BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Tradisi lisan merupakan warisan dunia, yang merepresentasikan berbagai bentuk kebudayaan dari masyarakat penuturnya. Perjalanan tradisi lisan telah hampir sama tuanya dengan kehidupan manusia. Sejak manusia ada, mereka sudah memiliki tradisi lisan. Oleh karena itu, tradisi lisan merupakan ingatan kolektif masyarakat pemiliknya, tentang kebudayaannya, sistem religinya, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bascom (1955) bahwa penelitian tradisi lisan merupakan penelitian yang banyak dilakukan terutama melalui pendekatan historiografi guna memahami kebudayaan suku-suku bangsa di dunia. Setelah itu, penelitian mengenai tradisi lisan, lebih banyak diarahkan kepada masalah fungsi dan struktur, seperti yang pernah dilakukan oleh Vladimir Propp yang menggunakan konsep 31 fungsi dalam menganalisis tradisi lisan. Sedangkan penelitian berikutnya adalah menganalisis tradisi lisan dari aspek struktur, sehingga pementasan tradisi lisan hampir dilupakan dan ini berdampak pada hilangnya berbagai pengetahuan lokal yang ada dalam proses pementasan tersebut. Oleh karena itu, Elizabeth C. Fine (1994: 58) mengatakan bahwa penelitian tradisi lisan seharusnya diarahkan kepada pementasan atau performansi tradisi lisan, karena dalam performansi tersebut, sekurangkurangnya menyajikan proses komunikasi sosial antara pelantun dengan pendengar yang memiliki banyak karaktersitik sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Tradisi lisan jemblung merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Jawa dan tersebar luas di dalam masyarakat pendukungnya. Tiap-tiap daerah di Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat Jawa yang lainnya. Misalnya etnis Jawa di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki ciri-ciri yang berbeda, antara kraton dan luar kraton juga akan berbeda. Budaya masyarakat Yogyakarta, tentunya akan berbeda dengan masyarakat Kebumen atau daerah Banyumas yang jauh dari pengaruh kehidupan kraton. Untuk itu, penelitian mengenai aspek kelisanan tradisi lisan yang ada di dalam suatu masyarakat akan mempertegas betapa keragaman sub-sub etnis yang ada di Jawa menjadi sangat penting. Karena tanpa memahami sub-sub etnis yang ada
di Jawa, maka pemerintah akan mendapatkan kendala dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jawa yang secara kasat mata adalah homogen, tetapi jika dilihat secara lebih dalam, maka kita akan menemukan karakteristik yang khas dari masyarakat Jawa tersebut. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai dan tradisi kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan hidup, akan membentuk kehidupan dan identitas kehidupan masyarakat di daerah Kebumen berbeda dengan lingkungan kraton di pusat kekuasaan Jawa. Sebagai salah satu tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat desa Karangsari Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, jemblung memiliki ciri khas berbeda dengan jemblung di daerah lain. Ini disebabkan karena masyarakat desa Karangsari memiliki pemahaman yang berbeda tentang kehidupan mereka yang disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan dimana mereka berada. Dalam masyarakat desa Karangsari, tradisi lisan jemblung merupakan tradisi lisan seni tutur yang perlu dipertahankan, karena jemblung adalah salah satu bentuk hiburan masyarakat desa Karangsari yang sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Di samping itu, jemblung juga merupakan refleksi dan proyeksi dari kehidupan masyarakat pemiliknya, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ki Joger1 bahwa “Dalam pementasan jemblung seringkali memasukan berbagai hal dalam kehidupan kami. Kami masukan di dalam berbagai cerita yang kami lakonkan, sehingga lakon jemblung tidak kering dari masalah-masalah sosial yang hangat di dalam masyarakat dewasa ini”. Jika dilihat dari para pemain jemblung yang ada di dalam masyarakat Karangsari, maka tradisi lisan ini dapat dikatakan berada di pada titik nadir yang paling rawan. Hal ini disebabkan karena para pemain jemblung di desa Karangsari sudah tergolong sepuh. Ini dapat dilihat dari umur yang dimiliki oleh lima pemain jemblung yang ada yaitu Ki Joger (70) yang mereka sebut sebagai dalang, pak Wasimin (70), pak Salim (80) dan tinggal Mas Bambang yang masih di bawah enam puluh tahun. Dengan melihat usia penutur tradisi lisan jemblung di desa Karangsari ini, maka tradisi lisan ini berada di dalam kondisi yang perlu diselamatkan agar tradisi lisan ini tetap tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Karangsari. Sementara, ketika ditanyakan kepada beberapa anak 1
Ki Joger adalah salah satu dalang dalam tradisi lisan jemblung yang ada dalam masyarakat desa Karangsari (Wawancara, 14 Juli 2011).
2
muda yang ada di desa itu, maka mereka tidak pernah mendengarkan kata itu lagi, bahkan mereka mengatakan bahwa jemblung yang kami tahu hanyalah tempat yang biasa digunakan untuk menyimpan air. “Kami belum pernah menonton kesenian jemblung seperti itu”, tutur anak-anak muda yang kami temukan di deker tidak jauh dari rumahnya mas Bambang. Berangkat dari realitas di atas, diperlukan berbagai upaya untuk tetap menyelematkan jemblung yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Karangsari. Penyelamatan ini dapat dilakukan melalui penelitian performansi atau pementasan tradisi lisan jemblung. Selanjutnya penelitian juga dilakukan untuk menganalisis mengenai sistem formula dan komposisi skematik dari tradisi lisan jemblung tersebut. Melalui
penelitian
ini
diharapkan
terjadi
pendokumentasian
dan
pengembangan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat Karangsari khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena kematian tradisi lisan jemblung merupakan kematian rumah-rumah kecil kebudayaan yang ada di dalam masyarakat Karangsari, hal ini mengingat jemblung merupakan ruang ingatan kolektif masyarakat Karangsari mengenai kebudayaan mereka, sejarah, sistem religi, sistem kekerabatan, sistem norma dan berbagai ingatan kolektif mereka mengenai tata cara kehidupan. Telah banyak tulisan yang pernah menulis tentang tradisi lisan jemblung, antara lain seperti tulisan Suripan Hadi Utomo yang dilakukan di Jawa Timur, tetapi sampai saat ini belum ada satupun yang menulis aspek kelisanan tradisi lisan jemblung sebagaimana aspek kelisanan yang ditulis oleh Lord (1981) dalam mendokumentasikan nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia belum pernah dilakukan khususnya tradisi lisan jemblung yang ada pada masyarakat desa Karangsari. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap tradisi lisan jemblung masyarakat Karangsari Kecamatan Sruweng kabupaten
Kebumen,
sehingga
melalui
analisis
ini,
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi dalam penyelamatan tradisi lisan jemblung dan kebudayaan Jawa pada umumnya. 1.2 Masalah Tradisi lisan jemblung merupakan salah satu tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng
3
Kabupaten Kebumen. Salah satu kekhawatiran sampai saat ini adalah banyaknya tradisi lisan yang hilang dalam setiap tahunnya. Berdasarkan hal tersebut, tradisi lisan jemblung merupakan tradisi yang terancam akan hilang dalam masyarakat desa Karangsari mengingat para dalang jemblung telah tua dan rata-rata sudah berumur di atas 70 tahun. Oleh karena itu, upaya pelestarian tradisi lisan jemblung dalam bentuk pendokumentasian tradisi lisan jemblung sangat penting dilakukan, mengingat tradisi lisan jemblung merupakan rumahrumah kecil kebudayaan yang dikhawatirkan dapat hilang dalam masyarakat desa Karangsari. Pada hal, upaya penyelamatan tradisi lisan jemblung merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan nilai-nilai pluralisme budaya di dalam masyarakat Indonesia. Kelangsungan hidup tradisi lisan tersebut merupakan ruang-ruang yang dapat dijadikan sebagai modal dalam pembangunan karakter bangsa yang saat ini, karena dengan penguatan identitas berbagai kultur masyarakat akan menjadi solusi alternatif dalam memberikan terapi kepada adanya krisis identitas secara nasional, dimana masyarakat cenderung emosional, korupsi dan individualis dan histeri. Di samping itu, pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari juga akan memuat berbagai memory kolektif mereka yang tersimpan dalam teks-teks, maupun dalam proses pementasannya. Oleh karena itu, upaya untuk menganalisis performansi, sistem formula dan kompsisi skematik tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari merupakan salah satu bentuk langkah yang harus dilakukan, mengingat tradisi lisan ini merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Karangsari dan Jawa pada umumnya. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah akan difokuskan pada aspek kelisanan tradisi lisan jemblung yang meliputi: (a) Seperti apakah performansi tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari? (b) Perperti apakah formula tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari? (c) Seperti apakah komposisi skematik tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari?
4
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitin di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari peneltian ini adalah: 1. sebagai upaya untuk menyelamatkan dan mengembangkan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari kabupaten Kebumen. Hal ini disebabkan karena tradisi lisan jemblung merupakan ingatan kolektif masyarakat pendukungnya yang sekaligus kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 2. untuk menjelaskan berbagai aspek kelisanan tradisi lisan jemblung yang meliputi aspek performansi, formula, komposisi skematik tradisi lisan jemblung yang ada dalam masyarakat Karangsari. Sehingga dapat dipahami bentuk-bentuk performansi, sistem, formula, dan komposisi sekemati tradisi lisan jemblung sebagai salah satu tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, manfaat penelitian ini adalah: (1) sebagai langkah penerapan teori kelisanan Lord dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen; (2) manfaat penelitian ini juga dapat menjadi referensi ilmiah, terutama dalam persoalan teoritis mengenai tradisi lisan yang kelak dapat dijadikan sebagai bahan diskusi dan menjadi acuan dalam penelitian tradisi lisan di daerah lain. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah : 1. sebagai acuan bagi masyarakat desa Karangsari dalam pengembangan tradisi lisan jemblung; 2. sebagai acuan bagi pemerintah desa Karangsari, Kecamatan Sruweng dan pemerintah kabupaten Kebumen dalam pengembangan tradisi lisan di masa yang akan datang. 3. Sebagai acuan bagi pemerintah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah dan Indonesia dalam pengembangan dan perlindungan tradisi lisan dan
5
kebudayaan pada umumnya di tengah serbuan dan perburuan negara lain terhadap kebudayaan-kebudayaan asli dunia. Di samping itu, penelitian ini akan menjadi referensi ilmiah untuk mencari konsep-konsep baru dalam menumbuhkan industri kreatif di masa yang akan datang. 1.5 Tinjauan Pustaka Pembicaraan mengengai tradisi lisan telah banyak dilakukan, mulai dari pembicaraan mengenai tradisi lisan dari sudut pandang historiografi2, metode penelitian ini, telah berdampak luas dalam kalangan ahli folklore selama beberapa
decade
yang
lalu.
Kemudian
Jacobs
(1966:
414)
melihat
pengembangan metode penelitian sastra lisan ke arah perbandingan sastra lisan yang dikenal dengan metode "comparative method, sebagai kritik dari teori sastra lisan yang ditekankan pada sejarah masyarakat. Karena menurut (Boas dalam Jacobs 1966: 414 ) metode yang selama ini dipakai oleh para ahli folklore banyak mengabaikan aspek nilai, dan hal penting dari sastra lisan. Implikasi dari teori komparatif tersebut, berdampak luas pada wilayah antropologi, karena penelitian sudah diarahkan pada perbandingan beberapa kebudayaan, dan penelitian tidak hanya dilakukan dalam suatu daerah. Sementara di dalam tradisi lisan, penelitian lebih menarik, sebab perbandingan tradisi lisan akan lebih menarik (Jacobs, 1966: 415). Pemikiran Jacobs tersebut, memiliki kemampuan untuk pengembangan metode dalam penelitian tradisi lisan, penelitian tidak hanya difokuskan pada aspek, tema, alur dan lain-lainnya, tetapi diarahkan pada aspek gaya atau style dalam penceritaan sastra lisan. Penelitian tradisi lisan kemudian dilanjutkan dengan lahirnya analisis struktural yang menekankan analisisnya pada alur cerita yang penekanannya adalah pada analisis motif dan fungsi misalnya Dundens (19653). Selanjutnya analisis dengan pendekatan struktural ini dilanjutkan dengan menganalisis performansi
2
dan
sistem
formula
yang
menjadi
kekuatan
tradisi
lisan
Jacobs, Melville. 1966. “A Look Ahead in Oral Literature Research” (The Journal of American Folklore), Vol. 79, No. 313 (Jul. - Sep., 1966), pp. 413-427
3
The Study of Folklore , merupakan kumpulan tulisan dari beberapa ahli yang berhubungan dengan folklore. Dari tulisan tersebut, Dundens membahas mengenai perbandingan motif-motif yang ada dalam tradisi lisan yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
6
sebagaimana dilakukan oleh Albert B. Lord (19814), Bauman, (19555), Fine, (19946), Ruth Finnegan (19777; 19898). Penelitian lain yang kemudian mengikuti konsep Lord dilakukan oleh beberapa ahli dalam melakukan penelitian yang menghubungkan kelisanan dan karya sastra seperti Walter J. Ong (19829). Stith Stomson (197710),
serta penelitian Amin Sweeney (198711), Frans Boas
(195512). Di samping itu, beberapa tulisan yang berhubungan dengan tradisi lisan, juga pernah dilakukan William Bascom (197313), sedangkan yang membicarakan mengenai proses penceritaan cerita rakyat dilakukan oleh Robert A. Georges (196914). Dalam tulisan tersebut, Georges menulis tentang aspek penceritaan sebagai fokus kajian dalam tradisi lisan. Di mana ada pembagian peran antara pemain dan pendengar, dengan menggunakan simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi yang digunakan dalam penceritaan tradisi lisan. Dalam tulisannya mengenai folklore Amerika, James Danadjaja (2003: 453) mengatakan bahwa folklore Amerika Serikat adalah cermin dari masyarakat multikultural yang manunggal. Pengalaman Amerika Serikat yang berusaha menyatukan bangsa
4
Lord, telah melakukan penelitian tradisi lisan Yugoslavia yang kemudian menghasilkan buku the Singer of Tales. Buku ini merupakan karya monumental Lord yang banyak mempengaruhi penelitian tradisi lisan berikutnya, 5 Di dalam jurnal Verbal Art as Performansi yang diterbitkan dalam jurnal American Anthropologist, New Series, Vol. 77, No. 2 (Jun., 1975), pp. 290-311, Richard Bauman telah membicarakan tentang performansi dalam seni verbal. Ia Juga mengatakan bahwa ada performansi merupakan satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam kajia tradisi lisan. 6 Dalam buku The Foklore Text Elizabeth C. Fine menuliskan tentang persoalan-persoalan dalam penelitian tradisi lisan, metode, pendekatan baik dalam hubungannya dengan teks maupun yang berhubungan dengan aspek performansinya. Dalam buku tersebut, Fine mengatakan bahwa ada tiga fokus yang perlu diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3) budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). 7 Ruth Finnegan dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Context menjelaskan tentang berbagai aspek yang membentuk puisi lisan dalam masyarakat. Mulai dari konsep, metode, komposisi, gaya dan perfromansi, proses transmisi, pendengar, konteks dan fungsi puisi lisan, serta Ruth juga menulis tentang puisi lisan dan masyarakat penedukugnya. 8 Ruth Finnegan, dalam bukunya Oral Traditions and The Verbal Art: a Guide to Research Practices (1989) menyajikan beberapa metode penelitian trdisi lisan, mulai dari teori dan prespektif yang digunakan sampai pada cara menganalisis fungsi dan struktur teks tradisi lisan. 9 Buku Oral and Literacy The Technologizing of the Word karya Walter J. 10 Dalam bukunya The Folktale Stith Thompson melakukan pemetaan mengenai berbagai 11 A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World, merupakan pernah mengkaji kelisanan di dunia Melayu. 12 Dalam buku Primitive Art, Boas menulis beberapa hal sehubungan tradisi lisan konsep tradisi lisan, aspek representative, dan aspek simbolik dalam tradisi lisan. 13 dalam tulisannya tentang Verbal Art, Bascom menjelaskan tentang masalah teoritis mengenai hakikat verbal art dalam posisinya dalam folklore. 14 “Toward an Understanding of Storytelling Events” yang dimuat di dalam jurnal American Folklore, Vol. 82, No. 326 (Oct. - Dec., 1969), pp. 313-328.
