BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Agama esensinya merupakan panduan atau bimbingan moral (nilainilai ideal) bagi perilaku manusia. Panduan moral tersebut garis besarnya bertumpu pada ajaran akidah, aturan hukum (syari’ah) dan budi pekerti luhur (ahlaqul karimah).1 Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, telah membangkitkan umat dan mengantarkan mereka ke arah kehidupan dan budaya yang tinggi serta bergerak menuju prospek yang lebih baik dan maju. Islam lebih mengutamakan kenyataan dan gambaran yang pasti daripada hal-hal yang tidak jelas. Berkarya merupakan sendi utama untuk membangun Islam dan untuk kemajuan kebudayaannya. Salah satu implementasi berkarya adalah bekerja.2 Sesuai dengan firman Allâh dalam al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi:
ﻀ ِﻞ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﻭَﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ ﱠﻟ َﻌ ﱠﻠ ﹸﻜ ْﻢ ْ ﺽ ﻭَﺍْﺑَﺘﻐُﻮﺍ ﻣِﻦ ﹶﻓ ِ ﺸﺮُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ْﺭ ِ ﺼﻠﹶﺎ ﹸﺓ ﻓﹶﺎﻧَﺘ ﺖ ﺍﻟ ﱠ ِ ﻀَﻴ ِ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻗﹸ (َ ١٠) ﺗُ ﹾﻔ ِﻠﺤُﻮﻥ
1
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Ed. 1, cet. ke-1, hlm. 5 2 Sayid Sabiq, Anashirul Quwwah Fil Islam, Bandung: Intermasa, Cet ke-1, 1981, hlm.161
1
Artinya ; “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh sebanyakbanyaknya supaya kalian beruntung”3 Menurut Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, ayat ini menjelaskan tentang dibolehkannya manusia melakukan kegiatan mencari rizki sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan hidup mereka dan juga harus tetap mengingat Allah yang salah satu implementasinya adalah dengan melaksanakan shalat.4 Dari ayat di atas, Tampak bahwa muslim atau manusia pada umumnya berkewajiban bekerja untuk memperoleh harta sebagai sarana penunjang kelancaran dalam hidupnya. Sebagaimana firmanNya:
)ﺠﺰَﺍﺀ ﺍﹾﻟﹶﺄ ْﻭﻓﹶﻰ َ ﺠﺰَﺍ ُﻩ ﺍﹾﻟ ْ ( ﹸﺛ ﱠﻢ ُﻳ٤٠)ﻑ ُﻳﺮَﻯ َ ( َﻭﹶﺃ ﱠﻥ َﺳ ْﻌَﻴﻪُ َﺳ ْﻮ٣٩)ﺲ ِﻟ ﹾﻠﺈِﻧﺴَﺎ ِﻥ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣَﺎ َﺳﻌَﻰ َ َﻭﺃﹶﻥ ﱠﻟ ْﻴ
( ٤١
Artinya: ”Dan bahwasannya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. dan bahwasannya usaha itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”٥ (al-Qur’an, surat an-Najm (53), ayat 39-41)
Tafsir dari ayat ini adalah bahwa sesungguhnya untuk memperoleh sesuatu maka manusia harus juga mengusahakan sesuatu tersebut, yang mana jika dia tidak berusaha, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan apa-apa. Lebih lanjut ayat ini menjelaskan bahwa hasil dari usaha yang dilakukan oleh 3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: alHidayah, 2002, hlm. 933 4 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, “Tafsir Jalalain”, terj. Bahrun Abu Bakar, “Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul”, Jilid II, Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet. 2, 2004, halm. 1090 5 Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit., hlm. 874
2
seseorang, tidak hanya akan diperlihatkan di dunia, akan tetapi juga kelak di akhirat akan mendapatkan balasan dari Allah.6 Sedangkan dalam ayat lain;
ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺟﻨﺎﺡ ﺍﻥ ﺗﺒﺘﻐﻮ ﻓﻀﻼ ﻣﻦ ﺭﺑﻜﻢ Artinya:”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil berdagang) dari Tuhanmu”7 (al-Qur’an, surat al-Baqarah (2), ayat 198)
Ayat tersebut diatas memberikan makna atau tafsir bahwa Allah mengizinkan manusia untuk melakukan perniagaan di bulan haji, sebagai usaha untuk mencari rizki.8 Sebagian dari ajaran Islam adalah semangat dan etos yang tinggi dalam bekerja. Untuk itu Islam menyuruh manusia untuk selalu memelihara kekuatan semangat serta etos kerja, tidak diperkenankan berdiam diri tanpa berusaha yang menjadikannya lemah. Islam menuntut pemeluk-pemeluknya untuk hidup bergairah dan kuat. Berjuang dan berusaha dengan giat dalam segala lapangan pekerjaan, sehingga mereka mempunyai taraf penghidupan yang tinggi dan sejahtera.9 Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilaksanakan oleh manusia, baik dalam hal materi atau non materi, intelektual maupun fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi
6
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, op. cit., Jilid II, hlm. 959-961 Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit., hlm. 48 8 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, op. cit., Jilid. 1, hlm. 105 9 Sayid Sabiq, op. cit, hlm.155 7
3
yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan meningkatkan taraf hidupnya.10 Dalam pandangan Islam, kerja dapat dikategorikan baik ketika pekerjaan tersebut memiliki tujuan untuk meluruskan budi pekerti, memperluas lapangan kebajikan, mempererat hubungan kemanusiaan, menjaga kehidupan sosial, atau melindungi diri, kehormatan, harta, hati dan fikiran. Dengan kata lain kerja yang baik adalah kerja yang mendapatkan hasil yang baik, untuk menambah kekayaan, menjaga kehormatan individu dan dapat mengantarkan bangsa kepada ketinggian dan kesejahteraan manusia.11 Tetapi, tidak semua manusia (baik yang bekerja apalagi tidak), mampu mencukupi kebutuhan. Banyak diantara manusia yang ternyata tidak mampu mengakumulasi kekayaan untuk bisa mencapai kesejahteraan. Kemiskinan, dengan demikian menjadi satu hal yang kontraproduktif dengan tujuan atau definisi dari pekerjaan itu. Kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh kemiskinan pada akhirnya telah memaksa manusia untuk berusaha keluar dari jejaring kemiskinan tersebut. Dalam konteks ini, kemiskinan bisa menjadi problem individual maupun sosial. Dualisme sifat kemiskinan inilah yang memberikan implikasi terhadap kehidupan manusia termasuk juga terhadap anak. Anak dipaksa oleh keadaan untuk tidak sekolah, membantu keluarganya untuk mencukupi dan menopang keluarga mereka. Berbagai sektor pekerjaan dan wilayah kerja sekarang banyak dilirik oleh anak (pekerja 10
Abdul Aziz al-Khayat, Etika Kerja Dalam Islam, Solo: Pustaka Manteq, 1981, hlm. 52 Sayid Sabiq, op.. cit, hlm. 160
11
4
anak). Banyak anak yang mencari nafkah misalnya menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, kernet bus atau bahkan menjadi pengamen di antara mobil dan bus kota di jalanan, yang akhirnya membuat mereka disebut sebagai anak jalanan. Padahal, mereka memiliki hak-hak istimewa yang harus dilindungi, namun karena mereka dipekerjakan, secara otomatis hak-hak anak tersebut tidak terpenuhi. Seseorang yang akan melakukan suatu pekerjaan haruslah memenuhi kriteria sebagai Ahliatul Ada’ yaitu kepantasan seseorang dipandang sah atas segala perkataan dan perbuatannya. Seperti misalnya ketika ia melakukan perjanjian
atau
perikatan,
tindakan-tindakannya
dianggap
syah
dan
mempunyai akibat hukum.12 Anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak adala seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan usia 18 (delapan belas) tahun adalah kondisi di mana seseorang dianggap belum mampu mengendalikan harta benda yang dimilikinya. Keadaan ini juga merupakan masa seseorang belum bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masa ini pada umumnya adalah masa belum sempurnanya pikiran seseorang,13 maka
12
Ibid, hlm. 165 Menurut Bowlby, masa ini didominasi oleh perasaan senang dan tidak senang, bandel, liar, labil, perasaan ingin main-main, dengan kemapuan berfikir yang masih kurang sempurna. Secara umum masa anak-anak mempunyai ketergantungan yang sangat kuat kepada orang lain, khususnya orang-orang yang dekat dengannya dan pada masa ini banyak diperlukan vitamin dan nutrisi sebagai penunjang perkembangan fisik, sedangkan untuk penunjang perkembangan psikologis anak memerlukan kasih sayang dan perhatian dari orang tua atau orang dekat di sekitarnya. (lihat: F.J. Monks, et al., Psikologi Remaja¸ Gajah Mada University Press : Jogjakarta , 1989, cet. VI, hlm. 95) 13
5
Allah melarang kita untuk memberikan harta kepada mereka, seperti yang terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 6)
(٦:ﺴُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺭﺷْﺪﹰﺍ ﻓﹶﺎ ْﺩ ﹶﻓﻌُﻮﺍ ِﺇﹶﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﹶﺃ ْﻣﻮَﺍﹶﻟ ُﻬ ْﻢ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ْ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺁَﻧ Artinya:“Maka apabila telah kamu ketahui kecerdasannya, maka serahkanlah harta mereka kepada mereka”14 Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, keadaan anak di bawah umur itulah yang menimbulkan pengaruh terhadap larangan anak kecil mengadakan suatu perjanjian semacam perjanjian kerja. Alasan yang melatarbelakangi statement kelompok Hanafiyah adalah bahwa masa anak-anak pada umumnya adalah masa di mana kecerdasannya belum tampak atau dapat dikatakan mereka masih belum cerdas.15 Hal ini di dasarkan pada sebuah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Siti A’isyah ra:
ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ:ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ (ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﱴ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ ﻭﻋﻦ ﺍﺠﻤﻟﻨﻮﻥ ﺣﱴ ﻳﻔﻴﻖ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﱮ ﺣﱴ ﻳﻜﱪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya; ”Dari A’isyah ra, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda; ‘diangkatnya pena (dibebaskan) dari tiga golongan, orang tidur hingga bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak kecil hingga ia dewasa” (HR. Abu Daud) Maka dengan demikian anak merupakan orang yang masih dalam pengampuan wali. Ia tidak sah melakukan transaksi harta miliknya sendiri, 14 15
Departremen Agama, op cit., hlm. 63 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, an-Nur, Asia, t. th, hal 210
6
apalagi melakukan tindakan yang melibatkan orang lain misalnya perjanjian kerja. Dengan demikian menurut penulis, bahwa dalam Islam ada upaya untuk melakukan pencegahan dilakukannya kekerasan terhadap anak, termasuk memaksa anak bekerja atau dipekerjakan. Dalam Konvensi Internasional mengenai hak anak yang sudah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1990, memberikan perhatian yang khusus dalam masalah hak anak. Misalnya tentang hak hidup (secara fisik), hak identitas (termasuk agama), hak kesejahteraan sosial, hak kesejahteraan ekonomi, hak berserikat dan berkumpul, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, juga hak mendapatkan perawatan kesehatan. Selain itu konvensi tersebut juga menyebutkan hak perlindungan atas eksploitasi ekonomi maupun seksual, hak perlindungan dari penyalahgunaan obat, hak perlindungan dari kekerasaan, baik yang terjadi pada masa perang dan kerusuhan maupun tidak. Selain itu juga dirinci hak-hak anak yang menjadi pengungsi, anak-anak korban perang, anak-anak korban kerusuhan, dan anak-anak terlantar lain. Saat ini, walaupun sudah ada undang-undang yang berlapis, namun masih banyak perusahaan yang mempergunakan jasa tenaga kerja yang belum masuk usia kerja. Misalnya Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak16. Bagian kelima tentang perlindungan khusus pada pasal
16
Undang-undang ini disusun sebagai implikasi langsung setelah Indonesia meratifikasi konvensi hak anak PBB (CRC, 1984) melalui Keppres no. 36 tahun 1990. Disahkannya rancangan Undang-undang perlindungan anak menjadi undang-undang, pembahasannya merupakan inisiatif DPRRI pada tahun 2001-2002 dimusyawarahkan oleh panitia khusus DPRRI dengan wakil dari
7
(59) jelas disebutkan “Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”17. Apa yang tersurat dalam lembar undang-undang No. 23 tahun 2002 diatas, masih dalam bentuk yang abstrak, tidak disebutkan misalnya sebuah tempat perlindungan khusus anak yang wajib dimiliki oleh seluruh pemerintahan daerah. Atau lembaga bantuan hukum milik pemerintah khusus anak yang tereksploitasi secara ekonomi. Termasuk dalam pasal 66 hanya menyebutkan pihak-pihak yang berkewajiban melakukan perannya dalam perlindungan anak; ayat (1) “Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat”. Ayat (2) berbunyi “Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui; (i) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan pemerintah yang diwakili oleh menteri pemberdayaan perempuan dan menteri sosial Republik ndonesia. 17 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: 2003, hlm. 35
8
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. (ii) pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi; dan (iii) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. Ayat (3) berbunyi “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual”.18 Dalam pasal di atas, secara jelas dikatakan bahwa negara secara bertanggung jawab atas perlindungan anak dalam posisi darurat, termasuk anak yang tereksploitasi secara ekonomi. Jadi, secara sederhana menurut penulis bahwa jika dalam keadaan anak dipaksa atau terpaksa melakukan suatu pekerjaan maka pemerintah berkewajiban melindungi anak tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk perlindungan pemerintah tersebut terkait dalam kebijakan-kebijakan berbentuk aturan perundang-undangan sebagai upaya protektif terhadap anak yang bekerja, serta apakah ada relevansi antara bentuk perlindungan anak bekerja tersebut dengan bentuk perlindungan yang ada dalam Islam. Berangkat dari
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 yang
disandarkan dengan kenyataan yang ada, maka penulis mencoba mengkaji tentang hukum perlindungan anak bekerja dan hukum anak bekerja dalam bentuk skripsi.
18
Ibid hlm. 38
9
B. Rumusan Masalah Dalam skripsi ini penulis membatasi masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut; 1. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan anak dan anak bekerja dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak? 2. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan anak dan anak bekerja menurut hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak penulis capai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan menurut hukum Islam 2. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan mengenai anak bekerja dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan menurut hukum Islam. 3. Untuk melengkapi tugas dan syarat guna memperoleh gelar sarjana di bidang Syari’ah (Hukum Islam) pada fakultas syari’ah IAIN Walisongo Semarang;
10
D. Telaah Pustaka Kajian yang secara khusus dan komprehensif rumusan respon hukum Islam terhadap keberadaan anak yang bekerja jarang penulis dapatkan. Kalaupun ada yang membahas pandangan tentang anak, sering tidak membahas dengan lengkap disertai dengan akar pemikiran yang menjadi dasar teoritis perumusan masalah. Tulisan Moch. Riza Zainal Dkk, dalam buku “Buruh Anak Dalam Perangkap Hutang; Studi kasus di Industri Rumahan Mie Soon”, hanya memaparkan hasil temuannya dari lokasi penelitan, yang antara lain membahas cara perekrutan pekerja anak, alasan-alasan anak bekerja dan gaji anak yang diberikan oleh pengusaha mie soon.19 Ada pula Skripsi yang disusun Eko Setio Budi tentang “Hubungan Motivasi dan Tingkat Pendidikan dengan Pemenuhan Hidup Pada Pekerja Anak Jalanan di Kota Semarang”, yang mengungkap tentang motivasi anakanak bekerja, khususnya pada sektor pekerja jalanan.20 Sedangkan literatur umum yang komprehensif membahas tentang perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi. Namun, data lapangan berupa data-data petunjuk tertulis dan petunjuk pelaksanaan undang-undang nomor 23 tahun 2002. Pada tulisan sebelumnya, keduanya merupakan studi lapangan yang secara detail mengungkap apa sebab atau motivasi yang membuat anak 19
Moch. Riza Zainal, et al., Buruh Anak Dalam Perangkap Hutang; Studi kasus di Industri Rumahan Mie Soon, Semarang: Yayasan Setara, 2002, Cet. I, hlm. 3 20 Eko Setio Budi, dalam skripsi yang berjudul Hubungan Motivasi dan Tingkat Pendidikan dengan Pemenuhan Hidup Pada Pekerja Anak Jalanan di Kota Semarang, Semarang : Fakultas Ekonomi Universitas Tujuh Belas Agustus, 2001, hlm. iv
11
bekerja, baik yang memilih pekerjaan di sektor industri sebagai karyawan perusahaan maupun di sektor jalanan sebagai pengamen, pengemis dan pekerjaan sejenisnya atau yang biasa disebut dengan istilah anak jalanan. Sedangkan dalam skripsi yang disusun ini, penulis lebih menitik beratkan bahasan pada aspek hukumnya, yakni hukum Islam. Dalam skripsi ini, penulis mencoba memngungkap siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perlindungan anak, baik dalam hukum positifdalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah maupun dalam hukum Islam.
