1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kehidupan yang semakin modern akan menjadi prospek bagi peningkatan kehidupan manusia sekaligus menjadi tantangan manusia untuk mempertahankan nilai-nilai yang selama ini dipegang erat termasuk nilai-nilai pendidikan agama. Beberapa
situasi
yang mengiringi
kehidupan
masyarakat
modern
dan
menunjukkan adanya efek positif serta negatif bagi perubahan kehidupan manusia antara lain dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bahwa terjadinya perubahan besar pada semua aspek kehidupan, dan perubahan tersebut akan berlangsung semakin hari semakin terakselerasi serta mengalir dengan deras tanpa dapat dibendung. Kedua, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) akan mengambil posisi sentral yang langsung mempengaruhi bukan saja gaya hidup manusia sehari-hari, tetapi juga mempengaruhi nilai-nilai seni moral, agama, dan pandangan terhadap kehidupannya. Ketiga, bahwa adanya pertarungan dan persaingan hidup antarbangsa-bangsa tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi saja, tetapi juga di berbagai bidang lainnya termasuk bidang pendidikan, budaya, dan teknologi. Keempat, kuatnya pengaruh iptek maka nilai-nilai moral dan agama juga berpotensi semakin luntur bahkan bisa tercabut, dan bukan mustahil akan lahir sistem nilai yang berbeda dari apa yang dipegang selama ini (Muhaimin, 2001).
1
2
Adanya moderenisasi kehidupan manusia yang terkadang berbenturan dengan nilai-nilai yang dianut oleh individu maupun masyarakat dapat menimbulkan gejolak, misalnya terjadinya konflik, pemberontakan bahkan terorisme di dunia dan juga terjadi di Indonesia. Semakin meningkatnya peristiwa-peristiwa terorisme seperti pengeboman dan bom bunuh diri yang menyudutkan umat Islam di dunia khususnya di Indonesia, ternyata meningkatkan perhatian masyarakat internasional khususnya masyarakat Indonesia terhadap ajaran Islam secara lebih mendalam. Terlebih kejadian-kejadian terorisme tersebut juga melibatkan para pemuda dan remaja. Meskipun demikian ketertarikan untuk mempelajari Islam pada kalangan pemuda baik dikalangan pelajar, mahasiswa dan santri tidak menyurut bahkan semakin meningkat. Hal tersebut didukung oleh pendapat Vatikiotis (1990) yang menyatakan bahwa adanya kebangkitan pada generasi muda muslim di Indonesia dalam mengamalkan agama beberapa tahun terakhir. Mahasiswa merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembangunan bangsa dan dalam perubahan kehidupan bermasyarakat. Beberapa kejadian penting baik dalam skala lokal, nasional, regional bahkan internasional yang ikut melibatkan peran aktif mahasiswa. Keterlibatan mahasiswa banyak menorehkan prestasi-prestasi yang mengagumkan baik dalam bidang akademik maupun bidang praktis. Di Universitas Gadjah Mada sendiri pada 15 desember 2012 terdapat 14 mahasiswa dari 14 fakultas yang telah berhasil menyandang predikat mahasiswa berprestasi tahun 2012 (http://ugm.ac.id/index.php?). Di bidang nonakademik diantaranya terdapat 24 cabang olahraga mahasiwa yang telah menorehkan prestasi dalam tingkat lokal, nasional bahkan internasional
3
(http://www.ugm.ac.id/content.php?). Selain itu banyaknya pertukaran mahasiswa ke luar negeri serta keterlibatan mahasiswa dalam penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lainnya dalam skala nasional maupun internasional. Namun disisi lain terlihat masih adanya mahasiswa yang terlibat dalam perilaku-perilaku
negatif.
