1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang bahagia. Mencari kebahagiaan dapat dikatakan sebagai fitrah murni setiap manusia. Tidak memandang jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan kebahagiaan (Ryff, 1989). Tindakan-tindakan seperti menjalin pertemanan dengan banyak orang, mengembangkan hobi dan minat, belajar dengan tekun agar meraih prstasi di sekolah, merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan jiwa maupun raga yang pada akhirnya berujung pada capaian kebahagiaan (Jersild, dalam Mappiare, 1982). Dorongan manusia untuk mencari kebahagiaan menjadi topik menarik, sehingga pada beberapa dekade lalu banyak penelitian dilakuakan berkaitan dengan kebahagiaan. Pada awalnya, penelitian-penelitian terdahulu hanya berfokus pada patologi seseorang, yang lebih banyak membahas tentang hal-hal yang membuat seseorang tidak bisa merasakan kebahagian. Seiring dengan munculnya aliran Psikologi Positif yang diprakarsai oleh Seligman, penelitian-penelitian sekarang lebih banyak membahas tentang bagaimana seseorang dapat meraih dan merasakan kebahagiaan serta kebermaknaan dalam hidup (Froh, 2004). Sumner (dalam Veenhoven, 2006) menggambarkan kebahagiaan sebagai rasa memiliki terhadap sikap positif dalam kehidupan yang dijalaninya, yang terdiri dari aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif dari kebahagiaan merupakan suatu evaluasi positif terhadap kehidupan, yang dapat diukur
melalui standar atau harapan.
Sementara aspek afektif dari kebahagiaan terdiri dari apa yang disebut sebagai suatu
2 rasa kesejahteraan (sense of well being), dimana individu dapat menemukan kekayaan hidup atau perasaan puas yang dipenuhi oleh hal-hal sense of well being tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua manusia dalam perjalanan hidupnya merasakan keberuntungan. Banyak anak yang mengalami kenyataan pahit dalam hidupnya, misalnya anak yatim piatu yang kehilangan kedua orang tuanya dan anak terlantar yang keduanya tinggal di panti asuhan. Sebuah laporan terbaru yang diluncurkan oleh Depsos RI, Save the Children dan Unicef tahun 2008 menyebutkan, jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000 sampai dengan 8.000 yang mengasuh sampai 500.000 anak (www.kemensos.go.id). Panti asuhan merupakan lembaga sosial yang bergerak dalam membantu membentuk perkembangan anak yang tidak memiliki keluarga ataupun yang tidak tinggal bersama keluarga. Anak yang tinggal di panti asuhan tidak selalu anak-anak yang kehilangan orang tua ataupun salah satu orang tuanya, tetapi juga anak-anak yang terlantar karena sebab-sebab lainnya seperti keluarga yang retak, anak dari keluarga terpidana, orang tua yang bercerai sehingga tidak mampu mengurus anak tersebut dan anak dari keluarga yang kurang mampu. Menurut data yang dikumpulkan di Biro Pusat Statistik dan Departemen Sosial menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jumlah anak terlantar yang berusia 6 – 18 tahun mencapai 2.815.393 anak, balita terlantar mencapai 518.296, anak dengan perlakuan salah 182.408, anak jalanan 232.894 dan anak nakal sebesar 295.763, sedangkan anak yang
tergolong
rawan
keterlantaran
diperkirakan
mencapai
10.322.764
(http://tunasbangsa.kemsos.go.id). Tinggal dan hidup di panti asuhan bukanlah hal yang mudah bagi anak, khususnya bagi remaja. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini, individu mengalami berbagai
3 perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu, remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa (Agustiani, 2006). Masa remaja ditandai dengan perubahan kepribadian individu secara cepat, seiring dengan pertumbuhan fisik psikologis, perkembangan sosial kognitif yang mengharuskan untuk dapat mengatasi fluktuasi dalam penampilan, pola pikir dan perilaku (Erikson, 1950). Selain itu, berbagai transformasi budaya dan lingkungan terjadi sebagai akibat dari peningkatan tanggung jawab keluarga remaja, meningkatnya tuntutan akademik dan sosial, pemisahan dari unit keluarga, dan eksplorasi pengalaman stres dengan teman sebaya (Steinberg, 2007). Perkembangan tersebut memperkuat pemahaman tentang masa krisis dan sensitif yang dialami remaja dalam melakukan reorganisasi sistem regulasi, yang dipenuhi oleh peluang dan risiko (Steinberg , 2007). Terlebih lagi, anak yang tinggal di panti asuhan mengalami proses pengasuhan yang berbeda dengan anak yang tinggal bersama keluarganya. Anak asuh tidak semudah anak-anak yang tinggal di rumah bersama keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik, keamanan dan kasih sayang. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, mayoritas mengungkapkan adanya patologi-patologi yang dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan. Remaja yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit mendapatkan perhatian yang sama dari bapak atau ibu pengasuh mereka, karena mereka harus berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Selain itu mereka akan mengalami kekurangan kasih sayang, begitu juga kurangnya perhatian dikarenakan figur pengasuh yang selalu
4 berganti-ganti. Kadang hal seperti ini membuat anak asuh cenderung merasa tidak diperhatikan atau tidak disukai orang lain (Pattimahu, 2012). Selain itu, remaja yang tinggal di panti asuhan akan mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan di luar panti asuhannya dan cenderung melakukan penyesuaian diri yang salah. Hal tersebut dikarenakan setiap harinya remaja tersebut berinteraksi dengan sesama anak asuh yang sama-sama memiliki permasalahan, dan anak asuh menganggap dirinya berbeda dengan anak-anak yang tidak tinggal di panti asuhan (Lukman, 2000). Hasil peelitian yang dilakukan oleh Kumalasari & Ahyani (2012) mengungkapkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki permasalahan kurangnya kemampuan remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga yang terjadi adalah remaja menjadi rendah diri, tertutup, suka menyendiri, kurang adanya percaya diri serta merasa malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang terasa asing baginya. Penelitian yang dilakukan oleh Goldfard (dalam Burns, 1993) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam suatu institusi, cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadiannya, misalnya cenderung untuk menarik diri dari lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau mental. Hartini (2001) dalam penelitiannya tentang gambaran kebutuhan psikologis anak panti asuhan, menemukan bahwa anak di panti asuhan tersebut memiliki kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Selain itu, mereka juga menunjukkan perilaku negatif seperti takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme Hal tersebut akan berdampak pada sulitnya anak dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Furnamawanti (2007) menemukan bahwa sebagian besar anak-anak
5 yang tinggal di panti asuhan memiliki tingkat kecenderungan depresi yang sedang sebesar 49,107% dan tingkat kecenderungan depresi yang tinggi dengan perolehan persentase dan 37,5%. Hasil-hasil penelitian sebelumnya (Pattimahu, 2012; Lukman, 2000; Kumalasari & Ahyani, 2012; Hartini, 2001; Furnamawanti, 2007) yang mengungkap patologi-patologi yang dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan nyatanya tidak selalu terbukti. Fakta yang peneliti temukan di lapangan tentang kondisi remaja yang tinggal di panti asuhan, mengungkap bahwa tidak sedikit anak panti asuhan yang mampu mengembangkan potensi dirinya dengan baik dan berhasil meraih berbagai prestasi. Data yang diperoleh dari Panti Asuhan Ar-Rasyiid Sinar Melati 20 Bantul Yogyakarta, mengungkapkan bahwa dari 18 anak asuh yang ada di panti asuhan, terdapat 10 remaja yang memiliki prestasi baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Prestasi tersebut tidak hanya pada satu jenis lomba saja, tetapi beberapa anak ada yang memiliki prestasi sampai 5 jenis perlombaan yang berbeda. Hal serupa juga ditemukan di Surakarta, dari 10 panti asuhan yang ada di Surakarta, 7 diantaranya memiliki anak asuh yang berpretasi. Sedangkan dari 159 remaja yang ada di panti, 23 diantaranya merupakan anak yang berprestasi (Partini, 2011). Wawancara dilakukan terhadap seorang remaja (NN) yang tinggal di panti asuhan pada tanggal 1 November 2015 pukul 16.00 WIB bertempat di aula panti asuhan untuk memerkuat temuan data yang diperoleh dari panti asuhan. NN merupakan remaja putri berusia 15 tahun dan sudah tinggal di panti asuhan selama 5 tahun. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa NN merasa senang tinggal di panti asuhan. NN mengaku selalu mengikuti kegiatan yang telah dijadwalkan oleh pihak panti asuhan jika tidak ada halangan yang tidak bisa ditinggalkan seperti