E. Metode Penelitian Metode yang digunakan yaitu; 1. Metode pengumpulan data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan dan dokumentasi. Dilakukan dengan cara menelaah naskah-naskah yang terkait dengan anak bekerja dan perlindungan anak bekerja. 2. Metode analisis data a. Metode Deduksi Yaitu proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fanomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan
12
fenomena yang bersangkutan.21 Dengan kata lain, deduksi berarti menyimpulkan hubungan yang bersifat general ditarik ke hubungan yang lebih detail atau khusus. Metode ini digunakan pada bab II dan bab III. Dalam hal ini, untuk bab II penulis mengambil konsep hak-hak anak dari konsep umum Hadhanah yang ada dalam Islam. Disertai dengan konsep khusus mempekerjakan anak ditarik dari konsep hukum ketenagakerjaan dalam Islam yang bersifat umum. Sedangkan untuk bab III, penulis mengambil konsep perlindungan khusus terhadap anak yang tereksploitasi secara ekonomi atau yang selanjutnya di sebut sebagai anak bekerja, diambil dari konsop umum tentang perlindungan anak yang ada dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. b. Metode Komparatif Yaitu suatu cara yang digunakan untuk memperoleh suatu kesimpulan dengan cara membandingkan antara data-data yang satu dengan data-data yang lain yang nantinya akan mengetahui mana yang lebih kuat untuk mengkompromikan.22 Metode ini digunakan dalam bab IV. Penulis mengambil konsep perlindungan terhadap anak bekerja dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002, langkah selanjutnya mencari konsep perlindungan anak yang ada dalam hukum Islam, kemudian dikaji secara mendalam untuk membandingkan kedua konsep tersebut dimana
21
40
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet ke-1, hlm.
22
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 210
13
nantinya membuahkan hasil yang pada akhirnya dijadikan sebagai kesimpulan. c. Metode ushul fiqh Metode kajian untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil yang jelas dan tujuan umumnya.23 Metode ini digunakan pada Bab IV, yaitu untuk mencari dalil-dalil dalam Islam untuk menemukan hukum anak bekerja. Ada beberapa dalil dari al-Qur’an yang digunakan untuk mencari hukum perlindungan anak bekerja, selain itu juga akan dicari dalil dari alHadist. Sedangkan untuk mencari dalil tetang hukum anak bekerja, karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan secara tersurat perintah mengenai anak bekerja, maka penulis menggunakan dalil Urf dan Maslahah Mursalah. d. Metode deskriptif analisis Pada bab IV, metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, yakni dengan mendeskripsikan hasil akhir dari komparasi antara perlindungan anak menurut Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan hukum Islam. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan akhir bagaimana hukum perlindungan anak bekerja dan anak bekerja menurut Islam. Termasuk juga di dalamnya metode eksplanasi yakni untuk menerangkan
23
Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi; Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, cet. ke-1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm. 198
14
kesimpulan akhir dari analisis hukum perlindungan anak bekerja dan anak bekerja menurut Islam. 3. Metode penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, motede yang digunakan dalam penulisan, penulis berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka penulis menguraikan materi skripsi dengan sistematika sebagai berikut : BAB. I
: PENDAHULUAN Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi
BAB II
: HAK-HAK ANAK DALAM ISLAM Meliputi pengertian anak, hak-hak anak, kewajiban orang tua terhadap
penyelenggaraan
hak-hak
anak
dan
hukum
mempekerjakan anak. BAB III
: HUKUM ANAK BEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 Meliputi sekilas tentang undang-undang nomor 23 tahun 2002 (latar belakang pembentukan, bentuk dan isi), bentuk perlindungan terhadap anak dan ketentuan tentang anak bekerja.
15
BAB IV
: ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG HUKUM ANAK BEKERJA
MENURUT
UNDANG-UNDANG
NOMOR
23
TAHUN 2002 Meliputi analisa terhadap batasan umur anak, analisa mengenai perlindungan anak dan analisa hukum Islam terhadap anak yang bekerja. BAB V
: PENUTUP Meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
16
BAB II KETENTUA N UMUM TENTANG ANAK DALAM ISLAM
A. PENGERTIAN ANAK 1. Arti Anak Menurut Bahasa Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria dan wanita. Adapun ada istilah anak ada itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia, karena Adamlah manusia pertama yang diciptakan Allah.24 Dalam bahasa Arab, terdapat dua kata yang berarti anak, yaitu: a. Walad25 Mempunyai arti anak secara umum. Baik anak yang dilahirkan oleh manusia, maupun binatang yang dilahirkan oleh induknya. b. Ibnun26 Yang berarti anak manusia. Penggunaan kedua kata (walad dan ibnun) dalam penerapannya berbeda. walad dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia atau anak binatang. Sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk manusia.27
24
Fuad Mochamad Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri dan Anak Zina), Jakarta: Pedoman Jaya, 1985, hlm. 38 25 Kata walad secara etimologi berarti anak atau keturunan. Lihat: Attabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, KamusKontemporer Arab Indonesia, Jogjakarta: Multi Karya Grafika, 2003, hlm. 3029 26 Kata ibnun secara etimologi berarti anak laki-laki. Ibid., hlm.12 27 Fuad Mochamad Fachruddin, Ibid., hlm. 40
17
2. Arti Anak Menurut Hukum Pengertian anak muncul karena adanya bapak dan ibu, anak merupakan hasil perbuatan persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah dari tubuh perempuan tersebut seorang manusia yang nantinya akan mengatakan seorang laki-laki tadi adalah Bapaknya, dan seorang perempuan tadi adalah Ibunya, sedangkan ia adalah anak dari kedua orang laki-laki dan perempuan tersebut.28 Dari uraian di atas secara sederhana anak diartikan sebagi seorang yang lahir akibat dari persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan. Akan tetapi yang dimaksud penulis dalam skripsi ini bukanlah ansih sesuai dengan pengertian anak di atas. Ada beberapa pengklasifikasian tentang anak menurut golongan umurnya,
karena
usia
anak
akan
berpengaruh
terhadap
bentuk
perlindungan yang diberikan. Adapun anak menurut pembagian umurnya ada dua macam yaitu: 1. Anak belum dewasa 2. Anak sudah dewasa Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, mengatur mengenai anak yang belum dewasa dalam Bab I pasal 1 ayat (1), (4), (6) dan (11), yang menerangkan sebagai berikut: a. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yan masih dalam kandungan. 28
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986, cet. V, hlm. 132
18
b. Orang tua adalah ayah dan/atau Ibu kandung; atau ayah dan/atau Ibu tiri, atau ayah dan/atau Ibu angkat. c. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. d. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara
dan
membina,
membina,
melindungi
dan
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya.29 Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa batas usia anak dianggap mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluhsatu) tahun.sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik, maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.30 Dengan adanya batasan umur anak yang belum dewasa tersebut, maka jelaslah bagi seseorang jika akan mengadakan hubungan hukum, karena kecakapan telah dinyatakan secara jelas, sehingga menjamin adanya kepastian hukum. Artinya jika seorang anak sudah mencapai umur 18 tahun, tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum baik ke dalam maupun keluar pengadilan dan hal itu berarti ia telah memiliki kecakapan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum. Sedangkan untuk anak yang masih 29
Pasal 1 ayat (1), (4), (6) dan (11) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak 30 Pasal 98 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
19
berada di bawah umur 18 tahun, ketika hendak melakukan suatu perjanjian, misalkan perjanjian kerja, harus melalui perantara yakni pemegang kuasa asuh atas anak tersebut.
B. HAK-HAK ANAK Sejak seorang anak dilahirkan, telah mempunyai hak-hak dari kedua orang tuanya yang meliputi hak-hak sebagai berikut: 1. Hak nasab, 2. Hak susuan, 3. Hak pemeliharaan, 4. Hak kewalian, 5. Hak waris.31 1. Hak Nasab Hak anak yang terpenting dari ayah adalah kepastian mengenai nasab, sebagai buah perkawinan antara ibu-bapaknya. Nasab dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut: a. Karena Perkawinan Perkawinan merupakan jalan yang dibenarkan oleh Allah, untuk menetapkan nasab, apabila syarat-syarat kehamilan perempuan itu telah terpenuhi, yaitu si anak dilahirkan dalam masa tertentu.
31
Mu’ammal Hamidy, Perkawinan Dan Persoalannya: Bagaimana Pemecahannya Dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1980, hlm. 142
20
Dalam hal ini, Islam telah memberikan batasan minimal kehamilan yaitu 6 bulan terhitung dari masa penetapan perkawinan yang syah. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat alBaqarah ayat 233 yang berbunyi:
ﻭﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺕ ﻳﺮﺿﻌﻦ ﺍﻭﻻﺩﻫﻦ ﺣﻮﻟﲔ ﻛﺎﻣﻠﲔ ﳌﻦ ﺍﺭﺍﺩﺍﻥ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﺮﺿﺎﻋﻪ Artinya: “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi orang yang mau menyempurnakan penyusuan”.32(Qs. al-Baqarah: 233) Dan Allah berfirman pula:
(١٥:ﺸﻬْﺭﹰﺍ )ﺍﻻﺤﻘﺎﻑ ﻥ ﹶ َ ﺤ ْﻤﹸﻠ ُﻪ َﻭ ِﻓﺼَﺎﹸﻟ ُﻪ ﺜﹶﻼ ﹸﺜﻭ َ َﻭ Artinya: “Mengandung dan menyapihkan bulan”33(QS. at-Ahqaf: 15)
adalah
tiga
puluh
Ayat pertama memberikan batas menyusui selama dua tahun, atau setara dengan 2x12 bulan = 24 (dua puluh empat) bulan. Sedangkan ayat yang kedua menyatakan batas mengandung dan menyusui selama 30 (tiga puluh) bulan. Secara tidak langsung menyatakan bahwa masa mengandung minimalnya adalah 6 (enam) bulan, yaitu hasil pengurangan masa mengandung dan menyusui dikurangi masa penyusuan, 30-24 bulan = 6 (enam) bulan.34
32
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 38 Ibid., hlm. 305 34 Mu’ammal Hamidy, op cit., hlm. 143 33
21
Adapun mengenai batas maksimalnya, para ulama berbeda pendapat karena tidak ada nash yang tersurat menyebutkan tentang batas maksimal ini.35 b. Karena Pengakuan Pengakuan yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan yang diberikan oleh ayah kepada anaknya, ketika sebelumnya ia tidak mengakui si anak adalah keturunannya. Menurut ahli fiqih ada dua jenis pengakuan36: Pengakuan yang ditanggungkan pada orang lain, misalnya seseorang berkata: “ini saudaraku”. Pengakuan seperti ini perlu dengan bukti atau menetapkan ayahnya. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan masalah harta benda, maka ia dianggap bersekutu dengan harta benda yang diwarisi dari ayahnya, walaupun ahli waris lain tidak mengakuinya. Pengakuan yang ditanggungkan pada diri orang yang mengaku. Misalnya seseorang berkata: “ini anakku”. Dalam hal ini diperlukan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: a. Bahwa orang yang melakukan pengakuan tersebut adalah benarbenar ayah kandung si anak, dengan disertai beberapa pembuktian atas kebenaran pengakuan orang yang melakukan pengakuan tersebut. 35 36
Ibid. Ibid., hlm. 144
22
b. Anak yang diakuinya tidak diketahui nasabnya, yakni nasab si anak tersebut bukan dari orang yang menjadi Ayahnya saat itu, sebab nasab tidak dapat menerima fasakh dan tidak boleh terlepas dari seseorang dengan menisbatkan pada orang lain. c. Anak yang diakuinya harus membenarkan terhadap pengakuan tersebut, kecuali si anak tersebut masih kecil atau kehilangan tanggung jawab, semisal menjadi gila. Sedangkan jika si anak telah dewasa, atau lebih dari dewasa, si anak tidak membenarkan atas pengakuan tersebut, maka pengakuan tersebut diangap bathil. c. Karena Pembuktian Apabila seorang anak, nasabnya tidak dapat ditetapkan dengan akad perkawinan dan pengakuan, karena syarat-syarat tidak lengkap, maka nasab anak boleh ditetapkan dengan cara pembuktian. 2. Hak Susuan Sejak anak dilahirkan telah mempunyai hak perlindungan, pemeliharaan dan pendidikan. Diantara proses pemeliharaan itu salah satunya adalah penyusuan. Orang tua, yang dalam hal ini menunjuk ibu, berkewajiban memberikan penyusuan pada anak, bagaimanapun caranya, secara langsung atau melalui ibu susu sewaan. Kewajiban penyusuan ini seperti yang terdapat dalam Surat alBaqarah ayat 233, yang berbunyi:
ﻥ ُﻴ ِﺘﻡﱠ ﺍﻟ ﱠﺭﻀَﺎﻋَ ﹶﺔ ْ ﻥ َﺃﺭَﺍ َﺩ َﺃ ْ ﻥ ﻜﹶﺎﻤِﹶﻠ ْﻴﻥِ ِﻟ َﻤ ِ ﺤ ْﻭﹶﻟ ْﻴ َ ﻥ َﺃﻭْﻻ َﺩ ُﻫﻥﱠ َ ﻀ ْﻌ ِ ﺕ ُﻴ ْﺭ ﻭَﺍ ﹾﻟﻭَﺍِﻟﺩَﺍ ﹸ ﺴ َﻌﻬَﺎ ْ ﺱ ِﺇﻟﱠﺎ ُﻭ ٌ ﻑ ﹶﻨ ﹾﻔ ﻑ ﻻ ﹸﺘ ﹶﻜﻠﱠ ﹸ ِ ﻥ ﺒِﺎ ﹾﻟ َﻤ ْﻌﺭُﻭ ﺴ َﻭ ﹸﺘ ُﻬ ﱠ ْ ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﹾﻟ َﻤ ْﻭﻟﹸﻭ ِﺩ ﹶﻟ ُﻪ ِﺭ ْﺯ ﹸﻗ ُﻬﻥﱠ َﻭ ِﻜ َ َﻭ 23
ﻥ ْ ل ﹶﺫﻟِﻙَ ﹶﻓِﺈ ُ ﺙ ِﻤ ﹾﺜ ِ ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﹾﻟﻭَﺍ ِﺭ َ ﻻ ﹸﺘﻀَﺎ ﱠﺭ ﻭَﺍِﻟ َﺩ ﹲﺓ ِﺒ َﻭﹶﻟ ِﺩﻫَﺎ ﻭَﻻ َﻤ ْﻭﹸﻟﻭ ٌﺩ ﹶﻟ ُﻪ ﺒِﻭَﹶﻟﺩِﻩِ َﻭ ﻥ ْ ﻥ َﺃ َﺭ ْﺩ ﹸﺘ ْﻡ َﺃ ْ ﻋﹶﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َﻭِﺇ َ ﺡ َ ﺠﻨﹶﺎ ُ ﺽ ِﻤ ﹾﻨ ُﻬﻤَﺎ َﻭ ﹶﺘﺸﹶﺎ ُﻭ ٍﺭ ﻓﹶﻼ ٍ ﻥ ﹶﺘﺭَﺍ ْﻋ َ ﻻ َﺃﺭَﺍﺩَﺍ ِﻓﺼَﺎ ﹰ ﻑ ﻭَﺍ ﱠﺘﻘﹸﻭﺍ ِ ﺴﱠﻠ ْﻤ ﹸﺘ ْﻡ ﻤَﺎ ﺁ ﹶﺘ ْﻴ ﹸﺘ ْﻡ ﺒِﺎ ﹾﻟ َﻤ ْﻌ ُﺭﻭ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ ﹸﻜ ْﻡ ِﺇﺫﹶﺍ َ ﺡ َ ﺠﻨﹶﺎ ُ ﻀﻌُﻭﺍ َﺃﻭْﻻ َﺩ ﹸﻜ ْﻡ ﻓﹶﻼ ِ ﺴ ﹶﺘ ْﺭ ْ ﹶﺘ (٢٣٣:ﻥ َﺒﺼِﻴ ٌﺭ )ﺍﻟﺒﻘﺭﺓ َ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ِﺒﻤَﺎ ﹶﺘ ْﻌ َﻤﻠﹸﻭ ﻋﹶﻠﻤُﻭﺍ َﺃ ﱠ ْ ﺍﻟﱠﻠ َﻪ ﻭَﺍ
Artinya: “Dan Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya dua tahun penuh bagi orang yang mau menyempurnakan penyusuan itu: dan wajib bagi ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu dengan cara yang pantas: seseorang tidak dibebani kecuali menurut kemampuannya: dan jangan disusahkan seorang ibu lantaran anaknya, begitu pula ayah-jangan disusahkan-lantaran anaknya: dan wajib bagi ahli waris ayah seperti itu juga: maka jika keduanya berkehendak memutuskan penyusuan dengan kerelaan hati antara mereka berdua serta bermusyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu (ayah) mau menyusukan anak-anakmu (kepada orang lain) maka tidak ada dosa atas kamu, jika kamu beri upah dengan cara yang layak: dan takutlah kamu kepada Allah, serta ketahuilah bahwasannya Allah maha mengetahui apa saja yang kamu kerjakan”.37 (QS. al-Baqarah: 233) Menurut Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti ayat menjelaskan bahwa jika para ibu berekinginan untuk menyempurnakan pemebrian air susu ibu pada anak-anak mereka, maka waktu yang dapat dipergunakan untuk menyempurnakan penyusuan tersebut adalah selama dua tahun penuh, tidak lebih. Bagi bapak, ketika telah bercerai dengan istrinya yang merupakan ibu dari anaknya, diharuskan memberikan imbalan berupa kebutuhan ibu yang menyusui si anak tersebut. Pemberian 37
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 28
24
disesuaikan dengan kewajaran atau batas kemampuan (si bapak), karena Tuhan membebani manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing, dalam hal ini baik pada bapak, ibu, maupun si anak. Jika kedua orang tua tersebut, setelah bermusyawarah berniat untuk menyapih dalam waktu di bawah dua tahun demi kemaslahatan si anak, maka hal itu diperbolehkan. Diperbolehkan juga jika dari pihak bapak ingin menyusukan anaknya pada wanita lain yang bukan ibu si anak, dalam keadaan ini bapak juga berkewajiban memberikan upah yang layak bagi wanita yang dimintai tolong menyusukan anaknya tersebut.