Perilaku-perilaku
tersebut
diantaranya
seperti
perkelahian, pergaulan bebas, penggunaan dan pengedaran obat-obatan terlarang. Oleh karena itu sangat perlu adanya usaha konkrit baik yang bersifat pencegahan bagi mahasiswa agar tidak terlibat perilaku-perilaku negatif. Bahkan juga sangat perlu adanya usaha “penyembuhan”
bagi mahasiswa-mahasiswa yang sudah
terlibat perilaku-perilaku negatif. Data pendukung terhadap fenomena yang mencerminkan perilaku negatif pada mahasiswa diantaranya pada tahun 2002 lalu, masyarakat Yogyakarta dikejutkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) dengan tema virginitas di kalangan mahasiswa Yogyakarta. Survei dilakukan atas sebanyak 1.660 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Hasilnya, sebanyak 97,5% dari responden mengaku telah kehilangan virginitasnya akibat seks pra nikah. Penelitian yang dilakukan oleh LSCK kali ini mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Kusuma, 2012). Fenomena serupa diperoleh dari Gerakan Moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 buah video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 buah video (Hafid,
4
2012). Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Fenomena negatif lainnya diantaranya penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa (Hafid, 2012). Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar coba-coba dan pemakai. Masih adanya keterlibatan mahasiswa dengan perilaku-perilaku negatif tersebut tentu merupakan permasalahan yang harus membutuhkan solusi. Adapun salah satu metode konkrit yang sudah dilakukan pada kalangan umum dan kalangan mahasiswa serta tampak berhasil secara global yaitu mengikutsertakan seluruh kalangan umum, termasuk mahasiswa dalam Amalan Dakwah dan Tabligh. Mahasiswa yang aktif menjalankan Amalan Dakwah dan Tabligh semakin menunjukkan kematangan dalam menjalankan ritual ibadah, kematangan dalam berpikir dan berperilaku sehingga pemahaman serta pengamalan agama meningkat. Sebagaimana didukung oleh pengakuan seorang Ulama Besar (Hakimul Ummat) di India yaitu Syeikh Abul Hasan Ali An Nadwi pada tahun 1996 (20 Dzulqoidah 1418) terhadap eksistensi Jama’ah Dakwah dan Tabligh. Berdasarkan pengamatannya, beliau menyatakan bahwa Jama’ah Dakwah dan
5
Tabligh mempunyai amalan dakwah yang berpengaruh paling kuat dan besar manfaatnya di dunia Islam sampai saat ini, termasuk dalam membentuk generasi muda agar berakhlak yang baik (Al-Kandahlawi, 2007). Sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Syeikh Ilyas bahwa amalan dakwah dan tabligh ini mampu mengubah manusia dari kehidupan jahiliyah (perilaku-perilaku manusia yang negatif) menjadi kehidupan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai agama (Abduh, 2008). Dakwah dan Tabligh adalah amalan dakwah yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad SAW (Hasan, 2011). Tujuan amalan dakwah dan tabligh adalah untuk memperbaiki diri yakni dengan meningkatkan keyakinan kepada Allah SWT sehingga mampu mengamalkan agama dengan sempurna sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam amalan ini selain masing-masing individu berusaha memperbaiki diri sendiri, juga dituntut bertanggung jawab untuk mengajak saudara sesama muslim dalam rangka meningkatkan iman dan amalnya. Menurut An Nadwi (Al-Kandahlawi, 2007) bahwa asas dasar dalam amalan dakwah dan tabligh yaitu untuk mengusahakan keyakinan yang sempurna kepada Allah SWT, usaha atas ibadah, mengingatkan akan kemuliaan ilmu dan dzikir, menyibukkan diri dengan dzikrulloh, memuliakan sesama saudara muslim, sesama manusia dan sesama makhluk ciptaan Allah SWT, mendahulukan kepentingan orang lain, meluruskan niat dan ikhlas dalam setiap beramal, meninggalkan perkataan dan perbuatan yang sia-sia, meluangkan potensi diri, harta dan waktu untuk mendakwahkan agama Islam. Konsep demikian jika diterapkan oleh
