BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi masyarakat. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan menjadi sektor pelayanan publik yang mendapat perhatian besar oleh pemerintah dan masyarakat. Mengingat besarnya permintaan akan layanan kesehatan, tidak mengherankan apabila jumlah instansi pemberi layanan kesehatan sangat banyak. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 menyatakan bahwa rumah sakit yang ada di Indonesia berjumlah 2.455 rumah sakit, yang meliputi 1.923 rumah sakit umum dan 532 rumah sakit swasta (http://sirs.buk.depkes.go.id). Keseluruhan rumah sakit tersebut memiliki 500.450 tenaga kerja. Jumlah dokter, termasuk dokter spesialis dan dokter gigi mencapai 72.678 orang (14,52%) dan jumlah perawat mencapai 180.266 orang (36,02%). Tenaga kerja lainnya mencakup bidan sebanyak 34.451 orang (6,88%), farmasi sebanyak 12.206 orang (2,43%), tenaga kesehatan lainnya sebanyak 49.677 orang (9,92%) dan tenaga non-kesehatan sebanyak 151.172 orang (30,20%). Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 tersebut dapat disimpulkan bahwa perawat memiliki proporsi terbesar sebagai pemberi layanan kesehatan kepada masyarakat. Watson (2009) juga mengatakan bahwa profesi perawat merupakan praktisi terbanyak di sistem pelayanan kesehatan dan di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa perawat memegang peranan penting dalam pelayanan kesehatan. Perawat menjadi pihak strategis dalam kontak langsung dengan pasien. Mukadimah Kode Etik Keperawatan Indonesia (dalam Hidayat, 2008) menyatakan bahwa perawat merupakan suatu profesi yang turut serta mengusahakan tercapainya kesejahteraan fisik, material dan mental spiritual untuk pasien dan juga masyarakat. Standar Kompetensi
1
2 Perawat Indonesia tahun 2005 menyebutkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia, terdaftar dan diberi kewenangan untuk melaksanakan praktik keperawatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perawat pada umumnya terdiri dari perawat vokasional dan perawat profesional. Perawat vokasional (Licensed Vocational Nurse/LVN) merupakan perawat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan praktik di bawah pengawasan dan supervisi langsung maupun tidak langsung dari perawat profesional. Sementara itu, perawat profesional (Registered Nurse/RN) adalah tenaga profesional yang bekerja mandiri ataupun berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya serta telah menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan. Perawat profesional terdiri dari ners umum, ners spesialis dan ners konsultan (Standar Kompetensi Perawat Indonesia, 2005). Wen (1994) mengatakan bahwa pada awalnya pendidikan keperawatan berbasis praktik di rumah sakit. Seiring perkembangan zaman, pendidikan keperawatan kemudian beralih menjadi berbasis teori di universitas. Hal ini menyebabkan lulusan sarjana keperawatan sering merasa terjebak di antara pendidikan akademik dan praktik klinik ketika mereka terjun ke dunia klinik. Perasaan berada di tengah-tengah ini sering dipersepsikan oleh sarjana keperawatan sebagai krisis. Respon sarjana keperawatan terhadap krisis ini sering disebut sebagai reality shock (Wen, 1994). Efek reality shock pada akhirnya akan mempengaruhi sarjana keperawatan tersebut dan profesi keperawatan secara keseluruhan. Lewison dan Gibbons (1980) juga menemukan bahwa kesenjangan antara pendidikan akademik dan praktik klinik akan menjadi masalah bagi lulusan sarjana keperawatan saat memulai keperawatan profesional. Wen (1994) mengatakan bahwa untuk mengurangi reality shock pada sarjana keperawatan, maka diadakan berbagai program transisi pendidikan akademik ke pendidikan
