BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan tidur merupakan masalah yang umum dialami hampir 56% pasien hospitalisasi (Abolhassani et al., 2006; Daneshmandi et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Bukit (2003) di dua rumah sakit di Medan menyatakan bahwa mayoritas klien (77%) melaporkan kualitas tidur mereka buruk selama di rumah sakit. Gangguan tidur yang dialami seseorang akan berdampak buruk terhadap kualitas hidup, aktivitas sehari-hari, pada perasaan, tingkat kewaspadaan dan kelelahan serta dapat menurunkan sistem imun tubuh (Kaku et al., 2012) termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Seseorang yang sedang sakit, jika kualitas tidurnya tercukupi maka energinya dapat digunakan untuk proses pemulihan sel-sel tubuh. Sehingga dapat mempersingkat lama hari perawatan di rumah sakit. Sebaliknya, jika tidur terganggu maka regenerasi sel-sel tubuh tidak akan maksimal sehingga tubuh menjadi lemas dan rentan terhadap penyakit (Friese, 2007; Safrudin, et al., 2009). Berbagai gangguan tidur yang sering dialami pasien hospitalisasi antara lain; kesulitan memulai tidur, bangun lebih awal, insomnia, deprevasi tidur, dan sering terbangun (Kaku et al., 2012). Hasil pengkajian awal yang dilakukan oleh tim peneliti di bangsal dewasa IRNA I RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada Bulan Januari
2014
didapatkan
data
bahwa
pasien
yang
1
mengalami gangguan tidur sebanyak 50% di Dahlia 4, 50% di Dahlia 2, 33,3% di Cendana 5, 30% di Cendana 3 dan 35% di Cendana 2. Keluhan yang didapat adalah sering terbangun, tidur tidak nyenyak karena nyeri, sesak/penyakit yang diderita, tidak bisa tidur, kebisingan dan susah memulai tidur (Data Primer, 2014). Gangguan tidur tersebut disebabkan karena faktor internal seperti ketidaknyamanan akibat tindakan keperawatan dan faktor eksternal yaitu kebisingan. Masalah kebisingan merupakan masalah terbesar yang dialami pasien terutama pada malam pertama hospitalisasi, sehingga pasien sering mengalami peningkatan frekuensi bangun serta fase REM yang berlangsung singkat dan penurunan kualitas tidur (Tembo & Parker, 2009). Menurut Richardson et al., (2007) dalam Xie et al., (2009) menyebutkan bahwa 58.8% pasien dalam grup intervensi dan 25% dalam grup non-intervensi memilih kebisingan sebagai faktor penyebab utama gangguan tidur mereka. Menurut Sujiati (2008) melaporkan bahwa hampir semua responden dalam penelitiannya yaitu 36 responden (90,0%) mengalami gangguan tidur akibat suara bising dan terdapat hubungan yang bermakna antara stressor bising dengan gangguan tidur. Selama ini pasien dengan gangguan tidur umumnya diberikan terapi farmakologi dengan pemberian obat antidepresan dan obat hipnotik. Selain itu, upaya meminimalkan adanya gangguan tidur pada pasien hospitalisasi biasanya dilakukan dengan tindakan modifikasi perilaku petugas kesehatan. Modifikasi perilaku ini dilakukan dengan menghindari percakapan didekat pasien yang sedang tidur serta penerapan “quite time” pada jam tertentu misalnya pada jam 02.00 s.d 04.00 dan pada jam 14.00 s.d 16.00 (Eliassen dan Hopstock, 2011). Modifikasi perilaku ini secara signifikan menurunkan tingkat kebisingan di ruangan, tetapi tidak secara sistematis berhubungan dengan peningkatan kualitas tidur pasien. Hal ini berkaitan dengan adanya kesulitan untuk mempertahankan perilaku tersebut dalam jangka waktu yang lama (Kahn, 1998; Walder, 2000; Nicholson, 2001 cit Guen et al., 2014).
