang ada yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. E. Keaslian Penulisan Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian ini mengangkat suatu materi dari mata kuliah pilihan, yaitu hukum pidana internasional, khususnya yang membahas mengenai tindak pidana korupsi yang dituangkan dalam sebuah judul penelitian “United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dalam rangka pengajuan judul penelitian ini, maka harus terlebih dahulu mendaftarkan judul tersebut ke bagian departemen Hukum Internasional dan telah
7 Universitas Sumatera Utara
diperiksa pada arsip bagian departemen Hukum Internasional. Judul yang diangkat dinyatakan disetujui oleh departemen Hukum Internasional pada tanggal 13 November 2014. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan pada bagian departemen Hukum Internasional pada khususnya dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada umumnya, diketahui bahwa belum ada penelitian yang secara khusus membahas tentang United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keaslian penulisan yang dituangkan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya. F. Tinjauan Kepustakaan Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporanlaporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yakni yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas. 1. Pengertian
perjanjian
internasional
menurut
Prof.Mochtar
Kusumaatmadja 4 Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 4
Mochtar Kusumaatmadja,dkk, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal.117
8 Universitas Sumatera Utara
Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. 2. Organisasi dan Organisasi Internasional Beberapa pengertian organisasi menurut para ahli, yaitu 5 : a. Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubunganhubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama b. James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama c. Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih d. Stephen P. Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan Sedangkan pengertian organisasi internasional menurut para ahli antara lain 6 a. Bowwet D.W. : “....tidak ada suatu batasan mengenai organisasi publik internasional yang dapat diterima secara umum. Pada umumnya organisasi ini merupakan organisasi permanen (sebagai 5
Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, diakses pada tanggal 4 Maret 2015 Diakses dari, http://Mahendraputra.net/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUMINTERNASIONAL-101, diakses pada tanggal 4 Maret 2015 6
9 Universitas Sumatera Utara
contoh, jawatan pos atau KA) yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral yang disertai beberapa kriteria tertentu mengenai tujuannya” b. Starke hanya membandingkan fungsi, hak dan kewajiban serta wewenang dari lembaga internasional dengan negara yang modern. Starke berpendapat : “Pada awalnya seperti fungsi suatu negara modern mempunyai hak, kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki beserta alat perlengkapannya, semua itu diatur oleh hukum nasional yang dinamakan hukum tata negara sehingga dengan demikian organisasi internasional sama halnya dengan alat perlengkapan negara modern yang diatur oleh hukum konstitusi nasional” c. Sumaryo Suryokusumo berpendapat bahwa organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut aspekaspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam rangka kerja sama menyesuaikan dan mencari kompromi untuk menentukan kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama serta mengurangi pertikaian yang timbul d. T. Sugeng Susanto menjelaskan yang dimaksud dengan organisasi internasional dalam pengertian luas adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional untuk tujuan yang bersifat internasional. Pihak-pihak yang bersifat internasional itu dapat berupa
10 Universitas Sumatera Utara
orang-perorangan, badan-badan bukan negara yang berada di berbagai negara atau pemerintah negara. Adapun yang dimaksud dengan tujuan internasional ialah tujuan bersama yang menyangkut kepentingan berbagai negara e. Boer Mauna menyebutkan bahwa pengertian organisasi internasional menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, yang mana dalam pasal itu disebutkan bahwa organisasi internasional adalah organisasi antar pemerintah. Menurut Boer Mauna, pengertian yang diberikan konvensi ini sangat sempit karena hanya membatasi diri pada hubungan antar pemerintah. Menurutnya, defenisi inimendapat tantangan dari para penganut defenisi yang luas menurut NGO’s7 3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN/PBB) 8 Tujuan Berdirinya PBB : PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 Oleh negara-negara Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina (sekarang Republik Rakyat Tiongkok), Perancis, Uni Soviet (sekarang Rusia), dan Inggris. PBB didirikan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan,
untuk
mengembangkan
hubungan
persahabatan
dan
kerjasama antar bangsa dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi,
7
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2008, PT. Alumni, Bandung, hal.459 8 Mizwar Djamily,dkk, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Cetakan Keenam, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama, hal.10
11 Universitas Sumatera Utara
sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan, serta memajukan penghormatan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Disamping itu PBB juga bertujuan untuk menjadi pusat dalam merukunkan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama diatas. 4. Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif 9. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut : a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009);10 b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); c) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
9
Prinst Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal.2 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
12 Universitas Sumatera Utara
pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009); d) Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); e) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); f) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); g) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); h) Pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan
13 Universitas Sumatera Utara
perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)11; i) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); j) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); k) Pegawai negeri atau orang lain selain Pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang, atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001). Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
14 Universitas Sumatera Utara
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001); b) Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); c) Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana disebut dalam ayat (1) huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); d) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); e) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
15 Universitas Sumatera Utara
kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); f) Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui itu patut diduga