6 kegiatan wajib di sekolah. Dikatakan oleh NN, bahwa statusnya sebagai anak panti tidak membuat ia menarik diri dari pergaulan. NN sering menghabiskan waktu bersama teman-temanya baik ketika di panti asuhan maupun di sekolah. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti etika wawancara sedang berlangsung, terlihat bahwa NN selalu menyapa temannya yang sedang lewat. Untuk mendukung pernyataan NN, peneliti melakukan wawancara dengan guru agama NN di sekolah pada tanggal 2 November 2015 pukul 09.00 WIB. Dikatakan oleh ibu guru bahwa NN merupakan siswi yang aktif di kelas, tidak sungkan untuk bertanya jika belum paham, dan aktif menjawab ketika guru bertanya. Dalam hal pergaulan, ditambahkan oleh ibu guru bahwa NN sering terlihat berkumpul bersama teman-temannya ketika waktu istirahat tiba. Wawancara juga dilakukan kepada salah satu pengurus panti asuhan yang bertugas melakukan pendampingan terhadap anak asuh dalam berkegiatan sehari-hari pada tanggal 2 November 2015 pukul 11.00 WIB bertempat di kantor panti asuhan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa NN sering menjuarai lomba pidato mewakili panti asuhan. Ditambahkan juga oleh pengurus panti tersebut bahwa keterampilan berpidato sering diasah dalam kegiatan rutin yang diselenggarakan pihak panti sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Hal tersebut sesuai dengan pernyatan NN bahwa ketrampilan yang diberikan pihak panti asuhan dalam menumbuhkan jiwa-jiwa mandiri, terampil, berani dan percaya diri, membuatnya termotivasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, seperti latihan pidato yang diadakan seminggu sekali. NN mengaku bahwa semangat yang diberikan oleh teman-temannya dan pengurus panti, membuat dia semakin termotivasi, merasa dipedulikan dan disayangi.
7 Dukungan sosial berupa semangat yang diterima NN mampu mengantarkanya menuju kejuaraan lomba pidato yang sering ia ikuti. Dikatakan oleh NN bahwa kehidupan panti asuhan yang teratur dan terkontrol, membuat hidupnya berkembang kearah yang lebih baik. Lingkungan sosial yang mendukung tersebut membuat NN merasa bersyukur bisa tinggal di panti asuhan, meskipun tidak dipungkiri bahwa NN kadang merasa rindu dengan keluarganya. Dukungan sosial yang diterima NN mampu menciptakan perasaan senang dan nyaman berada di panti meskipun dengan keterbatasan yang ada. Afek-afek positif yang dirasakan oleh NN tersebut merupakan bagian dari kesejahteraan subjektif (subjective well being). Subjective well being dapat dilihat dari kepuasan hidup, kepuasan terhadap wilayah penting dalam hidupnya, afeksi positif (pengalaman terhadap emosi dan mood yang menyenangkan) dan rendahnya tingkat afeksi negatif yang ditandai dengan merasakan sedikit emosi dan mood yang tidak menyenangkan (Diener, 2000). Kartika (1986) menyatakan bahwa dukungan sosial yang diterima remaja dari lingkungan, baik berupa dorongan semangat, perhatian, penghargaan, bantuan dan kasih sayang membuat remaja menganggap bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dan dihargai oleh orang lain. Jika individu diterima dan dihargai secara positif, maka individu tersebut cenderung mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan lebih menerima dan menghargai dirinya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, rumusan permasalahan yang ditangkap oleh peneliti adalah adakah hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada remaja yang tinggal di panti asuhan?
8 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada remaja di Panti Asuhan 2) Mengetahui tingkat dukungan sosial yang diterima oleh remaja di Panti Asuhan 3) Mengetahui tingkat subjective well being pada remaja di Panti Asuhan
C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberi
masukan
bagi
pengembangan ilmu psikologi, khususnya yang berkaitan dengan teori-teori dukungan sosial dengan subjective well being dan perkembangan remaja terutama yang tinggal di panti asuhan. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi sarana dalam memberikan informasi sebagai bahan studi untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan pengembangan yang lebih baik. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Panti Asuhan dalam kaitannya dengan dukungan sosial yang diberikan kepada anak asuhnya dan subjective well being yang dirasakan oleh penghuni panti asuhan.