3 klinik. Salah satunya adalah pengadaan program profesi, yang kemudian dianut oleh sistem pendidikan keperawatan di Indonesia. Mahasiswa yang telah mendapatkan gelar sarjana keperawatan diwajibkan mengikuti program profesi dan mendapatkan gelar Ners untuk dapat terjun ke praktik klinik di masyarakat. Program profesi pada dasarnya didesain untuk mengurangi kesenjangan antara pendidikan akademik dengan praktik klinik serta mengurangi efek reality shock (Wen, 1994). Program profesi sewajarnya mempersiapkan sarjana keperawatan untuk memasuki praktik klinik dengan meningkatkan profesionalisme, kemampuan, kepuasan kerja dan ketahanan kerja mahasiswa profesi (Butler & Hardin-Pierce, 2005). Kenyataannya, sarjana keperawatan mempersepsikan program profesi sebagai tekanan yang menyebabkan ketakutan dan stres ketika sedang menjalani program profesi (Loch, 2013). Penelitian yang dilakukan kepada 100 mahasiswa profesi keperawatan di Arab Saudi menunjukkan bahwa 72% mahasiswa profesi keperawatan sering mengalami stres ketika menjalani program profesi. Selain itu, 61% mahasiswa profesi keperawatan merasakan kemarahan yang disebabkan oleh hal-hal di luar kontrol dan 50% merasa tidak berdaya atas hal-hal yang tidak terduga (Eswi, Radi & Youssri, 2013). Penelitian lain yang dilakukan kepada 603 mahasiswa di Jordan Utara menunjukkan bahwa sebanyak 47,82% mahasiswa profesi keperawatan mengalami stres di atas rata-rata (Khater, Akhu-Zaheya & Shaban, 2014). Penelitian yang dilakukan kepada 63 mahasiswa profesi keperawatan di Banda Aceh menunjukkan bahwa sebanyak 13% mahasiswa mengalami stres kategori sedang dan 32% mahasiswa profesi keperawatan mengalami stres kategori berat (Meilani, 2013). Penelitian lain dilakukan kepada 76 mahasiswa profesi Universitas Respati Yogyakarta menunjukkan bahwa 71,1% mahasiswa profesi keperawatan mengalami stres kategori sedang dan 15,8% mahasiswa profesi mengalami stres kategori berat (Wiyani, 2014).
4 Salah satu penyebab utama stres yang ditemui oleh mahasiswa profesi adalah tingginya tuntutan atau beban kerja yang harus dipenuhi (Evans & Kelly dalam Singh, Sharma & Sharma, 2011). Beban kerja mahasiswa profesi keperawatan berasal dari beban kerja klinik dan beban kerja akademik. Beban kerja klinik mahasiswa profesi keperawatan mencakup memenuhi kebutuhan pasien yang banyak dan beragam (Bosquetti & Braga, 2008). Beban kerja akademik akademik mencakup berbagai macam laporan yang harus diselesaikan, responsi, tugas kelompok maupun tugas individu serta ujian di setiap stase. Beban kerja pada mahasiswa profesi keperawatan tidak hanya dilihat dari sisi beban kerja fisik, seperti berlari memenuhi panggilan pasien, mendorong pasien dengan kursi roda atau pun mengangkat pasien. Mahasiswa profesi keperawatan juga mengalami beban kerja mental dimana mereka harus menghadapi tugas-tugas sulit yang membutuhkan keterampilan khusus dan tanggung jawab yang besar, seperti menyuntik, memasang infus dan mencampurkan obat yang dibutuhkan pasien dengan dosis yang tepat. Selain itu, banyaknya tugas yang harus diselesaikan menyebabkan mahasiswa profesi keperawatan tidak memiliki waktu luang dan bahkan mengalami kurang tidur (Eswi dkk, 2013). Wen (1994) mengatakan bahwa pendidikan keperawatan di universitas lebih menekankan kepada teori dan mengesampingkan kemampuan praktik. Akibatnya, lulusan lulusan sarjana keperawatan dianggap tidak siap menghadapi dunia klinik. Mahasiswa profesi keperawatan sering dipaksa untuk mampu bertindak profesional meskipun mereka tidak memiliki keyakinan diri, kompetensi dan kemampuan klinik. Almaidah (2015) dalam sebuah artikel berjudul “Praktik Profesi Ners UGM” menuliskan sebagai berikut (keperawatan.ugm.ac.id): “Misalnya saja untuk pasang infus. Sejak kuliah S1 mungkin sudah dipelajari bagaimana cara memasang infus yang benar, bagaimana teknik aseptiknya, bagaimana cara memasukkan jarum ke intra vena. Semua secara teoritis bisa dikuasai bahkan mungkin diluar kepala. Tapi pernahkan berpikir bagaimana memasang infus pada orang dengan vena yang rapuh dan mudah pecah? Sehingga harus hati-hati sekali. Pernahkah terpikir memasang infus pada orang