2
Kondisi lingkungan yang gelap, tenang dan nyaman merupakan kondisi yang ideal untuk tidur. Perawat selalu berusaha untuk menciptakan kondisi lingkungan yang demikian sehingga diharapkan pasien dapat tidur dengan baik (Daneshmandi et al., 2012). Salah satu upaya yang mungkin dilakukan oleh perawat antara lain dengan menggunakan alat bantu seperti earplugs sebagai penutup telinga untuk menurunkan paparan kebisingan (Gabor, 2003). Earplugs mengurangi suara bising dengan menyediakan barrier untuk menghalangi perambatan suara, dengan demikian dapat mereduksi suara bising yang memasuki telinga (Gauger, 1996 dalam Wallace et al., 1999). Alat ini merupakan alat sederhana yang sudah sejak lama dikembangkan di dunia penerbangan untuk meningkatkan kenyamanan penumpang di perjalanan. Selain sederhana, alat ini juga memiliki harga yang relatif terjangkau serta dapat digunakan maupun dilepas secara mandiri oleh pasien sehingga akan meningkatkan self control dan penerimaan dari pasien serta menurunkan tingkat kecemasan (Xie et al., 2009; Hu et al., 2010). Dikatakan oleh Scoto et al., (2009) dalam Nesbitt et al., (2013) bahwa dalam sebuah penelitian kuasieksperimental, 50 pasien secara signifikan mengalami peningkatan kualitas tidur pada grup intervensi setelah menggunakan earplugs (penutup telinga). Sementara dalam penelitian lain, lebih dari 45% dari 69 pasien pada grup intervensi menyatakan secara subjektif bahwa kualitas tidurnya meningkat setelah menggunakan earplugs (penutup telinga). Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak menggunakan earplugs (penutup telinga) hanya 25% dari 67 pasien yang menyatakan kualitas tidurnya baik pada malam pertama hospitalisasi (Van Rompaey et al., 2012). Mengingat pentingnya tidur yang berkualitas bagi orang sakit, serta masih terbatasnya intervensi keperawatan untuk mengatasi gangguan tidur tersebut, maka peneliti berpendapat
3
bahwa penggunaan earplugs sebagai alternatif penatalaksanaan pasien dengan gangguan tidur perlu dikaji lebih mendalam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah pengaruh penggunaan earplugs terhadap kualitas tidur penderita gangguan tidur di IRNA-1 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan earplugs (penutup telinga) terhadap kualitas tidur penderita gangguan tidur di IRNA 1 RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah a. Menganalisis kualitas tidur pasien hospitalisasi serta jenis gangguan tidur yang sering dialami b. Menganalisis perbedaan kualitas tidur sebelum dan sesudah penggunaan earplugs pada kelompok intervensi. c. Menganalisis perbedaan kualitas tidur sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
4
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pendidikan Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan terutama dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penatalaksanaan pasien dengan gangguan tidur. 2. Bagi keperawatan Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam keperawatan terutama dalam aplikasi penatalaksanaan pasien dengan gangguan tidur. 3. Bagi pelayanan / kebijakan Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan dalam membuat panduan perawatan pasien penderita gangguan tidur berupa pengembangan intervensi keperawatan mandiri berupa penggunaan earplugs (penutup telinga) dalam meningkatkan kualitas tidur pasien. 4. Bagi penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar penelitian–penelitian selanjutnya mengenai aplikasi intervensi mandiri keperawatan berupa earplugs dalam meningkatkan kualitas tidur pasien penderita gangguan tidur. E. Keaslian Penelitian Peneliti belum pernah menemukan penelitian terdahulu terkait dengan penggunaan earplugs (penutup telinga) untuk meningkatkan kualitas tidur pasien penderita gangguan tidur yang menjalani rawat inap yang dilakukan di Indonesia. Adapun penelitian dengan variabel yang hampir sama pernah dilakukan oleh peneliti di luar negeri antara lain:
5
1. Penelitian yang dilakukan oleh Neyse et al., (2011) dengan judul The Effect of Earplugs on Sleep Quality in Patients With Acute Coronary Syndrome. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien dengan sindrom koroner akut dengan dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok perlakuan yang diberikan earplugs (penutup telinga) terjadi peningkatan kualitas tidurnya. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel bebas dan variabel terikatnya. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada sampel, metode pengambilan sampling dan tempat penelitian. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Guen et al., (2013) dengan judul Earplugs and eye mask vs routine care prevent sleep impairment in post-anesthesia care unit: a randomized study. Penelitian ini dilakukan kepada 46 pasien post-operasi pembedahan. Peneliti memilih kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara acak. Kelompok perlakuan diberikan earplugs (penutup telinga) dan eye mask (penutup mata) pada malam pertama setelah menjalani operasi. Penelitian bertujuan untuk memgetahui pengaruh penggunaan earplugs (penutup telinga) dan eye mask (penutup mata) dalam meningkatkan kualitas tidur pasien post-operasi pembedahan. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel bebasnya yaitu kualitas tidur. Sedangkan untuk perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan terdapat pada sampel yang digunakan, tempat penelitian, perlakuan dan metode pengambilan sampel. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Hu et al., (2010) dengan judul Effect of earplugs and eye mask on nocturnal sleep, melatonin and cortisol in a simulated intensive care unit environment. Penelitian ini dilakukan kepada 14 orang sehat yang dipaparkan pada suasana ICU pada ruang simulasi ICU. Semua subjek diberi perlakuan dengan memberikan earplugs (penutup telinga) dan eye mask (penutup mata). Kemudian diukur kualitas tidur, tingkat
6
kecemasan serta kadar hormone serotonin dan melatoninnya. Adapun persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terletak pada salah satu variabel bebasnya yaitu kualitas tidur. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada sampel yang digunakan, tempat dilakukan penelitian dan perlakuan.
7