BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Istilah fanatisme cenderung dipandang oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu bentuk sikap negatif karena sering menjadi penyebab perpecahan antarkelompok. Tidak hanya dipandang sebagai penyebab perpecahan kelompok, fanatisme sering kali juga dikaitkan dengan tindakan agresif. Hal ini terlihat dari hasil-hasil penelitian para peneliti di Indonesia yang banyak mengkaji fanatisme dan mengkaitkannya dengan perilaku agresif (Kusumaningtyas, 2011 & Syarif, 2010). Selain mengaitkan fanatisme dengan perilaku agresif, beberapa bahasan mengenai fanatisme antara lain mengenai fenomena fanatisme pendukung tim sepak bola (Silwan, 2012 & Pritasari, 2010), fenomena para penggemar yang fanatik terhadap sosok idola (Pertiwi, 2013) dan juga fanatisme kelompok keagamaan (Raharjo, 2008). Pandangan negatif terhadap fanatisme tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, terjadi juga di berbagai belahan dunia seperti Eropa dan Amerika. Pembahasan mengenai fanatisme oleh peneliti Barat dan Indonesia tidak jauh berbeda, fanatisme yang dikaji antara lain fanatisme di bidang olahraga (Seidman, 2014; Brown, 2002), fanatisme konsumen (Chung, 2005, Chung, 2008; Pimentel & Reynolds, 2004) dan fanatisme agama (Gila & Firman, 2004; Cavanaugh, 2007; Watt, 2010; Harrington, 2013; Chukwuemeka & Jude, 2014; Alschuler, 2014; Omomia, 2015). Hal yang menarik di dalam kajian mengenai fanatisme yaitu banyaknya peneliti yang mengaitkan fanatisme terhadap agama. Jika dipandang melalui kacamata masyarakat Indonesia, hal ini tidak mengherankan karena masyarakat sering menganggap fanatisme sebagai sikap yang memicu konflik antaragama di Indonesia. Konflik antaragama di
1
2 Indonesia yang sering terjadi yaitu konflik antarkelompok keagamaan dengan agama yang berbeda yaitu Islam dan Kristen. Misalnya, konflik Talikora yang terjadi pada 19 Juli 2015 antara kelompok penganut agama Islam dan Kristen yang juga merupakan dua agama dengan penganut terbanyak di Indonesia. Berbeda dengan fanatisme di Indonesia yang dinilai menyebabkan konflik antar kelompok keagamaan, di negara-negara Eropa dan Amerika fanatisme agama banyak dikaitkan oleh fenomena terorisme terutama sejak peristiwa pengeboman di World Trade Center (WTC) yang juga dikenal sebagai peristiwa 9/11. Akibat kejadian tersebut banyak kelompok memandang agama merupakan suatu hal yang tidak lagi memberikan keharmonisan, justru sebuah ancaman bagi penganut agama lain. Berbagai penelitian di kalangan akademisi pun banyak memunculkan bahasan mengenai fanatisme pada kelompok agama yang dikaitkan dengan terorisme (Iannaccone & Berman, 2004; Cavanaugh, 2007; Watt, 2010; Maarimaa, 2011; Shuriye, 2011; Harrington, 2013; Alschuler, 2012; Usche, 2012; Bloom, 2014; Omomia, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan mengenai fanatisme dianggap penting untuk dikaji lebih jauh sebagai bagian dari cara untuk menjelaskan fenomena fanatisme yang sering dikaitkan dengan isu-isu terorisme yang akhir-akhir ini sering terjadi. Permasalahan mengenai fanatisme agama di Indonesia tidak hanya terjadi antar kelompok dengan agama yang berbeda. Namun, juga terjadi pada kelompok-kelompok dengan agama yang sama, misalnya konflik antara organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama (selanjutnya ditulis NU). Penyebab utama konflik dua kelompok organisasi keagamaan tersebut dinilai karena adanya perbedaan hal-hal yang bersifat khilafiyah. Hal yang bersifat khilafiyah yaitu perbedaan paham yang berkaitan dengan masalah bid’ah. Bid’ah diartikan sebagai sesuatu hal atau kegiatan yang menurut hukum Islam tidak berasal dari aturan-aturan ibadah yang telah ditetapkan dan merupakan
3 aktivitas peribadatan tanpa dasar hukum agama Islam yang jelas atau kuat dasar ketentuannya (Muhammad, 2009; Raharjo, 2007).