7
dari politik kebudayaan melting pot (asimilasi) ternyata tidak efektif karena dapat dilenggarakan sebagai sesuatu yang bersifat diskriminasi serta rasial. Jika kita menoleh ke belakang, diskusi mengenai tradisi lisan khususnya puisi lisan, telah banyak dibicarakan, hal ini sebagaimana dilakukan oleh Milman Parry dalam karyanya mengenai epic Homer pada zaman Yunani Kuno, yaitu Odyssey dan Illiad (Lord, 1981). Homer dikenal sebagai founding father pelantun epik (epic singer) atau sering juga disebut sebagai ‘singer of tales’ (pelantun kisah). Karya-karya Homer mampu mencapai hingga tiga belas ribu baris, naratif, oral, bertema kepahlawanan, dan tradisional. Karakteristik lain dari karya-karya Homer adalah berpola sama, adanya repetisi, paralelisme, dan ‘stereotyped phrase’ muncul secara dominan pada baris-baris lantunan, sehingga karya Homer disebut sebagai karya yang memiliki formulaic epic (Wigaty, 2008: 12). Secara
khusus
James
Fox
(1986:
68)
menggarisbawahi
istilah
paralelisme yang dikemukakan dalam puisi lisan yang dilantunkan oleh Homer. Menurut Fox, studi tentang paralelisme mula-mula diilhami paralelisme dalam bahasa Ibrani. Studi sejenis kemudian dilakukan pada berbagai sastra lisan dunia, misalnya puisi lisan Finlandia, epos dan nyanyian bangsa Turki dan Mongolia, ‘prosa parallel, China, tradisi lisan rakyat Rusia dan bangsa Yugoslavia yang lain. Penelitian ini juga dilakukan pada ungkapan polar dalam sastra kuno Yunani. Pada tahun 1930-an, Lord kemudian tertarik pada hasil-hasil penelitian Parry. Rasa ketertarikan itu kemudian ia melanjutkan penelitian Parry tentang puisi lisan di Yugoslavia. Dari hasil penelitian itu, ia menghasilkan beberapa temuan yang kemudian dibukukan dalam bukunya yang paling terkenal dengan judul The Singer of Tales (1981). Beberapa temuan itu adalah: (1) pelantunan puisi lisan dalam masyarakat Yugoslavia bersifat spontan, karena dilantunkan langsung di tempat pelantunan tanpa catatan; (2) pelantunan hanya menyiapkan plot dan tema dari rumah; (3) pelantunan didominasi oleh repetisi dan paralelisme; (4) lantunan diperkaya dengan stock epithet, yaitu frase siap pakai yang telah disediakan adat; (5) lantunan mengandung formula, yaitu kata atau frase yang digunakan untuk mengisi tempat kosong pada bait-bait selanjutnya yang mempunyai kesejajaran semantik tertentu; (6) ditemukan kesatuan singercomposer-performer dalam pelantunan; dan (7) tidak ada istilah original dan
8
variant untuk lantunan karena setiap lantunan adalah asli (selalu diproduksi kembali) (Lord, 1981: 13-14). Walaupun ada persamaan dengan lantunan karya Homer, khususnya tentang paralelisme dan repetisi, hasil penelitian Lord menunjukkan pergeseran yang menarik untuk digarisbawahi. Lantunan karya Homer sangat panjang, sedangkan pada nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia tidak ditentukan panjang pendeknya baris, karena berkaitan dengan kemampuan pelantun dalam mengekspresikan ide dan mengelaborasi tema. Oleh karena itu, walaupun mengekspresikan ide yang sama, seorang pelantun mampu melantunkan barisbaris yang sangat panjang, tetapi pelantun yang lain hanya mampu melantunkan lantunan yang relatif pendek. Tokoh lantunan Homer adalah para dewa/dewi atau manusia setengah dewa/dewi, sedangkan tokoh lantunan dalam nyanyian masyarakat Yugoslavia berkisar pada kehidupan kerajaan atau kesultanan. Istilah epik pun tidak hanya merujuk pada masalah kepahlawanan seseorang yang dilantukan dalam ribuan baris seperti gejala yang ditemukan pada lantunan Homer. Bagi temuan Lord, puisi epik lebih bersifat narrative oral poetry. Tema lantunan pun lebih bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan seorang penyanyi ketika ia melantunkan nyanyiannya. Pada nyanyian masyarakat Yugoslavia, repetisi lebih merupakan konvensi, yaitu adanya pengulangan kerangka ketika melantunkan puisi lisan (schemata composition) (Wigati, 2008: 13). Finnegan (1977) dalam penelitiannya tentang puisi lisan Gambia, disatu pihak menemukan kemiripan karakteristik antara puisi lisan Yugoslavia dan puisi lisan Gambia, yaitu (1) komposisi bersifat oral; (2) mengandalkan performance (pertunjukan);
(3)
bersifat
epic.
Akan
tetapi
di
pihak
lain,
Finnegan
berargumentasi bahwa generasi formulaic style yang ditemukan Lord masih perlu ditinjau kembali. Lord yang mengatakan bahwa puisi lisan ditandai dengan formula dan formulaik serta puisi yang berformula dan formulaik adalah lisan masih dapat diperdebatkan. Hal ini terbukti bahwa konsep formula dan formulaik terdapat juga pada puisi yang bukan lisan. Finnegan juga mengatakan bahwa signifikansi formula dan formulaik cenderung untuk memberikan kesempatan bagi pelantun untuk mengekspresikan puisi lisan secara unik, dan membuat lantunannya menjadi lain dari lantunan yang lain.
9
Selanjutnya, Teeuw (2003: 45) menggarisbawahi bahwa konsep formula dan formulaik yang dikemukakan Lord melalui penelitian puisi lisan Yugoslavia sangat berarti bagi perkembangan dunia folklor di dunia. Hasil penelitian Lord memberi dorongan bagi para peneliti selanjutnya untuk meneliti puisi lisan dari daerah lain, serta mengembangkan konsep teori yang sesuai dengan kondisi tradisi lisan di daerah tertentu. Di Indonesia, folklore sebagai cabang ilmu pengetahuan belum lama diusahakan. Akan tetapi, bahan-bahan folklore Indonesia sudah cukup lama dikumpulkan dan dipelajari oleh banyak sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1928, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur) yang bertugas mengumpulkan dan menerbitkan kesusatraan tradisional dan populer di Indonesia (Danandjaja, 2002: 10). Penelitian bahan folklore juga melibatkan berbagai ahli dari berbagai bidang, yaitu filologi, musikologi, antropologi budaya, dan teologi (baik misi maupun zending). Teeuw (2003: 233) juga mencatat bahwa minat pada folklore di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari terjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa di Nusantara. Para penerjemah menyadari bahwa folklore merupakan media yang dapat digunakan untuk mempelajari bahasa dan budaya masyarakat. Teeuw juga mencatat beberapa orang yang menggarap folklore, seperti Van der Tuuk yang pada tahun 1850 ditugaskan untuk menerjemahkan alkitab kepada bahasabahasa di tanah Batak, N. Andriani (1856-1920) menghabiskan sebagian besar usianya untuk mengumpulkan sastra Toraja, H. van der Veen (1924) mengumpulkan dan menerbitkan puisi kematian Toraja Selatan, H. Scharer (1966), seorang misionaris Swiss mengumpulkan cerita rakyat Dayak Ngajuk, dan WL Steinhart (1936) mengumpulkan puisi dan cerita rakyat Nias. Akan tetapi, banyak karya-karya di atas yang hilang saat perang dunia kedua terjadi. Secara khusus Fox (1986: 70) mencatat bahwa terdapat gejala paralelisme puisi lisan yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah puisi lisan di Sulawesi Selatan (Toraja) yang diteliti van deer Veen (1929), puisi lisan Sulawesi Utara diteliti oleh Dunnebier (1938), puisi lisan Dayak Ngajuk yang diteliti oleh Scharer (1966), puisi lisan masyarakat pulau Roti yang diteliti oleh Fox (1971) dan puisi Nias yang diteliti oleh Lageman.
10
Dalam kajiannya tentang puisi masyarakat pulau Roti, Fox mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan puisi lisan karya Homer pada zaman Yunani Kuno dan nyanyian rakyat Yugoslavia, bini sebagai puisi lisan masyarakat pulau Roti mempunyai straktur yang berbeda. Bini dilantunkan atau kadang-kadang dibacakan dalam bahasa ritual dan disusun dalam bentuk paralelisme. Selanjutnya Fox mengatakan bahwa puisi lisan masyarakat pulau Roti dapat mengekspresikan apa saja yang menyangkut berbagai masalah kehidupan masyarakat pulau Roti. Namun sacara umum, Fox mengatakan bahwa pada umumnya bini berhubungan dengan mitologi masyarakat Roti, misalnya asal-usul api, hubungan zaman purba dengan dewa-dewi langit/laut dan keturunannya. Dengan tema tertentu, bini dapat juga dilantunkan dalam upacara kematian. Tema puisi lisan bini lebih terbuka karena mengisahkan pengalaman hidup dan kejadian sehari-hari yang dialami seorang pelantun bini. Penelitian Nani Tuloli (1990) mengenai tradisi lisan tanggomo dalam masyarakat Gorontalo, mengatakan bahwa di dalam tanggomo terdapat pengulangan pola, baik pola kata maupun pola baris, yang dapat disamakan dengan pola formula Lord. Formula dalam tanggomo terdiri atas satu kata, kelompok kata (frasa), juga satu baris. Sistem formulaik ini tidak berhubungan dengan matra, tetapi secara variabel dengan irama. Nani Tuloli juga mengatakan bahwa dalam tradisi lisan tanggomo, kata atau kelompok yang disebut formula itu mempermudah pencerita mengingat dan menampilkan cerita. Formula tanggomo adalah unsur-unsur yang dipakai oleh pencerita dalam pola-pola yang teratur dengan mempertimbangkan posisi yang tetap serta kondisi irama yang bervariasi (1990: 336-337). Dalam penelitiannya mengenai cerita rakyat tanggomo, Nani Tuloli tidak menemukan adanya aspek tema yang dikemukakan oleh Lord, yaitu kelompok ide yang dipakai secara tetap dalam menceritakan suatu cerita dalam gaya formulaik. Dalam tradisi lisan tanggomo, yang diutamakan adalah rangkaian adegan yang berkesinambungan sehingga membentuk suatu skema tertentu. Dalam penelitiannya mengenai tradisi lisan masyarakat Papua, Wigaty (2008) menemukan pelantunan helaihili dan ehabla yang dilantunkan secara spontan, sebagaimana ditemukan oleh Lord dalam nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia. Pelantun juga hanya menyiapkan tema dan plot yang akan dielaborasi di tempat pelantunan, tanpa ada catatan atau latar belakang hafalan.
11
Pelantun membekali diri dengan kata/frasa, baik yang diciptakan sendiri maupun yang disiapkan adat (ready-made phrase) untuk membangun baris-baris lantunannya. Dari segi struktur, komposisi, Wigati (2008: 543-544) mengatakan bahwa helaehili dan ehabla mengekpresikan tema yang disusun dalam beberapa bait yang dibangun oleh repetisi dan paralelisme dalam bentuk sinonim, kata majemuk, reduplikasi, dan kata/frasa lain yang mempunyai kesejajaran makna. Lantunan helaehili dan ehabla mempunyai struktur yang berbeda dari struktur Lantunan Yugoslavia yang diteliti
Lord (1981) dan bini nyanyian rakyat
masyarakat pulau Roti yang diteliti Fox (1986). Selain itu, beberapa penelitian mengenai tradisi lisan juga pernah dilakukan oleh Mattulada dkk. (1990). Dalam bukunya Sawerigading Folklore Sulawesi, Mattulada melukiskan tentang persebaran cerita rakyat Sawerigading di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam tulisan tersebut, Mattulada mefokuskan kajiannya, pada tradisi lisan Sawerigading sebagai sumber dalam penulisan
sejarah.
