BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Diare akut masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di seluruh dunia dengan komplikasi utama dehidrasi, menyebabkan 5 – 10 juta kematian setiap tahun. Di negara-negara berkembang, pada balita didapatkan rata-rata 3,2 episode diare pada setiap anak/tahun dengan komplikasi utama dehidrasi dan menjadi penyebab kematian yang utama dengan angka kematian 2,5 juta/tahun (Hahn, 2001; Kosek, 2003). Sekitar 80% kematian akibat diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun (Parashar et al., 2009). Di Indonesia, episode diare pada balita sebesar 1,3 kali per balita per tahun. Proporsi kejadian menurut golongan usia balita dan di atas balita adalah sama (Achmadi, 2003). Berdasarkan Surkesnas tahun 2001, diare menjadi penyebab kematian bayi nomor 3 di Indonesia dan menjadi penyebab kematian balita nomor 2 yaitu 2,3 per 1000 balita (Depkes, 2002). Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut baik di rumah sakit, Puskesmas maupun di masyarakat.Infeksi rotavirus memberikan perubahan pada sistem mikrovili sehingga timbul defisiensi enzim laktase sekunder yang diproduksi oleh ujung-ujung mikrovili yang diikuti dengan gagalnya pencernaan terhadap laktosa (Suparyati, 1997). Diare akut disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit patogen atau agen lain yang dapat menyebabkan kerusakan mikroflora usus atau gangguan fungsi barier mukosa usus. Langkah yang penting dalam penanganan diare selain 1
2
rehidrasi, pencegahan dehidrasi dan terapi dietetik adalah memperbaiki mikroflora usus (Cohen, 2002). Kualitas makanan untuk bayi dan anak merupakan isu yang penting karena hal ini akan sangat mempengaruhi status gizi dan status kesehatan anak (Julia et al., 2002). Kualitas makanan yang buruk tidak hanya akan meningkatkan risiko anak mengalami gizi buruk, namun juga akan meningkatkan risiko kematian akibat berbagai penyakit. Sekitar 56% kematian balita di negara berkembang berkaitan dengan pengaruh gizi buruk dan manifestasinya terhadap berbagai penyakit infeksi, seperti diare, pneumonia, malaria dan campak (Caulfield et al. 2004). Karena itu, Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa makanan untuk anak, selain harus memenuhi kebutuhan zat gizi (DepKes RI, 2006) juga harus mampu meningkatkan sistem imunitas (kekebalan) tubuh anak (SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan produk-produk makanan dan minuman yang disuplementasi dengan komponen yang tidak dapat tercerna oleh saluran pencernaan bagian atas, namun dapat memperbaiki keseimbangan mikrobiota saluran pencernaan dengan cara menstimulasi pertumbuhan bakteri menguntungkan. Komponen ini disebut prebiotik. Penambahan inulin dan oligofruktosa, sebagai salah satu bentuk prebiotik pada susu formula bayi dan makanan tambahan untuk anak dianjurkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), dianjurkan karena telah terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), demam dan penggunaan antibiotik (Widjojo et al., 2006; Arsanoglu et al., 2007; Veereman, 2007; Weizman et al., 2005; Kukkonen et al., 2008). Pemberian inulin dan oligofruktosa pada 2
3
hewan percobaan, telah terbukti dapat meningkatkan produksi IL-10dan sIgA oleh GALT (gut associated lymphoid tissue, GALT) (Roller et al., 2004). Ini berarti pemberian inulin dan oligofruktosa dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh, dan keberadaannya dalam diet menjadi penting agar diperoleh berbagai manfaat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hasil penelitian Bruzzese et al (unpublished data), suatu penelitian multisenter, uji acak terkendali mendukung hipotesis bahwa suplementasi prebiotik tidak hanya memodifikasi flora usus, namun juga menghasilkan efek klinis yang menguntungkan. Pada studi prospective ini