Perbedaan pandangan lain antara
Muhammadiyah dan NU yang menojol, yaitu perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Syawal (bulan pada kalender Islam), perbedaan tersebut diseabkan oleh penggunaan metode penentuan yang berbeda. Metode yang digunakan oleh NU yaitu melalui pendekatan rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan pendekatan hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal (Azhari, 2013). Perbedaan secara teknis inilah yang membuat Hari Lebaran kelompok NU dan Muhammadiyah berbeda, sehingga hal ini berdampak pada perbedaan pelaksanaan lebaran masyarakat Indonesia karena dua kelompok tersebut merupakan dua kelompok keagamaan dengan pengikut terbanyak di Indonesia saat ini. Konflik antara dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan pandangan Muhammadiyah dan NU menimbulkan ketegangan antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan salat Id dan Idul Fitri yang dilakukan tidak pada hari yang sama (Hamka, dalam Azhari 2013). Pemerintah yang dalam menentukan Idul Fitri sama dengan hari yang ditentukan oleh Muhammadiyah, dianggap
oleh
pihak
NU
sebagai
bentuk
keberpihakan
pemerintah
terhadap
Muhammadiyah dan tidak melibatkan NU dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini sangat tampak pada saat menteri agama yang memimpin saat itu adalah K.H. Irgan Zidny selama dua periode (Azhari, 2013). Konflik antara Muhammadiyah dan NU yang menjadi masalah nasional dipandang oleh mantan menteri agama yaitu Alamsjah Ratoe Perwiranegara sebagai bentuk fanatisme buta yang dapat membahayakan kerukunan umat, karena menganggap pemahaman dirinya (kelompok) yang benar, dan kelompok lain salah berarti menganggap aliran lain sesat (Abdillah, 2016).
4 Padahal jika dikaji lebih mendalam mengenai sejarah Muhammadiyah dan NU, dua organisasi ini pada mulanya merupakan satu kesatuan organisasi di bawah organisasi Sarikat Islam (selanjutnya ditulis SI). Muhammadiyah dan NU pula lah yang kemudian membentuk dua organisasi militer untuk memerangi kolonialisme pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu Hizbullah dan Sabilillah. Hal ini menunjukkan bahwa pada mulanya baik Muhammadiyah maupun NU dalam proses pencapaian tujuan saling bekerja sama dan melibatkan diri satu sama lain. Namun, nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang dahulu ada kini tempak berkurang dengan berbagai konflik antardua kelompok yang kerap terjadi. Konflik antar dua kelompok keagamaan juga terjadi di Desa Suka Makmur, Banjarnegara, Jawa Tengah, namun di daerah ini konflik tersebut terjadi antara Muhammadiyah dan Sarikat Islam (selanjutnya ditulis SI). Organisasi SI di dalam sejarah nasional Indonesia merupakan organisasi agama islam tertua, organisasi ini telah berdiri sebelum Muhammadiyah dan NU terbentuk, yaitu pada awal abad ke-20, tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) (Miftahuddin, Widiyanta, & Dwikurniarini, 2012). Organisasi SI banyak menyumbangkan peran bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini tampak dari banyaknya tokoh sukses yang lahir setelah menempuh pendidikan di bawah naungan SI. Misalnya, Sunarto yang pernah menjadi ketua Pramuka se-Jawa Tengah. Selain itu, Ir. Soekarno yang merupakan presiden pertama Indonesia pun pernah mendapat pendidikan di SI. Selain tokoh nasional, beberapa ulama dan tokoh NU seperti KH. Arwani Amin yang merupakan ulama besar keturunan Diponegoro serta pewaris pesantren Arwaniyah, Kudus dan KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah pun banyak mendapat pendidikan di SI (Mansur, 2013). Hal ini menunjukan bahwa di dalam sejarah perkembangan organisasi Islam, SI memiliki peran yang besar dalam kelahiran Muhammadiyah maupun NU.