Sedangkan
James
Danandjaja
(199415),
mencoba
menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan dengan folklore, sehingga buku ini merupakan buku yang memiliki sumbangsih dalam pembicaraan folklore secara teoritis dalam bahasa Indonesia. Murti Bunanta (199816), kemudian melihat motif-motif dalam cerita Bawang Putih dan Bawang Merah. Dari analisis tersebut, ditemukan bahwa terdapat motif-motif yang berbeda pada setiap daerah persebaran cerita ini. Selanjutnya, tulisan yang berhubungan dengan kesenian masyarakat Madura pernah ditulis oleh Helene Bouvier (200217). Dalam tulisan tersebut, Helene Bouvier mengemukakan bahwa Lebur merupakan kesenian masyarakat Madura yang
memberikan
fungsi
dalam
kehidupan
masyarakat
Madura,
yaitu
meningkatkan solidaritas, ruang bersosialisasi, ruang mendapatkan prestise bagi masyarakat tertentu, serta ruang untuk memperluas jaringan. Di sisi yang lain,
15
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Dalam tulisnnya Bunanta menulis tentang problematika penulisan cerita rakyat untuk anak sekolah di Indonesia. 17 Menulis tentang Lebur! Seni musik dan pertunjukkan dalam masyarakat Madura, di dalam buku ini, Helene Bouvier menyajikan tentang perkembangan seni musik dan pertunjukan masyarakat Madura, khususnya masyarakat bagian timur pulau Madura. 16
12
Johanes Jacobus Bas (199018), menulis tentang Hikayat Banjar dan mencoba membanding-bandingkan dengan beberapa cerita di daerah lain. Sehingga Tulisan ini merupakan upaya untuk pemetaan motif cerita yang ada di Nusantara. Beberapa tulisan mengenai jemblung sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli tradisi lisan, tetapi tradisi lisan jemblung masyarakat Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen sampai saat ini, belum memiliki kajian yang khususnya dari aspek kelisanan sebagaimana yang dilakukan oleh Lord di dalam tradisi lisan masyarakat Yogoslavia. Oleh karena itu, tulisan ini dilakukan untuk menjelaskan aspek kelisanan jemblung yang meliputi formula dan formulaic, performance, komposisi skematik, serta audiens jemblung di dalam masyarakat pendukungnya. 1.6 Kerangka Teori Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai beberapa teori dan konsep yang akan digunakan sebagai kerangka acuan dalam memahami aspek kelisanan jemblung dalam yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Teori dan konsep dasar yang digunakan dalam kajian ini dibatasi pada teori dan konsep yang relevan dengan objek kajian. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada teori dan konsep dari sastra (sastra lisan), melainkan juga didasari oleh pertimbangan bahwa kajian ini tidak hanya terfokus pada teks atau lor saja, tetapi juga pada folk, sebagaimana model penelitian folklor modern yang cenderung memanfaatkan ilmu interdisipliner (Danandjaja, 1984: 5-6). Dengan demikian, konsep teoritis yang dijadikan referensi merupakan teori dan konsep kelisanan jemblung yang meliputi: konsep performansi, formula dan formulaik, dan konsep komposisi. Melalui pemaparan beberapa konsep itu diharapkan dapat membantu dalam menganalisis pemecahan masalah penelitian ini. 1.6.1 Konsep Performansi Berbicara mengenai tradisi lisan, maka tidak akan terlepas dari konteks pementasan atau performansinya. Sehubungan dengan itu, selain berbicara
18
Hikayat Banjar, merupakan kumpulan sastra lisan Banjar yang dikumpulkan oleh Johannes Jacobus Bas yang kemudian diterjemahkan oleh Siti Hawah Salleh.
13
tentang formula sebagai ciri utama kelisanan, Lord19 juga menekankan aspekaspek kelisanan puisi Yugoslavia berupa komposisi, performansi, dan transmisi. Menurut Lord20, bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi (pertujukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan. Lord mengatakan bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di dalam performansi (1981: 13). Selanjutnya, ia menjelaskan ada tiga tahap dalam proses komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar. Selanjutnya
Lord mengatakan
bahwa
proses komposisi tersebut
dilanjutkan dengan proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama. Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja, sehingga dalam performansi terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan. Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Pada bukunya The Singer of Tales (1981), Lord tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan21, dengan berpijak pada paparan Lord, ia mendeskripsikan 22
eksplisit ketiga konsep tersebut. Menurut Finnengan
secara
komposisi dimaksudkan
sebagai suatu cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas. Sehubungan dengan itu, Saputra (2002: 32) mengatakan bahwa komposisi adalah proses penciptaan sastra lisan yang terkait dengan konteks model karya yang bersangkutan, baik menyangkut proses dimulainya penciptaan maupun pada saat di pertunjukan. Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut, kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini 19
Albert B. Lord, The Singer... Ibid., hlm. 13-29 21 Ruth Finnengan, Oral Tradition and the Verbal Art (London: Champan and Hall, 1992. 22 Ibid., hlm. 117-121. 20
14
menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer. Tetapi apa yang terpenting dari hasil analisis Nagy (2001: 3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy, sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji komposisi tradisi lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3) composition-in-performance, (4) diffusion, (5) theme, (6) formula, (7) economy (thrift),(8) tradition vs innovation, (9) unity and organization, and (10) author and texs. Pendekatan sinkronis dan diagronis (syncrony vs diachrony) diperlukan untuk melihat perkembangan dan variasi satu tradisi (tradition vs innovation). Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork) kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4). Sedangkan pendekatan diagronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang. Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra,
ataupun ilmu kritik sastra. Karena sifat tradisi lisan dinamis dan
komposisi disajikan pada saat penyajian (composition-in-performansi) (Lord, 1981: 13), maka prinsip diagronis diperlukan untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi merupakan justru merupakan tradisi komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi antara penyampai (author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion), baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan (texs). Nagy menegaskan bahwa selama ini telah terjadi kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi lisan akan kehilangan keutuhan (unity and organization) dan integritasnya. Sehubungan dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang dikemukakan oleh Ruth Finnengan. Walaupun ia adalah seorang antropolog,
15
Finnengan juga memperlihatkan hasil kajian di bidang lain berupa seni pertunjukan dan tradisi lisan. Dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Contexs (1991), Finnengan mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah) dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya, dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsur khalayak atau penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi. Selanjutnya, Finnengan (1992: 91-111) menguraikan lebih luas bahwa ada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi, performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan. Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh perhatian pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu. Beberapa komponen yang berperan dalam
penyajian
adalah
penyaji
(performer),
audience,
situasi
dan
pengorganisasian penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993: 3). Dalam
buku
Oral
Tradition
and
Verbal
Art
(1992),
Finnengan
memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang
16
(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa (hlm. 98-100). Di samping itu, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Lebih lanjut, Finnegan23 mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu24. Hal yang sama juga dikemukan oleh Elizabeth Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3) budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama adalah berkaitan dengan konten atau isi dari tradisi lisan, dan kedua adalah berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato antara performer dengan pendengarnya. Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu masyarakat. Dan selanjutnya, performansi merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan kekayaan kajian di masa yang akan depan. Selanjutnya, Finnegan mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Finnegan juga
23
Ibid., hlm. 91-92 Imran Tengku Abdullah, “Sastra Lisan”, materi penyerapan Ilmu kesusastraan dan Penyerapannya, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999). 24
17
mengatakan bahwa dalam performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material). Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan audience. Analisis mengenai aspek-aspek tersebut dapat dianalisis melalui prespektif sinkronis dan diagronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan yang muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri. 1.6.2 Konsep Formula Konsep formula dan formulaic merupakan teori yang pertama kali dipopulerkan oleh Parry dan Lord. Dalam perkembangannya, teori ini kemudian dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Disebutkan sebagai teori formula ParryLord karena ide dasar teori tersebut muncul dari Parry kemudian disempurnakan oleh muridnya Lord. Pemikiran mengenai formula, bermula dari temuan Milman Parry mengenai komposisi yang ada dalam tradisi lisan yang dinyanyikan oleh Homer. Ia menemukan bahwa komposisi puisi-puisi Yunani Kuno yang ada dalam Illiad dan Odissey yang dinyanyikan oleh Homer merupakan suatu yang istimewa. Parry kemudian mempertanyakan siapa sesungguhnya Homer yang mampu menyusun komposisi yang begitu indah dan panjang, serta bagaimana ia menyusun komposisi tersebut, pada hal Homer tidak mengenal tulisan. Rasa penasaran ini kemudian membawa Parry pada sebuah ketetapan bahwa karya Illiad dan Odissey merupakan hasil kreasi kolektif dari sejumlah generasi penyanyi yang bekerja tidak secara individual, namun dalam tradisi puitik, (Foley, 1986: 3-6). Selanjutnya, sebagai implikasi dari hasil penelitian Milman Parry tersebut, Foley dan Albert B. Lord melakukan penelitian bersama di beberapa wilayah Yugoslawia.
Mereka
merekam
dan
mewawancarai
sejumlah
‘penyanyi
tradisional’ (guslar). Hasil penelitian itu menghasilkan maha karya yang berjudul Milman Parry Collection of Oral Literature di Harvard University. Dalam buku itu, terdapat sejumlah buku yang sudah diedit, diterjemahkan dan dipublikasikan dalam seri Serbo-Croatian Heroic Songs. Di antara hasil editan tersebut adalah
18
The Wendding of Smailogic Meho, teks yang memiliki panjang 13.000 larik tersebut memiliki struktur yang sama dengan kesejajaran (paralelisme) dalam Odissey-nya Homer. Dalam kronologi perjalanan puisi Homer, puisi ini telah dibicarakan sejak 1600 sebelum Masehi hingga tahun 1990-an. Dalam tulisannya, Parry memperlihatkan kajiannya dengan memberikan gambaran stilistika pada puisipuisi Homer. Menurut Parry, aspek stilistika pada puisi-puisi Homer berasal dari teknik-teknik penciptaan sajak dan syair secara lisan yang diimprovisasi pada setiap penyajian. Kajiannya ini dianggap paling komprehensif dan berpengaruh dalam kajian-kajian komposisi tradisi lisan (Hopkins, 1999: xi). Kemudian pada buku The Singer of Tales (1960), Lord menghasilkan karya perbandingan yang monumental dengan mengaplikasikan pengetahuan baru yang diperolehnya dari bahan-bahan puisi Yugoslavia. Dari hasil pengaplikasian ilmu pengetahuan baru tersebut, Lord kemudian menemukan satu konsep yang sangat mendasar yang banyak memancing minat para peneliti sastra lisan di seluruh dunia. Salah satu konsep mendasar yang ditemukan Lord tersebut adalah lahirnya konsep formula. Menurut Lord (1981: 59) formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Sementara itu, ekspresi formulaik adalah larik atau paro larik yang disusun atas dasar pola formula. Menurut Ong, (1989: 35) penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu mengingat kembali dengan mudah, cepat dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan. Sehubungan dengan aspek formula tersebut, Teeuw (1988: 4), mengatakan bahwa beberapa tradisi lisan, seperti pantun Sunda dan puisi kentrung Jawa, dari segi formula dan formulaik memiliki kemiripan dengan puisi yang diteliti oleh Lord; di samping formula yang kuat, juga adanya persediaan streotip yang dapat dirakit menjadi pantun (Kartini, 1984) atau kentrung (Hutomo, 1993) sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya beberapa kajian tradisi lisan yang menggunakan teori formula Lord adalah sijobang25, bini26 dan tanggomo27, serta
25
Nigel Philips. 1981. Sijobang: Sung Narative Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridge University Press.
19
sabuk mangir dan jaran goyang28. Di samping itu, dalam membahas Pidato Kenegaraan 1988, Teeuw29 juga menggunakan teori formula. Dari beberapa kajian tersebut, tidak semua konsep teori dasar formula Lord sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga penyesuain-penyesuaian atau “adaptasi” dengan konteks tradisi masing-masing dilakukan seseuai dengan objek di lapangan. Misalnya, pada kasus tanggomo, walaupun Nani Tuloli secara umum
menerapkan teori formula Lord dalam
kajiannya,
tetapi dalam
kesimpulannya dapat dilihat bahwa secara khusus ada perbedaan. Perbedaan tersebut, terjadi karena dalam tanggono tidak ditemukan sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap pada suku atau kata tertentu. Ini disebabkan tanggomo merupakan tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang berbentuk cerita rakyat, dan akan berbeda dengan nyanyian masyarakat Yogoslavia yang diteliti oleh Albert B. Lord. Hal senada juga diungkapkan oleh Hutomo dalam penelitian kentrung di Tuban. Menurut Hutomo, teori formula Lord tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada tradisi lisan kentrung, sehingga dalam aplikasinya ia menyebut konsep ini dengan istilah “semacam formula”. Sweeney30 mengatakan bahwa tidak semua kesimpulan Lord yang berlaku di Yugoslavia dapat diterapkan sepenuhnya di dalam komposisi tradisi Melayu. Teori formula yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori formula Lord, sebatas yang sesuai dengan karakteristik jemblung. Penyesuaianpenyesuaian teori Lord ini, dapat saja terjadi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Tuloli terhadap tanggomo yang berorientasi ke arah sistem formulaik sebagaimana yang dikemukakan Niles31 ketika meneliti sastra lisan Beowulf. Formulaik yang dimaksud adalah sekelompok larik yang mengikuti polapola dasar ritme (irama) dan sintaksis yang sama dan mempunyai sekurangkurangnya satu unsur semantik utama yang sama. Selain itu, konsep formula dalam kajian ini juga akan berorientasi ke arah formula dan ekspresi formulaik 26
James J. Fox. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti (Seri ILDEP). Jakarta: Jambatan. 27 Tuloli, Nani. 1991. Salah Satu Ragam Lisan Gorontalo. Jakarta: Balai Pustaka. 28 Saputra, Heru, S.P.. 2007. Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi. Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara. 29 Teew, A. 1988. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. 30 Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay Word, (Berkeley-Los AngelesLondon: University of California Press, 1987), hlm. 68. 31 Nani Tuloli, Tonggomo Salah: …, hlm. 338.
