BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kualitas hidup merupakan konsep multidimensi yang berhubungan dengan kepuasaan individu terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk fungsi fisik, sosial, kesehatan jiwa maupun persepsi kesehatan umum (Chan et al, 2006 cit Ng et al, 2014). Kualitas hidup terdiri dari dua elemen yaitu objektif dan subjektif (Ng et al, 2014). Penilaian terhadap kualitas hidup bergantung pada sistem nilai dan budaya dimana individu tersebut tinggal (Gilgeous, 1998 cit Ruževičius dan Dalia, 2007). Kualitas hidup dipengaruhi oleh kesehatan fisik dan kesehatan jiwa seseorang, tingkat kemandirian, hubungan sosial dengan lingkungan dan faktor lain. (Ruževičius dan Dalia, 2007). Kesehatan jiwa adalah kondisi sejahtera dimana setiap individu mampu untuk menyadari potensi diri mereka, mampu mengatasi stressor hidup, bekerja secara produktif dan sukses, dan mampu berkontribusi dikomunitas (WHO, 2013). Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Kesehatan jiwa telah menjadi Prioritas Global pada tahun 2009 (Depkes, 2009). Masalah kesehatan jiwa berkontribusi terhadap beban penyakit secara global, karena empat dari sepuluh penyakit dengan beban tertinggi adalah kejiwaan (Preedy et al, 2010). WHO (2008) mengestimasi gangguan
1
2
neuropsikiatrik di Indonesia mempunyai kontribusi 10,7 % terhadap beban penyakit secara global. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan angka rata-rata nasional gangguan mental emosional (depresi dan ansietas) pada penduduk usia 15 tahun keatas adalah enam persen. Angka ini sama dengan 14 juta penduduk, sedangkan gangguan jiwa berat (psikosis) rata-rata sebesar 0,17 persen atau sekitar 400.000 penduduk. Kerugian ekonomi akibat masalah kesehatan jiwa ini mencapai 20 triliun rupiah, hal ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana Jamkesmas Rp. 5,1 triliun dan kerugian akibat TBC tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 6,2 triliun (Depkes, 2014). Gangguan mental dan perilaku terjadi pada 10% populasi dewasa. Sekitar 20% pasien yang berada pada pelayanan kesehatan primer mempunyai satu atau lebih gangguan jiwa. Dua pertiga dari pasien gangguan psikiatrik ditemukan di pusat pelayanan kesehatan primer, sekitar 30% pasien yang datang ke pelayanan kesehatan primer merupakan pasien gangguan psikiatrik yang memenuhi diagnosis menurut DSM-IV (WHO, 2001 cit Hidayat, 2010). Satu dari empat keluarga mungkin mempunyai paling sedikit satu anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga tidak hanya menyediakan dukungan fisik dan emosional namun juga menanggung dampak negatif dari stigma dan diskriminasi. Gangguan jiwa dan neurotik diestimasikan mencapai 10% pada tahun 1990 dan mencapai 20% pada tahun 2000. WHO (2001) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 depresi akan menjadi penyebab utama dari
3
ketidakmampuan seorang individu di seluruh dunia dan gangguan psikiatrik akan menyumbang sekitar 15% dari angka kesakitan global. Masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi individu, keluarga, masyarakat dan negara karena penderitanya menjadi tidak produktif dan bergantung pada orang lain (Depkes, 2006). Individu menderita karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pekerjaan dan aktivitas di waktu luang, sebagai hasil dari diskriminasi. Individu khawatir tidak dapat mengemban tanggung jawab terhadap keluarga maupun teman dan takut menjadi beban orang lain. Pasien gangguan jiwa kehilangan kesempatan yang harus mereka ambil, keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa membuat banyak aturan dan kompromi yang mencegah anggota keluarga lain menerima potensi pekerjaan mereka, hubungan sosial dan kesenangan (Gallagher & Mechanic, 1996 cit WHO, 2001). Kualitas hidup merupakan salah satu metode untuk menilai dampak dari gangguan jiwa yaitu dengan menggunakan insrumen kualitas hidup (Lehman et al, 1998 cit WHO, 2001). Kualitas hidup pasien gangguan jiwa menjadi lebih rendah setelah penyembuhan dari gangguan jiwa sebagai hasil dari faktor sosial termasuk stigma dan diskriminasi, individu dengan gangguan jiwa berat yang tinggal lama di rumah sakit mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan yang tinggal dikomunitas. Kebutuhan dasar sosial dan fungsional merupakan prediktor terbesar terhadap rendahnya kualitas hidup (UK700 Group, 1999 cit WHO, 2001). Oleh sebab itu masalah