6
manusia termasuk mahasiswa tentu akan membawa perubahan perilaku menjadi individu yang lebih matang dalam kehidupan beragama maupun dalam bermasyarakat. Berdasarkan penelitian terhadap Jama’ah Tabligh yang dilakukan oleh Habain (2001) di Yogyakarta diantaranya menunjukkan hasil bahwa Amalan Dakwah Jama’ah Tabligh mampu memunculkan dan meningkatkan kekuatan bagi individu untuk mengamalkan agama sehingga mendatangkan kebahagiaan dan ketententraman hidup serta dapat mengurangi bahkan menjauhkan diri dari kesiasiaan. Individu yang terlibat dalam jamaah dakwah dan tabligh ini tidak hanya memikirkan dirinya sendiri namun juga membentuk pola pikir dan perilaku untuk peduli kepada orang lain terutama kepedulian dalam mengamalkan agama. Ketertarikan mahasiswa terhadap agama yang dalam tahap perkembangan dalam masa remaja akhir, terjadi perbedaan secara teoritis. Remaja merupakan periode yang ditandai dengan nilai-nilai agama yang tidak stabil dalam hidupnya. Masa mengalami kemunduran dalam pemikiran terhadap agama, yang ditandai rendahnya tingkat/angka (rates) kehadiran dalam kegiatan keagamaan (Wallace, Tyrone, Cleopatra dan Deborah, 2003), masa mengalami perlawanan/polarisasi (Orozak, 1989). Namun pada sisi lain sebenarnya remaja-remaja mulai menunjukkan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan religius dari keluarga yang religius, sekolah ditempat pendidikan agama, berpartisipasi dalam kegiatankegiatan agama baik dalam ibadah kepada Tuhan maupun kegiatan-kegiatan sosial (Trinitapoli, 2007). Menurut Hurlock (2001) bahwa remaja memiliki rasa
7
keingintahuan yang besar untuk mengerjakan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan religiusitas. Studi yang mendukung juga dilakukan Goldman (Santrock, 2011) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anakanak dan remaja. Oser dan Gmunder (Santrock, 2011) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Fowler (Santrock, 2011) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Fowler mengemukakan tentang individuating-reflexive
faith,
yaitu tahap yang muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Remaja sebagai individu untuk pertama kali dalam hidupnya memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka, karena sebelumnya remaja mengandalkan tanggung jawab tersebut pada keyakinan orang tuanya. Remaja yang memiliki idealisme yang tinggi dan aktif dalam kegiatan keagamaan dapat mengalami perubahan yang pesat atau berubah total baik dalam memahami maupun dalam mengamalkan praktik keagamaan, yakni yang dikenal
8
dengan transfomasi religius (Trinitapoli, 2007). Transformasi religius merupakan perkembangan keberagamaan yang ditandai dengan perubahan kehidupan secara dramatis, baik yang berkaitan dengan ideologi maupun perilaku beragama (Glock & Stark, 1965; Mahoney & Pargament, 2004). Adapun karakteristik- karakteristik individu yang mengalami transformasi religius diantaranya dapat ditunjukkan dengan adanya pengalaman mistik yang dialami (Templeton & Schwartz, 2000). Menurut Ornstein dan Walsh (dalam Subandi, 2009) bahwa orang yang mengalami transformasi religius akan mendapatkan transformasi kesadaran secara radikal dari kesadaran normal-sadar (normal waking consciousness) menuju kesadaran yang berubah (altered stated of consciousness) yang selanjutnya menimbulkan pengalaman mistik. Pengalaman mistik juga sebagai pengalaman religius atau pengalaman spiritual (Pasiak, 2012) tidak terjadi pada semua individu karena keadaan tersebut dapat tercapai tidak pada level kesadaran biasa, bahkan akan menyebabkan perubahan yang dramatis serta menjadi semacam otomatisasi dalam diri individu setelah tertransformasi dalam alam bawah sadarnya (Murphy, 2000; Syatra, 2010). Perubahan kesadaran manusia pada tingkat kesadaran batin atau kesadaran spiritual masih kurang mendapat perhatian (Mujidin, 2005) karena selama ini banyak kajian secara psikologis yang lebih mementingkan kesadaran rasional, objektif dan empiris. Untuk mencapai tingkat kesadaran batin atau spiritual maka individu harus menempuhnya melalui agama, yakni keyakinan dan praktik pengamalan agama yang sempurna. Dalam agama terdapat aturan-aturan Tuhan