38
Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Surat at-Thalaq ayat 6, yang berbunyi:
ﻀﱢﻴﻘﹸﻮﺍ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﻭِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﱠﻦ َ ُﹶﺃ ْﺳ ِﻜﻨُﻮ ُﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣ ْﻴﺚﹸ َﺳ ﹶﻜ ْﻨُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُﻭ ْﺟ ِﺪ ﹸﻛ ْﻢ ﻭَﻻ ﺗُﻀَﺎﺭﱡﻭﻫُ ﱠﻦ ِﻟﺘ ﺿ ْﻌ َﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ ﻓﹶﺂﺗُﻮ ُﻫ ﱠﻦ ﹸﺃﺟُﻮ َﺭ ُﻫ ﱠﻦ َ ﻀ ْﻌ َﻦ َﺣ ْﻤ ﹶﻠﻬُ ﱠﻦ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ ْﺭ َ ﺕ َﺣ ْﻤ ٍﻞ ﹶﻓﹶﺄْﻧ ِﻔﻘﹸﻮﺍ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ِ ﺃﹸﻭﻻ (٦:ﺿﻊُ ﹶﻟﻪُ ﹸﺃ ْﺧﺮَﻯ( )ﺍﻟﻄﻼﻕ ِ ﺴﺘُ ْﺮ َ ﻑ َﻭِﺇ ﹾﻥ َﺗﻌَﺎ َﺳ ْﺮُﺗ ْﻢ ﹶﻓ ٍ َﻭﹾﺃَﺗ ِﻤﺮُﻭﺍ َﺑ ْﻴَﻨ ﹸﻜ ْﻢ ِﺑ َﻤ ْﻌﺮُﻭ Artinya: “Kalau perempuan yang kamu cerai itu dalam keadaan hamil, maka berilah mereka itu nafkah sehingga ia melahirkan anaknya, jika mereka itu mau menyusui untuk kamu, maka berilah mereka upahnya dan bermusyawarahlah di antara kamu dengan cara yang baik: dan jika kamu merasa kesusahan, maka bolehlah perempuan lain untuk menyusuinya”.39 (QS. at-Thalaq: 6) Ayat di atas menjelaskan agar seorang suami setelah bercerai dengan istrinya tetap berkewajiban memberikan tempat tinggal yang layak bagi mantan istrinya, agar si istri tidak kesusahan mengeluarkan biaya sendiri untuk mencari tempat tinggal. Jika si istri sedang dalam keadaan hamil, 38 39
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, op cit., hlm., 127 Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm.104
25
suami berkewajiban memberikan nafkah bagi si istri sampai dia melahirkan dan untuk selama proses penyusuan si istri berhak menerima upah dari suami dengan besaran upah sesuai kesepakatan mereka. Jika dari kedua pihak mengalami kesulitan untuk melaksanakan penyusuan atau yang terkait dengan upah penyusuan, maka diperbolehkan menyusukan anaknya kepada perempuan lain dan pihak ibu tidak boleh dipaksa untuk melakukan penyusuan.40 Dari ayat-ayat tersebut dan beberapa keterangan lain dari sunnah, para ahli fiqh membuat beberapa ketetapan hukum yang antara lain sebagai berikut:41 a. Istri tidak boleh dipaksa untuk menyusui anaknya. Jika si istri dicerai, maka dia tidak dipaksa untuk menyusui anaknya, karena menyusui itu tidak ubahnya seperti nafkah, sedangkan kewajiban pemberian nafkah si anak berada di tangan ayahnya. Oleh karena itu jika si ayah tidak mempunyai uang, dia harus mencari perempuan lain yang sanggup menyusuinya seandainya si ibu tidak mau menyusui. Begitu juga istri yang tidak dicerai, tetap tidak boleh dipaksa supaya menyusui anaknya. Akan tetapi, dalam praktek keseharian, hal ini jarang terjadi dalam praktek hidup keseharian. Seorang ibu, dalam keadaan apapun biasanya cenderung menyayangi dan mau berkorban apa saja untuk anaknya, termasuk menyusui. 40 41
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, op. cit., hlm. 1109-1110 Mu’ammal Hamidy, op cit,, hlm. 149
26
b. Istri berhak mendapatkan upah menyusui Seorang istri berhak mendapatkan upah menyusui, jika ia sudah dalam keadaan bercerai dengan suaminya. Akan tetapi jika penyusuan dilakukan masih dalam ikatan perkawinan atau perempuan yang masih dalam iddah karena talak raj’i maka si perempuan tersebut tidak berhak mendapatkan upah, sebab nafkah istri dalam masa iddah itu adalah masih tanggung jawab suami. c. Lamanya waktu menyusui Jangka waktu maksimal seorang istri berhak mendapatkan upah menyusui yakni sesuai dengan jangka waktu maksimal penyusuan, yaitu 2 (dua) tahun. 3. Hak Pemeliharaan Yang termasuk dalam pemeliharan anak yaitu pada bidang pendidikannya serta seluruh keperluan anak. Oleh karena itu, syara’ memperhatikan apa yang sekiranya lebih layak dan bermanfaat bagi anak kecil.42 Mengenai lama jangka waktu maksimal pemeliharaan, al-Qur’an tidak memberikan batasannya, oleh karena itu, batasan tersebut diserahkan atas kemampuan kedua orang tua.43 4. Hak Kewalian Kewalian terhadap diri anak ini menyangkut persoalan pendidikan, pengawasan dan perkawinan. Kewalian terhadap harta, terbatas pada 42 43
Ibid., hlm. 151 Ibid., hlm. 153
27
urusan harta benda, yaitu orang tua harus menyantuni si anak dan mengatur seluruh harta benda yang dimiliki oleh anak, agar harta tersebut dapat bermanfaat dan maslahat bagi anak sampai dengan kebutuhan masa depannya.44 Sesuai dengan firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 6 yang berbunyi:
ﺴُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺭﺷْﺪﹰﺍ ﻓﹶﺎ ْﺩ ﹶﻓﻌُﻮﺍ ِﺇﹶﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﹶﺃ ْﻣﻮَﺍﹶﻟ ُﻬ ْﻢ ْ ﺡ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺁَﻧ َ ﻭَﺍْﺑَﺘﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟَﻴﺘَﺎﻣَﻰ َﺣﺘﱠﻰ ِﺇﺫﹶﺍ َﺑ ﹶﻠﻐُﻮﺍ ﺍﻟﱢﻨﻜﹶﺎ ﻒ َﻭ َﻣ ْﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻓﻘِﲑﹰﺍ ْ ﺴَﺘ ْﻌ ِﻔ ْ ﻭَﻻ َﺗ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮﻫَﺎ ِﺇ ْﺳﺮَﺍﻓﹰﺎ َﻭِﺑﺪَﺍﺭﹰﺍ ﹶﺃ ﹾﻥ َﻳ ﹾﻜَﺒﺮُﻭﺍ َﻭ َﻣ ْﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻏِﻨّﻴﹰﺎ ﹶﻓ ﹾﻠَﻴ ﻑ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ َﺩ ﹶﻓ ْﻌُﺘ ْﻢ ِﺇﹶﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﹶﺃ ْﻣﻮَﺍﹶﻟ ُﻬ ْﻢ ﹶﻓﹶﺄ ْﺷ ِﻬﺪُﻭﺍ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻭ ﹶﻛﻔﹶﻰ ﺑِﺎﻟ ﱠﻠ ِﻪ ِ ﹶﻓ ﹾﻠَﻴ ﹾﺄ ﹸﻛ ﹾﻞ ﺑِﺎﹾﻟ َﻤ ْﻌﺮُﻭ (٦:َﺣﺴِﻴﺒﹰﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: “Dan jagalah anak-anak yatim itu sehingga apabila mereka telah sampai umur untuk menikah, maka apabila kamu melihat kecerdasan di antara mereka, serahkanlah pada mereka harta mereka itu, dan janganlah kamu makan harta mereka itu dengan boros dan dengan cepat sebelum mereka dewasa, dan barang siapa mampu, hendaklah ia menjaga diri, dan barang siapa fakir, hendaklah ia makan dengan cara yang pantas, maka apabila kamu menyerahkan kepada mereka harta mereka, adakanlah saksi atas mereka itu dan cukuplah Allah sebagai pengawas.”45(QS. an-Nisa’: 6) Al-Qur’an memperingatkan agar jangan pernah bermain-main dengan harta anak, terutama anak yatim, dan harus menyerahkan harta itu ketika mereka telah mencapai umur dewasa, yaitu umur dimana si pemilik
44 45
Ibid., hlm. 169 Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm.165
28
harta itu telah dianggap atau mampu mempergunakan harta tersebut dengan bijaksana dan teliti.46 5. Hak Waris Ahli waris adalah orang yang ada hubungan nasab dengan si mati atau yang meinggalkan harta untuk diwarisi, karena ada salah satu sebab dari beberapa sebab mendapatkan warisan. Salah satu ahli waris dari orang yang meninggal adalah anaknya, yaitu sebagai keturunan si mati yang sudah pasti garis nasabnya. Dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
ditegaskan
bahwa
anak
mempunyai hak pemeliharaan, khususnya penyusuan. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang brekewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. 47
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak
pemeliharaannya,
sedangkan
sepenuhnya ditanggung oleh pihak ayah.48
46
Mu’ammal Hamidy, op cit., hlm. 171 Pasal 104 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. 48 Pasal 105 ayat (1), (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam 47
29
biaya
pemeliharaan
C. KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP PENYELENGGARAAN HAK-HAK ANAK Kewajiban orang tua terhadap anak, dalam fiqh diatur dalam kitab al-Hadhanah. 1. Pengertian Tentang Hadhanah Hadhanah berasal dari kata “ ” اﻟﺤﻀﻦyang Artinya lambung seperti kata “ ” ﺡﻀﻦ اﻃﺎ ﺋﺮ ﻳﻀﻪyang Artinya burung itu mengapit telur di bawah sayapnya. Sedangkan para ahli fiqh mendefinisikan kata hadhanah ialah melakukan pameliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tapi belum tamyiz, tanpa perintah
daripadanya,
kebaikannya,
menyediakan
menjaganya
dari
sesuatu
sesuatu
yang
yang
menjadikan
menyakiti
dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.49 Tamyiz atau mumayyiz berarti anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang salah dan mana yang benar, yang mudharat dan yang manfaat, yaitu ketika berumur tujuh tahun atau lebih50jadi, walaupun anak itu telah berumur dari tujuh tahun, tetapi belum tahu mana yang baik dan mana yang benar dia belum dapat dikatakan mumayyiz, sehingga masih berhak
49
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, Fikih Sunnah, Jilid 8, Bandung: al-Ma’arif, cet. 14, hlm. 173 50 Muhamad Abdul Mujieb, et. al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 223
30
mendapatkan hadhanah dari pemegang hadhanah yang berkewajiban menunaikannya. Kata lain hadhanah adalah “mengasuh anak”, yang berarti mendidik dan memelihara anak, mengurus makanan, minuman dan pakaian dan kebersihannya dalam periode awal umur anak.51 Sedangkan menurut istilah ahli fiqh, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya sehingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.52 Menurut Muhammad Syarbani, dalam bukunya al-Iqna’ disebutkan bahwa hadhanah adalah mendidik atau mengasuh anak yang belum mandiri atau mampu dengan persoalan-persoalannya, yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnya dari sesuatu yang membahayakannya, walaupun dalam keadaan dewasa yang gila. Seperti mempertahankan dengan memandikan badannya, pakaiannya, menghiasinya, memberi minyak padanya, dan sebagainya.53 Sedangkan dalam pengertian lain yang lebih sederhana Hadhanah diartikan sebagai perkara mengasuh anak, dalam arti
51
Zakariyya Ahmad al-Barry, hukum anak-anak dalam Islam, terj: Chadijah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1877, hlm. 51 52 Ibid., hlm. 51 53 Muhammad Syarbani, al-Iqna’, Beirut: Dar al-Fikr. t.th. hlm.489
31
mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh.54 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti mengahadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.55 Secara sederhana, beberapa kewajiban orang tua terhadap pemeliharaan anak adalah sebagai berikut: 1. Pemeliharaan anak dari segala bahaya fisik yang mungkin menimpanya, 2. Perlindungan terhadap anak dari kemungkinan gangguan psikis, rohani dan ancaman dari luar, 3. Pemberian makan, 4. Penyediaan tempat tinggal, 5. Penyediaan pakaian, 6. Menghiasinya, dalam arti memberi kebutuhan sekunder, 7. Pemberian pengajaran dan pendidikan. Dalam hati anak, terdapat kebutuhan yang paling penting, yaitu hendaknya ia menjadi curahan kasih sayang orang lain. Jiwa sang anak diisi oleh kasih sayang ini yang pada awal mulanya ia dapat menikmatinya dari Ibu dan Bapak serta saudaranya. Orang tua sebagai
54
Muhammad Jamad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab,: Ja’far, Maliki, Syafi’I, Hambali, Jakarta: Lentera, 2000, cet. ke-5, hlm. 415 55 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 173
32
pengasuh serta pendidik mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan kejiwaan anak dan pembentukan kepribadian.56 Setelah anak mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisiknya, kemudian menjaganya dari segala yang dapat menyakitinya atau merusaknya yakni dengan mendidiknya dan melatihnya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kondisi perkembangan, menuju taraf perkembangan yang lebih tinggi dari anak-anak menjadi remaja yang akhirnya menjadi manusia dewasa yang dapat berdiri sendiri. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadhanah merupakan hak setiap anak yang harus dipenuhi oleh setiap orang tuanya, dimana hal ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi mencakup pendidikan dan masa depannya di dunia dan di akhirat nanti. Hal ini merupakan tanggung jawab setiap Muslim untuk selalu menjaga keluarganya agar terhindar dari siksa api neraka. 2. Dasar Hukum Hadhanah Allah telah mensyariatkan bahwa orang tua harus memenuhi kebutuhan anaknya sejak anak itu lahir, sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