4
kesehatan jiwa perlu ditangani secara serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien khususnya aspek practical becoming. Aspek practical becoming merupakan salah satu aspek kualitas hidup yang penting untuk diperhatikan karena aspek ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti aktivitas menjalankan peran dalam rumah tangga, bekerja, aktivitas pendidikan, perawatan diri, dan keterlibatan dalam pelayanan sosial atau kesehatan. (Brown et al, 1993) Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah gangguan jiwa khususnya di setting pelayanan kesehatan primer atau puskesmas, orientasi Kementrian Kesehatan telah berubah dari kesehatan jiwa berbasis rujukan menuju kesehatan jiwa komunitas dasar (Marchira, 2011). Community Mental Health Nursing (CMHN) merupakan pelayanan kesehatan jiwa yang berada di tingkat komunitas atau puskesmas, program CMHN dikembangkan melalui Basic Course CMHN (BC CMHN) berhasil meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien secara mandiri. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien, telah dikembangkan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) pada Intermediate Course CMHN dengan melatih Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) yang bertugas memantau kemandirian pasien dan keluarga (Stuart, 2007). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas CMHN berupa program peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diberikan kepada petugas kesehatan melalui pelatihan dalam rangka membantu
5
masyarakat menyelesaikan masalah kesehatan jiwa akibat dampak tsunami, gempa maupun bencana lainnya. Terjadi dinamika interaksi di dalam kelompok yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang maladaptif. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian (Keliat dan Wiyono, 2013). Studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada 6 Mei 2014 menunjukkan bahwa Kabupaten Bantul merupakan wilayah post bencana gempa bumi 2006 sehingga masalah gangguan psikososial dan jumlah penderita gangguan jiwa mengalami peningkatan, baik kasus baru maupun kasus lama. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 prevalensi Gangguan Mental Emosional di Kabupaten Bantul sebesar 9,9% sedangkan Gangguan Jiwa sebesar 0,2 %. Puskesmas Jetis II dan Kasihan II merupakan puskesmas yang sudah memiliki Desa Siaga Sehat Jiwa yang berada di wilayah kabupaten Bantul. Jumlah pasien gangguan jiwa di Puskesmas Jetis II Bantul mencapai 171 orang pada tahun 2012 dengan jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa sebesar 341 pada tahun 2013 sedangkan di Puskesmas Kasihan II sebesar 139 orang pada tahun 2009 dengan jumlah kunjungan gangguan jiwa sebesar 2.839 pada tahun 2013. Skizofrenia unspecified (F20.9) merupakan penyakit terbesar kedelapan yang ada di Puskesmas Jetis II dengan jumlah 823 orang. Sejak tahun 2012 puskesmas telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kasus gangguan jiwa, antara lain melalui home visit penderita gangguan jiwa, pendataan
6
penderita gangguan jiwa, family gathering, pelatihan dan refreshing kader sehat jiwa dan pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa. Hasil studi penelitian yang peneliti lakukan pada bulan Juli 2014 terkait peran dalam rumah tangga menunjukkan bahwa pasien merasa kurang nyaman ketika tetangganya tidak menyapa, pasien merasa senang apabila dapat membantu tetangganya seperti membantu mengurus pendaftaran sekolah, membantu mencarikan jaminan kesehatan, pasien juga merasa senang ketika diberikan undangan dan diminta belanja ke pasar karena mereka merasa dihargai. Beberapa pasien gangguan jiwa sudah mampu melakukan pekerjaan yang bergaji sedangkan sebagian yang lain melakukan pekerjaan sederhana seperti memasak, bersih-bersih rumah, mengasuh cucu/anak, bercocok tanam, dan belanja dipasar. Pasien juga mengungkapkan ingin membantu keluarga dengan
