BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena tingkat kesakitannya yang tinggi, perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (Hakim, 2015). Upaya pencegahan dan pengendalian DBD yang dipandang paling efektif untuk saat ini adalah pemberantasan vektornya dengan insektisida. Larvasida merupakan salah satu jenis insektisida yang membunuh serangga pada stadium larvanya. Larvasida nyamuk Ae. aegypti yang paling luas digunakan di Indonesia adalah granul temefos (Istiana dkk., 2012). Sediaan dalam bentuk granul yang akan mengendap di dasar penampungan air dirasa paling efektif sebagai larvasida karena sesuai dengan pola hidup larva Ae. aegypti yang bergerak aktif naik ke permukaan untuk mengambil oksigen dan turun ke dasar untuk mencari makan (bottom feeding) (Ginanjar, 2008). Panghiyangani dkk., (2012) menyatakan bahwa penggunaan granul temefos dalam kurun waktu yang lama menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem karena hilangnya organisme non target dan resistensi pada nyamuk. Oleh karena itu, diperlukan larvasida alami dalam bentuk granul yang lebih aman, aktif dan mempunyai potensi resistensi yang rendah.
1
2
Minyak atsiri daun cengkeh (Syzigium aromaticum (L.) Merr. & Perry) dan herba sereh dapur (Cymbopogon citratus (DC.ex Ness) stapf) merupakan metabolit sekunder tanaman yang berpotensi sebagai larvasida alami. Berdasarkan penelitian Mulyani (2014), granul minyak atsiri herba sereh dapur (LC50 38,30 ppm, LC90 51,57 ppm) lebih aktif dibandingkan granul minyak atsiri daun cengkeh (LC50 50 ppm, LC90 86,26 ppm) sebagai larvasida Ae. aegypti. Namun, besarnya penguapan minyak atsiri herba sereh dapur selama proses pembuatan granul lebih besar dibandingkan granul minyak atsiri daun cengkeh. Minyak yang mudah menguap sering dikombinasikan dengan minyak yang sukar menguap untuk memfiksasi wewangian dari minyak tersebut (Ketaren, 1985). Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian mengenai granul kombinasi kedua minyak atsiri tersebut. Granul kombinasi dari keduanya diharapkan mempunyai aktivitas larvasida yang lebih baik dibandingkan granul minyak tunggalnya serta dapat mengurangi penguapan minyaknya selama proses pembuatan granul.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh kombinasi minyak sereh dapur dan minyak cengkeh terhadap aktivitasnya sebagai larvasida jika dibandingkan dengan minyak tunggalnya?
3
2. Bagaimana pengaruh kombinasi minyak sereh dapur dan minyak cengkeh
terhadap
besarnya penguapan minyak
selama proses
pembuatan granul jika dibandingkan dengan minyak tunggalnya?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh kombinasi minyak cengkeh dan minyak sereh dapur terhadap aktivitasnya sebagai larvasida jika dibandingkan dengan minyak tunggalnya. 2. Mengetahui pengaruh kombinasi minyak cengkeh dan minyak sereh dapur terhadap besarnya penguapan minyak selama proses pembuatan granul jika dibandingkan dengan minyak tunggalnya.
D. Tinjauan Pustaka 1.
Larvasida Larvasida adalah suatu insektisida yang spesifik untuk pengendalian
populasi serangga pada tahap sebelum dewasa, yaitu larva. Bentuk sediaan larvasida menurut WHO (World Health Organizer) dapat dibagi menjadi sediaan granul, emulsi, konsentrat, serbuk dan larutan. Penggunaan larvasida lebih mudah dan praktis dibandingkan insektisida untuk nyamuk dewasa (adulticide), lebih ekonomis, dan aksi residualnya terbatas (WHO, 1996). Larvasida sintetik yang biasa digunakan adalah temefos dengan dosis yang digunakan 1 ppm atau 1 mg untuk tiap 1 L air. Larvasida golongan
4
organofosfat ini menunjukkan aktivitas terhadap semua jenis larva nyamuk tetapi tidak aman untuk manusia dan binatang berdarah panas (Shian, 2007). Kesadaran manusia terhadap keamanan lingkungan yang semakin meningkat mendorong penelitian mengenai insektisida alami yang berbahan dasar tumbuhan. Larvasida nabati adalah suatu larvasida yang berasal dari tumbuhan yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian larva (Nugroho, 2011). Evaluasi suatu bahan untuk dapat digunakan sebagai larvasida meliputi 3 tahap pengujian (WHO, 1996). Pengujian fase I merupakann studi laboratorium yang bertujuan untuk menentukan potensi dan aktivitas larvasida suatu bahan, yaitu nilai LC50 dan LC90. Nilai LCx menunjukkan konsentrasi zat terkecil yang dapat menyebabkan kematian x% hewan uji. Selanjutnya adalah pengujian fase II yang merupakan percobaan skala kecil kemudian pengujian fase III, yaitu percobaan lapangan skala besar. Pengujian fase II bertujuan untuk melihat aktivitas larvasida pada berbagai keadaan ekologis serta efeknya pada organisme non target, sedangkan pengujian fase III lebih ditekankan pada penggunaan dan penerimaan oleh masyarakat. 2.