ﺿ ْﻌ َﻦ ﹶﺃﻭْﻻ َﺩ ُﻫ ﱠﻦ َﺣ ْﻮﹶﻟ ْﻴ ِﻦ ﻛﹶﺎ ِﻣ ﹶﻠ ْﻴ ِﻦ ِﻟ َﻤ ْﻦ ﹶﺃﺭَﺍ َﺩ ﹶﺃ ﹾﻥ ُﻳِﺘ ﱠﻢ ﺍﻟ ﱠﺮﺿَﺎ َﻋ ﹶﺔ َﻭ َﻋﻠﹶﻰ ِ ﺕ ﻳُ ْﺮ ُ ﻭَﺍﹾﻟﻮَﺍِﻟﺪَﺍ ﺡ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َ ﺽ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َﻭَﺗﺸَﺎ ُﻭ ٍﺭ ﻓﹶﻼ ُﺟﻨَﺎ ٍ ﻚ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃﺭَﺍﺩَﺍ ِﻓﺼَﺎ ﹰﻻ َﻋ ْﻦ َﺗﺮَﺍ َ ﺙ ِﻣ ﹾﺜﻞﹸ ﹶﺫِﻟ ِ ﺍﹾﻟﻮَﺍ ِﺭ 56
Zakiyah Darajat, Menumbuhkan Minat Beragama dan Pembinaan Akhlak Pada Anak Balita, dalam Andi Hakim Nasution, et al., Pendidikan dan Agama Akhlak Bagi Anak Remaja, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002, Cet. I, hlm. 4
33
ﺡ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ِﺇﺫﹶﺍ َﺳ ﱠﻠ ْﻤُﺘ ْﻢ ﻣَﺎ ﺁَﺗ ْﻴُﺘ ْﻢ َ ﺿﻌُﻮﺍ ﹶﺃﻭْﻻ َﺩ ﹸﻛ ْﻢ ﻓﹶﻼ ُﺟﻨَﺎ ِ ﺴَﺘ ْﺮ ْ َﻭِﺇ ﹾﻥ ﹶﺃ َﺭ ْﺩُﺗ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ َﺗ (٢٣٣:ﻑ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ِ ﺑِﺎﹾﻟ َﻤ ْﻌﺮُﻭ Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” 57(QS. AlBaqarah:233) Ayat tersebut menganjurkan orang tua untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan anaknya dimana seorang ibu dianjurkan untuk menyusui anaknya dan seorang ayah harus memenuhi kebutuhan istrinya (ibu) yang secara tidak langsung memenuhi kebutuhan anaknya. Dalam hal ini kedua orang tua mempunyai fungsi masingmasing dalam memenuhi kebutuhan anaknya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seorang istri diperbolehkan mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya bila seorang suami atau ayah melalaikan kewajibannya memberi nafkah, berdasarkan pada hadist Yang diriwayatkan oleh imam Bukhori, yaitu:
57
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm.38
34
ﻳﺎﺭﺳﻮﻻﷲ ﺇﻥ ﺍﺑﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺭﺟﻞ ﺷﺤﻴﺢ: ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﻪ ﺃﻥ ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﻪ ﻗﺎﻟﺖ ﻭﻟﻴﺲ ﻳﻌﻄﻴﻲ ﻣﺎﻳﻜﻔﻴﲏ ﻭﻭﻟﺪﻱ ﺍﻻﻣﺎﺍﺧﺬﺕ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺧﺬﻯ ﻣﺎ (ﻳﻜﻔﻴﻚ ﻭﻭﻟﺪﻙ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ )ﺭﻭﺍﻫﺎﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Artinya: “Dari Aisyah, bahwa Hindun Binti ‘Utbah berkata: ya Rasululullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu kikir sekali, ia tidak memenuhi kecuali yang menjadi keperluan-keperluan saya dan anak-anaknya yang saya ambil dari miliknya dan ia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah SAW. Menjawab: ambillah untuk memenuhi keperluanmu dan keperluan anakanakmu dengan cara yang baik (secukupnya)” (HR. Bukhori) Allah juga telah memerintahkan agar menjaga anak (keluarga) dari siksa api neraka, yakni terdapat dalam Surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
ﺤﺠَﺎ َﺭ ﹸﺓ َﻋ ﹶﻠ ْﻴﻬَﺎ ِ ﺱ ﻭَﺍﹾﻟ ُ ﺴﻜﹸ ْﻢ َﻭﹶﺃ ْﻫﻠِﻴ ﹸﻜ ْﻢ ﻧَﺎﺭﹰﺍ َﻭﻗﹸﻮ ُﺩﻫَﺎ ﺍﻟﻨﱠﺎ َ ﻳَﺎ ﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﻗﹸﻮﺍ ﹶﺃْﻧﻔﹸ (٦:ﻣَﻼِﺋ ﹶﻜ ﹲﺔ ﻏِﻼﻅﹲ ِﺷﺪَﺍ ٌﺩ ﻻ َﻳ ْﻌﺼُﻮ ﹶﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ َﻪ ﻣَﺎ ﹶﺃ َﻣ َﺮﻫُ ْﻢ َﻭَﻳ ﹾﻔ َﻌﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺆ َﻣﺮُﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” 58(QS. At-Tahrim:6) Bahkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah Nabi menyebutkan bahwa seorang anak merupakan pintu syurga:
58
Ibid., hlm. 951
35
ﲰﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﺑﻘﻮ ﻻ ﻟﻮ ﻟﺪﺍﺅﺳﻂ ﺃﺑﻮ ﺍﺏ ﺍﳉﻨﻪ ﻓﻈﺎ:ﻭﻗﺎ ﻝ ﺍﺑﻮﺍﺍﻟﺪﺭﺍﺀ (ﻋﻠﻰ ﻭﺍﻟﺪﻳﻞﺀ ﺃﻭﺍﺗﺮﻙ )ﺭﻭﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ Artinya: “Abu Dzardza’ berkata: saya mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: seorang anak adalah sebagian dari pintu syurga, maka peliharalah anakmu atau biarkan” (HR. Ibnu Majjah) Begitu banyak berkah yang didapatkan dari memelihara seorang anak bagi orang tuanya, bahkan Allah pun menjanjikan pintu syurga. 3. Ahli Waris Sebagai Pengganti Orang Tua Seorang anak dalam tahapan awal hidupnya memerlukan bantuan orang lain, seperti dalam hal: makan, pakaian, kebersihan dirinya, dan lainnya. Karena itu, orang yang menjaganya hendaknya mempunyai kesabaran dan rasa kasih sayang pada anak, di samping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan hal itu.59 Pihak yang sangat berperan dalam hal ini adalah orang tuanya, terutama ibunya, anak pasti mempunyai ikatan bathin yang kuat dengan ibunya. karena seorang ibu telah mengandungnya, yang makin lama usia kandungannya makin lemah pula keadaannya, dan karena inilah seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, terutama
59
Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta, op.cit., hlm. 208
36
kepada ibunya, seperti yang telah disyari’atkan oleh Allah dalam Surat al-Luqman ayat 14, yang berbunyi:
ﺻ ْﻴﻨَﺎ ﺍﹾﻟِﺄْﻧﺴَﺎ ﹶﻥ ِﺑﻮَﺍِﻟ َﺪْﻳ ِﻪ َﺣ َﻤ ﹶﻠ ْﺘﻪُ ﹸﺃ ﱡﻣ ُﻪ َﻭﻫْﻨﹰﺎ َﻋﻠﹶﻰ َﻭ ْﻫ ٍﻦ َﻭ ِﻓﺼَﺎﹸﻟ ُﻪ ﻓِﻲ ﻋَﺎ َﻣ ْﻴ ِﻦ ﹶﺃ ِﻥ ﺍ ْﺷ ﹸﻜ ْﺮ َﻭ َﻭ ﱠ (١٤:ﺼﲑُ )ﻟﻘﻤﺎﻥ ِ ﻚ ِﺇﹶﻟ ﱠﻲ ﺍﹾﻟ َﻤ َ ﻟِﻲ َﻭِﻟﻮَﺍِﻟ َﺪْﻳ Artinya: ”Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya untuk dua tahun. bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepadaKulah kembalimu”.60 (QS. alLuqman: 14) Pendidikan yang paling penting ialah pendidikan anak kecil dalam asuhan orangtuanya. Karena dengan pengawasan dan kasih saying mereka mereka, maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan terlaksana dengan baik.61 Apabila suami istri bercerai, padahal telah memiliki anak, kadang mereka saling mengklaim dan merasa lebih berhak atas kuasa asuh anaknya, yang pada akhirnya manimbulkan konflik. Hal seperti ini dapat menimbulkan akibat buruk pada perkembangan anak, terutama psikologi anak. Dalam hal ini sudah ada aturan yang jelas menyatakan bahwa seorang ibu lebih berhak dalam mendapatkan kuasa asuh atas anak, selama si ibu belum menikah lagi.
60
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 654 Sayyid Sabiq. op. cit., hlm. 204
61
37
Hak hadhanah pertama kali diserahkan kepada ibunya, karena seorang ibu lebih dekat kepada anaknya, lebih memungkinkan memberikan perhatian dan kasih sayang karena secara tidak langsung, seorang ibu lebih mempunyai waktu luang untuk kebersamaan dengan anak, dibanding sang ayah yang lebih sering di luar untuk mencari nafkah. Jika dalam hadhanah, ibunya yang pertama kali berhak, para ahli fiqh kemudian juga mengutamakan kerabat ibu daripada kerabat ayah dalam menangani hadhanah ini. Dan urut-urutannya sebagai berikut: 1. Ibu, jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan hak hadhanahnya, maka hak berpindah ke 2. Ibunya ibu, dan seterusnya ke atas, jika ternyata ada suatu halangan, maka berpindah ke 3. Ibunya ayah, kemudian ke 4. Saudara perempuan sekandung, kemudian ke 5. Saudara perempuan seibu, kemudian ke 6. Saudara perempuan seayah, kemudian ke 7. Kemenakan perempuan sekandung, kemudian ke 8. Kemenakan perempuan seibu, kemudian ke 9. Saudara perempuan ibu yang sekandung, kemudian ke 10. Saudara perempuan ibu yang seibu, kemudian ke 11. Saudara perempuan ibu yang seayah, kemudian ke
38
12. Kemenakan perempuan ibu yang seayah, kemudian ke 13. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung, kemudian ke 14. Anak perempuan saudara laki-laki seibu, kemudian ke 15. Anak perempuan saudara laki-laki seayah, kemudian ke 16. Bibi dari ibu yang sekandung, kemudian ke 17. Bibi dari ibu yang seibu, kemudian ke 18. Bibi dari ibu yang seayah, kemudian ke 19. Bibinya ibu, kemudian ke 20. Bibinya ayah, kemudian ke 21. Bibinya ibu dari ayahnya iIbu, kemudian ke 22. Bibinya ayah dari ayahnya ayah.62 Jika anak yang masih kecil tersebut tidak mamiliki kerabat di antara muhrim-muhrimnya di atas, atau memiliki kerabat akan tetapi kerabat anak tersebut tidak-dianggap-cakap melakukan hadhanah (asuhan), maka hak dan kewajiban hadhanah berpindah ke ashabah yang laki-laki dari muhrim-muhrimnya di atas sesuai dengan urutan dalam hukum waris.63 Perpindahan hak dan kewajiban hadhanah tersebut juga ada tata urutannya, yaitu: 1. Ayah, kemudian ke 2. Ayahnya ayah terus ke atas, kemudian ke 3. Saudara laki-laki ayah yang sekandung, kemudian ke 62 63
Ibid., hlm. 2207 Ibid., hlm. 208
39
4. Saudara laki-laki ayah yang seayah, kemudian ke 5. Paman yang sekandung dengan pamannya ayah, kemudian ke 6. Paman yang seayah dengan ayahnya ayah.64 Jika dari ashabah laki-laki dari muhrim-muhrim di atas tidak ada sama sekali, atau ada tetapi tidak pandai menangani hadhanah, maka hadhanah berpindah ke tangan laki-laki bukan ashabah dari muhrim-muhrimnya di atas tersebut, antara lain: 1. Datuk ibu, kemudian ke 2. Saudara laki-laki seibu, kemudian ke 3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kemudian ke 4. Paman dari pihak ayah seibu, kemudian ke 5. Paman dari pihak ibu yang seayah, kemudian ke 6. Paman dari pihak ibu yang seibu. Ketika anak yang masih kecil tersebut tidak memiliki kerabat sama sekali, maka pengadilan dapat menetapkan orang yang dapat menjadi pemegang hak dan kewajiban hadhanah, seperti yang terdapat dalam
kompilasi
hukum
Islam,
pasal
98
ayat
(3)
yang
berbunyi:”Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut65 apabila kedua orang tuanya dan seluruh kerabatnya tidak mampu.66
64
Ibid., hlm. 208 Yang dimaksudkan kewajiban tersebut dalam hal ini adalah pasal 98 ayat (2) yang berbunyi: ”Orang tuanya mewakili anak tersebut (anak yang belum mampu berdiri sendiri atau belum berusia 21 tahun, atau mempunyai cacat fisik, mental, atau belum pernah melakukan perkawinan), mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. 66 Kompilasi Hukum Islam, Jogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004, hlm. 49 65
40
D. HUKUM MEMPEKERJAKAN ANAK 1. Pengertian Anak Bekerja Dalam Islam Ketenagakerjaan dalam fiqh Islam diatur dalam kitab ijarah (sewa-menyewa). Di dalamnya mengatur tentang sewa-menyewa barang bergerak, barang tak bergerak, dan tenaga atau ijarah ‘ala a’mal.67 Secara etimologi, ijarah berarti memberi hadiah atau upah.68 adapun pekerja dalam islam berasal dari kata al-ajir yang bermakna pekerja, atau buruh.69 Secara istilah ijarah adalah akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, artinya pemilikan manfaat dengan iwad, sama dengan menjual manfaat.70 Sedangkan tenaga kerja adalah orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain untuk dipekerjakan dengan memperoleh upah berdasarkan kemampuannya dan kesepakatan dengan pihak yang mempekerjakan.71 2. Dasar Hukum Mempekerjakan Anak Landasan hukum yang membenarkan adanya sewa-menyewa tenaga kerja adalah firman Alllah Swt yang berbunyi :
(٢٦ : ﻗﺎﻟﺖ ﺇﺣﺪ ﳘﺎ ﻳﺄ ﺑﺖ ﺍﺳﺘﺄ ﺟﺮ ﻩ ﺇﻥ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺄ ﺟﺮ ﺕ ﺍﻟﻘﻮ ﻯ ﺍﻷ ﻣﲔ )ﺍﻟﻘﺼﺺ 67
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Hukum Dagang Menurut Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1992, hlm.317 68 Attabik Ali & A. Zuhdi muhdlor, op cit., hlm.9 69 Ibid., 70 TM. Hasbi as-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm.85 71 Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, hlm. 113
41
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dipercaya.” 72 (QS. al-Qashaas; 26) Ayat di atas memberikan isyarat bahwa sewa-menyewa jasa atau tenaga adalah diperbolehkan dan disertai dengan adanya kriteria iseal tenaga kerja, misalnya kekuatan dan sifat. Disamping ayat tersebut, ada hadis yang memuat nilai-nilai tentang sewaq-menyewa tenaga kerja, yakni dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
(٦ : ﻓﺈﻥ ﺍﺭﺿﻌﻦ ﻟﻜﻢ ﻓﺄ ﺗﻮ ﻫﻦ ﺍﺟﻮﺭ ﻫﻦ )ﺍﻟﻄﻠﻖ Artinya: “Berikanlah kepada buruh itu upahnya, sebelum kering keringatnya”(HR Ibn. Majjah) Hadis tersebut memperkuat dibolehkannya sewa-menyewa tenaga kerja dengan hendaknya memberikan upah tepat waktu. Berdasarkan landasan hukum di atas, sewa-menyewa tenaga kerja adalah diperbolehkan menurut syara’, Dengan ketentuan sebaiknya tenagakerja tersebut mempunyai kriteria secara kekuatan dan sifatnya, setelah memanfaatkan tenaga kerja maka harus memberikan upah yang layak dan tepat waktu. 3. Rukun Dan Syarat Mempekerjakan Anak