melakukan
pekerjaan
yang
bergaji
tetapi
keluarga
tidak
memperbolehkan. Selain itu terdapat pula pasien yang hanya diam di dalam rumah. Pasien mengungkapkan ketika mereka melamun, tidak melakukan pekerjaan akan lebih mudah untuk kambuh. Sebagian besar pasien gangguan jiwa tidak menjalankan aktivitas pendidikan formal. Masalah perawatan diri juga terjadi ditunjukkan dengan adanya pasien yang tidak mau mandi, tidak mau berganti pakaian, tidak mau memotong kuku yang panjang, tidak merapikan rambut dan tidak mencuci tangan. Beberapa pasien gangguan jiwa sudah mampu pergi ke puskesmas untuk mengambil obat, namun terdapat pasien yang tidak berani pergi ke puskesmas karena merasa minder dan beberapa pasien tidak mengambil obat
7
apbila tidak ada yang mengantar atau mengambilkan obat di puskesmas. Selain itu terdapat pasien yang tidak mau diajak ke fasilitas kesehatan. Dukungan keluarga dalam meningkatkan keterlibatan pasien untuk datang ke fasilitas kesehatan masih kurang sehingga masih banyak pasien yang datang ke fasilitas kesehatan hanya ketika mengalami masalah (Data Primer, 2014) . Terdapat banyak faktor yang bisa mempengaruhi masalah gangguan jiwa diantaranya faktor badaniah seperti kelainan genetik, faktor sosiologik seperti budaya, lingkungan sosial, tingkat ekonomi, pola asuh orangtua, dan faktor psikologik seperti pola keluarga yang patologik, interaksi ibu-anak, peranan ayah, inteligensi, dan hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan serta masyarakat. (Maramis, 1986). Petugas kesehatan Puskesmas Jetis II menyatakan bahwa tingginya masalah gangguan jiwa yang berada di wilayah tersebut dikarenakan pasien yang telah selesai menjalani fase rehabilitasi tidak kembali lagi ke puskesmas karena merasa telah sembuh dan juga menghentikan konsumsi obat. Selain itu keluarga dan anggota terdekat pasien juga belum menyadari akan pentingnya perawatan setelah rehabilitasi terhadap prevalensi terjadinya relapse (Data Primer, 2014). Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok terhadap aspek pratical becoming dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
8
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah Terapi Aktivitas Kelompok efektif terhadap perubahan nilai aspek pratical becoming dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta?” C. Tujuan Penelitian Tujuan umum
:
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok terhadap perubahan nilai aspek pratical becoming dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tujuan Khusus
:
1. Mengetahui perubahan nilai aspek practical becoming dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa sebelum dan sesudah menerima Terapi Aktivitas Kelompok di Desa Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta. 2. Mengetahui perbedaan nilai aspek practical becoming dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa antara kelompok yang menerima Terapi Aktivitas Kelompok dan yang tidak menerima Terapi Aktivitas Kelompok di Desa Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
9
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat dalam beberapa aspek meliputi : 1. Manfaat Teoritis Manfaat untuk ilmu pengetahuan adalah dapat memberikan kontribusi untuk mengembangkan pengetahuan terkait efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok terhadap kualitas hidup pasien gangguan jiwa terutama aspek practical becoming. 2. Manfaat Praktis a. Manfaat untuk pasien Memberikan pengetahuan terkait gangguan jiwa serta pentingnya peran dalam rumah tangga, aktivitas bekerja, aktivitas pendidikan, perawatan diri dan keterlibatan dalam pelayanan sosial dan kesehatan dalam meningkatkan kualitas hidup. b. Manfaat untuk perawat Dapat dijadikan sumber acuan untuk memberikan terapi pada pasien gangguan jiwa tahap maintenance dan health promotion di tingkat pelayanan kesehatan primer. c. Manfaat untuk pelayanan kesehatan Bagi puskesmas modul TAK dapat dijadikan sumber acuan untuk pemberian terapi bagi pasien gangguan jiwa tahap maintenance dan health promotion yang berkaitan dengan kualitas hidup aspek practical becoming dan aspek yang lain.