bayi yang mendapat susu formula mengandung GOS/FOS selama 12 bulan memperlihatkan jumlah insidensi infeksi saluran cerna yang lebih rendah dibanding dengan anak yang mendapat susu standart formula. Demikian juga berkurangnya kebutuhan terapi antibiotik terhadap kejadian infeksi berulang diamati pada kelompok prebiotik. Data ini mendukung hipotesis tentang penambahan prebiotik mungkin efektive dalam mengurangi infeksi berat dan berulang. Namun dari komite nutrisi ESPGHAN (European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition, 2006) menginformasikan tentang efek dari penambahan prebiotik oligosakarida pada susu bayi, bahwa baru ada sedikit publikasi data yang mengevaluasi substansi prebiotik pada produk makanan bayi. Sehingga, tidak ada rekomendasi umum yang dapat dibuat pada penggunaan suplementasi oligosakarida pada bayi untuk alasan pencegahan maupun terapi.Ada kebutuhan untuk membuat penelitian klinis tentang prebiotik untuk membuktikan kemungkinan efek menguntungkan yang selama ini hanya melihat dari sisi studi mikrobiologi saja.Efek yang diamati adalah modifikasi mikroflora usus yang menunjukkan adanya modulasi imun, yang mungkin 3
4
tercapai dengan suplementasi prebiotik, hal ini dapat diterjemahkan ke dalam efek klinis yang dapat diukur seperti pencegahan dari infeksi usus (Bruzzese et al., 2006) Selama ini, produk komersial prebiotik seperti ekstrak inulin dan FOS dari chicory kita peroleh dari luar negeri, padahal keragaman hayati di Indonesia cukup menjanjikan dan sangat potensial untuk dikembangkan. Bahan pangan lokal Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk prebiotik yang lebih ekonomis karena bisa didapatkan di dalam negeri. Pemanfaatan sumber hayati Indonesia khususnya umbi-umbian lokal yang “terpinggirkan” untuk meningkatkan kesehatan masyarakat perlu digarap secara lebih serius. Umbi garut ( Marantha arundinaceae L) menurut Kumalasari (2009) mengandung komponen-komponen prebiotik, antara lain serat larut 2,37% (db), serat tak larut 12,49% (db), juga rafinosa, laktulosa dan stakiosa. Rafinosa dan stakiosa
dapat
digunakan oleh Bifidobacteria
dan
Lactobacilli
dengan
memecahnya menjadi monosakarida (Hou et al., 2000). Pada penelitian Julia et al, (2011) telah diketahui bahwa pemberian biskuit berbasis tepung umbi garut mampu memperbaiki pola mikrobiota usus dengan meningkatkan jumlah koloni bakteri asam laktat dan bifidobakteria feses balita sehat yang mendapatkan suplementasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa tepung umbi garut mempunyai efek sebagai prebiotik. Bakteri komensal, seperti bakteri asam laktat dan bifidobakteria, mampu memperbaiki sistem imun mukosa dengan cara meningkatkan produksi secretory IgA (sIgA). Imunoglobulin ini mempunyai kemampuan melokalisasi antigen tanpa menimbulkan reaksi inflamasi yang dapat merusak mukosa (Murphy et al., 4
5
2007). Selain menginduksi sekresi IgA, bakteria komensal juga menghalangi pertumbuhan kuman patogen dengan cara kompetisi (Murphy et al., 2007). Pada studi ini perlu diteliti apakah pemberian produk makanan berbasis umbi garut ini mampu memperbaiki perjalanan klinis balita yang menderita diare cair akut karena telah diketahui pada penelitian sebelumnya bahwa pemberian prebiotik dan probiotik komersial mampu memperbaiki perjalanan klinis penderita diare cair akut. Prebiotik dan probiotik komersial ini berharga mahal dan sampai saat ini belum secara resmi direkomendasikan penggunaannya oleh WHO karena harga mahal tersebut mungkin tidak dapat dijangkau oleh penderita diare di negara berkembang.
B. Perumusan Masalah
Apakah ada perbedaan efektifitas prebiotik yang terkandung dalam tepung umbi garut dibandingkan dengan tepung terigu dalam mengurangi frekuensi diare, mempercepat lama penyembuhan diare, dan peningkatan berat badan selama sakit.