9
yang diantaranya mengatur fenomena subjektif-spiritual manusia, yakni aturan dan cara yang harmonis untuk kebutuhan spiritual manusia. Individu yang mengalami perubahan dramatis akan berjalan secara otomatis karena diawali masuknya hidayah atau petunjuk dari Allah SWT kedalam diri, sehingga menjalani serangkaian kegiatan ibadah maupun aktivitas agama yang lain tidak merasa sebagai beban, bahkan terasa kenikmatan yang tidak ternilai harganya. Adanya keselarasan antara diri dan kehendak Tuhannya yakni antara kesadaran, alam bawah sadar dan hidayah/petunjuk (alam Illahiyah) sehingga individu dapat secara bertahap mencapai perubahan-perubahan yang dramatis dan lebih matang. Individu sudah tidak menghabiskan banyak energi dan perhatian dalam mengolah informasi, pengetahuan atau aturan-aturan yang terekam. Secara otomatis semua berjalan begitu saja dan disini menunjukkan adanya peran alam bawah sadar manusia. Petunjuk atau hidayah dari Allah SWT dari alam Illahiyah telah masuk kedalam kedalam alam kesadaran manusia selanjutnya menuju dan bahkan menetap dalam alam bawah sadarnya. Pencapaian kesadaran spiritual juga tidak terlepas dari peran skema dalam diri individu, yakni pengetahuan yang terorganisir, yang diperoleh sejak dini dalam hidup dan dapat dimodifikasi berdasarkan pengalaman serta memuat hubungan antara perspektif nyata (real) dengan keyakinan (belief) dalam diri (Avants & Margolin, 2003). Adanya pengalaman-pengalaman religius atau spiritual yang bersifat dramatis atau mistik maka akan semakin memperkaya atau mengaktifkan skema dalam diri individu dan diantaranya berperan dalam pencapaian tansformasi religius, yaitu perubahan kesadaran secara radikal untuk mencapai kesadaran batin
10
atau spiritual dengan disertai pengalaman-pengalaman religius yang dramatis atau mistik (Pasiak, 2012). Beberapa karakteristik pengalaman mistik yang sering ditemukan diberbagai tradisi keagamaan pada orang yang mengalami transformasi religius yaitu sebagai berikut: Pertama, pengalaman mistis mempunyai kualitas noetik, yaitu pengalaman ini tidak hanya berupa pengalaman emosional saja dimana orang merasakan keterdekatan dengan Tuhan, tetapi pengalaman mistik ini juga berfungsi sebagai sumber inspirasi, pemahaman/pemikiran mendalam, pengetahuan dan pencerahan. Kedua, pengalaman mistik tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata (ineffable), sehingga pengalaman mistis sulit dideskripsikan secara verbal seutuhnya. Karakteristik ini juga terkait dengan dimensi emosional. Ketiga, pengalaman mistis mempunyai kualitas kesatuan (quality of unity). Maksudnya bahwa orang yang mendapatkan pengalaman mistis dapat merasakan keutuhan dan kesatuan segala sesuatu. Hakikatnya semua manusia merupakan satu kesatuan. Keempat, pengalaman mistis adalah sebuah pengalaman yang nyata (real), yaitu bagi orang yang mengalami transformasi religius yang menimbulkan pengalaman mistis sama sekali bukan khayalan atau halusinasi. Kelima, pengalaman mistis mempunyai unsur keterlepasan dengan dimensi ruang dan waktu (timelessness and spacelessness). Keterlepasan dengan dimensi ruang terjadi ketika orang merasakan bahwa tidak lagi berada di tempatnya saat itu. Demikian juga dalam pengalaman mistis tidak jarang orang mendapatkan pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari.