10
d. Manfaat untuk peneliti Dapat
dijadikan
sebagai
informasi
tambahan
untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut terkait kualitas hidup pasien gangguan jiwa. e. Manfaat untuk pemerintah Memberikan ide baru dalam mengembangkan strategi untuk mengatasi gangguan jiwa. Sehingga selanjutnya dapat dilanjutkan dan dikembangkan sebagai standar sarana untuk meningkatkan kesadaran
dan
kemampuan
pasien
gangguan
jiwa
tahap
maintenance dan health promotion supaya dapat hidup mandiri dan produktif.
11
E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang sudah dilakukan dan serupa dengan penelitian ini antara lain: Tabel 1 Keaslian Penelitian No 1
2
Peneliti dan Tahun Suryaningsih , V. (2007)
Rusjini (2007)
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi terhadap Frekuensi Halusinasi di Ruang P2A Rumah Sakit Grhasia Propinsi DIY
Jenis penelitian quasi eksperimental menggunakan rancangan pretestpostest one group design dengan teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling.
Seluruh sampel penelitian mengalami penurunan frekuensi halusinasi setelah mengikuti TAK stimulasi persepsi halusinasi.
Pengaruh Konseling dan Terapi Aktivitas Kelompok terhadap Perubahan Perilaku Psikososial pada Wanita Dewasa Pasca Gempa Di Desa Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta
Jenis penelitian pre-eksperimental design menggunakan one group pretestpostest dan metode pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling
Pada kelompok intervensi terdapat perbedaan perilaku psikososial sebelum dan sesudah pemberian TAK sebesar 13.0435 dengan t=3.441 dan p=0.002 dibandingkan kelompok kontrol
Persamaan dengan Penelitian Sama-sama menggunakan TAK dalam pemberian intervensi namun jenis TAK yang diberikan berbeda..
Perbedaan dengan Penelitian
Penelitian ini pemberian TAK diarahkan terhadap aspek practical becoming kualitas hidup pasien gangguan jiwa sedangkan penelitian Suryaningsih diarahkan terhadap frekuensi halusinasi pasien jiwa, selain itu tempat dan jenis TAK yang diberikan antara peneliti dan Suryaningsih juga berbeda Sama-sama Pada penelitian ini diarahkan menggunakan terhadap aspek practical TAK dalam becoming kualitas hidup pemberian pasien gangguan jiwa intervensi sedangkan penelitian Rusjini terhadap perubahan perilaku psikososial pada wanita dewasa pasca gempa. Selain itu tempat dan jenis TAK yang digunakan juga berbeda.