72
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 613
42
Dalam fiqh mu’amalah, ketenagakerjaan atau sewa-menyewa harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Rukun-rukun sewa-menyewa tenagakerja 1. Aqid (penyewa dan yang disewa) 2. Ma’qul alaih (upah dan manfaat) 3. sighat (ijab kabul)73 Syarat-syarat sewa-menyewa tenaga kerja: 1. Kerelaan dua belah pihak yang melakukan akad 2. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan 3. Hendaklah barang yang menjadi obyek transaksi dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria syara’ 4. Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaannya 5. Bahwa manfaat adalah hal yang mubah bukan yang diharamkan.74 Madzhab Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi, yaitu baligh. Menurut mereka, anak kecil yang belum dapat membedakan mana yang baik dan benar, maka akadnya tidak syah.75 Akan tetapi Imam Hambali berpendapat bahwa dalam hal pekerjaan yang ringan, walaupun belum baligh walau tanpa seizin wali, maka akadnya dianggap syah. Tetapi apabila pekerjaan itu banyak dan berat, maka anak kecil yang
73
Abi Bakar bin as-Sayyid Muhammad Syata ad-Dimyati, I’anah at-Thalibin, Juz III, Semarang: Nur Asia, tt, hlm. 108 74 Sayyid Sabiq, Juz XIII, op cit., hlm. 9-11 75 Ibid., hlm. 11
43
belum baligh tidak syah mengerjakannya, tanpa seizin wali, namun jika walinya mengizinkan maka tidak ada masalah.76
BAB III HUKUM ANAK BEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
A. Sekilas Tentang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 1. Sejarah Pembentukan Sebelum berbicara mengenai Undang-undang No. 23 tahun 2002, lebih dahulu mengupas tentang sejarah pembentukan Konvensi Hak Anak (Deklarasi Hak Anak/Declaration of the Rights of the Child), karena ada kaitan erat antar keduanya, dimana Undang-undang nomor 23 tahun 2002 adalah salah satu konsekwensi setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990.77
76
Abdur Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahibul Arba’ah, Juz II, Beirut: Dar alFikr, 1972, hlm. 160 77 Ima Susilowati, et. Al., Pengertian Konvensi Hak Anak, Jakarta: Enka Parahiyangan 2003, hlm. 12
44
Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya perang dunia I. sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan dalam pawai protes mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib 78
anak-anak yang menjadi korban perang.
Salah seorang di antara para aktivis perempuan tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga 79
Bangsa-Bangsa yang dikenal sebagai “Deklarasi Jenewa”.
Setelah berakhirnya perang dunia II, pada tahun 1948 . majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (10 Desember). Peristiwa yang setiap tahun diperingati sebagai “Hari Hak Asasi Manusia Sedunia” ini menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup dalam Deklarasi ini. 80 Pada tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak, merupakan deklarasi internasional kedua. 78
Ibid., Ibid., hlm. 13 80 Ibid., hlm. 14 79
45
Tahun 1979, saat dicanangkannya “Tahun Anak Internasional”, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hakhak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disyahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (tanggal 20 november). Rancangan inilah yang kita kenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA) seperti keadaannya yang sekarang ini. Tanggal 2 september 1990, Konvensi Hak Anak mulai diberlakukan sebagai hukum internasional, sesuai ketentuan pasal (49) ayat (1), Konvensi (Hak Anak) ini akan diberlakukan pada hari ketiga puluh setelah tanggal diterimanya oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa instrumen ratifikasi81 atau keikutsertaan82 yang kedua puluh”. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tertanggal 25 agustus 1990. Tetapi Konvensi Hak Anak berlaku di Indonesia mulai 5 oktober 1990, sesuai pasal (49) ayat (2), “bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang 81
Ratifikasi bermakna penerimaan yuridis terhadap sebuah konvensi yang dilakukan oleh suatu negara setelah negara bersangkutan menandatangani konvensi, suatu negara menyatakan kesediaan untuk terikat secara yuridis dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam konvensi. 82 Keikutsertaan berasal dari bahasa Inggris “accession”, dalam konteks ini, keikutsertaan dapat diartikan sama dengan ratifikasi, namun suatu negara dikatakan ikut serta jika ia meratifikasi suatu konvensi dengan menandatangani terlebih dahulu.
46
menyatakan keikutsertaan pada Konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan yang kedua puluh, konvensi ini akan berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan”.83
Tahun-tahun penting dalam sejarah perkembangan Konvensi Hak Anak NO
TAHUN
PERISTIWA
1
1923
Eglantyne Jebb (pendiri save the children) membuat rancangan Deklarasi Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child)
2
1924
Deklarasi Hak Anak diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa.
3
1948
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
4
1959
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Hak Anak untuk kedua kalinya.
5
1979
Tahun Anak Internasional. Suatu Kelompok Kerja dibentuk untuk membuat rumusan Konvensi Hak Anak.
83
Ibid., hlm 15
47
6
1989
Konvensi Hak Anak diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November.
7
1990
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sebagai hukum internasional pada tanggal 2 September.
Setelah melakukan ratifikasi, Indonesia tidak serta merta mengimplementasikan hasil ratifikasi tersebut menjadi sebuah Undang-undang. Proses penyusunan Konvensi Hak Anak untuk menjadi sebuah undang-undang, dilakukan kurang lebih selama 13 tahun. Pada sekitar tahun 1998, sejumlah LSM yang peduli anak mengedepankan kembali masalah perlindungan anak, dan dari mereka dihasilkan
draft
pertama
rancangan
undang-undang
tentang
perlindungan anak (RUU Perlindungan Anak). Tetapi situasi politik dan keamanan di Indonesia yang berkembang pada waktu itu kurang menguntungkan. Kemudian disusul dengan krisis ekonomi yang menyebabkan pembahasan RUU tersebut tertunda cukup lama. Sitauasi
ini
mendorong
pihak
UNICEF
untuk
memfasilitasi
penyusunan suatu RUU Perlindungan anak melalui satu tim yang dikenal dengan tim 7. Anggota tim tersebut terdiri dari wakil Departemen
Kehakiman,
Departemen
Sosial,
Kantor
Mentri
Kesejahteraan Rakyat, Lembaga Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi,
48
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Lembaga Perlindungan Anak. Sejumlah masukan dari masyarakat, pakar, pejabat pemerintah dan penegak hukum diterima oleh Tim 7, diolah dan diintegrasikan ke dalam RUU perlindungan anak. Pada
bulan
desember
tahun
2000
Komisi
Nasional
Perlindungan Anak menyapaikan RUU tentang perlindungan anak kepada Mentri Negara urusan kemasyarakatan, yang kemudian diteruskan kepa mentri kesejahteraan sosial dan DPR RI untuk mendapat tanggapan. Selanjutnya RUU tersebut oleh DPR RI disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia. Dengan surat Nomor RU-02/1090/DPRRI/2002 tanggal 20 Februari 2002 dengan permintaan untuk dibicarakan dengan pemerintah guna mendapatkan persetujuan. Sebagai
tanggapan
terhadap
surat
dari
DPR
RI,
Presiden
menyampaikan jawabannya melalui surat Nomor 04/P. 4/V/2002 tanggal 13 Mei 2002 yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah menugaskan Mentri Negara pemberdayaan perempuan dan Mentri sosial guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tentang perlindungan anak dengan DPR RI. Untuk menyongsong pembahasan RUU tentang perlindungan anak di DPR RI, sebagaian tim 7 membentuk tim baru dengan nama
49
tim 5, yang difasilitasi oleh UNICEF. Dengan maksud dapat memeberikan
masukan
sebagai
bahan
penyempurnaan
atau
pertimbangan komisi VII DPR RI yang membahas RUU perlindungan anak. Tim 5 bertindak sebagai tim assitensi dari komisi 7 DPR RI.84 Setelah melalui perjuangan panjang, RUU perlindungan anak tersebut berhasil disetujui oleh DPR RI dan Pemerintah dan kemudian disyahkan sebagai Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada tanggal 22 oktober 2002, dan diberlakukan.85
2. Sistematika Undang-undang Undang-undang No. 23 tahun 2002, atau yang biasa diistilahkan dengan
sebutan
Undang-undang
perlindungan
anak,
merupakan
instrumen Nasional di bidang HAM dengan cakupan hak yang paling komprehensif.86 Terdiri atas sembilan puluh tiga pasal, Undang-undang tersebut hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang HAM yang mencakupi baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sekaligus. Beberapa persoalan hukum dalam Undang-undang perlindungan anak adalah:
84
Apong Herlina, et al., Perlindungan Anak, Jakarta: Unicef Indonesia, 2003, hlm. 1-2 Sri Redjeki Sumaryanto, “Kata Sambutan Menteri Pemberdayaan Perempan Republik Indonesia (Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002)”, Jakarta, 2002 hlm. 2 86 Moch. Riza Zainal Abidin, “Potret Anak di Jawa Tengah (makalah disampaikan dalam acara seminar dan lokakarya ‘Tantangan Perlindungan Anak Jawa Tengah’ Yayasan Setara”, Semarang: 2003, hlm. 2 85
50
a. Definisi anak adalah siapapun yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, terlepas mereka sudah menikah atau belum. Hal ini sesuai dengan definisi yang ada dalam Konvensi Hak Anak. b. Dalam Undang-undang tersebut diatur tentang pembentukan Komisi nasional Perlindungan Anak dalam waktu satu tahun setelah Undang-undang disyahkan. c. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa pemerintah, penegak hukum, masyarakat, keluarga dan ornag tua merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada anak-anak. d. Sanksi yang diberikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.87 Agar lebih mudah dalam memahami isi Undang-undang perlindungan, penulis akan mensistematisasi ringkasan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam bentuk tabel. BAB I
URAIAN
PASAL Pasal
Ketentuan umum - Definisi anak
1
Ayat (1)-
-
Definisi perlindungan anak
-
Definisi keluarga
-
Definisi orang tua
87
(17)
Steven Allen, Kata Sambutan Perwakilan UNICEF Indonesia (Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002), Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia & Departemen Sosial republik Indonesia, 2002, hlm. 5-6
51
II
-
Definisi wali
-
Definisi anak terlantar
-
Definisi anak cacat
-
Definisi anak yang memiliki keunggulan
-
Definisi anak angkat
-
Definisi anak asuh
-
Definisi kuasa asuh
-
Masyarakat
-
Pendamping
-
Perlindungan khusus
Asas dan Tujuan:
Pasal
a. Non diskriminasi
dan 3
2
b. Kepentingan terbaik bagi anak c. Hak hidup dan kelangsungan dan perkembangan hidup d. Penghargaan terhadap pandangan anak III
Hak dan kewajiban anak: -
Perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
-
Identits diri dan kewarganegaraan
-
Beragama dan berekspresi
-
Hak diasuh kedua orang tua
-
Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
52
Pasal 4-19
-
Hak pendidikan
-
Hak untuk menyatakan dan berpendapat
-
Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang
-
Hak anak cacat untuk rehabilitasi dan bantuan sosial
-
Perlindungan dari perlakuan: Diskriminasi, ekspolitasi ekonomi dan seksual, penelantaran,
kekejaman,
kekerasan
dan
penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lain -
Perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik,
pelibatan
dalam
konflik
bersenjata,
pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan -
Perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak
-
Perlindungan dari perampasan kebebasan anak yang melakukan tindak pidana.