bahwa
hadiah
atau
janji
tersebut
diberikan
untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); g) Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); h) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 13 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001). 5. Sedangkan yang dimaksud dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 200312 adalah : United Nations Convention against Corruption (UNCAC) is a multilateral convention negotiated by members of the United Nations. It is the first global legally binding international anti-corruption instrument. In its 71 Articles divided into 8 Chapters, UNCAC requires that States Parties implement several anti-corruption measures which 12
Diakses http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against_Corruption, tanggal 4 Maret 2015
diakses
dari, pada
16 Universitas Sumatera Utara
may affect their laws, institutions and practices. These measures aim at preventing corruption, criminalizing certain conducts, strengthening international law enforcement and judicial cooperation, providing effective legal mechanisms for asset recovery, technical assistance and information exchange, and mechanisms for implementation of the Convention, including the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption (CoSP). Konvensi UNCAC 2003 merupakan konvensi multilateral yang dinegosiasikan oleh anggota PBB. Konvensi ini merupakan instrumen hukum intenasional pertama tentang anti - korupsi yang mengikat secara global. Konvensi ini terdiri atas 71 artikel yang terbagi menjadi 8 bab. Dalam konvensi UNCAC 2003 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak menerapkan beberapa langkah-langkah anti - korupsi yang dapat mempengaruhi hukum mereka baik secara institusi maupun praktik. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah korupsi,
kriminalisasi
perilaku
tertentu,
memperkuat penegakan
hukum
internasional dan kerjasama yudisial, menyediakan mekanisme hukum yang efektif untuk pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi, dan mekanisme pelaksanaan Konvensi, termasuk Konferensi Negara-Negara Pihak pada konvensi PBB melawan Korupsi ( CoSP ) . 13 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menganalisis norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
13
Diterjemahkan melalui situs https://translate.google.com/, diakses pada tanggal 4 Maret
2015
17 Universitas Sumatera Utara
undangan dan putusan-putusan hakim. Menurut Prof. Soerjono Soekanto 14, penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap azas-azas hukum; penelitian terhadap sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; penelitian sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum. 2. Sumber Data Penelitian hukum pada umumnya membedakan sumber data ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sumber data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yakni terdiri dari 15 : a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini berupa : 1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi 3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 4) Unied Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 5) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2008, hal.51 15 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003, hal.113-114
18 Universitas Sumatera Utara
b) Bahan hukum sekunder adalah bahan acuan yang bersumber dari buku-buku, surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti karya ilmiah sarjana, jurnal-jurnal hukum, dan hasil penelitian. c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus-kamus dan ensiklopedia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis.16 Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian.17 Pengertian lain, menyatakan bahwa Studi Kepustakaan (Library Research), yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari bukubuku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
16
Soerjono Soekanto, op.cit, hal.21 Andre Yuris, Berkenalan dengan Analisis Isi (Content Analysis), https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/, diakses tanggal 30 Juni 2015 17
19 Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Menurut Berndl Berson, ”Content analysis is a research technique for the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of communication.”18 (kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi). Teknik analisis data dapat digolongkan sebagai berikut : a. Teknik analisis data kuantitatif yaitu menganalisis dengan pengukuran data statistik secara obyektif belalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel yang menghubungkan antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis b. Teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan berupa huruf, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif, karena
lebih
cenderung
menggunakan
pendekatan
teoritis
yang
lebih
mengutamakan dalamnya data daripada jumlahnya. H. Sistematika Penulisan Penelitian skripsi harus mempermudah dalam pemahaman mulai dari awal permasalahan hingga pembahasan. Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : 18
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989,
hal.179
20 Universitas Sumatera Utara
Bab pertama dimulai dari memaparkan latar belakang lahirnya permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 (tiga) inti masalah, serta menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian, dan menjabarkan kerangka teori dan konsep serta metode penelitian. Bab kedua mulai membahas permasalahan yang pertama yaitu bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi menurut konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Bab ini terdiri dari Sejarah Terbentuknya konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Kedudukan konvensi United Nations Convention Against
Corruption
(UNCAC)
2003
Sebagai
Sebuah
Perjanjian
Internasional;Kekuatan Mengikat konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003; Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang kemudian terbagi lagi atas : Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur Dalam konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003; Negara-Negara yang Telah Meratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003;dan poin terakhir: Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bab ketiga berisi tentang hubungan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang: Ratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Oleh Indonesia dan Negara Lainnya; Akibat Hukum dari Ratifikasi konvensi United Nations Convention
21 Universitas Sumatera Utara
Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia; Pengaruh konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di Indonesia; Pengaruh konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bab keempat membahas permasalahan akhir, yaitu bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Bab ini akan memaparkan lebih jelas tentang Ketentuan – Ketentuan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional; dan Ketentuan-Ketentuan konvensi United Naions Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum Diadopsi dalam Hukum Nasional. Bab kelima merupakan bab penutup dari skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran yang berdasarkan hasil dari penelitian.
22 Universitas Sumatera Utara