BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya hayati terbesar kedua di dunia. Di Indonesia terdapat lebih kurang 30.000 jenis tumbuhtumbuhan, di dalamnya lebih kurang ada 7.500 jenis yang termasuk tanaman berkhasiat obat (Kotranas, 2006). Salah satu tanaman berkhasiat tersebut adalah sirsak. Selain kekayaan biodeversitas tumbuhan, Indonesia juga mempunyai kekayaan warisan budaya terkait dengan pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional. Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang telah digunakan secara turun temurun untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Anonim, 2010). Sirsak atau yang mempunyai nama ilmiah Annona muricata L. merupakan tanaman tropis. Daging buahnya berwarna putih susu, rasanya manis asam dan berbiji kecil. Sirsak lebih dikenal sebagai tanaman buah. Seiring dengan banyaknya penelitian terhadap tanaman tersebut, kini sirsak lebih dikenal sebagai tanaman obat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanaman sirsak mengandung banyak khasiat terutama sebagai obat-obatan. Bagian tanaman sirsak, mulai dari daun, buah, bunga, biji, akar, sampai kulit batang dapat dimanfaatkan sebagai obat (Mardina dan Ratnasari, 2011).
1
2
Daun sirsak secara empirik telah digunakan sebagai obat tradisional. Menurut berbagai pustaka, daun sirsak digunakan sebagai antikanker, sitotoksik, antidiabetes,
antijamur,
antibakteri,
vasodilator,
analgesik,
antimalaria,
antihepatotoksik, insektisida, antihipertensi, relaksan otot polos, obat jantung dan dapat menghambat efek radikal bebas (Kirana & Tambunan, 2012). Asetogenin merupakan senyawa dalam daun sirsak yang memiliki potensi sangat besar dalam upaya pembunuhan sel kanker secara spesifik (Chang dan McLaughlin, 1997). Penelitian ilmiah mengenai kandungan kimia dan aktivitas biologis daun sirsak telah banyak dilakukan. Diantaranya yaitu Wijaya (2012) yang melakukan ekstraksi dengan metode maserasi untuk mengetahui keberadaan asetogenin dalam daun sirsak secara kualitatif. Selain itu Asmonie (2013) juga melakukan ekstraksi dengan metode infundasi untuk mengetahui pengaruh infusa daun sirsak terhadap kadar glukosa darah. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan kadar asetogenin dalam daun sirsak yang dihasilkan dari metode maserasi dan infundasi. B. 1.
Metode
ekstraksi
Rumusan Masalah
manakah
diantara
infundasi
dan
maserasi
yang
menghasilkan kadar asetogenin paling besar? 2.
Manakah yang menghasilkan kadar asetogenin paling besar diantara fraksi larut etanol hasil infundasi atau fraksi tidak larut n-heksan hasil maserasi?
3
C. 1.
Tujuan Penelitian
Mengetahui metode ekstraksi yang menghasilkan kadar asetogenin paling besar antara infundasi dan maserasi.
2.
Mengetahui fraksi yang menghasilkan kadar asetogenin paling besar antara fraksi larut etanol hasil infundasi dan fraksi tidak larut n-heksan hasil maserasi. D.
Pentingnya Penelitian Diusulkan
Penelitian ini diusulkan untuk membandingkan dua metode ekstraksi bahan alam terhadap pengaruh kandungan senyawa aktif yang berpotensi dalam bidang kesehatan. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang sahih mengenai pengaruh metode ekstraksi daun sirsak secara maserasi dan infundasi untuk dapat menghasilkan kandungan senyawa asetogenin yang optimal. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi pelaku usaha obat tradisional dalam menentukan metode ekstraksi yang tepat digunakan agar didapatkan kadar senyawa aktif asetogenin yang optimal. E.