5 SI sebagai organisasi keagamaan Islam tertua di Indonesia yang telah mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan keorganisasian. Walaupun SI pernah mencetak sejarah sebagai organisasi terbesar di Indonesia. Namun, saat ini tidak banyak lagi wilayah di Indonesia yang tercatat sebagai wilayah dengan organisasi SI yang masih aktif. Berbeda halnya di daerah Banjarnegara, Jawa Tengah, organisasi SI masih cukup banyak memiliki kekuatan dan pengaruh dari segi politik. Bahkan berdasarkan data ditahun 2012 SI tercatat memiliki 152 institusi pendidikan yang terdiri dari 78 TK / RA, 56 SD / MI, 11 SMP / MTs, 4 SMU / MA dan 3 SMK. Jumlah ini merupakan jumlah institusi SI dengan total terbanyak di wilayah Indonesia dan secara lebih spesifik jumlah ini merupakan jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di wilayah Jawa Tengah (Mansur, 2013). Hal ini memnunjukkan bahwa menurunnya eksistensi SI di daerah-daerah lain di Indonesia, tidak terjadi di daerah Banjarnegara. SI berdasarkan sejarah perkembangan di Desa Suka Makmur telah lama berkembang di desa tersebut dibandingkan Muhammadiyah, sehingga organisasi SI lebih dahulu berkembang dan dikenal masyarakat. Hampir seratus persen dari total masyarakat di desa tersebut merupakan anggota organisasi SI yang berdiri sekitar tahun 1930 tersebut (SP1.KL.39-42). Kemudian di akhir tahun 40-an masuk lah organisasi Muhammadiyah, munculnya organisasi Muhammadiyah membuat perpecahan di dalam tubuh SI yaitu pecahnya program-program yang dimiliki SI.
Banyak penolakan yang diberikan
masyarakat terhadap kehadiran organisasi Muhammadiyah tersebut. Adanya dua organisasi di dalam satu desa memberikan perubahan pada beberapa bidang, seperti aktivitas keagamaan dan juga pada bidang pendidikan. Pertentangan dan perselisihan di antara dua kelompok tersebut dianggap muncul akibat sikap fanatik kedua kelompok yang tinggi.
6 Berdasarkan hasil wawancara dalam studi awal dengan salah satu anggota Muhammadiyah yaitu Ibu Zaza, ia menilai bahwa permasalahan yang ada di Desa Suka Makmur timbul karena sikap fanatik. Berikut ini kutipan dari Ibu Zaza : “…kan sangat itu…itu sekali..apa namanya…fanatik, jadi fanatik sekali, jadi apapun serba menjadi masalah, yang diunggul-unggulkan organisasi, seperti itu.” (terjemahan SP1.ZY, 14-16). Pendapat Ibu Zaza didukung oleh pendapat dari mantan Ketua Muhammadiyah Desa Suka Makmur, Bapak Fathan, ia mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi bukan karena perbedaan prinsip yang terdapat pada Muhammadiyah dan SI, namun karena sikap fanatik terhadap kelompok. Adapun kutipan wawancara dari Bapak Fathan : “Sebenarnya tidak ada bedanya, beda itu tidak ada, sebenarnya pribadinya. Itu…ya itu fanatisme golongan.” (SP1.NF,53-54). Perselisihan yang diduga disebabkan sikap fanatik terhadap dua kelompok membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana sikap ini dapat terjadi. Jika dilihat dari total jumlah penduduk yaitu 2.055 jiwa (Statistik, 2015) dengan luas wilayah 527 ha (Makmur, 1998) membuat Desa Suka Makmur masuk dalam kategori desa kecil dengan kepadatan penduduk sekitar 390 jiwa/km2 . Selain masuk ke dalam kategori desa kecil, sebagian besar masyarakat di Desa Suka Makmur berasal dari satu keturunan (nenek moyang) yang sama (Field Note 1). Hal tersebut membuat masyarakat Desa Suka Makmur yang merupakan anggota Muhammadiyah ataupun SI masih memiliki hubungan persaudaraan. Jika ditinjau lebih jauh, sebagai desa kecil yang tidak padat penduduk, kerukunan masyarakat diharapkan dapat terjalin lebih mudah, ditambah lagi ikatan hubungan keluarga yang mendominasi sebagian besar masyarakat masih terlihat. Konflik yang terjadi antar dua kelompok masyarakat yang mengetahui organisasi Muhammadiyah dan SI terjadi karena perbedaan pendapat, diharapkan mampu teratasi lebih cepat dengan asumsi bahwa