Granul Granul merupakan kumpulan partikel kecil menjadi gumpalan
partikel tunggal yang lebih besar sedangkan partikel awal masih dapat diidentifikasi. Granulasi adalah proses pembesaran ukuran partikel
5
individual atau campuran serbuk untuk menghasilkan campuran obat dan eksipien dalam bentuk granul yang lebih besar dan lebih kuat daripada ukuran awal (Parikh, 2005). Prinsip pembuatan granul ada 4 tahap yaitu agregasi campuran serbuk dengan penambahan suatu cairan penggranul, pembagian massa, pengeringan granul, mengayak bagian yang halus dan sekaligus menyiapkan granul, artinya melonggarkan butiran granul yang masih melekat bersama-sama dari proses pengeringan melalui gerakan yang hatihati di atas ayakan sehingga terbentuk butiran granul. Granul disebar dalam lapisan tipis dan dikeringkan (Voigt, 1994). 3.
Nyamuk Aedes aegypti
a)
Klasifikasi Klasifikasi nyamuk Ae. aegypti menurut Borror dkk., (1989):
Kerajaan : Animal Divisi
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Bangsa
: Dipthera
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Jenis
: Aedes aegypti L.
b)
Siklus hidup Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti umumnya berlangsung 8-10 hari
tergantung dari kualitas makanan, penghisapan darah, kondisi air, suhu
6
lingkungan dan kelembaban udara. Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti mulai dari telur sampai nyamuk dewasa terdapat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 1. Siklus hidup Ae. aegypti ( CDC, 2012 ) c)
Karakteristik dan Morfologi Telur dari nyamuk Ae. aegypti berbentuk elips berwarna hitam dan
terpisah satu dengan yang lain. Telur nyamuk Ae. aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa. Telur biasanya diletakkan di tempat basah contohnya kolam, genangan air dan tempat buatan yang berisi air jernih (Yap dkk., 1995).
Gambar 2. Telur Nyamuk Ae. aegypti ( CDC, 2012 )
7
Telur menetas dalam 1 - 2 hari menjadi larva (Ginanjar, 2008). Perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti memiliki 4 tahap pergantian kulit (instar) yaitu instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Tahap instar I sampai instar IV pada larva membutuhkan waktu 5-6 hari dengan temperatur optimal sebesar 25-30o C (Utomo dkk., 2010). Menurut Andreadis & Theodore (1985) larva instar I berukuran 1,6 mm, larva instar II berukuran 2,7 mm, larva instar III berukuran 4,6 mm dan larva instar IV berukuran 7,0 mm. Kepala larva instar I berbentuk segitiga dan kecil, kemudian semakin besar dan membulat pada larva instar II-IV. Ciri khas pada larva nyamuk Ae. aegypti yaitu memiliki corong udara atau sifon pada segmen terakhir (segmen ke-8) dengan ujung sifon tanpa katup penembus dan tidak melekat pada tumbuhan air (Yap dkk, 1995). Setelah fase larva berakhir, dimulailah fase pupa. Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas. Pupa berada di dekat permukaan air ketika sedang bernapas. Lama fase pupa tergantung dari suhu air dan spesies nyamuk yang lamanya dapat berkisar antara 1 hari sampai beberapa minggu (Ginandjar, 2008).
Gambar 3. Pupa Nyamuk Ae. aegypti ( CDC, 2012 )
8
Fase yang terakhir adalah nyamuk dewasa. Nyamuk Ae. aegypti betina dewasa mempunyai tubuh berwarna hitam kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Ae. aegypti betina antara 3-4 cm dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Umur nyamuk betina dewasa di alam bebas kira-kira selama 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai 2 bulan (Yap dkk., 1995).