Tinjauan Pustaka
1. Sirsak a. Nama Daerah Annona muricata L. memiliki banyak nama daerah, diantaranya yaitu Sumatera: deureuyan belanda (Aceh); tarutung olanda (Toba); durio ulondra (Nias); durian batawi, duian batawi (Minangkabau); jambu landa (Lampung); Jawa: nangka walanda (Sunda); nangka londa, nangka manila, nangka sabrang, mulwa londa, surikaya welonda, srikaya welandi (Jawa);
4
nangka buris, nangka englan, nangka moris (Madura); Bali: Srikaya jawa; Nusa Tenggara Timur: naka (Lio), nakat (Sika), anona (Larentuka); Sulawesi: atis, mangka walanda, mangka im belanda, angga im belanda (Tonsaw); lange lo walanda (Gorontalo); Timor: ai ata malai (Tetum); Maluku: anad walanda (Rumakai), inna walata (Warka); tafena warata (Nuaulu), anaa walata (Sepa), anaal wakana (Nusa laut), naka walanda (Ternate), naka lada (Tidore), naka londa (Kayeli); Halmahera: durian (weda); naka wolanda (Galea, Tobelo, Loda, Pagu) (Heyne, 1987). b. Kedudukan katagori taksa untuk sirsak dalam taksonomi tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Anak kelas
: Dialypetalae
Bangsa
: Ranales
Suku
: Annonaceae
Marga
: Annona
Jenis
: Annona muricata L.
(Heyne, 1987; Tjitrosoepomo, 1994). c. Morfologi Sirsak merupakan tumbuhan berkayu dengan tinggi dapat mencapai 6 m. Sirsak, umumnya dibudidayakan di dataran rendah dan di daerah pegunungan rendah. Tanaman ini menghasilkan buah sepanjang tahun (Heyne, 1987). Daun memanjang, bentuk lanset atau bulat telur terbalik,
5
bagian ujung meruncing pendek, seperti kulit, panjang 6 – 18 cm dan bagian tepinya rata. Bunga terpisah dan berhadapan dengan daun, baunya tidak sedap. Dasar bunga sangat cekung, memiliki banyak benang sari. Bakal buah banyak dan terdapat satu bakal biji. Tangkai putik langsing berambut dan kepala putiknya berbentuk silindris. Buah majemuk tidak beraturan berbentuk bengkok. Biji hitam dan daging buah putih (Steenis, 2008). d. Kandungan Kimia Dalam setiap 100 g buah sirsak mengandung 65 Kkal, 1 g protein, lemak 0,3 g, hidrat arang 16,3 g, kalsium 14 mg, fosfor 27 mg, besi 0,6 mg, vitamin A 10 SI, vitamin B 0,07 mg, vitamin C 20 mg dan zat air 81,7 % (Yunarti, 2008). Daun sirsak mengandung senyawa asetogenin, retikulin, coreksimin, koklaurin, annomurin, higenamin, minyak esensial, resin, kalium klorida, tanin, fitosterol, ca-oksalat. Pada bagian batangnya terdapat unsur senyawa alkaloid yaitu murisin dan murisinin (McLaughlin, 2008; Perry & Metzger, 1980; Yunarti, 2008). Selain itu kulit tumbuhan ini juga mengandung alkaloid (Heyne, 1987). e. Khasiat Sirsak memiliki banyak khasiat yang bermanfaat bagi manusia, diantaranya yaitu dapat digunakan untuk mengobati sakit ambeien, sakit kandung air seni, diare pada bayi, anyang-anyangan, sakit pinggang, dan bisul (Yunarti, 2008). Selain itu khasiat luar biasa sirsak yaitu dapat digunakan untuk mengobati penyakit kanker. Mekanisme pengobatannya hanya spesifik membunuh pada sel kanker, dan daya kerjanya 10.000 kali
6
lebih efektif dibandingkan dengan kemoterapi (Chang dan McLaughlin, 1997). 2. Asetogenin Asetogenin merupakan produk alami poliketida yang diisolasi dari tanaman suku Annonaceae. Molekul ini memiliki panjang karbon 35 atau 37 yang diakhiri oleh cincin lakton. Asetogenin diturunkan dari asam lemak 32 atau 24 karbon yang kemudian ditambahkan 2-propanol untuk membentuk lakton pada ujung molekul (Zeng dkk., 1996).
Gambar 1. Struktur Asetogenin (Sumber: McLaughlin dkk., 2008).