20
sebagaimana kajian Sweeney terhadap data “Lagu si Hitam Manis” dan data elektronik “Joger si Hitam Manis”. Dalam analisis itu, Sweeney menyebutkan bahwa formula adalah larik dan paro larik yang digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi formulaik adalah ungkapan yang dibentuk
pola irama dan sintaksis yang sama serta mengandung sekurang-
kurangnya, satu kata yang sama, dalam bentuk perulangan maupun sinonim. 1.6.3 Konsep Komposisi Skematik Amin Sweeney dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan penelitian sastra lisan di Nusantara. Salah satu konsep yang selalu dikemukakan dalam setiap tulisannya adalah konsep komposisi skematik (schematic composition). Pada dasarnya, Amin Sweeney mendukung konsep formula dan formulaic yang dikemukakan oleh Lord. Menurutnya, khusus sastra lisan Melayu, analisis formula merupakan satu bentuk analisis yang cukup sesuai dengan karakteristik sastra lisan Melayu. Tetapi konsep tersebut tidak cukup memadai karena sastra Melayu memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Pendongeng
(penutur;
pencerita)
lisan
ataupun
tulisan
kedua-duanya
menggunakan cakupan schemata yang berbeda untuk mengatasi aspek-aspek komposisi yang bervariasi mulai dari makna intrinsik sampai ke wacana sebagai suatu keutuhan (Sweeney, 1987: 37-41). Dalam masyarakat lisan, gambaran di atas dianggap cukup kritis bagi pengawetan dan transmisi pengetahuan. Dalam budaya lisan, potongan skematis berlangsung dalam lempengan yang lebih besar dan bentuknya mungkin lebih formulaic dan stereotype untuk mefasilitasi memorisasi. Jadi penulis dan pencerita merupakan produk masyarakat yang diikat oleh norma-norma dan nilainilai serta dengan medium dan teknik artistic mereka sendiri (Sweeney, 1987: 1718). Dalam buku Authors and Audience in Traditional Malay Literature (1980: 4153), Sweeney menggabungkan konsep 31 fungsi Vladimir Propp dengan formula Lord
yang diaplikasikannya pada tradisi penceritaan wayang kulit Cerita
Maharaja Rana dan Cerita Panji. Dalam dua cerita ini, Sweeney melihat bagaimana motif dan fungsi bekerja sama secara formulaik yang pada akhirnya membentuk komposisi skematik melalui dua cara penceritaan yaitu lisan dan tulisan. Dari hasil penelitian ini, Sweeney menarik kesimpulan bahwa struktur sebuah
pertunjukkan
lisan
cenderung
longgar,
larik-larik
yang
tidak
21
direncanakan, dan pencerita tidak lagi menyadari sekuens cerita dalam lariklariknya, sedangkan komposisi skematik dalam bentuk tulis tetap menggunakan pola-pola tradisi skematik yang ada dalam penyajian lisan yang disebutnya sebagai komposisi lisan dalam tulisan. Konsep skematik yang akan dijadikan acuan dalam kajian ini adalah konsep skematik Sweeney. Konsep skematik sebagai perluasan dari kajian formula dapat menentukan bagaimana bentuk pola teks jemblung beserta unsurunsur pembentuknya yang didasarkan pada sekuens tema (theme sequences) seperti repertisi formula dan bahasa yang digunakan dalam jemblung yang meliputi diksi, bahasa figurative, dan dialek. Pencarian seperti ini sangat berguna untuk menemukan pola sebuah sajian tradisi lisan setiap kali disajikan sesuai dengan fungsi dan tujuan penyajian. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Penentuan Lokasi dan Informan Penelitian Mengingat luasnya penggunaan atau persebaran tradisi lisan jemblung dalam Jawa khususnya masyarakat Kebumen, maka data dalam penelitian ini adalah tradisi jemblung yang tersebar dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Di samping itu, banyaknya jenis performansi jemblung dalam masyarakat Kebumen maka penelitian ini akan difokuskan aspek kelisanan jemblung yaitu pada (1) performansi, (2) formula dan (3) komposisi skematik tradisi lisan jemblung yang ditampilkan di desa Karangsari. Lokasi pengambilan data dan penentuan informan dilakukan sebagai berikut. 1. Penentuan Lokasi Penelitian Mengingat luasnya daerah persebaran jemblung dalam yang melingkupi hampir seluruh masyarakat Jawa, maka perlu adanya penentuan lokasi penelitian. Dengan demikian, lokasi penelitian ini adalah desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Alasan penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan budaya, letak geografis yang diharapkan dapat merepresentasikan aspek kelisanan tradisi lisan jemblung yang ada dalam masyarakat desa Karangsari
22
kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Masyarakat desa Karangsari adalah wilayah Banyumas yang sudah jauh dari pengaruh pusat budaya Jawa (kraton) dan pengaruh budaya Sunda di wilayah barat. Dengan demikian, pemilihan lokasi penelitian ini juga dilakukan guna memahami perkambangan budaya di wilayah ini. Di samping itu, pemilihan desa Karangsari juga di dasarkan karena desa ini telah memiliki kelompok kesenian yang dilengkapi dengan radio swasta sebagai media penyiaran tradisi lisan jemblung ke dalam masyarakat di sekitarnya. Sehingga dapat dilihat bagaimana tradisi lisan dapat memanfaatkan teknologi dalam rangka mempertahankan diri di tengah-tengah serbuan berbagai media hiburan modern. 2. Penentuan Informan Informan yang ada dalam penelitian ini adalah para dalang jemblung yang terdiri dari Mas Bambang, Mas Salam, Wasimin dan Ki Joker sebagai dalang utama. Di samping itu, Informan yang digunakan dalam penelitian ini, ada penonton dan tokoh masyarakat desa Karangsari. Adapun kriteria orang yang akan dijadikan informan yang ada dalam penelitian ini adalah a. Fasih berbahasa Jawa b. Tokoh masyarakat yang memahami budaya dan tradisi masyarakat Banyumasan khususnya tradisi dan budaya masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. c. Mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya melalui tradisi lisan jemblung. d. Penduduk asli masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen yang memahami tentang masalah kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa Karangsari. e. Terlibat dalam berbagai performansi jemblung. 1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian pustaka dan lapangan. Data pustaka dikumpulkan terutama dalam melakukan kajian pustaka, sehingga ditemukan teori yang relevan dalam melakukan penelitian lapangan. Di samping itu, penelitian pustaka akan dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi yang
23
berhubungan dengan tradisi lisan jemblung. Dengan demikian, teknik yang digunakan dalam penelitian pustaka ini adalah mengunakan teknik baca, catat. Selanjutnya, data-data dari lapangan, dikumpulkan dengan melakukan pengamatan, observasi, wawancara, perekaman audio dan pengambilan gambar dalam bentuk film guna mendapatkan berbagai bentuk perfomansi tradisi lisan jemblung di lapangan. Selain itu, diperlukan juga keterlibatan langsung peneliti ke dalam konteks performansi jemblung, dan dalam kehidupan masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng. Untuk melakukan itu diperlukan pendekatan etnografi guna mendekati konteks pementasan tradisi lisan jemblung dalam konteksnya yang natural. Dimana pengamatan dan keterlibatan langsung perlu dilakukan
guna
mendapatkan
bagaimana
masyarakat
desa
Karangsari
kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah dalam konteksnya yang alamiah. Mengingat, keterbatasan peneliti dalam proses pengumpulan data di lapangan, maka beberapa alat yang dibutuhkan adalah, tape recorder, handy came, buku dan foto digital digunakan sehingga dapat menangkap berbagai aspek kelisanan jemblung. Penggunaan alat-alat ini diharapkan dapat membantu dalam pengumpulan data di lapangan, sehingga terkumpul data-data lapangan yang cukup. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa fenomena yang dihadapi dapat diamati berulang kali dan bahkan dapat diamati oleh peneliti berikutnya. Moleong (2002: 130) juga menambahkan bahwa penggunaan alat elektronik juga harus diikuti dengan pencatatan secara manual. Di samping itu, untuk mendapatkan data sosial yang berhubungan dengan tradisi lisan jemblung, peneliti melakukan diskusi dengan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pendidik dan beberapa informan lainnya yang mengetahui budaya dan adat istiadat masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yakni pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara holistis. Teknik pengumpulan data dengan pengamatan dilakukan dengan cara mengamati suatu fenomena secara lebih mendalam (Danandjaja, 1994: 10). Maka langkah-langkah pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan. 1. melakukan perjanjian dengan informan, kapan ia akan melantunkan tradisi lisan jemblung.
24
2. mendatangi informan untuk melakukan perekaman dalam konteks aslinya; 3. melakukan perekaman dan pencatatan 4. setelah dilakukan perekaman dilanjutkan dengan cerita mengenai latar belakang kehidupan penyanyi jemblung. Sedangkan data sosial masyarakat desa Karangsari dikumpulkan dengan
cara
pengamatan
dan
wawancara
yang
dilakukan
dengan
mendatangi untuk mengamati dan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui budaya dan adat istiadat masyarakat desa Karangsari. 1.7.3
Teknik Analisis Data Berdasarkan penentuan lokasi penelitian yang telah disebutkan di atas,
maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah bentuk performansi tradisi lisan jemblung yang dikumpulkan dari masyarakat desa Karangsari tersebut. Pengambilan satu teks jemblung sebagai data dalam penelitian ini dilakukan di desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah diharapkan dapat akan mampu merepresentasikan tradisi lisan jemblung yang khas dalam masyarakat desa Karangsari secara umum. Untuk menganalisis data penelitian ini dibutuhkan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, data dalam penelitian ini akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Transkripsi data penelitian dari alat rekorder maupun vidio recorder ke dalam bentuk tulisan. Proses transkripsi ini dilakukan setelah selesai perekaman sehingga apa yang ada dalam rekaman masih dapat diingat konteksnya dengan jelas. 2. Selanjutnya, setelah data di transkripsi, data penelitian ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 3. Setelah
itu,
data
dalam
penelitian
ini
kemudian
diklasifikasikan
berdasarkan kebutuhan analisis penelitian. Untuk itu, analisis yang digunakan dalam pengolahan data penelitian ini akan dilakukan dengan dua pendekatan yaitu, pendekatan structural untuk menganalisis aspek formula dan formulaic tradisi lisan teks jemblung. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis formula dan komposisi skematik yang
25
digunakan oleh Albert Bates Lord. Analisis dengan menggunakan pendekatan antropologis digunakan untuk menganalisis aspek kelisanan jemblung berupa performansi, komposisi skematik tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
26
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARANGSARI Masyarakat desa Karangsari merupakan bagian dari masyarakat Kebumen Jawa Tengah. Berdasarkan wilayah kepatihan, masyarakat desa Karangsari merupakan wilayah kepatihan Kebumen di perbatasan Yogyakarta dan Banyumas. Dengan posisi geografis seperti itu, maka masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh dua budaya yaitu budaya Jawa dan budaya Banyumas. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen menjadi menarik ketika melihat aspek budaya karena dipengaruhi oleh karton Yogyakarta di timur dan Banyumas di barat. Menjadi daerah bayang-bayang yang secara kultural akan dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada di sekitarnya. Dalam konteks Kebumen, desa Karangsari merupakan pusat-pusat pertanian yang menjadi satelit kota Kebumen. Jaraknya yang hanya sekitar sembilan kilo meter dari pusat kota Kebumen, memungkinkan masyarakat desa Karangsari menjadi masyarakat yang khas, dimana kehidupan kota masuk dalam kebudayaan mereka, di satu sisi suasana desa masih menyertai kehidupan mereka yang merupakan bagian irisan kebudayaan yang telah lama berpengaruh di daerah ini. Oleh karena ini, penting untuk dijelaskan mengenai gambaran umum
tentang masyarakat
desa
Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen tersebut. 2.1 Geografis Desa Karangsari Secara administratif, desa Karangsari terletak di Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen. Kabupaten Kebumen merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Kebumen sekitar 128.111,50 hektar yang terbagi dalam 26 kecamatan, 449 desa dan 11 kelurahan. Luas wilayah darat 128.111,50 hektar atau 1.281,115 km2 dan wilayah laut 6.867 km2. Secara Geografis kabupaten Kebumen terletak diantara 109,220–109,500 bujur Timur dan
27
7,270–7,500 lintang Selatan. Kabupaten Kebumen dalam konteks regional merupakan simpul penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Barat dan memanjang di pulau Jawa bagian Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Kebumen adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
:
Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo,
b. Sebelah Timur
:
Kabupaten Purworejo,
c. Sebelah Selatan :
Samudera Hindia,
d. Sebelah Barat
Kabupaten Banyumas dan Cilacap.