C. Tujuan Penelitian
1. Menilai efek pemberian produk prebiotik berbasis tepung umbi garut dibanding tepung terigu pada lama diare balita yang mengalami diare cair akut.
5
6
2. Menilai efek pemberian produk prebiotik berbasis tepung umbi garut dibanding tepung terigu pada frekuensi diare balita yang mengalami diare cair akut. 3. Menilaiefek pemberian produk prebiotik berbasis tepung garut dibanding tepung terigu pada peningkatan berat badan balita yang mengalami diare cair akut.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat penelitian ini bagi penderita adalah penelitian ini dapat menurunkan biaya perawatan baik dirumah maupun rumah sakit sehubungan dengan lamanya diare. 2. Manfaat bagi dokter adalah penelitian ini dapat memberikan penanganan diare secara lebih optimal sehingga dapat menekan jumlah pasien yang harus menjalani rawat inap. 3. Manfaat penelitian bagi pendidikan adalah penelitian ini untuk mengetahui efektivitas prebiotik garut (Maranta arundinaceae) dalam mengurangi frekuensi diare, mempercepat lama penyembuhan diare cair akut pada anak usia 6 – 59 bulan dan peningkatan berat badan selama sakit, sehingga dapat digunakan secara lebih luas dalam penatalaksanaan diare cair akut pada anak.
E. Keaslian Penelitian
1. Juffrie et al., (2002). Judul penelitian Oligosaccharide for children with 6
7
diarrhea.
Tujuan
penelitian
adalah
untuk
mengetahui
efek
fructooligosaccharide pada anak diare. Persamaan penelitian adalah melihat lama diare. Perbedaan penelitian adalah pada jenis prebiotik yang digunakan, dosis prebiotik yang diberikan, umur subyek penelitian, lama pemberian prebiotik. Hasil penelitian adalah lama diare lebih pendek secara bermakna pada kelompok FOS dibanding plasebo p<0,001. Tinja pada kelompok FOS lebih asam dibanding plasebo setelah intervensi. 2. Hidaka et al., (1986), judul penelitian Effects of Fructooligosaccharides onIntestinal Flora and Human Health. Tujuan penelitian adalah untuk melihat efek fructooligosaccharide yang terdapat di tumbuh-tumbuhan seperti bawang putih, gandum, bayam dan lainnya pada flora usus hewan maupun manusia. Persamaan penelitian adalah melihat lamanya diare. Perbedaan penelitian adalah pada lamanya intervensi, jenis prebiotik yang digunakan, umur subyek. Hasil penelitian terdapat perbaikan pada microflora intestinal akan diikuti dengan penyembuhan diare. 3. Duggan et al., (2003), judul penelitian Oligofructose-supplemented infant cereal: 2 randomized, blinded, community-based trials in Peruvian infants. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi efek dari suplementasi diet dengan prebiotik oligofructose dengan atau tanpa zink pada prevalensi diare di komunitas dengan tingkat kesakitan diare dan penyakit infeksi lain yang tinggi. Persamaan penelitian adalah melihat lama diare dan peningkatan berat badan selama diare. Perbedaan penelitian adalah penelitian dilakukan pada bayi sehat umur 6 – 24 diberikan prebiotik selama 6 bulan kemudian diamati kejadian diare Hasil penelitian suplementasi cereal dengan prebiotik tidak 7
8
berhubungan dengan perubahan pada prevalensi diare, tidak ada perbedaan pada berat badan setelah diare sembuh. 4. Saavedra et al., (1999), judul penelitian Gastro-intestinal function in infants consuming a weaning food supplemented with oligofructose, a prebiotic. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Tujuan penelitian adalah untuk melihat efek suplementasi makanan yang mengandung oligofructose pada bayi. Persamaan penelitian adalah melihat beratnya diare (frekuensi diare). Perbedaan penelitian adalah pemberian prebiotik pada anak sehat kemudian dilihat efek munculnya diare dan gejala penyerta lainnya, prebiotik diberikan selama dua minggu. Hasil penelitian tidak ada perbedaan signifikan pada frekuensi diare, namun insidensi gejala yang menyertai diare berkurang (muntah, kembung, regurgitasi).
8