Asetogenin memiliki nama International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC ) (5S)-5-Methyl-3-[(2R,8R,13R)-2,8,13-trihydroxy-13[(2R,5R)-5-[(1R)-1-hydroxytridecyl]-2-tetrahydrofuranyl] tridecyl]-5H-furan 2-one. Molekular formula asetogenin C35H64O7 dan nomor massa 596.88 g molí (McLaughlin dkk., 2008). Studi tentang asetogenin telah dimulai sejak 1982 oleh uvaricin dan berhasil dilakukan isolasi (Jolad dkk., 1982). Asetogenin memiliki sifat sitotoksik terhadap sel kanker. Uji secara in vitro telah dilakukan, ditemukan bahwa asetogenin juga bersifat antitumor, antiparasit, antimikroba, antimalaria, insektisida, dan imunosupresif (Alali dkk., 1999).
7
3. Ekstraksi Penyarian atau ekstraksi adalah upaya penarikan zat terlarut dari suatu bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Tahapan proses penyarian dapat dibagi menjadi: a. Pembuatan serbuk Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan digunakan sebagai obat dan belum mengalami pengolahan (Anonim, 2009). Secara umum semakin halus serbuk simplisia, maka proses penyarian akan semakin mudah karena permukaan simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Serbuk simplisia yang terlalu halus dapat menyulitkan proses penyaringan karena terbentuk suspensi yang sukar untuk dipisahkan. Serbuk yang terlalu halus menyebabkan dinding sel pecah. Dinding sel merupakan perlindungan untuk menjaga zat yang tidak larut tetap berada di dalam sel, jika dinding sel pecah maka zat tersebut akan keluar dan dapat mengotori hasil penyarian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). b. Penyarian Peristiwa utama pada proses penyarian adalah difusi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Difusi merupakan perpindahan massa dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Semakin besar perbedaan konsentrasi maka proses difusi semakin cepat. Perpindahan zat aktif terjadi dari simplisia menuju cairan penyari dengan dinding sel
8
sebagai membran yang membatasinya. Jarak antara cairan penyari dengan zat aktif yang terdapat dalam serbuk disebut dengan lapisan batas. Kecepatan dalam melintasi lapisan batas tersebut dipengaruhi oleh tebal lapisan batas, derajat perbedaan konsentrasi dan koefisien difusi. Jarak lapisan batas berbanding lurus dengan ukuran serbuk. Semakin besar ukuran serbuk maka semakin besar pula jarak lapisan batas, hal ini membuat proses penyarian berjalan lambat. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Pemilihan cairan penyari yang tepat tergantung pada sifat fisika kimia zat aktif dalam simplisia. Sifat fisika kimia zat aktif asetogenin yaitu memiliki nilai log P sebesar 7,71 yang menunjukkan bahwa asetogenin bersifat nonpolar (Anonim, 2012). Perlu diketahui jenis-jenis penyari dan jenis senyawa yang terlarut, agar penyarian yang dilakukan dapat optimal. Berikut adalah tabel jenis cairan penyari dengan jenis senyawa yang terlarut didalamnya :
9
Tabel I. Jenis pelarut dan jenis senyawa terlarut
No. 1.
2.
3. 4.
5. 6.
Jenis Pelarut Jenis Senyawa Terlarut n-heksan, petroleum Lemak, terpenoid atau minyak eter atsiri, steroid atau aglikon triterpen, aglikon antrakuinon, flavonoid polimetil, resin, klorofil. Toluen, kloroform, Semua senyawa di atas, isoflavon, diklorometan alkaloid bebas (bukan garam), kurkumin, fenil propan, fenol sederhana. Dietil eter Semua senyawa di atas, flavonoid polihidroksi, asam fenolat. Etil asetat Semua senyawa di atas, flavonoid monoglikosida, antrakuinon glikosida, steroid glikosida, kumarin glikosida. Etanol, metanol Semua senyawa di atas, flavonoid glikosida, tanin, saponin. Air panas Semua senyawa yang larut dalam penyari dietil eter sampai etanol, alkaloid garam, karbohidrat, protein, asam amino. (Pramono, 2013).