7 jumlah penduduk yang lebih sedikit dan ikatan keluarga dapat membuat koordinasi dan musyawarah konflik lebih mudah dilakukan. Namun, hal ini tidak terbukti pada kehidupan bermasyarakat di Desa Suka Makmur. Keadaan yang terjadi di Desa Suka Makmur tidak menggambarkan hasil kajian Mulder (1984) bahwa masyarakat Jawa cenderung menyesuaikan diri dengan harapanharapan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan akan rasa keamaanan secara psikologis dari perasaan akrab dan menyatu terhadap lingkungan sekitar (Mulder, 1984). Berdasarkan masalah tersebut peneliti mencoba untuk menggali dengan pendekatan studi kasus terhadap fanatisme di Desa Suka Makmur. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih jauh dinamika fanatisme yang terjadi pada individu-individu di dalam salah satu kelompok organisasi tersebut. Bagaimana karakteristik fanatisme yang ada pada individu, bagaimana proses terjadinya fanatisme serta akibat yang ditimbulkan dari sikap fanatik individu tersebut ?. Melihat penelitian-penelitian yang mengkaji dinamika fanatisme kelompok yang masih sedikit membuat penelitian ini memiliki urgensi yang cukup tinggi, terlebih lagi jika dikaitkan dengan konflik-konflik kelompok agama yang disebabkan oleh sikap fanatik. Alasan lain mengapa fenomena ini penting dikaji yaitu tidak adanya perbedaan pandangan khilafiyah antara Muhammadiyah dan SI seperti yang menjadi alasan konflik antara Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah dan SI pada dasarnya memiliki pandangan yang sama. Namun, konflik antara SI dan Muhammadiyah di Desa Suka Makmur tetap tidak dapat dihindari. Permasalahan ini yang menimbulkan dugaan peneliti bahwa terdapat fanatisme yang kuat pada pada individu-individu di dalam kelompok keagamaan di Desa Suka Makmur dimana identitas sosial banyak berperan pada pembentukan sikap tersebut. Banyaknya konflik yang muncul antara Muhammadiyah dan SI seringkali direpresentasikan oleh perbedaan pandangan para tokoh baik Muhammadiyah
8 maupun SI. Tidak jarang perbedaan pendapat menimbulkan perseteruan yang tidak kunjung terselesaikan, bahkan banyak permasalahan dimasa lalu yang hingga kini belum ditemukan titik solusi. B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan pemahaman pada bagian sebelumnya, di dalam penelitian peneliti mencoba memahami dinamika kecenderungan sikap fanatik yang diduga sebagai penyebab terjadinya konflik panjang antara Muhammadiyah dan SI. Peneliti juga menggali sejarah terbentuknya kedua organisasi guna melihat kaitan identitas kelompok dengan sikap fanatik individu di dalam kelompok tersebut. Sikap fanatik tersebut diperdalam oleh peneliti sebagai penjabaran dari karakteristikkarakteristik yang muncul pada individu yang dianggap memiliki tingkat fanatisme yang tinggi. Hal yang juga menarik yaitu fanatisme tersebut terus menyebabkan konflik di tengah kondisi masyarakat di desa kecil dan memiliki keterikatan keluarga.
C. Pertanyaan Penelitian Bagaimana dinamika kecenderungan fanatisme terhadap kelompok pada individu di di dalam kelompok organisasi keagamaan yang dibahas didalam penelitian ini dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apa saja karakteristik fanatisme terhadap kelompok yang muncul pada individu-individu yang ada di dalam organisasi keagamaan tersebut? 2. Bagaimana dinamika kecenderungan sikap fanatik pada individu-individu di dalam organisasi keagamaan yang ada di Desa Suka Makmur?
9 D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan lebih jauh mengenai dinamika fanatisme kelompok pada individu di dalam kelompok keagamaan di Desa Suka Makmur melalui pengalaman-pengalaman individu selama menjadi anggota di salah satu organisasi keagamaan yang ada. Secara lebih terperinci, tujuan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh pemahaman mengenai karakteristik-karakteristik fanatisme yang terjadi di dalam diri individu serta dampaknya terhadap proses bermasyarakat. 2. Memahami dinamika kecenderungan sikap fanatik individu di dalam salah satu organisasi keagamaan di Desa Suka Makmur.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memahami fanatisme, khususnya fanatisme terhadap kelompok keagamaan di Desa Suka Makmur. b. Memahami dinamika fanatisme kelompok keagamaan dan kaitannya dengan identitas sosialdi individu di Desa Suka Makmur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. c. Mengidentifikasi proses perkembangan fanatisme pada individu di dalam organisasi keagamaan. d. Memberikan fokus dinamika fanatisme yang terjadi di Desa Suka Makmur dengan tipikal konteks sosial desa setempat.
10 2. Manfaat Praktis Penelitian ini nantinya akan memberikan gambaran mengenai permasalahan fanatisme kelompok keagamaan yang terjadi di Desa Suka Makmur, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan masyarakat maupun perangkat desa dalam menyatukan dua organisasi yang mengalami konflik.