:
Sumber: Kebumen dalam Angka 2003 Dengan demikian, kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten yang terletak di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dilihat dari curah hujan yang ada di kabupaten Kebumen, maka pada tahun 2010 curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kebumen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tercatat curah hujan selama tahun 2010 sebesar 4.100,21 mm lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 2,127,00 mm dan hari hujan sebanyak 172 hari lebih sering dari tahun sebelumnya sebanyak 107 hari. Suhu terendah yang terpantau di stasiun pemantauan Wadaslintang pada bulan Juli dengan suhu sekitar 23,200C dan tertinggi 34,000C pada bulan Februari dan Maret. Rata-rata kelembaban udara setahun 84,08% dan rata-rata kecepatan angin 0,94 meter/detik. Data
28
pada stasiun pemantauan Sempor suhu terendah 21,160C terjadi pada bulan Desember dan tertinggi 33,500C pada bulan Februari. Rata-rata kelembaban udara setahun 85,83% dan rata-rata kecepatan angin 1,59 meter/detik (BPS. Kabupaten Kebumen, 2010). Selanjutnya, secara geografis desa Karangsari merupakan salah satu desa dari 21 desa yang ada di kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen, maka desa Karangsari berada di daerah sebelah utara kota Kebumen. Berada di daerah perladangan atau perbukitan di sebelah utara kota Kebumen. Posisi desa Karangsari berada di wilayah persawahan di selatan dan wilayah perbukitan di sebelah utara desa Karangsari. Posisi desa yang berada di pinggir persawahan ini akhirnya akan mempengaruhi cara kehidupan dan kebudayaan masyarakat desa Karangsari berbeda dengan desa-desa lain di sekitarnya. Dari informasi mengenai kabupaten Kebumen tersebut, desa Karangsari berada di wilayah perbukitan sekitar sembilan sampai sepuluh kilo meter timur laut kota Kebumen. Perjalanan ke desa Karangsari dapat ditempuh melalui jalur trans antara kota jalur selatan, perbukitan desa Karangsari dapat disaksikan dengan jelas dari jalan tersebut, atau dari rel kereta api jalur selatan. Dari arah Yogyakarta, melewati kota Kebumen, sekitar 3 sampai empat kilo meter, kalau lewat mobil, kita dapat menyaksikan perbukitan di arah utara, di sela-sela rumah penduduk yang banyak membuat batu bata, terlihatlah perbukitan yang jauh, bentangan sawah yang luas, di situlah desa Karangsari berada. Desa Karangsari berbatasan dengan desa-desa lain tetangganya yaitu : Sebelah utara berbatasan dengan Karangpula Sebelah selatan berbatasan dengan desa Pakuran Sebelah barat berbatasan dengan desa Tangeran Sebelah timur berbatasan dengan desa Karangpooh Berdasarkan
wilayah
tersebut,
bagian
selatan
dan
barat
berbatasan dengan wilayah persawahan, sedangkan timur dan utara berbatasan dengan daerah perbukitan yang digunakan oleh masyarakat sebagai daerah perladangaan dan perkebunan. Perjalanan untuk masuk ke arah desa Karangsari, sekitar satu kilometer, dari jalan raya Sruweng. Setelah belok kanan mobil akan menyusuri jalan di persawahan yang panjang. Tidak lama kemudian, beloklah mobil itu ke jalan pengerasan
29
yang sudah disemen oleh masyarakat, jalan yang membelah sawah. Kiri kanan jalan terlihat pemandangan sawah indah dan menghijau mengihiasi pemandangan sore. Terlebih pada musim panen, tentunya menambah keindahan wilayah ini. Memasuki jalan itu, jangan pernah menghayalkan kalau di situ berpapasan dengan mobil, karena pasti tidak akan bisa, mengingat jalan terlalu sempit untuk dua mobil. Jangankan mobil, sepeda saja sangat sempit kalau sudah berpapasan dengan mobil. Untungnya perjalanan kami memasuki desa Karangsari tidak sempat berpapasan dengan mobil. Dari dalam mobil, kami sibuk menikmati pemandangan bentangan sawah yang luas dan hijau, hingga akhirnya pintu gerbang yang bertuliskan “Selamat Datang” harus dilewati ketika mobil memasuki desa Karangsari. Dari pintu gerbang itu, mobil menyusuri selokan air ke kanan dan sekitar seratus meter, kami melewati kantor desa dan sekitar lima puluh meter lagi ada simpangan dan jembatan, di situlah rumah mas Bambang berada. Suasana desa yang tentunya sangat berbeda dengan kota Kebumen, dimana di sepanjang selokan di desa Karangsari, ada kerambah, dan di atas bantarannya tumbuh pohon Jati dan kelapa. Pemandangan ini membuat desa Karangsari terasa nyaman dan menambah suasana tentram di desa. Saat pertama kami dan tim menginjakkan kaki di desa Karangsari ini, salah satu ruas jalan di depan kantor desa masih di kerjakan, sehingga mobil tidak lewat di situ, dan harus lewat belakang. Kami harus melewati jalan belakang rumah mas Bambang, melewati jalan setapak yang melewati depan studio Radia Jaring Asmara (jaringan Aspirasi Masyarakat) yang disebelahnya ada gedung TK. Di bawah pohon-pohon kelapa, bambu dan jati, mobil menelusuri jalan setapak itu. Tiupan angin membuat ranting-ranting bambu berbunyi menambah keindahan desa Karangsari. Perkampungan yang tertata rapi dan tiap-tiap rumah masih memiliki halaman yang luas, mengingatkanku pada kampung halaman. Kesegaran udara, kehangatan sambutan orang-orang kampung, menjadikan
30
desa Karangsari lebih nyaman dan lebih tenang, karena tidak ada suara ombak laut Banda yang selalu menyertai masa kecilku32. Di sini, suasana gunung yang dingin, dan nyaman dapat nikmati. Namun, dua bulan kemudian, perjalanan itu rupanya memperlihatkan pemandangan yang lain, karena selokan tersebut telah kering, kerambah-kerambah, berganti dengan tanaman sayur-mayur.
Hampir
sepanjang selokan ditanami sayuran oleh masyarakat Karangsari. Bekas cangkokan dan bau tanah tertangkap oleh hidung, menambah suasana agrarian di desa ini. Sementara jalan-jalan rabat beton sudah selesai dibangun oleh masyarakat. Mereka mendapatkan bantuan dari program PNPM Mandiri Pedesaan. 2.2 Demografis Masyarakat desa Karangsari Sebagai desa yang tinggal di pinggir persawahan dan gunung atau perbukitan, masyarakat desa Karangsari bertetangga dengan desadesa lainnya di kecamatan Sruweng. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari tidak terlepas secara budaya dengan masyarakat lain di sekitarnya.
Karena
mereka
saling
berhubungan
dalam
berbagai
kehidupan masyarakat. Baik sebagai petani, maupun sebagai anggota sanggar seni Tradisional Cipto Roso yang dipimpin oleh Mas Bambang. Mereka selalu bersama dalam berbagai aktivitas kehidupan mereka. Anak-anak mereka sekolah di desa lain, mereka membeli dari desa lain. Radio mereka juga dinikmati oleh masyarakat di desa lain. Untuk itu, penjelasan mengenai data demografi masyarakat desa Karangsari akan dibatasi secara adminsitrasi, dan bukan dibatasi secara kultural, karena akan semakin rumit. Penduduk desa Karangsari memiliki nilai-nilai dan tradisi yang membentuk kebudayaan mereka. Nilai-nilai dan tradisi tersebut telah berkembang selama berabad-abad hingga sekarang. Tentunya nilai-nilai itu juga sudah memiliki berbagai kontak, mulai dari nilai-nilai yang dibawa oleh kejawen, hindu, Budha, Kristen dan Islam. Sehingga terbangunlah
32
Sumiman Udu kecil di kepulauan Tukang Besi Kabupaten Wakatobi, sangat baru dengan kondisi
pertanian seperti ini. Ini akan berbeda dengan Surip Suwandi yang kecil di Sleman Yogyakarta, kondisi ini tidak akan terlalu baru. Karena kondisi ini selalu ada dalam kesehariannya di masa kecil.
31
nilai-nilai yang membentuk kehidupan masyarakat desa Karangsari dewasa ini. Berdasarkan
data
mengenai
penduduk
masyarakat
desa
Karangsari ditemukan bahwa masyarakat Karangsari yang berusia 17 sampai dengan 56 tahuan berjumlah 660 orang atau 72,13% berada pada usia kerja. Sedangkan sisanya berada pada usia muda sebanyak 177 orang atau 19,34% dan usia tua 78 orang atau 8,52% telah berusia tua. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari berada pada usia kerja yang dominan. Di masa-masa yang akan datang masyarakat desa Karangsari juga memiliki angkatan kerja baru yang jauh lebih besar dibanding dengan masyarakat yang sudah tua. Untuk melihat data penduduk desa Karangsari dapat dilihat dalam tabel berikut.
32
Tabel 1 data penduduk desa Karangsari Jenis kelamin N o
1
2
3
4
5
6 7
L
P
J m h . K K
4 1 8
4 9 7
2 3 2
Umur
012 bu la n
1 ta hu n
2 ta hu n
3 ta hu n
4 ta hu n
5 ta hu n 6 ta
9
3 0 ta h u n
1 5
7
3 1 ta h u n
1 8
8
3 2 ta h u n
1 9
6
3 3 ta h u n
1 6
1 0
3 4 ta h u n
2 1
1 6
3 5 ta h u n
1 7
1 1
3 6
1 5
33
hu n
8
9
1 0
1 1
1 2
1 3
1 4
7 ta hu n
8 ta hu n
9 ta hu n
10 ta hu n
11 ta hu n
12 ta hu n
13 ta hu n
ta h u n
1 2
3 7 ta h u n
2 1
1 0
3 8 ta h u n
1 3
1 2
3 9 ta h u n
1 5
1 0
4 0 ta h u n
1 2
1 3
4 1 ta h u n
1 5
1 1
4 2 ta h u n
1 7
1 0
4 3 ta h u n
1 6
34
1 5
1 6
1 7
1 8
1 9
2 0
14 ta hu n
15 ta hu n
16 ta hu n
17 ta hu n
18 ta hu n
19 ta hu n
2 1
20 ta hu n
2 2
21 ta hu n
1 1
4 4 ta h u n
1 4
9
4 5 ta h u n
2 3
1 2
4 6 ta h u n
1 3
9
4 7 ta h u n
2 2
1 3
4 8 ta h u n
1 5
1 2
4 9 ta h u n
1 4
1 3
5 0 ta h u n
2 0
1 5
5 1 ta h
1 5
35
u n
2 5
5 2 ta h u n
1 9
2 1
5 3 ta h u n
2 1
1 4
5 4 ta h u n
1 3
2 0
5 5 ta h u n
1 5
1 3
5 6 ta h u n
1 7
2 1
5 7 ta h u n
2 1
2 9
28 ta hu n
1 6
5 8 ta h u n
2 5
3
29 ta
1
5 9
3
2 3
2 4
2 5
2 6
2 7
2 8
22 ta hu n
23 ta hu n
24 ta hu n
25 ta hu n
26 ta hu n
27 ta hu n
36
0
hu n
7
k e at a s
3 8 6
Jumlah
2
5 2 9
4 1 8
4 9 7
2 3 2
9 1 5
Total
Sumber: Profil Desa Karangsari setelah di olah Dari tabel 1 di atas, terlihat bahwa penduduk masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen terdiri dari 915 jiwa atau 1,49% dari total penduduk kecamatan Sruweng. Dari jumlah tersebut laki-laki berjumlah 418 orang atau 45,68% dan perempuan 497 orang atau
54,32%
dari total
penduduk
masyarakat
desa Karangsari.
Selanjutnya, penduduk desa Karangsari terdiri dari 232 kepala keluarga dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 96 per hektar tanah. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari masih tergolong memiliki tanah yang agak luas. Masih termasuk desa yang memiliki luas lahan yang cukup. Dari total wilayah desa Karangsari seluas 88 hektar, 44 hektar tanah digunakan untuk persawahan, dan 5 hektar untuk irigasi. Selebihnya adalah ladang sebesar 34,112 hektar. Penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk seluas 2,78 hektar. Sementara kas desa seluas 1,6 hektar. Perkantoran pemerintah desa seluas 0,498 hektar. Dengan demikian, penduduk desa Karangsari masih tergolong memiliki luas lahan yang belum terlalu padat. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa tidak semua masyarakat desa Karangsari memiliki tanah yang luas. Hal ini dapat dilihat dari data desa Karangsari yang memiliki tanah. Mengingat kepemilikan tanah akan berhubungan dengan ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis yang dapat mengganggu ketahanan pangan di dalam masyarakat desa Karangsari. Berikut ini akan disajikan
37
tabel kepemilikan tanah dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Tabel 2 kepemilikan tanah masyarakat Desa Kebumen N o.