Kriteria cairan penyari yang baik yaitu, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif (hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki), tidak mempengaruhi zat yang berkhasiat, murah, dan mudah diperoleh. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Air sering digunakan sebagai larutan penyari karena stabil, mudah didapat, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, murah, dan alamiah. Kerugian penggunaan air sebagai penyari adalah dibutuhkan waktu yang lama untuk pengeringan, tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga mudah rusak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
10
Penyari etanol banyak digunakan dalam proses penyarian. Keuntungan penggunaan etanol antara lain bersifat netral, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol dengan kadar diatas 20 %, tidak beracun, dan tidak dibutuhkan panas yang lama untuk pemekatan. Kerugian penggunaan etanol adalah tidak selektif dalam penyarian dan harga relatif mahal (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Mclaughlin dkk. (2008) menggunakan pelarut etanol dalam penelitiannya tentang ekstraksi dan isolasi asetogenin. Pemilihan metode penyarian merupakan faktor lain yang harus dipertimbangkan. Metode penyarian dapat dibedakan menjadi: 1) Infundasi Infundasi adalah proses penyarian menggunakan penyari air yang dipanaskan hingga suhu 90° C dengan panci infusa. Umumnya infundasi digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Hasil penyarian infudasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu infusa dan dekokta. Perbedaan infusa dan dekokta terletak pada waktu pemanasan setelah suhu mencapai 90° C. Dekokta dipanaskan selama 30 menit sedangkan infusa dipanaskan selama 15 menit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Alat yang dibutuhkan dalam proses infundasi adalah panci infusa. Panci infusa terdiri dari dua bagian, yaitu panci A yang berisi
11
simplisia dan air dan panci B yang berisi air berfungsi sebagai penangas air
Gambar 2. Panci infusa
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). 2) Maserasi Maserasi yaitu metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Remaserasi yaitu penambahan pelarut kembali setelah selesainya penyaringan maserat pertama. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, airetanol, atau pelarut lain. Umumnya digunakan etanol sebagi pelarut. Keuntungan maserasi adalah mudah dilakukan dan peralatan yang digunakan sederhana. Kerugian maserasi adalah waktu yang dibutuhkan cukup lama dan penyariannya kurang sempurna. Penyarian maserasi
membutuhkan
pengadukan
agar
tidak
terjadi
profil
konsentrasi. Alat yang dibutuhkan untuk melakukan maserasi adalah bejana dan pengaduk. Bejana digunakan sebagai wadah dalam proses perendaman simplisia oleh cairan penyari (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
12
c. Penguapan Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan sehingga didapatkan ekstrak yang lebih pekat. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguapan antara lain: 1) Suhu Semakin tinggi suhu yang digunakan semakin cepat penguapan. Suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan yang diuapkan. Pengaturan suhu penting agar penguapan dapat berjalan cepat dan dapat menghindari kemungkinan perusakan senyawa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). 2) Waktu Penggunaan suhu yang relatif tinggi dalam waktu singkat dapat mengurangi kerusakan dibandingkan dengan penggunaan suhu rendah dalam waktu yang lama (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). 3) Kelembapan Beberapa
senyawa
kimia
lebih
mudah
terurai
bila
kelembabannya tinggi. Reaksi peruraian seperti hidrolisis mudah terjadi karena memerlukan air sebagai medium (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). 4. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia (Stahl, 1985), berbentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan
13
tipis pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik (Gandjar & Rohman, 2010). Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (Stahl, 1985). a. Fase diam Fase diam yang digunakan pada kromatografi lapis tipis adalah penjerap kecil dengan diameter 10-30 μm, umumnya digunakan silika dan serbuk selulosa. Ukuran partikel fase diam akan mempengaruhi proses elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel dan kisaran ukuran fase diam, maka hasil resolusinya semakin baik dan proses efisien. Mekanisme pemisahan yang utama pada kromatografi lapis tipis adalah partisi dan adsorpsi (Gandjar & Rohman, 2010). Silika gel merupakan silika amorf yang terdiri dari globula-globula SiO4 tertrahedral yang tersusun secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar. Rumus silika gel secara umum adalah SiO2.xH2O (Sriyanti dkk., 2005).