11
Keenam, pengalaman mistis mempunyai kualitas paradoksal, artinya bahwa orang yang berada dalam pengalaman mistis sering membuat pernyataan yang kontradiktif tetapi dapat diterima secara logis. Misalnya ketika orang merasakan bahwa Tuhan itu jauh namun sebenarnya dia justru merasa dekat dengan Tuhan. Ketujuh, pengalaman mistis adalah bersifat pasif, artinya bahwa orang yang mendapatkan pengalaman mistis tidak mau mengklaim bahwa apa yang diperolehnya merupakan hasil usahanya, melainkan merupakan karunia dari Allah SWT. Berdasarkan karakteristik-karakteristik pengalaman mistik tersebut maka dapat menggambarkan fenomena yang terjadi pada subjek dan sekaligus menunjukkan adanya transformasi religius yang pesat. Fenomena tersebut terlihat pada hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam pengamatan dan wawancara pada tanggal 27 November 2011 di Yogyakarta terhadap Subjek RD menunjukkan adanya pengalaman transformasi religius. Subjek tersebut merupakan mahasiswa laki-laki yang sekarang sedang menempuh pendidikan S1 di salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta ini. Mahasiswa tersebut berasal dari keluarga yang taat beragama dan asli Ternate. RD merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Subjek mengenal dan aktif mengikuti amalan dan tabligh sejak SMP kelas 3 SMP di Ternate. Berdasarkan pengalamannya sebelum mengenal dan mengikuti amalan dakwah dan tabligh subjek telah melakukan ibadah terutama sholat wajib lima waktu, tetapi sholat di rumah itupun tidak atas kesadaran hati sebagai perintah Allah SWT melainkan terpaksa karena perintah orang tua. Namun pengalaman subjek setelah mengikuti amalan dakwah dan tabligh, subjek merasa mendapatkan
12
pengalaman religius yang pesat, terutama berkenaan dengan perubahan dalam ibadah, perubahan dalam diri dan interaksi dengan orang tua. Setelah aktif, subjek mengalami dorongan yang kuat untuk mengamalkan amalan-amalan agama. Subjek merasa ringan dan senang untuk mengerjakan sholat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid secara terus menerus. Subjek mengalami perubahan dalam diri terutama berkaitan dalam proses belajar di sekolah. Subjek merasa motivasi belajar tambah meningkat dan bahkan perubahan prestasi pesat yang telah dicapai. Berkenaan respon dan interaksi dengan orang tua, subjek merasa tambah hormat kepada kedua orang tuanya, menunjukkan akhlak yang lebih baik daripada sebelumnya. Demikian juga orang tuanya juga merasa tambah senang karena perubahan baik pada anaknya, merasa senang anaknya menjadi ahli ibadah. Subjek sempat tidak aktif dalam amalan dakwah dan tabligh karena pengaruh pergaulan dikalangan remaja yang tidak sehat, sehingga mengalami perubahan negatif baik dalam ibadah maupun dalam semangat belajar. Namun setelah aktif kembali subjek merasa mendapatkan pengalaman religius dan semangat belajar yang kembali pesat. Subjek aktif dalam amalan dakwah dan tabligh sampai kuliah sekarang serta berniat sungguh-sungguh untuk istiqomah/konsisten dalam amalan agama sampai akhir kehidupannya. Fenomena yang menggambarkan pengalaman transformasi religius juga dialami oleh mahasiswa dengan inisial RO. Hasil pengamatan dan wawancara dilakukan pada tanggal 10 desember 2011 di Yogyakarta. Subjek berinisal YO merupakan mahasiswa laki-laki yang sekarang baru menempuh pendidikan S2 di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta ini. Sebenarnya berasal dari keluarga
13