Kepemilik an
LuasTanah
1
Tidak memiliki tanah
177 orang
2
Memiliki tanah dari 0,1 ha
121 orang
3
Memiliki tanah antara o,10,2 ha Memiliki tanah 0,21-0,3 ha
antara
4
Memiliki tanah 0,31-0,4 ha
antara
5
Memiliki tanah 0,41-0,5 ha
antara
6
Memiliki 0,51-0,6
antara
7 8
Memiliki tanah 0,61-0,7 ha
9
Memiliki tanah antara 0,71-0,8 ha
3 orang
1 0
Memiliki tanah 0,81-09 ha
antara 5 orang
1 1
Memiliki tanah 0,91-1,0 ha
antara
1 2
Memiliki tanah lebih dari 1,0 ha
tanah
ket
kurang
11 orang 9 orang 5 orang 8 orang 7 orang
antara 4 orang
2 orang 2 orang
Sumber: Profil desa Karangsari setelah diolah Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa kepemilikan tanah di dalam masyarakat desa Karangsari tidak semuanya memiliki aset tanah. Ada 177 orang atau 19,34% yang tidak memiliki tanah. Ini menunjukan bahwa mereka akan tergantung pada kerja sebagai buruh tani dan sebagai buruh kasar atau pekerjaan lainnya. Masyarakat desa Karangsari yang memiliki tanah terdiri dari 175 orang atau 19,12% yang memiliki tanah kurang dari satu hektar, sedangkan masyarakat yang memiliki tanah di atas satu hektar hanya 2 orang atau 0,21% dari total penduduk
38
masyarakat desa Karangsari. Ini menunjukan bahwa untuk meningkatkan ketahanan pangan terlebih untuk dapat hidup lebih layak dari hasil pertanian, diperlukan berbagai terobosan dalam meningkatkan hasil pertanian masyarakat melalui berbagai program pemberian pupuk. Di samping itu, diperlukan suatu kebijakan terutama dalam memaksimalkan fungsi tanah yang ada untuk meningkatkan penghasilan masyarakat desa Karangsari. Banyaknya masyarakat desa Karangsari yang tidak memiliki penguasaan atas tanah yang luas di wilayah mereka. Membuat mereka untuk
tergantung
pada
pekerjaan-pekerjaan
sebagai
buruh
atau
pekerjaan lainnya yang tidak membutuhkan lahan yang luas. Sehingga mereka mampu bertahan dalam berbagai dinamika ekonomi global dan regional, karena tanah merupakan satu-satunya aset masyarakat yang setiap saat tetap menjadi aset masyarakat yang penting, mengingat segala sesuatunya membutuhkan ruang. Setiap orang dalam melakukan aktivitas, tetap membutuhkan ruang untuk melakukannya. Dari data mengenai mata pencaharian, masyarakat desa Karangsari belum satupun yang bekerja sebagai peternak33, pada hal desa Karangsari memiliki peluang untuk bekerja sebagai peternak. Tentunya, ini tidak terlepas dari kinerja pemerintah desa dan kabupaten dalam menciptakan pengetahuan terhadap peluang peternakan di daerah ini. Persoalan tanah bagi masyarakat Karangsari akan berpengaruh pada mata pencaharian mereka. Bekerja sebagai buruh, petani atau pegawai negeri sipil akan berpengaruh terhadap kebutuhan mereka akan kesenian atau hiburan. Karena konteks sangat dipertimbangkan dalam pementasan tradisi lisan, termasuk dalam kelompok dalang yang mementaskan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari.
2.2.1 Pekerjaan 33
Profil Desa Karangsari 2010
39
Untuk
dapat
memahami
tradisi
lisan
jemblung
di
dalam
masyarakat desa Karangsari lebih dalam, kita mesti mengetahui tentang latar belakang kehidupan masyarakatnya. Latar belakang pekerjaan masyarakat desa Karangsari dapat mempengaruhi sistem kehidupan mereka termasuk dalam berkesenian. Untuk itu, profil pekerjaan masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen dapat ditampilkan dalam tabel 3 berikut. Tabel 3 Pekerjaan Masyarakat desa Karangsari No.
Pekerjaaan
Jumlah
Ket.
1
Petani
46 orang
2
Buruh tani
60 orang
3
Pegawai Negeri
12 orang
4
Pengrajin
1 orang
5
pedagang
12 orang
6
peternak
0
7
nelayan
0
8
Montir
3 orang
9
Sopir
2 orang
9
Dokter
0 1/2 atau 3 orang
10
Polri/TNI
11
pensiunan
12
Perangkat desa
13
Pembuat Bata
14
Tukang kayu
12 orang
15
Tukang Batu
11 orang
Jumlah
31 orang 8 orang 0
204 orang
Sumber: profil desa Karangsari setelah diolah Berdasarkan tabel 3 di atas, maka terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat desa Karangsari terdiri dari 46 orang atau 9,48% petani yang memiliki sawah, sedangkan yang lainnya menjadi buruh tani. Di dalam masyarakat desa Karangsari pekerja sebagai buruh tani sebanyak 60 orang atau 12,37%. Masyarakat desa karangsari yang
40
bekerja sebagai buruh atau berwiraswasta adalah 87 orang atau 09,50%. Hanya satu orang yang bekerja sebagai pedagang, 12 orang atau 2,47% sebagai pegawai negeri, TNI/POLRI 3 orang atau 0,61%, sedangkan pensiunan sebanyak 31 orang atau 6,39%, satu orang pengrajin dan 8 orang atau 0,87% bekerja sebagai perangkat desa. Dari komposisi pekerjaan masyarakat tersebut, para memain jemblung berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, misalnya Pak Salam seorang duda yang tinggal di gubuk dengan seorang cucu. Dalam kehidupan sehari-harinya, pak Salam bekerja sebagai buruh petani yang menggarap sawah, ia juga menjadi penyiar radio34. Di samping itu, pak Salam juga menanam sayur-mayur di halaman rumahnya. Ia juga memelihara lele di samping rumahnya. Hampir setiap tengah malam, Pak salam harus tetap menemani cucunya
untuk
jalan
keliling
kampung
yang
mengalami
sedikit
keterbelakangan mental. Bagi pak Salam, keberadaan kelompok jemblung dan beberapa tradisi lainnya, termasuk aktifitasnya di RJA, merupakan ruang dimana ia menemukan dirinya. Melepas kepenatan hidup dari beratnya menemani cucunya, kegundahan hatinya ketika memikirkan umurnya yang sudah mulai sepuh, sementara cucunya akan ditinggalkan sebatang karang, membuat air mata Pak Salam terjatuh. Ruang-ruang komunikasi kultural inilah yang kemudian mendorong Pak Salam untuk menghibur dirinya. “Bagaimanapun kepenatan hidup, tetap harus dicari jalan untuk menghiburnya” tuturnya suatu pagi. Dunia memang sangat retak, dan cintalah yang harus merajutnya. Kelompok kultural ini hadir sebagai wujud kebersamaan yang dilandasi oleh nilainilai dan tradisi mereka yang satu, menuju kemanunggalan dalam kehidupan masyarakat desa Karangsari yang mereka cintai. Sementara Ki Joger, di samping sebagai seorang petani, ia juga berprofesi sebagai pengrajin. Ia mengukir meja, yang kadang-kadang ia memanfaatkan Radio Jaring Asmara untuk mempromosikan hasil-hasil
34
Penyiar radio FM Jaring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat) dilakukan oleh masyarakat desa
Karangsari dengan sukarela. Mereka menyiar secara bergilir, susai dengan jadwal yang mereka buat dan sepakati bersama (Wawancara dengan Mas Bambang, tanggal 24 Juni 2011).
41
kerajinannya. Terutama ketika Ki Joger menjadi dalam jemblung yang disiarkan setiap malam jumat di radio FM Jaring Asmara. Kepentingan ekonominya, di samping kepentingan sosialnya, membuatnya untuk tetap hadir dalam kehidupan budaya atau berkesenian masyarakat desa Karangsari. Hari-hari yang semakin rumit, menyebabkan kebersamaan secara kultural, tradisi mementaskan tradisi lisan jemblung dan tradisi lainnya, membuat mereka untuk menjadi masyarakat desa Karangsari. Sehubungan dengan itu, untuk lebih memahami keberadaan masyarakat desa Karangsari Ruth Benedict (1982) mengatakan bahwa untuk memahami masyarakat, perlu kita memahami berbagai tradisi dan nilainilai yang menjadikan mereka untuk menjadi masyarakat itu. Dengan demikian, untuk memahami masyarakat desa Karangsari dibutuhkan pemahaman berbagai nilai-nilai dan tradisi yang membentuk mereka untuk menjadi masyarakat desa Karangsari. Dua orang tokoh lainnya adalah pak Wasimin dan kakaknya merupakan pensiunan Guru Sekolah Dasar. Kedua bersaudara yang mencintai kebudayaan Jawa terutama gamelan ini ternyata, mereka berdua lahir pada keluarga seniman. Ayah mereka adalah seorang seniman di zamannya. Mereka mewarisi sifat-sifat ayahnya yang menekuni kesenian, terutama gamelan Jawa. Di saat pensiun, mereka sangat suka dengan kesenian apapun terutama yang berhubungan dengan gamelan. Saat Wasimin melakonkan Ki Jaka Sangkrip bersama teman-temannya, kakaknya duduk dengan sangat serius memperhatikan dari tempat gamelan yang dipukulnya sejak tadi pagi. “Kami sejak kecil sudah mengikuti jejak ayah yang suka bermain gamelan, kami belajar dan mengukuti bakat beliu”, tutur Wasimin saat berdiskusi di ruang tamu Mas Bambang sesuai pementasan. Sementara Mas Bambang merupakan tokoh sentral yang hadir dalam komunitas ini. Beliau bekerja sebagai pegawai negeri di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah raga kabupaten Kebumen. Kehadirannya di
desa
Karangsari
kemudian,
perhatiannya
terhadap
kesenian
tradisional, membawanya untuk mendirikan sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso, yang saat ini sangat aktif dalam pelatihan dan pementasan
42
berbagai tradisi lisan yang ada di daerah ini. Dengan demikian, tradisi lisan jemblung merupakan ruang pertautan berbagai jenis pekerjaan. Kalau melihat latar belakang pekerjaan mereka, para dalang tradisi lisan jemblung berasal dari berbagai profesi, tetapi menyatu dalam satu tradisi lisan jemblung sebagai sebuah tim yang satu. Tentunya kemampuan ekonomi merekapun pasti sangat berbeda. Pak Salim yang tinggal dengan seorang cucu di gubuk, Mas Bambang pegawai negeri aktif, dan Wasimin yang penisunan, ditambah Ki Joger yang berprofesi sebagai petani dan pengrajin membuat mereka berbeda dalam pekerjaan mereka, tetapi tetap kompak dalam suatu tradisi lisan jemblung. Mereka memiliki suasana kebersamaan dalam kesenian, membuat mereka menyatu dalam satu kesatuan tim dan sekaligus menjadi masyarakat Jawa yang utuh dan saling menyayangi dalam suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan mereka. 2.2.2 Pendidikan Salah satu faktor yang mendukung konteks performansi tradisi lisan jemblung adalah faktor Sumber daya manusia (SDM). Melalui jalur pendidikan, pemerintah berupaya untuk menghasilkan dan meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Peningkatan Sumber Daya Manusia sekarang ini lebih diutamakan dengan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mengecap pendidikan yang seluas-luasnya, terutama pada kelompoK umur 7-24 tahun yaitu kelompok usia sekolah. Data
mengenai
informasi
tentang
pendidikan
yang
ditrampilkan
bersumber pada data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen, Kantor Kementrian Agama Kabupaten Kebumen dan Lembaga pendidikan Tinggi yang ada di kabupaten Kebumen.
Salah
satu
kelemahan
data
yang
diperoleh
dari
instansi/lembaga pendidikan untuk kepentingan analisis adalah masalah cakupan. Yang dimaksud strata disini adalah anak yang bersekolah di Lembaga Pendidikan yang ada di Wilayah Kabupaten Kebumen tanpa melihat domisili dari siswa tersebut. Sehingga masih ada kemungkinan bahwa siswa dari kabupaten lain bersekolah di wilayah Kabupaten atau sebaliknya.
43
Ketersediaan fasilitas pendidikan baik sarana maupun prasarana akan sangat menunjang dalam rneningkatkan mutu Pendidikan. Pada tahun ajaran 2009/2010 ditingkat Pra Sekolah jumlah sekolah bertambah sebanyak 33 unit atau mengalami peningkatan sebesar 5,2%, jumlah murid meningkat sebanyak 13,01% dari 18.819 pada tahun 2008 menjadi 20.402 pada tahun 2009, dan jumlah guru/pembimbirg menurun sebesar 14,48%. Ditingkat Sekolah Dasar (SD) terjadi penurunan jumlah sekolah yaitu sebesar 0,49%. Penurunan jumlah SD ini adalah akibat dari regrouping dari bebenapa SD Negeri. Sedangkan jumlah murid terjadi peningkatan sebesar 4,03% dan jumlah guru meningkat sebesar 13,34%. Ditingkat Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terjadi peningkatan jumlah sekolah sebesar 8,93%, demikian juga dengan jumlah murid dan guru mengalami peningkatan masing-masing sebesar 8,94% dan 11,86%. Untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), untuk jumlah sekolah menurun sebesar 9,68%. Hal ini terjadi karena jumlah SLTA Swasta berkurang dari 17 sekolah pada tahun 2008 menjadi 14 sekolah pada tahun 2009. Sedangkan jumlah murid turun sebesar 1,53% dan jumlah guru meningkat sebesar 4,60 % (PBS, Kabupaten Kebumen 2009). Data perguruan tinggi tahun 2009 jumlah perguruan tinggi masih tetap sama dengan tahun lalu, yakni berjumlah 3 perguruan tinggi diantaranya STAINU, STIE Putra Bangsa dan STIKES. Pada Tahun ajaran 2009/2010 jumlah mahasiswa di tiga perguruan tinggi tersebut beriumlah 2.908 orang atau naik sebesar 12,99%. Pada Tahun 2009 jumlah mahasiswa pada pendidikan setingkat akademi negeri yang dalam hal ini adalah PGSD Kebumen berjumlah 888 orang (31,39%), sedangkan mahasiswa pada pendidikan setingkat akademis swasta yaitu AMIK PGRI sebanyak 888 orang (20.65%). Sebagai bagian dari Kebumen, tingkat pendidikan masyarakat desa Karangsari memiliki tingkat pendidikan yang banyak didominasi oleh pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan SLTA hal ini sebagaimana disajikan dalam tabel 4 berikut. Tabel 4 pendidikan masyarakat Desa Karangsari
44
No .