12
Tabel 1. Lanjutan 3
Wulansari, I (2010)
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Pemenuhan Kebutuhan Dasar Berpakaian dan Berhias Terhadap Harga Diri Pasien Gangguan Jiwa di RS Grhasia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
4
Kesumaningrum , U.P. (2009)
Hubungan Kualitas Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok dengan Tingkat Kepuasan Pasien Gangguan Jiwa di RS Grhasia Propinsi DIY
Jenis penelitian quasi eksperimental yang menggunakan rancangan pretestposttest with control group. Metode pengambilan sampel adalah non probability, jenis purposive sampling
Terapi Aktivitas Kelompok pemenuhan kebutuhan dasar berpakaian dan berhias secara signifikan berpengaruh untuk meningkatkan harga diri pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY, selain itu kemandirian pasien meningkat dengan baik dalam pemenuhan kebutuhan dasar berpakaian dan berhias setelah diberikan terapi Jenis penelitian Sebanyak (83,3%) deskriptif pelaksanaan TAK dengan korelasional dengan sangat berkualitas dan pendekatan tingkat kepuasan pasien kuantitatif dan menunjukkan (85,5%) rancangan cross pasien merasa sangat sectional memuaskan. Nilai komparasi tingkat kepuasan pasien sebesar 28,000 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p<0,05).
Sama-sama menggunakan TAK dalam pemberian intervensi namun jenisnya berbeda
Pada penelitian ini TAK diarahkan terhadap aspek practical becoming kualitas hidup pasien gangguan jiwa sedangkan pada penelitian Wulansari I diarahkan pada tingkat harga diri pasien jiwa
Sama-sama Jenis penelitian berbeda meneliti tentang TAK yang diberikan berbeda TAK Variabel yang diteliti dalam penelitian Kesumaningrum mengenai tingkat kepuasan pasien sedangkan dalam penelitian ini mengenai kualitas hidup aspek practical becoming.
13
Tabel 1. Lanjutan 5
Wulandari, A. N. (2013)
6
Blazquez, F.P., Medina, P.M., Guerrero, A.G. (2014)
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan terhadap Perubahan Strategi Koping Pasien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY Gaudiebility Group Therapy in Depressed Patients: A Pilot Study Tujuan: untuk menguji efektivitas terapi kelompok berdasarkan prinsip gaudibilitas (seperangkat modulator yang mengatur pengalaman menyenangkan) pada pasien dengan unipolar depression.
Jenis penelitian eksperimental dengan rancangan pretestposttest with control group
Jenis penelitian eksperimental dengan rancangan pretestposttest with control group. Teknik pengambilan sampel secara random
Tidak terdapat pengaruh dalam perubahan strategi koping pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan setelah diberikan TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan. Namun terdapat perbedaan yang signifikan pada strategi koping PFC sebelum dan sesudah pemberian TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan pada kelompok intervensi Menunjukkan adanya peningkatan pada kelompok intervensi yang diindikasikan dengan skala evaluasi klinis Beck Depression Scale (24.57 menjadi 13.14, p=0.02), skala gaudiebilitas (32.71 menjadi 49.57, p=0.04), skala kualitas hidup (87.14 menjadi 104.43, p=0.02) dan skala psychological well being (61.86 menjadi 82.14, p=0.02). peningkatan bertahan setelah 3 bulan dan 2 tahun. Pada kelompok kontrol menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan hanya pada skala kualitas hidup (87.1 menjadi 97.6, p=0.014).
Sama-sama menggunak an TAK dalam pemberian intervensi namun jenisnya berbeda
Pada penelitian ini diarahkan terhadap aspek practical becoming kualitas hidup pasien gangguan jiwa sedangkan penelitian Wulandari, A. N. terhadap Perubahan Strategi Koping Pasien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan. Selain itu tempat yang digunakan juga berbeda.
Sama-sama mengunaka n terapi kelompok sebagai intervensi.
Jenis terapi kelompok berbeda. Responden yang akan digunakan berbeda pada penelitian Blazquez responden adalah pasien dengan unipolar depression sedangkan peneliti menggunakan pasien gangguan jiwa secara umum. Penelitian Blazquez diarahkan terhadap tingkat depresi, kualitas hidup, gaudiebilitas dan kondisi kesejahteraan psikologis sedangkan peneliti lebih mengarahkan terhadap kualitas hidup aspek practical becoming.