Gambar 4. Nyamuk Dewasa Ae. aegypti (CDC, 2012) d)
Peranan Nyamuk Ae. aegypti Nyamuk Ae. aegypti adalah vektor utama virus dengue. Selain itu,
nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor penyakit yellow fever dan chikungunya (Lubis, 1998). e)
Pengendalian Pribadi, dkk. (1998) membagi cara pengendalian nyamuk menjadi 4
macam, yaitu: 1) Pengendalian lingkungan Pengendalian
lingkungan
dilakukan
dengan
cara
mengelola
lingkungan yaitu memodifikasi atau memanipulasi lingkungan, sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok yang dapat mencegah atau
9
membatasi perkembangan vektor. Pengendalian lingkungan misalnya pengaturan irigasi, penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan tempat pembuangan sampah, membersihkan tanaman air yang mengapung di danau seperti ganggang dan lumut, serta pengubahan rawa menjadi sawah. 2) Pengendalian kimiawi Pengendalian ini menggunakan bahan kimia yang berkhasiat membunuh serangga (insektisida) atau penghalau serangga (repellant). Keuntungan cara ini adalah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi area yang luas, sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat, sedangkan kerugiannya adalah hanya bersifat sementara, mencemari lingkungan, memungkinkan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa. 3) Pengendalian mekanik Pengendalian ini menggunakan alat yang dapat secara langsung menangkap, membunuh, menghalau, menyisir dan mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Penggunaan pelindung dan pemasangan kawat kasa di jendela merupakan contoh pengendalian secara mekanik. 4) Pengendalian biologik Beberapa parasit dari golongan nematoda, bakteri, protozoa, jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Predator atau pemangsa yang baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari ikan
10
kepala timah, ikan gabus dan larva nyamuk yang berukuran lebih besar (misalnya Culex fuscanus).
4.
Cengkeh
a)
Sistematika tanaman Sistematika tumbuhan cengkeh menurut Backer & Van Den Brink
(1962) dan Tjitrosoepomo (1994) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Syzigium
Jenis
: Syzigium aromaticum (L.) Merr. & Perry
b)
Nama lain Menurut Heyne (1987), nama-nama lain untuk cengkeh antara lain:
Nama ilmiah
: Syzigium aromaticum (L.) Merr. & Perry, Eugenia caryophyllata
Nama daerah
: Bungeu lawing (Sumatera), cengkeh (Jawa), sangke (Kalimantan)
Nama asing
: Clove (Inggris)
11
c)
Morfologi Menurut Tjitrosoepomo (1994), morfologi dari tanaman cengkeh
adalah sebagai berikut: Habitus
: Pohon, tajuk bangun kerucut, tinggi 5-10 m
Daun
: Bulat telur atau memanjang, pangkal daun tajam, kaku mengulit, ukuran 2,5-5 cm x 6-13 cm, berwarna hijau kekuningan (hijau muda) dengan sisi atas yang mengkilap, berbintik-bintik karena adanya kelenjar- kelenjar minyak
Bunga
: Berbilangan 4, berwarna merah jambu, tersusun dalam tandan atau malai rata yang keluar dari ketiak-ketiak daun atau ujungujung cabang
Buah
: Berbentuk buni yang memanjang atau bulat telur terbalik
Akar
: Serabut
d)
Kandungan kimia Minyak atsiri cengkeh secara umum tersusun atas tiga komponen
yaitu eugenol (80,6-85,1%) yang merupakan komponen tertinggi, asetil eugenol, dan kariofilena. Daun cengkeh mengandung 0,11% asam galat, metil galat, turunan triterpen, kariofilena, dan asam betulinat. Minyak atsiri cengkeh diperoleh dari penyulingan bunga atau daun cengkeh. Pada umumnya, minyak cengkeh berwarna kuning dengan bobot jenis 1,0411,054, indeks bias 1,528-1,537, dan rotasi optik 0o sampai -1,5o (Anonim, 1979; Ketaren, 1985).
12
e)
Kegunaan Minyak cengkeh yang komponen utamanya eugenol berfungsi
sebagai repelan (Trongtokit, dkk., 2005 cit Mangili, 2011). Minyak atsiri dari daun cengkeh yang telah gugur telah terbukti beraktivitas sebagai larvasida alami
dengan LC50 50,00 ppm dan LC90 sebesar 86,26 ppm
(Mulyani, 2014). 5.