5 yang ambang nyerinya rendah sekali? Sehingga ketika jarumnya belum ditancapkan saja si pasien sudah berteriak kesakitan? Bahkan ada pasien yang baru melihat perawat datang saja sudah meringis kesakitan. Pernahkan terpikir bagaimana merayu pasien agar si pasien yang awalnya tidak mau dipasang infus menjadi mau? Semua mungkin belum pernah terpikirkan.” Keyakinan akan kemampuan diri untuk melakukan sebuah tugas disebut dengan efikasi diri (Bandura, 1994). Efikasi diri mahasiswa profesi keperawatan memegang peranan penting bagi keberhasilan program profesi yang mereka jalani. Namun, mahasiswa profesi keperawatan sering menunjukkan efikasi diri yang rendah ketika merawat pasien di setting klinik (Tuttle, 2009). Mahasiswa profesi melakukan praktik dengan menggunakan phantom saat masih menjalani pendidikan akademik. Kesalahan tindakan terhadap phantom tidak akan menimbulkan efek yang berbahaya. Hal ini berbeda dengan melakukan praktik langsung kepada pasien. Oleh karena hal itu, mahasiswa profesi keperawatan menjadi tidak yakin ketika memberikan tindakan keperawatan kepada pasien. Bosquetti & Braga (2008) mengatakan bahwa ketidakyakinan mahasiswa profesi keperawatan akan kemampuan mereka membuat mereka menjadi takut dan merasa tidak aman ketika memberikan tindakan keperawatan kepada pasien, terutama ketika pertama kali akan memberikan tindakan. Akibatnya, pelayanan yang diberikan kepada pasien pun menjadi tidak maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Mahmoud, Dorgham dan El-Megeed (2013) menemukan bahwa mahasiswa profesi keperawatan kurang yakin akan kemampuan profesional yang menyebabkan rendahnya komitmen profesional dan rendahnya kemampuan pemecahan masalah. Rendahnya kemampuan memecahkan masalah menyebabkan membuat mereka tidak responsif dalam memberikan perawatan kepada pasien. Hal ini berujung pada tingginya tingkat turnover mahasiswa profesi keperawatan. Penelitian ini ditujukan kepada mahasiswa profesi Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sebagai mahasiswa profesi yang sedang menjalani
6 program profesi, mereka mengalami kesenjangan antara pendidikan akademik dan pendidikan klinik yang berpotensi menyebabkan stres. Diharapkan mahasiswa porfesi keperawatan mampu mengenali dan mengelola stres yang mereka alami saat menjalani pendidikan profesi. Stres dapat berdampak positif dan negatif, tergantung dari persepsi mahasiswa profesi keperawatan mengenai stres dan bagaimana cara mengatasi stres (Singh dkk, 2011). Stres dapat menyebabkan tekanan dan gangguan emosi, namun di sisi lain stres dapat menjadi motivasi untuk belajar lebih kuat dan gigih demi mencapai keberhasilan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana peran beban kerja dan efikasi diri terhadap stres mahasiswa profesi Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran beban kerja dan efikasi diri terhadap stres mahasiswa profesi Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi perkembangan ilmu psikologi mengenai peran beban kerja dan efikasi diri terhadap stres terutama pada mahasiswa profesi keperawatan pada khususnya dan perkembangan studi Psikologi Pendidikan pada umumnya.
2.
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
7 a.
Pihak yang membutuhkan, terutama mahasiswa profesi Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk mengetahui gambaran beban kerja dan efikasi diri serta peranannya terhadap stres ketika menjalani program profesi. Pengetahuan mengenai peranan beban kerja dan efikasi diri mahasiswa profesi keperawatan kiranya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi stres saat menjalani program profesi.
b.
Pihak terkait, seperti instansi pendidikan akademik dan instansi pendidikan klinik agar dapat menjadi referensi dalam rangka pengembangan dan penyelenggaraan program profesi.
c.
Pihak yang memiliki keinginan untuk mengadakan penelitian yang berhubungan dengan beban kerja, efikasi diri dan stres mahasiswa profesi keperawatan agar dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.