yang juga taat beragama dan asli Pekan Baru, Riau. RO adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Subjek mengenal dan mengikuti secara aktif dalam amalan dakwah dan tabligh semenjak kuliah S1 semester satu di Pekan Baru, Riau. Berdasarkan pengalamannya sebelum mengenal dan mengikuti amalan dakwah dan tabligh subjek mengaku hampir tidak pernah melaksanakan ibadah sholat wajib lima waktu, apalagi sholat lima waktu di masjid. Hanya sekali dalam sebulan melaksanakan ibadah shalat jum’at. Meskipun sebenarnya sejak kecil telah aktif mengikuti pengajian Al Qur’an di masjid (mengikuti TPA) bahkan pernah mendapat juara 1 dalam pembacaan Al Qur’an. Namun pengalaman subjek setelah mengikuti amalan dakwah dan tabligh, Subjek merasa mendapatkan pengalaman religius yang pesat, terutama berkenaan dengan perubahan dalam ibadah, perubahan dalam diri dan interaksi dengan orang tua. Setelah aktif, subjek mengalami dorongan yang kuat untuk mengamalkan amalan-amalan agama. Subjek merasa ringan dan senang untuk mengerjakan sholat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid secara terus menerus. Dalam hal penampilan subjek juga mengalami perubahan. Sebelumnya senang menggunakan pakaian ala anak gaul seperti celana jeans ketat, memakai gelang atau asesoris-asesoris gaul kemudian sejak aktif dalam amalan dakwah dan tabligh berubah menggunakan celana kain, pakaian longgar, mulai memelihara jenggot dan ketika sholat ke masjid memakai pakaian gamis. Semua dilakukan dengan alasan menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW. Berkenaan respon dan interaksi dengan orang tua, subjek menunjukkan akhlak yang lebih baik daripada sebelumnya, yakni dengan semakin bertambah hormat, sopan santun dan berusaha banyak membantu pekerjaan kedua orang tuanya yaitu
14
menjaga toko. Demikian juga respon kedua orang tuanya sebenarnya mendukung jika dirinya berubah lebih taat dalam menjalankan ibadah dan tidak banyak waktu digunakan untuk bermain bersama teman-temannya. Namun karena penampilan subjek berubah total maka kedua orang tuanya tetap ada rasa kuatir jika anaknya terjerumus dalam kesesatan. Sebagai reaksinya subjek berusaha menjelaskan kebenaran tentang amalan dakwah dan tabligh sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah SAW, maka orang tuanya menerima dengan baik. Subjek sempat tidak aktif dalam amalan dakwah dan tabligh karena pengaruh provokator dari teman-temannya yang tidak senang dengan amalan dakwah dan tabligh yang sedang diikutinya, sehingga mengalami perubahan yang tidak nyaman dalam ibadahnya, belajar diperkuliahan dan sempat mengalami keraguan terhadap kebenaran amalan dakwah dan tabligh. Selanjutnya subjek berusaha mencari pencerahan dan penjelasan tentang kebenaran amalan ini dengan bertanya secara mendalam kepada seorang ustadz/pengajar agama yang berilmu dan telah lama berpengalaman dalam amalan dakwah dan tabligh, sehingga setelah mendapatkan pencerahan maka subjek memutuskan untuk aktif kembali. Setelah aktif kembali subjek merasa mendapatkan pengalaman religius dan semangat belajar yang kembali pesat. Keaktifannya dalam amalan dakwah dan tabligh sampai kuliah di magister sekarang serta berniat sungguh-sungguh untuk istiqomah atau konsisten dalam amalan agama sampai akhir kehidupannya. Berdasarkan fenomena dari kedua subjek tersebut maka menunjukkan terjadinya pembaharuan kehidupan religius pada mahasiswa yang aktif dalam amalan dakwah dan tabligh. Masa saat sebelum aktif dalam amalan dakwah dan tabligh, yaitu sebelum terlibat mengikuti secara aktif program amalan dakwah dan