Gambar 3. Penataan SiO4 tetrahedral silika gel
14
Ikatan antara silikon dan hidroksi (Si-OH) disebut dengan kelompok silanol sedangkan ikatan antara silikon dan oksigen disebut dengan kelompok siloksan (Si-O-Si). Pemisahan pada silika terjadi karena adanya migrasi molekul sampel yang disebabkan oleh ikatan hidrogen, ikatan dipoldipol, dan ikatan elektrostatik dengan permukaan silanol. Kekuatan adsorpsi ini tergantung pada jumlah kelompok silanol yang aktif, sifat kimia molekul sampel yang akan dipisahkan dan kekuatan elusi dari fase gerak (Hajnos dkk., 2008). Silika gel bersifat higroskopis, pada kelembapan 45-75 % silika dapat mengikat air hingga 7-20 %. Aktivasi silika gel tidak terlalu mempengaruhi kebanyakan jenis pemisahan, tetapi deaktivasi silika gel merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Derajat deaktivasi ditentukan oleh kelembapan relatif ruang pemisahan dan ruang penyimpanan silika gel (Sudjadi, 1986). Beberapa jenis silika gel, diantaranya: 1) Silika gel tanpa pengikat. Lapisan ini lebih stabil dibandingkan dengan silika gel yang mengandung CaSO4. Beberapa produknya dinamakan silika gel H atau silika gel N. 2) Silika gel dengan pengikat. Silika gel G yaitu silika yang menggunakan gipsum (CaSO4 5-15 %) sebagai pengikat, sedangkan silika gel S yaitu silika yang menggunakan pati sebagai pengikat. 3) Silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi. Pada sinar ultraviolet panjang gelombang pendek biasanya jenis silika gel ini
15
berfluoresensi kehijauan. Sebagai indikator digunakan timah kadmium sulfida atau mangan timah silikat aktif. Lapisan ini digunakan untuk memudahkan deteksi senyawa yang menyerap pada panjang gelombang 254 dan membentuk zona pada latar belakang yang terang (Hajnos dkk., 2008). Jenis ini dikenal dengan silika gel F254 (Sudjadi, 1986). b. Fase gerak Fase gerak merupakan fase pembawa yang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun. Fase gerak pada kromatografi lapis tipis dapat ditentukan berdasarkan pustaka atau dari hasil orientasi (Gandjar & Rohman, 2010). Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak merupakan pelarut dengan mutu analitik. Fase gerak multikomponen tidak boleh digunakan berulang-ulang karena volatilitas pelarut dapat merubah komposisi dari fase gerak sehingga dapat berpengaruh pada hasil kromatografi (Hajnos dkk., 2008). Berdasarkan efek elusi fase gerak dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik. Semakin non polar fase gerak maka kemampuan elusinya semakin naik. Kepolaraan suatu senyawa dapat dilihat dari angka tetapan dielektrik sedangkan laju rambat tergantung pada viskositas fase gerak yang digunakan (Stahl, 1985).
16
Tabel II. Deret eluotropik menurut Stahl (1985)
Pelarut pengembang Tetapan dielektrik pada 20° C n-heksan 1,890 Heptana 1,924 Siklon-heksana 2,023 2,238 Karbontetraklorida Benzen 2,284 4,806 Kloroform Eter (dietil eter) 4,34 Etil asetat 6,02+ Piridin 12,3+ Aseton 20,7+ Etanol 24,30+ Metanol 33,62+ Air 80,37+ + Pada 25° C
Viskositas pada 20°C 0,326 0,409 1,02 0,969 0,652 0,580 0,233 0,455 0,974 0,316+ 1,2 0,597 1,005
Fase gerak harus memenuhi berbagai persyaratan antara lain, memiliki kemurnian yang tinggi, tidak bereaksi dengan senyawa yang akan dipisahkan, viskositas rendah, tidak merusak fase diam, mudah dihilangkan dari lapisan fase diam, dan harus sesuai dengan metode deteksi (Hajnos dkk., 2008). c. Penotolan dan pengamatan Pemisahan pada kromatografi lapis tipis hanya dapat optimal jika penotolan sampelnya kecil dan sempit (Gandjar & Rohman, 2010). Penotolan bercak atau sampel biasanya sebanyak 1-10 μL dengan konsentrasi 0,1-1 %. Penotolan disarankan menggunakan mikropipet berujung runcing dengan skala 1-10 μL. Lapisan fase diam tidak boleh rusak selama penotolan sampel. Jarak antara bercak dengan tepi lempeng fase diam sekurang-kurangnya 10 mm (Stahl, 1985).