Sereh dapur
a)
Sistematika tanaman Berdasarkan Anonim (2010), sistematika tanaman sereh dapur adalah
sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Bangsa
: Cyperales
Suku
: Poaceae
Marga
: Cymbopogon
Jenis
: Cymbopogon citratus (DC.ex Ness) stapf
b)
Nama lain Menurut Agusta (2000), nama lain yang dimiliki oleh sereh dapur
antara lain: Nama ilmiah
: Cymbopogon citratus (DC.ex Ness) stapf
Nama daerah
: Sarai bumbu (Minang), sere (Jawa, Madura)
13
Nama asing c)
: Lemongrass (Inggris)
Morfologi Berdasarkan Oyen & Dung (1999), morfologi tanaman sereh dapur
adalah: Habitus
: Tanaman tahunan (perenial) dan stolonifera (berbatang semu)
Daun
: Memanjang seperti pita, semakin ke ujung semakin meruncing dan berwarna hijau, panjang daunnya berkisar 0,6-1,2 meter yang tersusun pada stolon
Akar d)
: Serabut Kandungan kimia Sereh dapur mengandung aldehid (60-80%) antara lain sitral dan
sitronelal, linalool, geraniol, nerol, sitronelol, farnesol, limonena, dipenten, metilheptenon. Sitral merupakan campuran stereoisomer geranial dan neral. Kandungan geranial sebanyak 40-62% sedangkan neral sebanyak 25-38% (Oyen & Dung, 1999) e)
Kegunaan Minyak sereh dapur mempunyai efek antibakteri dan antifungal
(Oyen & Dung, 1999). Menurut Mulyani (2014), minyak atsiri dari herba sereh dapur mempunyai aktivitas sebagai larvasida dengan LC50 sebesar 38,30 ppm dan LC90 sebesar 51,57 ppm. 6.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi paling
sederhana dengan bentuk kromatografi planar. Prinsip kerja KLT yaitu
14
memisahkan campuran analit berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Tahapan kerja KLT adalah dengan menotolkan cuplikan atau sampel pada lempeng KLT, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam wadah berisi fase gerak sehingga komponen-komponen dalam sampel tersebut terpisah. Komponen yang mempunyai afinitas besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibandingkan komponen dengan sifat sebaliknya (Gritter dkk., 1991). Pemisahan masing-masing komponen pada KLT dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf). Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh analit terhadap jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Braithwaite & Smith, 1999). Nilai Rf dipengaruhi
oleh
kelembaban
zat
penjerap,
penjenuhan
bejana
kromatografi, suhu, pH fase diam, ukuran sampel dan parameter pelarut (Gandjar & Rohman, 2012). Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif, meskipun KLT kuantitatif kurang teliti bila dibandingkan dengan sistem kromatografi lainnya (Gritter dkk., 1991). 7.
Kromatografi Gas – Spektrometri Massa Kromatografi Gas - Spektrometri Massa atau dikenal GC-MS (Gas
Chromatography - Mass Spectrometry) merupakan gabungan 2 sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling melengkapi dan menguntungkan. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat
15
pemisah
berbagai
spektrometer komponen
komponen
massa yang
berfungsi
telah
senyawa
dalam
mendeteksi
dipisahkan
sampel,
sedangkan
masing-masing
menggunakan
GC.
molekul
Pemisahan
menggunakan GC dapat menghindari atau menghilangkan efek dari penguapan. Keuntungan menggunakan GC-MS adalah cepat dan akurat dalam memisahkan campuran yang rumit, mampu menganalisis cuplikan dalam jumlah sangat kecil, dan menghasilkan data yang berguna mengenai struktur serta identitas senyawa organik. Sistem pengolahan data yang digunakan adalah dengan komputerisasi. Informasi yang diperoleh dari GCMS ada 2 macam, yaitu informasi hasil GC berbentuk kromatogram dan hasil MS berbentuk spektrum massa. Kromatogram dapat memberikan informasi mengenai jumlah komponen kimia yang terdapat dalam campuran, sedangkan spektrum massa memberikan informasi tentang jenis dan jumlah fragmen molekul (Agusta, 2000). 8.