15
tabligh. Kehidupan beragama partisipan sebelum ikut amalan ini pada umumnya masih banyak meninggalkan aktivitas ibadah dan sibuk dengan pergaulan hedonis. Subjek melaksanakan shalat karena orang tua, bahkan berani meninggalkan shalat tanpa merasa berdosa. Saat mengenal dan mengikuti secara aktif dalam amalan dakwah dan tabligh, pada umumnya partisipan mengalami perubahan religius yang pesat. Sebelumnya shalat terpaksa dan bahkan berani meninggalkan shalat, namun berubah dratis senang dengan aktivitas-aktivitas ibadah. Senang dan rutin melaksanakan shalat berjamaah dimasjid. Akhlak dan sopan santun kepada orang tua semakin meningkat. Tambah sering membantu pekerjaan orang tua. Setiap pergi selalu mencium tangan orang tua dan mengucapkan salam. Belajar menjadi semangat sehingga meningkatkan prestasi belajar disekolah/perkuliahannya. Partisipan dalam penelitian pendahuluan ini ketika tidak aktif sesaat dalam amalan dakwah dan tabligh, maka partisipan merasa kembali mengalami perubahan religius yang melemah kembali. Shalat merasa tidak nikmat, bahkan berani kembali meninggalkan ibadah shalat wajib. Belajar merasa tidak nyaman sehingga mulai berpengaruh pada cenderung penurunan prestasi belajar. Adapun masa pembaharuan kehidupan religius yaitu adanya rasa kedekatan kepada Allah SWT dengan ditandai semakin semangat dan cintanya dengan amalan-amalan ibadah sesuai
dengan perintah Allah dan tuntunan Nabi
Muhammad SAW. Adanya rasa peningkatan hubungan baik dan akhlak yang semakin matang kepada orang tua dan keluarga. Juga semakin adanya semangat dalam mencapai prestasi belajar yang optimal setelah aktif mengikuti amalan dakwah dan tabligh.
16
Perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan pendapat Snyder dan Loper (2007) bahwa spiritual berkaitan dengan kesehatan mental, penyesuaian diri, manajemen dalam meminimalisasi kekerasan. Menurut Emmons dkk. (dalam Snyder & Loper, 2007) spiritual seseorang juga mendukung tercapainya kebahagiaan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas terlihat pentingnya transformasi religius bagi manusia secara individual maupun kolektif, terkhusus dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Dalam hal ini transformasi religius bagi mahasiswa yang terlibat secara aktif dalam amalan dakwah dan tabligh belum pernah dilakukan penelitian secara ilmiah. Untuk itu peneliti akan mengungkap atau meneliti melalui metode fenomenologi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dieksplorasi secara mendalam pengalaman transformasi religius mahasiswa yang masih tergolong remaja akhir yang aktif dalam kegiatan keagamaan di Amalan Pengajian Dakwah dan Tabligh.
B. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana pengalaman-pengalaman religius yang telah dicapai dan menyebabkan perubahan diri mahasiswa ?
2.
Bagaimana dinamika psikologis dalam mencapai transformasi religius pada mahasiswa yang aktif mengikuti Amalan Dakwah dan Tabligh ?
17
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeskplorasi pengalaman dan dinamika psikologis transformasi religius mahasiswa yang aktif mengikuti Amalan Dakwah dan Tabligh. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Manfaat teoritis Memberikan sumbangan teoritis tentang model penanganan terhadap
permasalahan-permasalahan sosial yang dialami oleh mahasiswa. b.