17
Pengamatan kromatografi lapis tipis dilakukan dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku (Gandjar & Rohman, 2010). Nilai Rf yang diperoleh hanya spesifik pada fase gerak dan fase diam yang digunakan (Sastrohamidjojo, 2002). ܴ݂ =
jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal
Menurut Sastrohamidjojo (2002), faktor yang mempengaruhi harga Rf antara lain: 1) Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya. Aktivitas dicapai dengan pemanasan menggunakan oven, hal ini akan mengeringkan molekulmolekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari penjerap. 2) Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana. 3) Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan. 4) Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap. 5) Fase gerak (Gandjar & Rohman, 2010). a) Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena kromatografi lapis tipis merupakan teknik yang sensitif. b) Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. c) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut
18
nonpolar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan. 6) dikerjakan pada suhu tetap untuk mencegah adanya perubahan komposisi fase gerak yang disebabkan oleh penguapan. 7) Jumlah sampel yang digunakan. Jumlah sampel yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor. 8) Kesetimbangan. Atmosfer dalam bejana harus jenuh dengan uap fase gerak, bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap fase gerak, akan terjadi pengembangan berbentuk cekung. Deteksi kromatografi lapis tipis pada senyawa yang tidak memiliki serapan di daerah UV dapat dilakukan penyemprotan dengan pereaksi kimia yang sesuai. Selain itu, deteksi biologi juga dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa hasil kromatografi lapis tipis (Stahl, 1985). d. Kegunaan kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk berbagai analisis, antara lain: 1) Analisis kualitatif Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian suatu senyawa, pemeriksaan simplisia, pemeriksaan komposisi dan komponen aktif dari suatu sediaan (Roth & Blaschke, 1981). Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kromatografi lapis tipis yang sama.
19
Untuk memastikan identifikasi dapat dilakukan menggunakan lebih dari satu fase gerak dan jenis pereaksi semprot (Gandjar & Rohman, 2010). 2) Analisis kuantitatif Analisis
kuantitatif
kromatografi
lapis
tipis
umumnya
menggunakan dua cara. Pertama, bercak diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Kedua, dengan mengerok bercak kemudian menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut dengan metode spektrofotometri. Pada cara pertama, tidak terjadi kesalahan yang disebabkan oleh pemindahan bercak atau kesalahan ekstraksi, sementara pada cara kedua sangat mungkin terjadi kesalahan karena pengambilan atau karena ekstraksi (Gandjar & Rohman, 2010). 3) Analisis preparative Analisis preparatif ditujukan untuk mendapatkan senyawa murni dengan cara sampel ditotolkan pada lempeng lapisan besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara nondestruktif. Bercak yang mengandung analit selanjutnya dikerok dan dilakukan analisis lebih lanjut (Gandjar & Rohman, 2010). Keuntungan dari kromatografi lapis tipis adalah mudah, murah, dan peralatan yang digunakan sederhana. Selain itu, kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk tujuan analisis. Identifikasi komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, flouresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar UV (Gandjar & Rohman, 2010).
20
5. Densitometri Analisis kuantitatif kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng kromatografi lapis tipis. Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya, monokromator untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder. Densitometer dapat bekerja secara serapan atau fluoresensi (Gandjar & Rohman, 2010). a. Sistem serapan dapat dilakukan dengan metode pantulan atau transmisi. 1. Cara pantulan, sinar yang dipantulkan diukur menggunakan sinar tampak maupun sinar ultraviolet. 2. Cara transmisi, dilakukan dengan menyinari bercak dari satu sisi dan mengukur sinar yang diteruskan pada sisi lain. Gangguan pada sistem ini adalah adanya fluktuasi latar belakang. Gangguan ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, misalnya menggunakan alat berkas ganda (sistem pantulan dan transmisi secara bersamaan) atau dengan sistem dua panjang gelombang (Gandjar & Rohman, 2010). b. Sistem flouresensi lebih dipilih untuk senyawa yang dapat dibuat berflouresensi. kelinieran respon dan selektifitasnya lebih tinggi tetapi batas deteksi sistem ini lebih rendah dan gangguan fluktuasi latar belakang juga lebih rendah. Bercak yang diukur dengan sistem flouresensi, serapan ultraviolet, atau sinar tampak dapat ditetapkan lebih teliti daripada bercak yang disemprot dengan pereaksi warna karena keseragaman penyemprotan merupakan hal