Kewajiban anak:
53
IV
-
Menghormati oranmg tua
-
Mencintai keluarga, masyarakat dan teman
-
Mencintai tanah air, bangsa dan negara
-
Menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama
-
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
Kewajiban dan Tanggungjawab 1. Umum
Pasal 2026
2. Kewajiban dan tanggung jawab negara dari pemerintah 3. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat 4. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua V
Kedudukan Anak:
Pasal 27-
1. Identitas anak:
29
-
Identitas anak dalam akte kelahiran
-
Tanggung pemerintah dalam akte kelahiran
-
Akte paling lambat 30 hari
-
Tidak dikenakan biaya
2. Anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran VI
Pasal 30-
Kuasa Asuh
32 VII
Pasal 33-
Perwalian
36
54
VII
Pasal 37-
Pengasuan dan Pengangkatan Anak
41 IX
Penyelenggaraan Perlindungan:
Pasal 42-
1. Kebasan beragama
71
2. Kesehatan -
Kewajiban
pemerintah
dalam
penyediaan
fasilitas kesehatan -
Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi; promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
-
Peleyanan kesehatan bagi keluarga tidak mampu
-
Pelarangan
keterlibatan
anak
dalam
transplantasi organ tubuh 3 Pendidikan: -
Kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak
-
Tujuan pendidikan
-
Hak anak cacat untuk menikmati fasilitas pendidikan
-
Hak anak yang memiliki keunggulan
-
Perlindungan dari tindak kekerasan di lingkungan sekolah
55
4
Sosial Kewajiban pemerintah dalam pemeliharaan dan perawatan anak terlantar
5 Perlindungan Khusus a. Perlindungan anak dalam situasi darurat: -
Anak yang menjadi pengungsi
-
Anak korban kerusuhan
-
Anak korban bencana alam
-
Anak dalam situasi konflik bersenjata
b. Pelarangan anak-anak untuk direkrut atau diperalat untuk kepentingan militer c. Perlindungan anak-anak yang berkonflik dengan hukum : -
Perlakuan secara manusiawi
-
Penyediaan petugas pendamping
-
Sarana dan prasarana khusus
d. Penjatuhan sanksi yang tepat bagi kepentingan terbaik bagi anak e. Jaminan mempertahankan : -
upaya-upaya yang dilakukan bagi anak: 1
Rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
2 Perlindungan dari pemberitaan identitas
56
melalui
media
massa
dan
untuk
menghindari labelisasi 3
Jaminan keselamatan bagi saksi korban, saksi ahli baik fisik, mental maupun sosial
4 -
Akses informasi perkembangan perkara
Perlindungan bagi anak kelompok minoritas dan terisolasi
-
Perlindungan
anak
bagi
anak
yang
tereksploitasi ekonomi dan seksual -
Perlindungan
khusus
bagi
anak
korban
penculikan, perdagangan dan juga penjualan -
Perlindungan
khusus
bagi
anak
korban
kekerasan fisik, psikhis dan seksual -
Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat
X
XI
XII
Pasal 72-
Peran Masyarakat
73 Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Pasal 7476 Pasal 77-
Ketentuan Pidana
90
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak
57
1. Bentuk perlindungan Anak-anak, seperti halnya orang dewasa, mempunyai hak atas hak asasi dasar manusia. Namun, karena kebutuhan mereka, hak-hak anak perlu diperhatikan dan diperlakuan secara khusus. Konvensi hakhak anak dirancang untuk menegakkan dan menjaga hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut termasuk: (1) Hak-untuk kelangsungan hidup; (2) Hak-hak untuk tumbuh kembang; (3) Hak-hak untuk dilindungi; dan (4) Hak-hak untuk berpartisipasi; Dalam koridor tersebut, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak yang tidak dapat diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua.88 Dengan
demikian,
sebenarnya
pemerintah
cukup
memperhatikan masalah perlindungan anak, meskipun upaya ini masih terasa dalam tataran normatif belaka89 . Upaya-upaya perlindungan tersebut dilakukan dengan melakukan ratifikasinya terhadap Konvensi Hak Anak yang diwujudkan ke dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dengan jelas menegaskan kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan secara khusus terhadap anak dalam situasi darurat. 88
M. Ghufron H. Kurdi K., “Pekerja Anak; Bermasalah Sejak Definisi, Catatan Untuk Hari Anak Nasional”, Majalah Anakita, Edisi 09 September 2001, hlm. 33 89 Fatah Muria, op. cit., hlm. 2
58
Peraturan ini secara eksplisit menyadari bahwa pentingnya upaya negara untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak. Sebagaimana terdapat dalam: Pasal 20: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”, dan pasal 22, “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak” Dengan demikian negara atau pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap anak dan bertanggung jawab memberikan
sarana
dan
prasarana
dalam
penyelenggaraan
perlindungan tersebut.
2.
Sanksi-sanksi pidana Sanksi-sanksi pidana yang dicantumkan dalam beberapa pasal antara lain; a. Pasal 77 “Setiap orang yang melakukan penelantaran yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 000 000 (seratus juta)”. b. Pasal 78
59
“Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat90, anak yang behadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, anak korban
kekerasan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 000 000 (seratus juta)”. c. Pasal 80 Ayat (1) “Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72 000 000 (tujuh puluh dua juta)”. Ayat (2) “Jika anak yang jadi korban mengalami luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 000 000 (seratus juta)”. ayat (3) “Dalam hal anak yang jadi korban meninggal, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 000 000 (dua ratus juta)”. Ayat (4) “Pidana
90
Anak dalam situasi darurat sabagimana yang dimaksud dalam pasal 60, antara lain; (i) anak yang menjadi pengungsi, (ii) anak korban kerusuhan, (iii) anak korban bencana alam, dan (iv) anak dalam situasi konflik bersenjata.
60
ditambah
sepertiga
dari
ketentuan
apabila
yang
melakukan
penganiayaan tersebut adalah orang tuanya”. d. Pasal 81 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan
memaksa
anak
melakukan
persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300 000 000 (tiga ratus juta) dan paling sedikit Rp. 60 000 000 (enam puluh juta)”. e. Pasal 82 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana denga pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300 000 000 (tiga ratus juta ) dan paling sedikit Rp. 60 000 000 (enam puluh juta)”. f. Pasal 83 “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga tahun) dan denda paling banyak Rp. 300 000 000 (tiga ratus juta) dan paling sedikit RP. 60 000 000 (enam puluh juta)”.
61
g. Pasal 88 “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 000 000 (dua ratus juta)”. Pasal-pasal yang berkaitan dengan sanksi tersebut memberikan gambaran
bahwa
pemerintah
menunjukkan
keseriusan
dan
komitmennya untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap anak. Atau dengan kata lain dapat diartikan bahwa, perlindungan anak secara yuridis sudah tertuang dalam UU No 23 Tahun 2002 yang juga mengatur tentang pemberian sanksi terhadap hal-hal yang berimplikasi pada
kerugian
yang
dialamai
oleh
anak,
seperti
kekerasan,
perdagangan dan lain-lain, dengan bentuk sanksi yang berupa tahanan maupun dendan yang cukup besar.
C.
Ketentuan Tentang Anak bekerja. Pengaturan tentang ketentuan anak bekerja, tidak diatur secara jelas atau detail dalam UU No. 23 Trahun 2002, tentang perlindungan anak. UU No.23 Tahun 2002, pasal 59, hanya menyebutkan bahwa “Pemerintah
dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, dalam situasi darurat, anak yangt berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara
62
ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Karena keterbatasan pengaturan ketentuan tentang anak bekerja dalam UU No.23 Tahun 2003, dan untuk memperkuat data tentang ketentuan anak bekerja, penulis mengemukakan ketentuan tentang anak bekerja sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 1. Syarat Mempekerjakan Anak Seorang pengusaha hendaknya dalam menghadapi anak baik yang datang sendiri atau yang diantar oleh orang tuanya, untuk meminta pekerjaan pada perusahaan nya, sebaiknya jika masih memungkinkan mencegah anak-anak itu bekerja di perusahaannya, atau jika naluri dan
keadaan pengusaha itu mendorong, kalau
mungkin atas pertimbangan yang matang sebaiknya menyatakan diri sebagai orang tua asuh bagi anak itu, sehingga mereka dapat lebih dipersiapkan untuk tenaga kerja yang cakap dan terampil untuk masa datang.91 Pada prinsipnya pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Hal ini disebutkan dalam pasal 68 undang-undang nomor 13 tahun 91
G. Kartasapoetra, et. al. Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, cet. ke-4, hlm. 40
63
2003
berbunyi:
“Pengusaha
dilarang
mempekerjakan
anak”.
Larangan mempekerjakan anak dimaksudkan untuk melindungi anak agar tidak terganggu pertumbuhan dan kesehatannya. Daya tahan tubuh anak masih sangat rentan terhadap lingkungan kerja, apabila sering berhubungan dengan bahan-bahan kimia.92 Larangan mempekerjakan anak ini dapat dikesampingkan jika anak yang bekerja tersebut berusia antara 13 (tiga belas) tahun hingga 15 (lima belas) tahun93, dan hanya melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan anak secara fisik dan psikhis. Pengusaha diperbolehkan mempekerjakan anak, akan tetapi jika pengusaha tersebut telah melengkapi syarat-syarat antara lain sebagai berikut94; a. Izin tertulis dari orang tua atau wali; b. Perjanjian kerja antar pengusaha dengan orang tua atau wali; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. Keselamatan dan kesehatan kerja; f. Adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
92
Maimun, op.cit, hlm. 16 Lebih jelas, ada dalam ketentuan pasal 69 ayat (1) yang berbunyi; “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial”. 94 Ibid., hlm. 17 93
64
Sedangkan, pada pasal 70, diterangkan bahwa a. Ayat (1) “Anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disyahkan oleh pejabat berwenang”. b. Ayat (2) “Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun”. c. Ayat (3) “Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : 1. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan
serta
bimbingan
dan
pengawasan
dalam
melaksanakan pekerjaan; dan 2. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja”. 2.
Tempat Layak Anak Bekerja Menurut Undang-undang No 13 Tahun 2003, tempat yang dianggap masih layak untuk digunakan anak bekerja, antara lain; a. Tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau Pelatihan yang disyahkan oleh pejabat yang berwenang,
65
b. Dalam
hal
anak
yang
dipekerjakan
bersama-sama
dengan
pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa”.95 3. Jenis Pekerjaan Berbahaya Pada Anak Yang dimaksud bekerja, atau dipekerjakan dalam hal ini adalah bekerja dalam arti yang ringan sesuai dengan kemampuan si anak. Seperti yang dimaksudkan dalam pasal 69 ayat (1) yang berbunyi; “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial”. Dengan demikian yang menjadi pedoman jenis pekerjaan yang dapat dengan terpaksa diberlakukan pada anak, adalah jenis pekerjaan yang ringan dan menyesuaikan kemampuan anak dan kebutuhan untuk perkembangan anak. Pengaturan terhadap pelarangan mempekerjakan anak pada jenis pekerjaan
yang
berbahaya,
ditegaskan
oleh
pemerintah
dengan
memberikan himbauan, yakni bahwa siapapun (termasuk pengusaha) dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk.96
95 96
Pasal 70 ayat (10 dan (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 74 ayat (1) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagaqkerjaan
66
Secara umum, anak tidak diperbolehkan menjalankan pekerjaan pada beberapa tempat tertentu, antara lain97 ; 1
Di pabrik-pabrik, yaitu pada ruangan yang tertutup atau yang dipandang sebagai tertutup, dimana digunakan satu alat atau lebih yang digerakkan dengan tenaga mesin,
2
Di tempat-tempat kerja yaitu pada ruangan yang tertutup dimana biasanya
pada
ruangan-ruangan
tersebut
dilakukan
pekerjaan-
pekerjaan tangan secara bersama-sama oleh sepuluh pekerja atau lebih, 3
Di tempat-tempat tertentu dimana dilakukan pembuatan, pemeliharan, pembetulan atau pembongkaran suatu bangunan di bawah tanah, pekerjaan galian, bangunan air, gedung dan jalan,
4
Pada perusahaan kereta api,
5
Pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang, baik di pelabuhan, dermaga dan galangan, maupun di stasiun tempat pemberhentian dan tempat pembongkaran dan tempat penumpukan barang atau gudang-gudang yang dalam hal ini dikecualikan jika barang-barangnya merupakan barang-barang jinjingan dan tidak terlalu berat. Selanjutnya, pihak pengusaha tidak dibenarkan mempekerjakan
anak pada jenis pekerjaan di bidang pertambangan, daerah atau ruang bawah tanah, tempat pengambilan logam dan bahan-bahan lainnya dari
97
G. Kartasapoetra, et. al op cit, hlm. 41
67
sumbernya di dalam tanah, karena pekerjaan demikian dapat mengganggu kesehatan dan keselamatannya.98 Selain ketentuan-ketentuan di atas, sesungguhnya jika meninjau lebih dalam, bagi anak-anak yang dipekerjakan pada perusahaanperusahaan, sebaiknya tidak diserahi tugas yang sangat memerlukan ketelitian dan keamanan. Semisal menjadi penjaga tiket. Dari segi ketelitian, anak-anak cenderung kurang dan bahkan ceroboh. Dari segi keamanan, tentunya sangat berbahaya, karena anak-anak yang mengemban tugas demikian akan selalu menjadi incaran orang yang kurang memiliki rasa kemanusiaan. Sedangkan yang termasuk Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk99, yang meliputi; a. Segala pekerjaan dalam bentuk pekerjaan atau sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; dan atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak”.100 98
Ibid, hlm. 43 Merujuk pada kata “terburuk” berasal dari yang kalimat terdapat pada ayat (1) yang berbunyi; “siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk”. 99
68
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP HUKUM ANAK BEKERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
A. Analisa Terhadap Batasan Umur Anak Para ulama dalam ijtihadnya telah merumuskan beberapa syarat dan rukun tenaga kerja, diantara persyaratan tersebut salah satunya menyebutkan bahwa orang yang melakukan akad (pengusaha dan pekerja), disyaratkan kedua belah pihak harus sudah baligh, berakal serta mempunyai ahliah (kecakapan) agar dalam pelaksanaannya terjadi atas dasar kerelaan, tanpa ada unsur paksaan dan tidak ada unsur gharar (penipuan).
100
Pasal 74 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
69
Menurut Ulama Ushul, ahliah (cakap) dibagi menjadi dua bagian: 1. Ahliatul Wujub Yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. 2. Ahliatul Wujub, dibagi menjadi dua: a. Ahliatul Wujub Sempurna Yaitu seseorang yang sudah pantas menerima hak dan kewajiban. Keadaan ini dimiliki oleh manusia sejak lahir sampai ia meninggal dunia. Misalkan seorang anak kecil dikenakan wajib zakat, karena ia belum dewasa maka yang melaksanakannya adalah orang tua atau walinya, dan dia punya hak waris atas harta yang ditinggalkan oleh orang tua atau walinya.101 b. Ahliatul Wujub Kurang Sempurna Yaitu kondisi seseorang yang hanya mampu menerima hak. 2. Ahliatul Ada’ Yaitu kepantasan seseorang dipandang sah atas segala perkataan dan perbuatannya. Seperti misalnya ketika ia melakukan perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya dianggap syah dan mempunyai akibat hukum.102 Ahliatul Ada’ dibagi menjadi tiga: a. Ada kalanya seseorang tidak mempunyai Ahliatul Ada’ (kecakapan berbuat) sama sekali, atau kehilangan kecakapan berbuat, misalnya anak kecil, karena dia tidak mempunyai Ahliatul Ada’ maka segala hlm. 166
101
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, t.th,
102
Ibid, hlm. 165
70
tindakannya tidak berpengaruh dalam syara’, sehingga segala bentuk perikatan mu’amalahnya dianggap tidak syah dan batal. b. Keadaan seseorang yang mempunyai Ahliatul Ada’ namun kurang sempurna, seperti anak yang sudah mumayyiz, akan tetapi belum mencapai kondisi kedewasaan. c. Ahliatul Ada’ sempurna, yakni kondisi seseorang yang sudah mencapai kedewasaan dan dapat berfikir secara sempurna, maka segala tindakan mu’amalahnya dianggap sah, karena sudah rasyid (dapat berfikir dengan cerdas)103 Anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun adalah kondisi di mana seseorang dianggap belum mampu mengendalikan harta benda yang dimilikinya. Keadaan ini juga merupakan masa seseorang belum bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masa ini pada umumnya adalah masa belum sempurnanya pikiran seseorang, 104 maka Allah melarang untuk memberikan harta kepada mereka, seperti yang terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 6)
103
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang., 1994, cet.