Pendidikan
1
Belum Sekolah
95
2
Tamat SD/sederajat
19 3
3
Tamat SLTP/sederajat
29 6
4
Tamat SLTA/sederajat
22 7
5
D1
1
6
DII
2
7
DIII
1
8
S1
5
9
S2
2
10
S3
0
11
Pernah SD tapi tidak tamat
1 82 3
Jumlah Sumber: Profil desa Karangsari setelah diolah
Berdasarkan tabel di atas, maka jumlah siswa yang tidak tamat Sekolah Dasar adalah satu orang, sedangkan jumlah penduduk yang tamat SD sederajat 193 orang atau 23,45%. Masyarakat yang menamatkan Sekolah Lanjutan Pertama atau sederajat adalah 296 orang atau 35,96%. Selanjutnya masyarakat desa Karangsari yang mampu menamatkan Sekolah Lanjutan Atas atau sederajat berjumlah 227 orang atau 27,58%. Selebihnya adalah mereka yang mampu menamatkan pendidikannta di tingkat diploma dan universitas. Berdasarkan data yang ada, maka masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan Diploma I adalah satu orang atau 0,12%. Diploma II 2 orang 0,24% dan Diploma III sebanyak 1 orang atau 0,12%. Masyarakat desa Karangsari yang mampu menamatkan pendidikan pada jenjang Sarjana (S1) adalah sebanyak lima orang atau 0,60%. Pendidikan pascasarjana (S2) yang dicapai oleh 2 orang atau 0,24% dari total masyarakat desa Karangsari. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari
masih
tergolong
masih
sangat
tertinggal
dari
segi
45
pengembangan sumber daya manusia, jika dibandingkan dengan desadesa lain di kabupaten Kebumen. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk 915 jiwa, yang mampu menamatkan pendidikan sampai diploma, sarjana dan pascasarjana hanya berjumlah 11 orang atau 1,33%. Untuk itu, pembangunan sumber daya manusia di desa Karangsari harus menjadi fokus perhatian dan menjadi misi bersama dalam pembangunan desa ini di masa depan. Dari data mengenai penduduk masyarakat desa Karangsari kabupaten Kebumen tersebut, terlihat bahwa masyarakat Karangsari memiliki sumber daya manusia yang masih diperlu ditingkatkan di masa yang akan datang. Kondisi seperti akan berdampak pada produktifitas, maupun pada keterlibatan mereka dalam pembangunan, termasuk dalam pemanfaatan tradisi lisan dalam penciptaan ekonomi kreatif di dalam masyarakat. Pada hal di era ekonomi kreatif, semestinya tradisi lisan hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu aset masyarakat yang dapat bernilai ekonomis, tetapi ini harus dioleh oleh orang-orang kreatif dan produktif dan tentunya harus ditunjang oleh sumber daya manusia yang baik. Melihat dari kondisi tersebut, jika melihat fasilitas pendidikan di desa Karangsari, maka desa Karangsari hanya memiliki 1 buah taman kanak-kanak dengan jumlah murid 20 orang dan tiga orang guru. Selanjutnya, mereka juga memiliki 1 buah sekolah dasar dengan jumlah murid sebanyak 102 dengan diajar oleh 9 orang guru35. SLTP dan SLTA sederajat tidak ada di desa Karangsari, sehingga setelah tamat sekolah dasar, mereka harus keluar desa untuk melanjutkan pendidikan mereka ke luar desa. Ini ditunjang karena desa Karangsari tidak terlalu jauh dengan ibu kota kabupaten Kebumen. Dengan demikian, fasilitas sekolah dapat ditingkatkan di masa depan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya
manusia
guna
berpartisipasi
dalam
pembangunan
daerah
khususnya desa Karangsari, maka diperlukan keterlibatan masyarakat mulai dari proses perencanaan, sampai dengan proses evaluasi 35
Diambil dari data profil desa Karangsari tahun (2011: 12).
46
pembangunan di daerah ini. Untungnya masyarakat desa Karangsari masih memiliki orang-orang seperti mas Bambang
yang memiliki
kepedulian terhadap budaya dan sosialnya. Melalui sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso, dan Radion FM Jaring Asmara binaan Mas Bambang, memungkinkan terjadinya interaksi yang dapat menunjang pembangunan desa Karangsari termasuk dalam pembangunan
kebudayaan.
Melalui
pembangunan
Sanggar
tari,
masyarakat dapat hidup bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Mereka juga dapat bersantai setelah seharian mengalami kepenatan di ladang dan di sawah. Sedangkan melalui Radio FM Jaring Asmara, mas Bambang memiliki ruang untuk mendapatkan kritik, masukan dari masyarakat. Karena menurut Mas Bambang, sebelum ada Radia Komunitas ini, pernah membuat kotak surat, papan informasi yang berguna untuk menyaring keinginan masyarakat dalam pembangunan desa, tetapi selama itu mereka tidak pernah menyampaikan keluhan mereka. Tetapi setelah kami mendirikan Radio FM Jaring Asmara, maka kritikan dan masukkan dari masyarakat, serta impian mereka dapat disampaikan, terutama saat mereka mendengarkan berbagai acara di radio. Melalui radio, para dalang dan kepala desa, juga dapat memberikan jawaban atau mengajukan solusi penyelesaian masalah yang ada di dalam masyarakat. Sehingga keberadaan sumber daya manusia akan menunjang pembangunan suatu komunitas, termasuk di dalam pengembangan dan pelestarian tradisi lisan masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. 2.2.3
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat desa Karangsari merupakan masyarakat petani yang hidup dalam sinkretisasi nilai-nilai berbagai budaya Jawa (kejawen), Islam dan Keristen. Pandangan budaya mereka dikontruksi oleh berbagai nilainilai dan tradisi yang dibangun oleh dunia pewayangan maupun seni tradisional lainnya seperti tradisi lisan jemblung yang telah lama tumbuh dan dikonstruksi oleh budaya Jawa. Pembentukan nilai-nilai itu dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang, dan saat ini membentuk pola
47
hubungan sosial mereka, pola kehidupan mereka sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konteks sosial budaya masyarakat Karangsari akan memberikan kemudahan dalam memahami tradisi lisan jemblung sebagai salah satu kesenian yang ada di daerah ini. Telah di sebutkan di atas, bahwa masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen memiliki struktur sosial yang masih banyak tamatan SD sampai dengan SMA. Alumni pendidikan yang lebih tinggi seperti diploma dan perguruan tinggi jumlahnya hanya 11 orang dari hampir seribu orang di sana. Dengan demikian, terdapat perbandingan hampir seratus orang setiap alumni akademi dan perguruan tinggi di daerah ini. Ini menunjukan bahwa struktur sosial masyarakat desa Karangsari masih terdiri dari sumber daya manusia yang sangat lemah. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap proses demokrasi, partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, sampai pada proses evaluasi dalam pembangunan kebudayaan di dalam masyarakat. Akibatnya, kondisi ini akan berakibat pada hilangnya berbagai tradisi dan nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat. Di samping itu, masyarakat desa Karangsari juga mempunyai beberapa lembaga kemasyarakatan yang selama ini aktif di dalam masyarakat.
Beberapa
lembaga
itu
adalah
LKMD/LKMK
yang
beranggotakan 11 orang, PKK yang beranggotakan 22 orang di tambah 5 orang pengurus BPD. Beberapa pengurus kelembagaan yang pernah dilatih adalah sebanyak 6 orang dari KPD. Selain itu, masyarakat desa Karangsari juga terdiri dari 2 RW dan 6 RT. Di bidang pertanian, masyarakat desa Karangsari memiliki tiga kelompok tani, tetapi yang aktif sampai saat ini adalah tinggal 1 kelompok tani. Kelompok inilah kemudian menjadi sarana perencanaan, dan evaluasi berbagai kegiatan pertanian di daerah, terutama bagi anggota kelompok yang bergambung. Sistem sosial yang berbasis agraria di dalam masyarakat desa Karangsari memungkinkan, mereka untuk hidup dalam kesabaran, dan kegotongroyongan. Mereka akan menjadi lebih bersahabat, apalagi di dalam masyarakat desa Karangsari terdapat kelompok-kelompok seni dan tani. Ini berpeluang untuk mereka memiliki kesempatan untuk hidup
48
bersama, merencanakan, melakukan dan mengevaluasi kehidupan sosial mereka. Beberapa kegiatan sosial yang masih tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat desa Karangsari adalah kegiatan ronda. Mereka membuat jadwal kegiatan ini secara bergiliran. Di samping itu, masyarakat desa Karangsari juga gemar bantu-membantu terutama dalam berbagai prosesi dalam lingkaran kehidupan mereka. Mereka saling membantu dan bergotong-royong membantu tetangga mereka. Kondisi inilah kemudian yang mendorong masyarakat desa Karangsari dalam berkesenian, karena di samping berkesenian, aktif juga mereka dalam arisan-arisan yang membuat mereka saling berhubungan satu salam lainnya. Keberadaan radio komunitas yang ada di desa Karangsari telah memberikan sumbangsih yang besar dalam kehidupan sosial mereka. Dimana sebelum radio itu didirikan, partisipasi
masyarakat dalam
membangun sistem demokrasi sangat kurang. Menurut Mas Bambang, dulu pernah dibangun kotak surat untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, tetapi tidak efektif, lalu dibangun papan informasi, juga tidak efektif. Nanti setelah radio komunitas terbangun, baru masyarakat dapat memasukkan berbagai informasi melalui pesan singkat di telpon genggam ke studio radio. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek sosial budaya masyarakat desa Karangsari masih banyak dipengaruhi oleh budaya Banyumas. Selanjuntya masyarakat desa Karangsari sangat dipengaruhi oleh adanya radio komunitas mereka. Melalui radio komunitas itu, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangun di wilayah ini, mulai dari ronda, sampai dengan upaya pelestarian tradisi lisan yang dimotori oleh sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso. 2.2.4 Sistem Religi Kehidupan beragama yang harmonis sangat didambakan oleh suatu masyarakat dimanapun. Hal ini terlihat dari tempat-tempat peribadatan yang ada di sekitar warga seperti mesjid, gereja, dan pesantren-pesantren. Pada tahun 2009 jumlah sarana dan prasarana
49
peribadatan di Kabupaten Kebumen tercatat jumlah masjid sebanyak 1.304 buah, musholla sebanyak 3.652 buah, gereja sebanyak 60 buah, vihara sebanyak 8 buah dan klenteng sebanyak 2 buah. Banyaknya pondok pesantren di Kabupaten Kebumen pada tahun 2009 tercatat 143 buah dengan jumlah guru/ustadz sebanyak 1.240 orang dan 15.362 orang santri. Sementara itu pada tahun yang sama jumlah jemaah haji yang diberangkatkan pemerintah dari Kabupaten Kebumen pada tahun yang sama mencapai 883 orang jemaah atau menurun 15,82% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut 432 orang atau 48,92% adalah jemaah laki-laki dan 451 orang atau 51,07% adalah jemaah perempuan. Sebagai bagian dari masyarakat Kebumen, masyarakat desa Karangsari memiliki keyakinan beragama yang didominasi oleh agama Islam. Di desa Karangsari terdapat 1 buah mesjid dan 4 buah musholla. Dari 4 musholla yang ada, berdasarkan informasi dari masyarakat desa Karangsari, terdapat satu buah musholla yang rusak. Dari segi etnis, masyarakat desa Karangsari seratus persen adalah etnis Jawa. Tidak satupun yang berasal dari etnis lain. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4 kompsisi agama dan etnis masyarakat desa Karangsari No .
Agama
Etnis 91 0
Jawa
91 5
Kristen
5
China
0
3
Katholik
0
Sunda
0
4
Hindu
0
Padang
0
5
Budha
0
0
Jumlah
91 5
91 5
1
Islam
2
Sumber: Profil desa Karangsari setelah diolah Berdasarkan tabel 4 di atas, terlihat bahwa masyarakat desa Karangsari menganut agama Islam sebanyak 910 orang atau 99,45%.