21
yang sangat menentukan (Gandjar & Rohman, 2010). Kurva baku dalam densitometri dibuat untuk setiap lempeng dan kadar senyawa dihitung seperti pada metode spektrofotometri (Sudjadi, 1986). Faktor yang menyebabkan kegagalan dalam densitometri antara lain pemisahan sampel yang tidak sempurna, penggunaan standar terlalu kecil sehingga tidak dapat dibaca, aplikasi reagen semprot tidak seragam, dan rapuhnya lempeng kromatografi lapis tipis (Stahl, 1985). 6. Isolasi Salah satu metode untuk isolasi senyawa yaitu dengan kromatografi lapis tipis preparatif (Anonim, 2010). Suatu senyawa dapat dipisahkan dari senyawa lainnya karena perbedaan polaritas. Prinsip isolasi adalah perbedaan kemampuan senyawa terlarut dalam pelarut dengan polaritas tertentu, dan karena perbedaan daya serap adsorben terhadap masing–masing senyawa. Senyawa akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda pada adsorben, sehingga terjadi pemisahan (Siti, 2010). Proses isolasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan alas kaca dengan lempeng yang lebih besar dibandingkan pelat kromatografi lapis tipis biasa. Ukuran lempeng kromatografi lapis tipis mencapai 20x20 cm atau 20x40 cm dengan ketebalan 0,5–2 mm. Penotolan sampel pada kromatografi lapis tipis preparatif berupa garis lurus, berbeda jika dibandingkan dengan kromatografi lapis tipis biasa yang berupa totolan. Silika gel merupakan penjerap yang umum digunakan pada kromatografi lapis tipis
22
preparatif dan fase gerak dipilih berdasarkan tingkat kepolaran suatu senyawa (Siti, 2010). F. Landasan Teori Daun sirsak secara empirik telah digunakan sebagai obat tradisional. Umumnya masyarakat memanfaatkan daun sirsak dengan cara direbus atau infundasi (Kirana & Tambunan 2012). Asetogenin merupakan salah satu kandungan utama dalam daun sirsak yang memiliki sifat antitumor, antiparasit, antimikroba, antimalaria, insektisida, imunosupresif, dan sitotoksik terhadap sel kanker (Alali dkk., 1999). Struktur asetogenin memiliki banyak ikatan C-C, sehingga asetogenin bersifat nonpolar. Asetogenin larut dalam metanol dan nheksan (Yannai, 2004). Struktur asetogenin memiliki 4 gugus hidroksi (OH) yang memungkinkannya untuk larut dalam pelarut akuades. Berdasarkan sifat kelarutan tersebut, asetogenin dapat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol dan metode infundasi. Maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dapat melarutkan senyawa asetogenin, retikulin, coreksimin, koklaurin, annomurin, higenamin, minyak esensial, tanin, fitosterol. Infundasi menggunakan pelarut akuades dapat melarutkan senyawa asetogenin, tanin, kalium klorida, kalsium oksalat, asam amino dan protein. Fraksinasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa pengotor yang ikut larut dalam proses penyarian. Hilangnya senyawa pengotor dalam ekstrak membuat kadar senyawa aktif meningkat. Fraksinasi dengan n-heksan dapat melarutkan senyawa pengganggu seperti resin dan klorofil yang terdapat dalam daun sirsak (Tiwari dkk., 2011). Etanol digunakan dalam fraksinasi ekstrak
23
hasil infundasi untuk melarutkan asetogenin dan meninggalkan polisakarida (Wijaya, 2012). Polisakarida tidak larut dalam etanol dan polisakarida dapat menyebabkan gelatinisasi pada ekstrak hasil infundasi. Proses fraksinasi ekstrak hasil maserasi dan ekstrak hasil infundasi dapat berpengaruh terhadap kadar asetogenin. Nilai log P asetogenin sebesar 7,71 yang menunjukkan bahwa asetogenin 51.286.138,4 kali lebih larut dalam pelarut organik dibandingkan dengan air (Anonim, 2012). Etanol merupakan pelarut organik dengan tetapan dielektrik 24,30 yang membuatnya dapat melarutkan senyawa-senyawa semipolar, sedangkan n-heksan merupakan pelarut organik dengan tetapan dielektrik 1,890 yang membuatnya dapat melarutkan senyawa-senyawa nonpolar. G. Hipotesis 1. Metode maserasi menggunakan etanol menghasilkan kadar asetogenin lebih besar daripada metode infundasi. 2. Fraksi Larut Etanol hasil infundasi menghasilkan kadar asetogenin lebih besar dibandingkan dengan fraksi tak larut n-heksan hasil maserasi dengan etanol.