Destilasi Air-Uap Air Destilasi air – uap air merupakan salah satu metode destilasi. Pada
destilasi air – uap air, bahan yang disuling tidak kontak langsung dengan air karena terdapat sekat antara air dan simplisia yang biasa disebut angsang. Prinsip kerja dari destilasi air – uap air adalah air yang mendidih dan uap air akan membawa partikel air dan minyak atsiri untuk dialirkan ke kondensor, kemudian air dan minyak atsiri akan memisah karena adanya perbedaan bobot jenis. Kelebihan dari destilasi air – uap air antara lain
16
alatnya sederhana dan cocok untuk bahan yang mudah terhidrolisis oleh adanya air (Anonim, 1977). 9.
Destilasi Stahl Destilasi Stahl adalah metode destilasi yang digunakan untuk
menetapkan kadar minyak atsiri pada suatu bahan. Langkah kerja destilasi Stahl adalah mencampurkan sampel dengan air di dalam labu, sedangkan buret diisi penuh dengan air, kemudian labu dipanaskan. Penyulingan dihentikan apabila tidak ada lagi penambahan minyak atsiri yang menetes setelah beberapa waktu. Kelebihan dari destilasi Stahl adalah dapat menetapkan kadar minyak atsiri yang diperoleh secara langsung dengan mengukur volume minyak atsiri yang terukur pada alat setelah didiamkan selama 15 menit. Kadar minyak atsiri dihitung dalam % v/b (Anonim, 1977).
E. Landasan teori Minyak atsiri daun cengkeh dan herba sereh dapur telah diketahui mempunyai efek repelan pada serangga khususnya nyamuk (Hermes & James, 1961). Minyak tersebut juga telah terbukti berpotensi sebagai larvasida alternatif yang aman dan ramah lingkungan bagi Ae. aegypti. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa kandungan kimia minyak atsiri cengkeh yang berfungsi sebagai larvasida adalah eugenol, sedangkan pada minyak atsiri sereh dapur adalah sitral (Ardianto, 2008 & Nugroho, 2011). Senyawa yang mempunyai aktivitas larvasida apabila digunakan
17
dalam bentuk kombinasi akan memiliki keuntungan yaitu efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi terutama jika kedua senyawa tersebut mempunyai mekanisme aksi yang berbeda (Li & Tang, 2004). Bentuk sediaan yang dipandang paling efektif sebagai larvasida adalah granul karena granul akan tenggelam di dasar penampungan air. Hal ini sesuai dengan pola hidup larva Ae. aegypti yang bergerak aktif naik ke permukaan untuk mengambil oksigen dan turun ke dasar untuk mencari makan (bottom feeding) (Ginanjar, 2008). Mulyani (2014) menyatakan bahwa granul minyak atsiri daun cengkeh mempunyai Lethal Concentration 50% (LC50) sebesar 50 ppm dan Lethal Concentration 90% (LC90) sebesar 86,26 ppm, sedangkan granul minyak atsiri herba sereh dapur mempunyai LC50 sebesar 38,30 ppm dan LC90 sebesar 51,57 ppm. Minyak atsiri merupakan senyawa yang mudah menguap, sehingga dalam proses pembuatan sediaan yang berbahan aktif minyak atsiri sering terjadi penguapan minyak yang besar. Pengurangan kadar minyak atsiri daun cengkeh selama proses pembuatan granul sebesar 28,41%, sedangkan pada granul minyak atsiri herba sereh dapur sebesar 64,20% (Mulyani, 2014). Granul minyak atsiri herba sereh dapur lebih aktif sebagai larvasida Ae. aegypti L., namun besarnya kadar minyak atsiri herba sereh dapur yang hilang selama proses pembuatan granul lebih besar dibandingkan granul minyak atsiri daun cengkeh.
18
Minyak atsiri yang mudah menguap dikombinasikan dengan yang sukar menguap untuk memfiksasi wewangian dari minyak atsiri tersebut (Ketaren, 1985). Minyak atsiri daun cengkeh lebih sukar menguap dibandingkan minyak atsiri herba sereh dapur sehingga diharapkan dapat memfiksasi minyak atsiri herba sereh dapur selama proses pembuatan granul.
F. Hipotesis 1. Granul dengan kombinasi minyak cengkeh dan minyak sereh dapur akan meningkatkan aktivitasnya sebagai larvasida jika dibandingkan granul minyak cengkeh dalam keadaan tunggal ditunjukkan dengan nilai LC50 dan LC90 yang lebih kecil. 2. Granul dengan kombinasi kedua minyak atsiri akan mengurangi penguapan minyak selama proses pembuatan granul dibandingkan granul minyak sereh dapur dalam keadaan tunggalnya.