Manfaat praktis 1) Mendapat gambaran pengalaman
dan pemahaman dinamika
psikologis pada transformasi religius mahasiswa yang aktif dalam Amalan Dakwah dan Tabligh termasuk perubahan-perubahan perilaku yang dramatis dan positif, sehingga dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian terhadap permasalahan-permasalahan mahasiswa. 2) Upaya
pencegahan
terjadinya
perilaku-perilaku
negatif
dan
meningkatkan potensi diri pada mahasiswa yang aktif dalam amalan dakwah dan tabligh.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian ini merupakan studi fenomenologi tentang transformasi religius pada mahasiswa
yang aktif dalam Amalan Dakwah dan Tabligh. Penelitian
18
tentang pengalaman transformasi religius sebenarnya belum banyak dilakukan terutama
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman
yang bersifat
transendental. Penelitian lain yang berfokus tentang pengalaman transformasi religius pernah dilakukan oleh Subandi (1993) yaitu Studi fenomenologi pengalaman transformasi religius pada Anggota Pengajian Dzikir Tawakal di Yogyakarta (A Psychological study of religius tranformation among Moslem who practice Dzikir Tawakkal). Namun bedanya dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada fokus penelitian, subjek dan komunitas yang akan diteliti. Pada penelitian sebelumnya mengetahui pengalaman orang-orang dewasa dan berfokus pada pengalaman-pengalaman mistik di komunitas atau kelompok dzikir. Sedangkan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengalaman tranformasi religius mahasiswa yang tidak hanya berfokus pada pengalaman mistik saja, namun perubahan diri dalam keyakinan, ibadah dan praktik dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk pengaruh perubahan diri dalam proses belajar di dunia kampus. Adapun penelitian-penelitian lain yang sering dilakukan sebelumnya adalah mengetahui tentang religiusitas dan sebagian besar dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian topik ini dengan metode kualitatif masih terbatas (Subandi, 1999). Lebih lanjut dalam hasil analisis Subandi (1999) terhadap hasil penelitian-penelitian seputar topik religiusitas maka dapat digambarkan berikut ini. Diantaranya penelitian Haryanto tahun 1994 (dalam Subandi, 1999) yang berjudul Tinjauan psikologis terhadap ibadah sholat (suatu
19
telaah teoritis) dan Hubungan antara puasa dengan psikoterapi (suatu kajian psikologis berwawasan religius). Kedua penelitian ini menggunakan perspektif analisa psikologis untuk mengkaji dua macam aspek ibadah (religious practice) dalam agama Islam. Penelitian Subandi tahun 1994 (dalam Subandi, 1999) yang berjudul Penelitian perkembangan kehidupan beragama pada orang Islam, mengkaji teori perkembangan religiusitas mulai dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa dan menerapkannya pada beberapa kasus subjek yang beragama Islam. Penelitian Afiatin pada tahun 1997 (dalam Subandi, 1999) yang berjudul Religiusitas Remaja: Studi tentang kehidupan beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, meskipun pendekatan kuantitatif dilaksanakan juga untuk menggambarkan kehidupan beragama remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Masih dalam analisis Subandi (1999) bahwa perspektif lain pada penelitian yang dilakukan sendiri pada tahun 2007 yang berjudul Tema-tema pengalaman beragama pengamal dzikir, lebih menyoroti pada berbagai macam pengalaman religius yang diperoleh orang-orang yang melaksanakan dzikir. Dengan menggunakan analisa tematik, penelitian ini juga membandingkan dengan pengalaman orang Islam yang melaksanakan dzikir dengan pengalaman beragama pada penelitian yang telah dilakukan di negara Barat dengan subjek non-muslim. Dari penelitian-penelitian sebelumnya tampak bahwa masih banyak topik religiusitas lain yang belum tersentuh. Misalnya topik pengalaman beragama, perkembangan religiusitas pada masa kanak-kanak, spiritualitas termasuk pengalaman transformasi religius (Subandi, 1999).