I, hlm. 137
104
Menurut Bowlby, masa ini didominasi oleh perasaan senang dan tidak senang, bandel, liar, labil, perasaan ingin main-main, dengan kemapuan berfikir yang masih kurang sempurna. Secara umum masa anak-anak mempunyai ketergantungan yang sangat kuat kepada orang lain, khususnya orang-orang yang dekat dengannya dan pada masa ini banyak diperlukan vitamin dan nutrisi sebagai penunjang perkembangan fisik, sedangkan untuk penunjang perkembangan psikologis anak memerlukan kasih sayang dan perhatian dari orang tua atau orang dekat di sekitarnya. F.J. Monks, et al., op cit., hlm. 95
71
(٦:ﺴُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺭﺷْﺪﹰﺍ ﻓﹶﺎ ْﺩ ﹶﻓﻌُﻮﺍ ِﺇﹶﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﹶﺃ ْﻣﻮَﺍﹶﻟ ُﻬ ْﻢ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ْ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺁَﻧ
Artinya: “Maka apabila telah kamu ketahui kecerdasannya, maka serahkanlah harta mereka kepada mereka”105(QS. an-Nisa’ ayat 6) Yang dimaksud
ُﺭﺷْﺪﹰﺍpada ayat tersebut di atas adalah sudah dapat
menggunakan sesuatu menurut semestinya. Menurut Ibnu Abbas
ﺭُﺷْﺪﹰﺍ
adalah cerdas di bidang harta benda.106 Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, keadaan anak di bawah umur itulah yang menimbulkan pengaruh terhadap larangan anak kecil mengadakan suatu perjanjian semacam perjanjian kerja. Alasan yang melatarbelakangi statement kelompok Hanafiyah adalah bahwa masa anak-anak pada umumnya adalah masa di mana kecerdasannya belum tampak atau dapat dikatakan mereka masih belum cerdas.107 Hal ini di dasarkan pada sebuah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Siti A’isyah ra:
ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ:ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﱴ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ ﻭﻋﻦ ﺍﺠﻤﻟﻨﻮﻥ ﺣﱴ ﻳﻔﻴﻖ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﱮ ﺣﱴ ﻳﻜﱪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ (ﺩﺍﻭﺩ
105
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 115 Idris Ahmad, Fiqh Syafi’iyah, Jakarta: Wijaya, 1994, hlm.8 107 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Asia: an-Nur, t. th, hal 210 106
72
Artinya; ”Dari A’isyah ra, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda; ‘diangkatnya pena (dibebaskan) dari tiga golongan, orang tidur hingga bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak kecil hingga ia dewasa” (HR. Abu Daud) Maka dengan demikian anak merupakan orang yang masih dalam pengampuan wali. Ia tidak sah melakukan transaksi harta miliknya sendiri, apalagi melakukan tindakan yang melibatkan orang lain misalnya perjanjian kerja. Menurut golongan Syafi’iyah, ada beberapa orang yang tidak diperkenankan melakukan perjanjian kerja, termasuk di dalamnya anakanak, sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib alArba’ah;
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻻﻳﻨﻌﻖ ﺑﻴﻊ ﺍﺭﺑﻌﺔ ﻭﻫﻢ ﺍﻟﺼﱮ ﺳﻮﺃ ﻛﺎﻥ ﳑﻴﺰ ﺍﻭ ﻏﲑ ﳑﻴﺰ ﻭﺍﺠﻤﻟﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﻜﻠﻔﺎ ﻭﺍﻻﻋﻤﻰ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﺎﻉ ﺃﺣﺪ ﻟﻮ ﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺆﻹ ﻭﻗﻊ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺑﺎﻃﻼ Artinya; “Golongan Syafi’iyah berpendapat, ada empat orang yang tidak dapat (tidak syah) melakukan suatu perjanjian (termasuk perjanjian kerja), mereka itu adalah: anak kecil, baik sudah mumayyiz atau belum, orang gila, hamba sahaya walaupun sudah mukallaf, dan orang buta. Apabila mereka melakukan suatu perjanjian maka hukumnya tidak sah” 108 Dari pendapat Ulama Syafi’iyah di atas, maka dapat dipahami tentang tidak diperbolehkannya anak kecil melakukan suatu perjanjian kerja atau bekerja, karena anak kecil belum dapat berfikir secara matang dan
baik,
sehingga
segala
tindakannya
belum
dapat
dipertanggungjawabkan. 108
Abdur Rahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, Mesir: al-Maktabah alTijariah, Juz VI, hlm. 160
73
Menurut Syari’at Islam, pertanggungjawaban seseorang atas perbuatannya didasarkan pada dua hal, yang pertama kekuatan dan kemampuan berfikir, kedua atas pilihan sendiri (irodah dan ikhtiar). Oleh karena itu, kedudukan anak berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilaluinya dalam lingkungan kehidupan yang ia jalani, mulai dari waktu melahirkan, sampai pada masa memiliki dua perkara tersebut. menurut pendapat para fuqoha, kedudukan anak berdasarkan perbedaan masa yang dilaluinya terdiri dari tiga bagian: a. Masa tidak adanya kemampuan berfikir Masa ini dimulai sejak dia dilahirkan sampai ia berusia sekitar 7 (tujuh) tahun. Pada masa tersebut, anak belum mempunyai kemampuan berfikir dan disebut anak yang belum mumayyiz. Sebenarnya kemampuan berfikir tidak terbatas pada usia tertentu, sebab kadang-kadang dapat timbul sebelum usia 7 (tujuh) tahun, kadang-kadang juga terlambat, tergantung dari perbedaan orang, lingkungan, keadaan dan mental psikhisnya. b. Masa kemampuan berfikir lemah Masa ini dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun, sampai mencapai usia dewasa dan kebanyakan fuqaha membatasi dengan usia 15 (lima belas) tahun, kalau anak sudah mencapai usia itu, ia dianggap sudah dewasa. c. Masa kemampuan berfikir penuh
74
Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdikan atau setelah mencapai usia 15 (lima belas) tahun ke atas.109 Mumayyiz menurut Abu Zahrah adalah anak kecil yang telah mencapai suatu kondisi di mana ia telah mampu mengadakan suatu transaksi atau akad secara global, ia mampu memahaminya secara tradisi yang sudah ada. Sehingga seorang anak belum dikategorikan mumayyiz apabila ia belum mampu memahami arti dan tujuan akad yang dilakukan oleh manusia pada umumnya.110 Satu tingkat di atas mumayyiz adalah baligh, yaitu fase transisi yang bersifat alami dilalui oleh manusia, masa ini merupakan masa beralihnya sifat kekanak-kanakan menuju kondisi dewasa dan pada masa inilah seseorang mulai terkena beban taklif syara’ dan akan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Oleh karena itu, semua fuqaha sepakat seseorang yang telah baligh terkena khitab syara’. Baligh bisa diketahui dari dua aspek, pertama aspek biologis, kedua aspek usia. Baligh dari aspek biologis ditandai dengan ihtilam bagi pria dan haid bagi wanita, selain itu baligh secara biologis dapat juga ditandai dengan tumbuhnya rambut kasar di sekitar qubul.111 Sedangkan baligh menurut segi usia minimal 12 (dua belas) tahun bagi laki-laki, dan minimal 9 (sembilan) tahun bagi perempuan. Pada usia inilah seseorang mengalami baligh dari segi usia. Apabila pada usia
370
109
Ahmad Hanafi, Azaz-Azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm.
110
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syahsiyyah, Dar al-Fikr al-Arabi, t. th.,hlm. 513 Ibnu Qodamah, al-Mughni”, Juz. VI, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., 512
111
75
tersebut belum muncul tanda ikhtilam atau haid, maka fase baligh dari segi umur ditunggu sampai 15 (lima belas) tahun.112 Pada dasarnya taklif syara’ tidak didasarkan pada batasan usia secara jelas, akan tetapi melalui dari munculnya kekuatan yang sempurna yaitu kekuatan biologis dan kekuatan akal. Unsur kekuatam biologis tampak dirasakan dalam hal-hal yang dapat dimaklumi secara tradisi, baik baligh dari segi tindakan atau dari segi hukum. Keadaan ini dapat diprediksi berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, atau kebiasaan yang berlaku. Sedangkan kemampuan akal dapat dilihat dari indikasi perimbangan perbuatannya, indikasi ini tidak dapat dirasakan dari segi biologis. Walaupun kondisi itu dijadikan dasar terhadap adanya taklif, namun dinyatakan secara implisit. Kondisi baligh itu merupakan praduga yang nyata menurut tradisi atas pertumbuhan intelegensi sebagaimana yang terjadi pada pertumbuhan biologis.113 Berdasarkan keterangan di atas, maka bahwa batasan umur anak diperbolehkan bekerja ketika ia berumur di atas 15 tahun, atau telah matang secara akal, artinya daya intelegensi anak tersebut memungkinkan ia untuk melakukan suatu perjanjian kerja atau melakukan pekerjaan.
112 113
Abu Zahrah, op cit, hlm. 516 Ibnu Qodamah, op. cit, hlm. 513
76
B. Analisa Terhadap Hukum Anak Bekerja Menurut Islam Manusia sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, serta berubah mengikuti perkembangan, hal ini sebenarnya mendapat legitimasi dari hukum syara’. Hukum Islam adalah bersifat akomodatif, yakni menerima hukum atau norma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, selama sesuai dengan Nash dan selaras dengan kemaslahatan, terlihat pula penerimaan terhadap adat istiadat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adat atau urf yang di dalam terminologi ilmu fiqh adalah tindakantindakan atau tingkah laku dari suatu kelompok masyarakat yang dianggap baik, dan dilakukan secara terus menerus sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan, maka dengan sendirinya ia akan menjadi norma dalam masyarakat, yang pada perkembangannya menjadi norma hukum.114 Menurut Abdul Wahab Khallaf, Urf dibagi menjadi dua bagian, yaitu; 1. Urf Shaheh Yaitu suatu kebiasaan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak menimbulkan mafsadat. 2. Urf Fasid Yaitu suatu kebiasaan yang sudah dikenal masyarakat ramai dan pelaksanaannya bertentangan dengan syari’at Islam, karena
114
Mukhtar Yahya, op cit, hlm. 157
77
mengandung mudlarat bagi manusia dan melupakan aspek maslahah. Seperti transaksi yang mengandung unsur riba atau sejenisnya yang pada prinsipnya dikecam oleh Syar’at Islam.115 Dari uraian tersebut, tampaknya pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah 18 tahun dapat masuk dalam kategori Urf shaheh.
Anak Bekerja Termasuk Dalam Urf Shaheh Pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak dapat termasuk kriteria Urf shaheh, karena pekerjaan tersebut dilakukan terus menerus dan berulang-ulang, dari generasi ke generasi, serta memenuhi kriteria urf shaheh, artinya tidak membatalkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dalam sejarah tercatat bahwa dahulu saat masih kecil, pernah juga Nabi Muhammad bekerja, ketika Nabi berumur 12 tahun, mengikuti pamannya Abu Thalib yang berniaga membawa barang dagangan dari Makkah ke Syam. Selain itu, Nabi juga bekerja menggembala kambing, baik kambing milik keluarga maupun kambing milik tetangga yang dipercayakan untuk digembalakannya. Peristiwa ini diakui sendiri oleh Nabi Muhammad, seperti yang terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
115
Abdul Wahab Khallaf, op cit,., hlm.89
78
ﻣﺎ ﺑﻌﺚ ﺍﷲ ﻧﺒﻴﺎ: ﻗﺎﻝ.ﻋﻦ ﺃ ﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻠﻢ ﻛﻨﺖ ﺍﺭﻋﺎ ﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺭﻳﻂ ﻵ ﻫﻞ. ﻭﺃﻧﺖ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻧﻌﻢ, ﻓﻘﺎ ﻝ ﺍﺻﺤﺎﺑﻪ,ﺍﻻ ﺭﻋﻰ ﺍﻟﻐﻨﻢ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
ﻣﻜﺔ
Artinya; “Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Muhammad Saw., bersabda:’Allah tidak mengutus seorang Nabi, melainkan orang itu kembala kambing’, para sahabat bertanya, ‘dan anda sendiri bagaimana?’ jawab Nabi; ’Ya, aku pernah menggembala kambingkambing orang Makkah dengan upah beberapa qiradh”. (HR. Bukhari)116 Dalam riwayat Ibnu Majjah dari Suwaid Ibnu Sa’id Ibnu Yahya berkata dalam mengartikan setiap kambing adalah satu qiradh, qirad adalah bagian dari dinar atau dirham, menurut Ibrahim al-Harbi qiradh adalah nama sebuah tempat di Makkah, dan qiradh tidaklah dimaksudkan sebuah tembaga. Ibnu Fauzi dalam tafsirnya menguatkan pendapat Suwaid, karena penduduk Makkah tidak tahu-menahu tentang nama tempat yang disebut dengan qiradh.117 Dengan demikian berarti nabi dalam menggembala kambing benar-benar bekerja dengan motivasi upah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dari hadist di atas, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa anak bekerja adalah wajar sejak masa Nabi. Akan tetapi perlu memperhatikan secara
lebih
lanjut,
motivasi,
apa
dan
bagaimana
syarat-syarat
mempekerjakannya, agar hak-hak tidak terlupakan. Karena pada dasarnya Islam tidak pernah berniat untuk membuat kesulitan bagi manusia ataupun kesengsaraan bagi para pemeluknya. Seperti yang terdapat dalam surat alBaqarah ayat (185):
116
Ahmad Ibnu ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Basri, Juz IV, Kairo: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 441 117 Ibid
79
ﺴ َﺮ َﻭِﻟﺘُ ﹾﻜ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻌ ﱠﺪ ﹶﺓ َﻭِﻟﺘُ ﹶﻜﱢﺒﺮُﻭﺍ ﺍﻟ ﱠﻠ َﻪ َﻋﻠﹶﻰ ﻣَﺎ َﻫﺪَﺍ ﹸﻛ ْﻢ ْ ﺴ َﺮ ﻭَﻻ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑﻜﹸﻢُ ﺍﹾﻟ ُﻌ ْ ﺍﻟ ﱠﻠ ُﻪ ِﺑﻜﹸﻢُ ﺍﹾﻟُﻴ (١٨٥:ﺸ ﹸﻜﺮُﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ْ َﻭﹶﻟ َﻌ ﱠﻠﻜﹸ ْﻢ َﺗ Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu”118(QS. Al-Baqarah) Di sisi lain, kemaslhatan yang timbul dari anak bekerja dapat membantu meringankan beban perekonomian keluarganya, untuk biaya sekolah mereka, dan untuk biaya keperluan lain. Sesuai dengan syari’at Islam yang mana syari’at dihadirkan adalah juga untuk kemaslahatan umat manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Zakariyya al-Barri:
ﺟﺎﺋﺖ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻟﺘﺤﻘﻖ ﺍﳋﲑ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﺣﻴﺚ ﻃﺎﻟﺒﻬﻢ ﲟﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻭﻬﻧﻴﻬﻢ ﻋﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻔﺴﺪﺓ Artinya: “Syari’at datang untuk merealisir mereka diperintahkan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi melakukan sesuatu yang dapat mereka”.119
kebaikan bagi manusia dimana mengambil sesuatu untuk mereka dan mereka dilarang membawa kerusakan kepada
Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam juga mengatakan:
ﻓﺎﻥ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻣﺒﻨﺎﻫﺎ ﻭﺍﺳﺎ ﺳﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﳊﻜﻢ ﻭﻣﺼﺎﱀ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﰱ ﺍﳌﻌﺎ ﻧﺸﻰ ﻭﺍﳌﻌﺎﺩﻭﺗﻰ ﻋﺪﻝ ﻛﻠﻬﺎ ﻭﺭﲪﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﺼﺎﱀ ﻛﻠﻬﺎ ﻭﺣﻜﻤﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻓﻜﻞ ﻣﺴﺌﻠﺔ ﺣﺮﻣﺖ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﱃ ﺍﳉﻮﺭ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺮﲪﺔ ﺍﱃ ﺿﺪﻫﺎ ﻭﻋﻦ ﺍﳌﺼﻠﺤﺔ ﺍﱃ ﺍﳌﻔﺴﺪﺓ ﻭﻋﻦ ﺍﳊﻜﻤﺔ ﺍﻟﻌﻴﺶ ﻓﻠﻴﺲ
118 119
Departemen Agama Republik Indonesia, op cit, hlm. Zakariyya al-Barri, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, 1975, hlm. 124
80
ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻭﺍﻥ ﺍﺩﺧﻠﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻋﺪﻝ ﺍﷲ ﺑﲔ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻭﺭﲪﺘﻪ ﺑﲔ ﺧﻠﻘﻪ .ﻭﻇﻠﻪ ﰱ ﺍﺭﺿﻪ ﻭﺣﻜﻤﺘﻪ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺻﺪﻕ ﺭﺳﻮﻟﻪ Artinya: “Sesungguhnya syari’at itu dibangun dan berpondasi pada sendisendi hukum dan kemaslhatan hamba-hamba di dunia dan di akhirat, yang secara keseluruhan sebanding atas rahmat dan mengandung kemaslahatan dan bersifat bijak, maka setiap permasalahan yang mengesampingkan keadilan dan menuju kedustaan atau mengesampingkan nilai kasih sayang dan menuju kebalikannya (kesewenang-wenangan), mengesampingkan nilai maslahah menuju kepada kerusakan serta kedustaan, itu semua bukan dari syariat, walaupun dimaksudkan adalah nilai takwilnya. Dan maksud dari syari’at adalah keadilan Allah yang diberikan kepada hambanya, dan rahmatnya pada mahluk ciptaannya yang merupakan naungan Allah di bumi, sedangkan hikmah syari’ah adalah untuk menunjukkan kebenaran Rasulnya”.120 Sedangkan masalah yang ada pada syari’ah itu sendiri menurut Imam Abu Ishak asy-Syathibi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:
ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳌﺼﺎﱀ ﺍﻟﱴ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻧﻮﺍﻉ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﺼﺎﱀ ﺿﺮﻭﺭﻳﺔ ﻭﻣﺼﺎﱀ ﺣﺎﺟﻴﺔ ﻭﻣﺼﺎﱀ ﺗﻜﻤﻴﻠﻴﺔ Artinya:”Kemaslahatan yang ada pada syari’at itu dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; masalah yang bersifat Dharuri, maslahah yang bersifat Hajji, dan maslahah yang bersifat takmili”.121 Dengan adanya pengelompokkan ini dapat ditekankan, bahwa pembagian yang bersifat Hajji dapat digunakan sebagai pendekatan untuk memaklumi
(ma’fu)
untuk
kondisi
dharuri,
seperti
sah
atau
diperbolehkannya anak-anak melakukan pekerjaan, demi menghilangkan
120 121
Ibnu Qayyim, I’lam al-Miaqiin, Juz. III, Dar al-Jazid, hlm. 1 Zakariyya al-Barri, loc cit
81
kesukaran dan masyaqqah yang ada padanya (berwujud himpitan kondisi ekonomi), disertai pula sifat dharuri yang digunakan untuk mengadakan perlindungan sebagai pencegahan agar anak tidak bekerja atau dipekerjakan
secara
sembarangan
tanpa
terjamin
hak-haknya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Zakariya al-Barri:
ﻭﺍﳌﺼﺎ ﱀ ﺍﳊﺎ ﺟﻴﺘﻪ ﻓﻴﻪ ﺍﻻ ﻣﻮ ﺭ ﺍﻟﱴ ﲢﺘﺎ ﺝ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎ ﺱ ﻟﺮﻗﻊ ﺍﳊﺮﺝ ﻭﺍﳌﺸﻘﺔ ﻭﺍﻟﻀﻴﻖ ﻋﻨﻬﻢ Artinya: “Kemaslahatan yang bersifat Hajji adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan masyaqqat serta kesukaran”.122 Sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 6 yang berbunyi:
(٦:ﺠ َﻌ ﹶﻞ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﺣﺮَﺝ)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ْ ﻣَﺎ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ﺍﻟ ﱠﻠ ُﻪ ِﻟَﻴ Artinya: “….Allah tidak hendak menyulitkanmu”. 123(QS. al-Ma’idah; 6). Juga seperti yang terdapat dalam surat al-Hajj ayat 78 yang berbunyi:
(٧٨:ٍَﻭ ﻣَﺎ َﺟ َﻌ ﹶﻞ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ﹸﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱢﻳ ِﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣﺮَﺝ)ﺍﳊﺞ Artinya; “Sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”124(QS. al-Hajj; 78)
122
Ibid hlm. 125 Departemen Agama Republik Indonesia, op cit., hlm. 122 124 Ibid,, hlm.272 123
82
Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 28
(٢٨:ﺿﻌِﻴﻔﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ َ ﻒ َﻋ ْﻨ ﹸﻜ ْﻢ َﻭﺧُ ِﻠ َﻖ ﺍﹾﻟِﺈْﻧﺴَﺎ ﹸﻥ َ ﺨ ﱢﻔ َ ُُﻳﺮِﻳ ُﺪ ﺍﻟ ﱠﻠ ُﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ Artinya: “Allah hendak memberikan keringan kepadamu dan manusia diciptakan lemah”.125 (QS. an-Nisa’) Ayat di atas, menunjukkan alternatif untuk meninggalkan hal-hal yang dirasa oleh manusia mengalami kesulitan, seperti pelarangan kerja anak di bawah umur, karena dalam diri anak belum ada kemampuan (sifat ahliah) untuk mendistribusikan harta bendanya, hal ini dianalogikan dengan tidak adanya kemampuan anak kecil menerima taklif (beban) dari agama, sehingga anak di bawah umur dibebaskan dari tuntutan Syara’. Tampak jelas bahwa ternyata masalah anak bekerja, walaupun tidak secara tersurat, namun tersirat bahwa ada pelarangan bagi manusia untuk melakukan sesuatu hal tidak pada tempatnya dalam arti di luar kemampuan, termasuk dalam hal ini anak melakukan suatu pekerjaan atau dipekerjakan, dibolehkan hanya sebatas kemampuan anak tersebut. Padahal, jika dalam nash (secara tersurat) al-Qur’an dan al-Hadis tidak mengatur, maka dalam hal ini masuk kriteria hukum mubah (boleh), sebagaimana kaidah Ushuliyah yang mengatakan:
ﺍﺍﻻﺻﻞ ﰱ ﺍﻻ ﺷﻴﺄ ﺍﻻﺑﺎ ﺣﻪ Artinya: “Pokok dari sesuatu menunjukkan ibahah”.126
125 126
Ibid., hlm. 65 Abdul Wahhab Khallaf, op cit., hlm. 176
83
Perlu dijelaskan bahwa pada kenyataannya, Hukum Islam bersifat fleksibel,
yakni
mampu
menyesuaikan
atau
disesuaikan
dengan
perkembangan zaman termasuk situasi dan kondisi berbeda yang melatarbelakangi masing-masing perbedaan masa tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Yusuf Musa:
ﻛﻞ ﺿﺮﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﳚﺐ ﺍ ﺗﻴﻜﻮﻥ ﰱ ﻃﺒﻴﻌﺘﻪ ﻭﺍﺩﻭﺍﺗﻪ ﻭﺍﺻﻮﻟﻪ ﻣﺎ ﳚﻌﻠﻪ ﻗﺎ ﺑﻼ ﻟﻠﺘﻄﻮﺭ ﺣﺴﺐ ﺍﻟﺰ ﻣﺎﻥ ﻭﺍﳌﻜﻦ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺻﺎﳊﺎ ﻟﻠﺒﻘﺎﺀﻭﺍﻻ ﻛﺎﻥ ﻓﻘﻬﺎ ﻣﻴﺘﺎ ﻏﲑ ﺻﺎﱀ ﻟﻠﺤﻴﺎ ﺕ Artinya: “Tiap-tiap fiqh itu prinsip-prinsipnya, konsep-konsepnya dan pokok-pokoknya harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman dan tempat, agar fiqh tersebut layak dan mampu bertahan. Apabila tidak demikian, maka fiqh akan mati dan tidak akan mampu menjawab tantangan kehidupan”. Berdasarkan abstraksi pemikiran tersebut yang mengacu pada dalildalil al-Qur’an dan al-Hadist serta kaidah-kaidah fiqhiyah maupun ushuliyah, penulis berpendapat bahwa pekerja anak-di bawah standar minimal umur yang sudah ditetapkan- hukumnya mubah dan ketentuanketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 dan Undang-undang No. 13 tahun 2003. Serta dapat dibenarkan bahwa suatu keharusan anak yang terpaksa bekerja atau dipekerjakan harus dilindungi, dan dilakukan usaha-usaha dengan tujuan akhir agar anak tidak lagi bekerja atau dipekerjakan, karena anak secara fisik masih lemah dan akal serta pikirannya pun masih lemah. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang menghendaki kemudahan dan menghindari kesukaran. Dan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286, yang berbunyi;
84
(٢٨٦:ﻻﻳﻜﻠﻔﻮﺍﷲ ﻧﻔﺴﺎﺍﻻﻭﺳﻌﻬﺎ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.127 (QS. al-Baqarah; 286) Penulis sependapat dengan pendapat Imam Hambali yang mengatakan bahwa aqad yang dilakukan oleh anak di bawah umur dalam hal pekerjaan yang ringan, walaupun belum tamyiz dan tanpa seizin wali, itu dianggap syah. Tetapi apabila pekerjaan itu banyak dan berat, maka tidak syah anak di bawah umur mengerjakannya jika dia belum tamyiz walaupun dengan seizin walinya, akan tetapi jika dia sudah tamyiz dan dengan izin walinya maka akadnya dapat dianggap syah, dengan syarat itu demi kemaslahatan anak tersebut.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
127
Departemen Agama, Ibid., hlm 39
85
Sebagai bab yang paling akhir dari skripsi ini, maka penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yakni agar anak yang dalam keadaan tereksploitasi secara ekonomi harus dilindungi oleh pemerintah. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap antara lain dengan menjaga hak-hak anak (hak kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk dilindungi dan hak untuk berpartisipasi) 2. Pemerintah
berkewajiban
bertanggung
jawab
memberikan
perlindungan khusus kepada anak tereksploitasi secara ekonomi. Salah satu
implementasi
perlindungan
khusus
tersebut,
pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang; a. Syarat mempekerjakan anak yakni : Izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antar pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Tempat layak anak bekerja, yakni: tempat kerja yang merupakan bagian bagian dari kurikulum pendidikan atau Pelatihan yang disyahkan oleh pejabat yang berwenang dan dalam hal anak yang dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka
86
tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. c. Pelarangan mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan berbahaya pada anak. Yang dimaksud pekerjaan berbahaya pada anak antara lain: di pabrik-pabrik, yaitu pada ruangan yang tertutup atau yang dipandang sebagai tertutup, dimana digunakan satu alat atau lebih yang digerakkan dengan tenaga mesin, di tempat-tempat kerja yaitu pada ruangan yang tertutup dimana biasanya pada ruangan-ruangan tersebut dilakukan pekerjaan-pekerjaan tangan secara bersama-sama oleh sepuluh pekerja atau lebih, di tempattempat tertentu dimana dilakukan pembuatan, pemeliharan, pembetulan atau pembongkaran suatu bangunan di bawah tanah, pekerjaan galian, bangunan air, gedung dan jalan, pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang, baik di pelabuhan, dermaga dan galangan, maupun di stasiun tempat pemberhentian dan tempat pembongkaran dan tempat penumpukan barang atau gudang-gudang yang dalam hal ini dikecualikan jika barang-barangnya merupakan barang-barang jinjingan dan tidak terlalu berat. Sedangkan
dalam
Islam,
syarat-syarat
sewa-menyewa
tenagakerja adalah: Kerelaan dua belah pihak yang melakukan akad, mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan, hendaklah barang yang
87
menjadi obyek transaksi dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria syara’, dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaannya, bahwa manfaat adalah hal yang mubah bukan yang diharamkan. selain itu baligh. Karena anak kecil yang belum dapat membedakan mana yang baik dan benar, maka akadnya tidak syah. Akan tetapi dalam hal pekerjaan yang ringan, walaupun belum baligh walau tanpa seizin wali, maka akadnya dianggap syah. Tetapi apabila pekerjaan itu banyak dan berat, maka anak kecil yang belum baligh tidak syah mengerjakannya, tanpa seizin wali, namun jika walinya mengizinkan maka tidak ada masalah. 3. Anak bekerja sudah membudaya dalam masyarakat, jika dilihat melalui Urf, maka telah memenuhi urf shaheh, yakni adanya unsur pelaksanaan yang berulang-ulang, dikenal khalayak ramai, dan tidak bertentangan dengan nash (al-Qur’an dan al-Hadis) sehingga akan menjadi norma hukum, artinya bahwa sudah jelas bahwa hukum anak bekerja adalah sah. Yang menjadi kelanjutan kewajiban adalah perlindungan terhadap anak bekerja itu sendiri. Karena anak bekerja adalah sama dengan anak-anak lain, yang mempunyai hak-hak sebagai anak sebagaimana anak tidak bekerja, maka pemerintah selaku penyelenggara negara dan kebutuhan warga negara, wajib pula menyelenggarakan perlindungan terhadap hak-hak anak dan ini wajib hukumnya, karena menyangkut kemaslahatan.
88
4. Ada relevansi antara ketentuan tentang perlindungan anak bekerja dan anak bekerja dalam Undang-undang No. 13 tahun 2002 dengan yang ada dalam hukum Islam. Terutama pada syarat-syarat jika dalam keadaan terpaksa anak bekerja dan/ dipekerjakan.
B. Saran-saran 1.
Hendaklah bagi setiap orang tua dengan rasa tanggung jawab yang tinggi berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari anak-anaknya agar tidak bekerja atau dipekerjakan, karena anak adalah titipan Illahi yang harus dijaga semampunya dengan memberikan kasih sayang, penjagaan, pemeliharaan dan pendidikan yang tepat.
2.
Bagi pengusaha yang masih punya naluri keperdulian sosial hendaklah berusaha untuk membantu keluarga yang miskin dengan menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
3.
Jika anak tersebut terpaksa bekerja atau dipekerjakan, maka hendaklah pengusaha
yang
mempekerjakan
tetap
memperhatikan
dan
memberikan hak-hak anak tersebut dengan baik serta tidak melanggar ketentuan yang ada dalam Undang-undang no. 23 tahun 2002, 4.
Bagi anak yang dalam keadaan terpaksa bekerja, hendaklah terlebih dahulu meminta izin kepada orang tua atau walinya, karena sah dan tidaknya yang dikerjakan oleh mereka menurut hukum Islam tergantung pada diizinkan atau tidaknya mereka bekerja oleh orang tua
89
atau walinya, hal ini karena anak masih dalam kekuasaan orang tua atau wali. 5.
Bagi pemerintah, hendaklah benar-benar menjalankan apa yang ada dalam
Undang-undang.
Penetapan
dua
Undang-undang
yang
melindungi anak ini, walaupun sudah lebih baik jika dibandingkan dengan perangkat perangkat sebelumnya, akan tetapi nampaknya masih belum merupakan langkah akhir dalam upaya penghapusan pekerja anak. 6.
Bagi Lembaga Swadaya masyarakat dan seluruh elemen masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi aktif dalam upaya perlindungan terhadap anak khususnya anak yang bekerja atau dipekerjakan, karena di pundak merekalah harapan kita bertumpu.
C. Penutup Dengan memanjatkan puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas taufiq dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada dosen pembimbing penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran senantiasa diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini tidak dapat banyak memberi perubahan yang signifikan pada keadaan anak yang dieksploitasi, tapi setidaknya penulis
90
berharap semoga ada manfaat yang dapat dipetik dari penulisan skripsi ini, walau hanya sekedarnya. Penulis senantiasa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya. Semoga Allah selalu melimpahkan karunia-Nya dan meridhai amal perbuatan hamba-Nya. Amien.
91