50
Sedangkan agama Kristen hanya dianut oleh 5 orang atau 0,54%. Sedangkan dari segi etnis masyarakat desa Karangsari terdiri dari etnis Jawa. Ini tentunya berhubungan dengan kesenian mereka, terutama dalam yang ditampilkan dalam tradisi lisan jemblung yang di dalam lakonlakonnya selalu berhubungan dengan penyebaran Islam di daerah ini. Hal ini sebagaimana dilakonkan dalan lakon Ki Jaka Sangkrip dimana dalam performansinya mereka melakonkan kisah yang berisi tentang kisah perjalanan hidup Ki Jaka Sangkrip yang dekat dengan kehidupan Islam, walaupun dalam sesajiannya tetap menggambarkan adanya sinkretisasi kehidupan religi yang ada dalam masyarakat desa Karangsari. Dari jumlah tersebut, terlihat bahwa aspek keagaman di dalam masyarakat Kebumen sangat dominan dengan suasa islami yang tentunya juga sangat dipegaruhi oleh kehidupan masyarakat Jawa yang disebut kejawen. Ini sebenarnya dapat dilihat dalam beberapa lakon Ki Jaka Sangkrip yang dilakonkan dalam pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari. Mereka memiliki budaya yang sangat dekat dengan tradisi lisan mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Karangsari di samping memiliki dua agama yaitu Islam dan Kristen, juga masih tetap dipengaruhi oleh sistem kejawen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat desa Karangsari masih banyak dipegaruhi oleh sistem religi dan nilai-nilai kejawen sebagaimana terdapat di wilayah Jawa lainnya. Sistem religi ini kemudian dapat dilihat dari bentuk sesajian yang ada dalam pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari. Dimana ketiga sistem religi itu tampak dalam sistem sesajian yang ditampilkan dalam pementasan atau performansi tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari. 2.2.5 Kesehatan Salah satu hal penting yang tidak dapat dilupakan dalam rangka berusaha
untuk
memahami
masyarakat
desa
Karangsari
adalah
mengenai tingkat kesehatan mereka. Karena kesehatan merupakan aspek mendasar dalam manusia. Keberhasilan pembangunan kesehatan akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
51
Pembangunan kesehatan meliputi aspek kualitas, ketersediaan dan jangkauan, perlindungan dan pemberdayaan. Pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabititatif. Sejalan
dengan
hal
tersebut,
pembangunan
kesehatan
diselenggarakan melalui peningkatan upaya kesehatan baik dasar maupun rujukan. Upaya pemerintah dalam menyediakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit puskesmas, dan puskesmas pembantu. Terlihat sejumlah rumah sakit yang ada selama tahun 2009 sebanyak 11 buah, jumlah puskesmas sebanyak 35 buah, puskesmas pembantu sebanyak 73 buah. Data tenaga medis per kecamatan sampai saat ini data tersebut belum tersedia di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen (Kebumen dalam Angka 2009). Pada tahun 2010, telah ada beberapa pelayanan publik yang dilakukan oleh rumah sakit. Dokter merupakan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam dunia kesehatan. Dengan bantuan dokter maka banyak penyakit yang dapat diatasi. Menurut data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, pada tahun 2009 jumlah dokter (umum, spsialis, dan gigi) yang ada di Kabupaten Kebumen secara keseluruhan sebanyak 213 orang, sedangkan yang bertugas di puskesmas/puslu sebarryak 41 orang dokter umum dan 23 orang dokher gigi. Akses pelayanan kesehatan lainnya seperti ketersediaan obat diharapkan dapat menjangkau masyarakat yang antara lain tersedia apotik. Selama tahun 2009, sejumlah 5 toko obat telah berubah status menjadi apotik, sehingga jumlah apotik meningkat menjadi 44 buah. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang keberadaan fasilitas apotik dapat menjangkau kecamatan-kecamatan lain di selatan dan utara jalur utama tersebut. Masyarakat di desa Karangsari sendiri, sejauh ini hanya memiliki satu buah polindes dan dua buah posyandu. Mereka juga hanya memiliki
52
satu orang bidan desa36. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari sangat membutuhkan bantuan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, serta penambahan tenaga kesehatan, termasuk dalam menyediakan dukun terlatih, sehingga mereka dapat menikmati pelayanan kesehatan yang dapat lebih baik. Masyarakat desa Karangsari juga masih mengenal obat-obat tradisional yang tidak ternilai banyaknya. Melalui tradisi lisan jemblung misalnya, mereka diajari tentang manfaat daun waru yaitu untuk mengobati anak-anak mereka yang sakit panas. Dengan demikian, masyarakat desa Karangsari masih memiliki budaya pengobatan tradisional dimana dukun dan bidan kampung bekerjasama dalam membantu kelahiran atau lebih dikenal dengan dukun terlatih. Dengan demikian,
terlihat
bahwa
masyarakat
desa
Karangsari
memiliki
kemampuan dan ruang untuk memeriksakan kesehatan mereka, terlebih desa ini tidak terlalu jauh dari kota Kebumen. Dari
ketersediaan
air
minum,
masyarakat
Karangsari
menggunakan air pompa sebanyak 70 kepala keluarga atau 30,17%dari keseluruhan kepala keluarga yaitu 232 kepala keluarga. Yang memiliki sumur gali sebanyak 192 kepala keluarga atau 82,76%. Masyarakat Karangsari yang memiliki MCK adalah sebanyak 19 KK atau 8,19%. Dari jumlah tersebut, tentunya masih banyak yang belum menggunakan MCK, sehingga dapat dikategorikan bahwa masih rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Karangsari jika dilihat dari pemanfaatan MCK. Dengan demikian, ini akan mempengaruhi kualitas kesehatan mereka secara keseluruhan, maupun akan mempengaruhi lingkungan sekitar mereka. Berdasarkan data-data mengenai berbagai fasilitas kesehatan yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari tersebut, maka pada prinsipnya telah ada upaya peningkatan kesehatan yang dapat dinikmati oleh masyarakat desa Karangsari. Di samping itu, beberapa bidan desa juga ditugaskan di desa Karangsari, sehingga dapat membantu
36
Berdasarkan data profil desa Karangsari tahun 2010, ditemukan bahwa terdapat satu orang yang
memiliki cacat mental. Di dalam pementasan tradisi lisan jemblung anak ini mampu memainkan beberapa nada yang dimainkan oleh para dalang.
53
pelayanan
kesehatan
masyarakat,
khususnya
dalam
pelayanan
kesehatan dasar. Di sisi yang lain, ketersediaan sumbar air minum, juga menjadi salah satu yang perlu diperhatikan dalam masyarakat desa Karangsari ini. 2.3 Tradisi Lisan Masyarakat Karangsari Berbicara mengenai tradisi lisan masyarakat Karangsari, maka tidak akan terlepas dari kebudayaan masyarakat Banyumas yang dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Sunda. Sebagai masyarakat tradisional yang tumbuh dalam keberlanjutan kebudayaan yang telah berabad-abad. Masyarakat Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen memiliki berbagai tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. Berbagai tradisi lisan tersebut telah menjadi milik kolektif mereka dan sekaligus menjadi rumah-rumah kebudayaan mereka yang mengatur berbagai sistem nilai dan tradisi yang pada akhirnya mempengaruhi sistem sosial mereka. Berbagai tradisi lisan tersebut, kemudian mengajarkan berbagai nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui tradisi lisan itulah, nilai-nilai budaya masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen tumbuh dan berkembang selama ini. Beberapa tradisi lisan yang ada dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen adalah (1) tradisi lisan jemblung, (2) tradisi lisan eblek atau Jathilan (3) tradisi lisan majopatan, (4) tradisi lisan panembrama dan (5) tradisi lisan Wayang kulit. Di samping itu, tradisi lisan yang lain di dalam masyarakat desa Karangsari juga adalah permainan rakyat, dan berbagai tradisi lisan lainnya, baik yang lisan, maupun setengah lisan. Di samping beberapa kesenian yang diidentifikasi di atas, berbagai tradisi yang berkembang di desa Karangsari juga masih terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi, dan juga perkembangan ekonomi masyarakat desa Karangsari dan masyarakat Kebumen secara umum. Perkembangan
ekonomi
mendorong
masuknya
berbagai
produk
teknologi, maka masyarakat desa Karangsari, telah memanfaatan media untuk pengembangan tradisi mereka. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatkan blog, radio dan media hand phone untuk pengembangan tradisi lisan mereka. Salah satu
54
conton pemanfaatan media modern dalam masyarakar desa Karangsari adalah pementasan kesenian yang tidak lagi dipentaskan secara tradisional (tatap muka) melainkan sudah didengarkan melalui radio komunitas yang bernama Radio FM Jaring Asmara yang dikelola oleh masyarakat Karangsari sendiri. Di dalam jadwal radio tersebut, beberapa tradisi lisan dijadwalkan untuk disiarkan setiap malamnya. Tradisi lisan jemblung misalnya akan disiarkan setiap malam Jumat oleh ki Joger atau pemain yang lainnya. Sehingga tradisi lisan jemblung bukan lagi ditonton langsung oleh penonton, sebagaimana di dalam masyarakat tradisional yang langsung menyaksikan tradisi lisan jemblung. Tetapi masyarakat desa Karangsari telah mendengarkan tradisi lisan jemblung melalui radio FM Jaring Asmara. Kehadiran Radio Jaring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat) yang ada di desa Karangsari telah memudahkan masyarakat yang sibuk untuk tetap menikmati berbagai tradisi lisan masyarakat desa Karangsari termasuk tradisi lisan jemblung. Kehadiran Radio FM Jaring Asmara juga telah menggeser fungsi social tradisi lisan jemblung dari model pertunjukan tradisional dimana pemain dan penonton berada dalam ruang dan tempat yang sama, menjadi pementasan yang dapat didengarkan dari berbagai tempat di sekitar desa Karangsari. 2.3.1 Jemblung Jemblung adalah sejenis drama tradisional seperti kethoprak. Permainan jemblung dimainkan beberapa orang. Ada yang dimainkan tiga orang, sampai empat orang. Tradisi lisan jemblung yang dipentaskan di Karangsari kecamatan Sruweng Kebumen dimainkan oleh empat orang, satu orang berperan sebagai dalang dan tiga orang berperan sebagai pemain. Sebagai seorang dalang dia berperan juga sebagai pelaku dalam pementasan jemblung tersebut. Pementasan jemblung diiringi dengan musik dengan menggunakan mulut misalnya sebagai pengendang, gong, kethoh kenong, sinden. Dengan demikian, dapat dikatakan bawa jemblung merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional dari daerah Banyumas dan Jawa pada umumnya. Biasanya dimainkan oleh empat orang pemain, dan pertunjukannya mengandalkan kemahiran bertutur. Mereka memainkan tradisi lisan ini dengan cara berkelompok dan duduk berhadapan dengan
55
penontonnya atau disiarkan secara langsung melalui radio komunitas mereka. Pertunjukan jemblung merupakan bentuk sosio drama yang mudah dicerna masyarakat luas. Pada prinsipnya pertunjukan ini dapat dipentaskan dimana saja di segala tempat, seperti di balai-balai rumah atau di panggung. Para pemain jemblung yang hanya melibatkan 4 (empat) orang seniman, dalam pementasannya tanpa properti artistik, sangat
dibutuhkan
kemahiran
dan
kekompakannya
di
dalam
menghidupkan suasana pertunjukan. Dalam pertunjukannya, pemain jemblung duduk di kursi menghadap sebuah meja yang berisi hidangan yang sekaligus menjadi properti pementasan dan sebagai santapan mereka saat pertunjukan berlangsung. Semua hidangan disimpan di atas tampah, kecuali wedang (minuman; kopi, teh, air putih) di simpan di luar tampah. Hidangan tersebut antara lain: jajan pasar yaitu aneka kue yang biasa dijual di pasar tradisional, kemudian ada buah pendem seperti jenis ubi-ubian yang sudah dimasak, pisang, nasi gurih, dan minuman; wedang teh, kopi, dan wedang bening (air putih). Dalam pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari menyajikan sebuah hidangan yang terdiri dari nasi tumpeng dan beberapa makanan di sekitarnya, baik minuman maupun makanan disimpan semua dalam tapis. Mereka menggunakan makanan itu sebagai bagian dari pementasan, bagian dari properti penting dalam pementasan itu, karena para dalang langsung menggunakan makanan itu ketika mereka membicarakan tentang makanan atau minuman. Mereka langsung memakan atau meminum minuman yang ada dalam sesajian tersebut. 2.3.2 Eblek atau Jathilan
Eblek merupakan salah satu tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat desa Karangsari. Sebagai tradisi lisan, eblek dimainkan dengan menggunakan kuda lumping (kuda kepang). Dalam masyarakat Karangsari mereka mengenal eblek sebagai media untuk mengingat pertempuran antara Arya Penangsang dengan Suta Wijaya. Terjadinya
56
peperangan karena Arya Penangsang mbalela dari kraton sedangkan Suta Wijaya menjaga keutuhan negara. Selain itu, ada versi lain misalnya Warok Ponoroga mengungkapkan kesaktian Warok. Warok mempunyai kekuatan yang sangat kuat tidak ada yang menandingi sehingga kerajaan berusaha semcari orang yang dapat mengalahkan Warok. Akhirnya Warok dapat dikalahkan dan masyarakat hidup aman tenteram dan damai.
Gambar: diambil dari dokumen Tim Kajian Tradisi Lisan UGM
Sebagai kesenian tradisional, eblek menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cépét. Dalam pertunjukkannya eblek diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain. Kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu
57
budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya, di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia. Jika dibandingkan dengan tradisi reok Ponorogo, maka Jaran Kepang atau eblek merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia. Sehingga kuda lumping dapat dikategorikan sebagai salah satu seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagian masyarakat juga percaya bahwa tradisi kuda lumping merupakan salah satu bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan. Seringkali dalam pertunjukan
tari
kuda
lumping,
juga
menampilkan
atraksi
yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini
58
merefleksikan
kekuatan
supranatural
yang
pada
zaman
dahulu
berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda. Pada malam pementasan tradisi lisan eblek atau kuda lumping di dalam masyarakat desa Karangsari menampilkan banyak pemain. Mereka adalah anak-anak muda desa yang tumbuh dan hidup bersama di desa itu. Pementasan tradisi kuda lumping, di lakukan dimalam hari di sebalah selatan desa. Mereka memainkannya di rumah seorang warga desa yang kebetulan memiliki halaman yang luas. Kesenian ini sangat disukai oleh warga masyarakat Karangsari hal ini sebagaimana dilihat dari antusias masyarakat dalam melihat pementasan ini. Menariknya, pementasan eblek di desa Karangsari dikelola secara modren, karena masyarakat dihibur dengan lantunan tembang Jawa yang dilantunkan seorang sinden. Diiringi dengan musik gamelan yang dikombinasi
dengan
orjen
tunggal
menjadikan
pementasan
ini
berlangsung secara profesional. Terlebih puncak dari permainan, ketika semua pemain mengalami trans, maka penonton dikejutkan oleh petasan yang bakar oleh sekelompok anak muda yang sejak awal sudah siap sedia di luar lapangan. Menonton eblek dalam masyarakat desa Karangsari hampir sama dengan menonton pementasan group musik Shela On7 salah satu group musik yang berasal dari kota Gudeg, Yogyakarta. Kondisi ini membuat masyarakat tertarik pada acara ini. Dan kami pikir ini adalah suatu pementasan dengan perencanaan yang matang. Di sinilah, peran Mas Bambang sebagai salah satu mesin penggerak kesenian tradisional di daerah ini. Ia tampil sebagai seorang inspirator dalam masyarakat desa Karangsari, terlebih ketika beliau mendampingi kakaknya sebagai kepala desa.
Kekuatan
seni
dan
kultural
inilah,
yang
pada
akhirnya
mengantarkan kakaknya terpilih menjadi kepala desa Karangsari. Kepercayaan publik ini kemudian yang membuat Mas Bambang mampu menggerakan masyarakat di berbagai bidang di desanya. Membangun kesenian, membangun wacana demokrasi, dan melalui kekompakan dalam pembangunan masyarakat desa Karangsari sehingga
59
mereka memiliki kekuatan untuk membangun desanya, termasuk menghidupkan kembali kesenian tradisionalnya. 2.3.3 Mocopatan Salah satu, kesenian yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari sari adalah mocopatan. Mojopatan atau macapat adalah seni membaca teks cerita dalam bentuk tembang macapat. Dalam khasanah sastra Jawa ada yang diberi tembang atau lagu macapat yaitu tembang Dhandhanggula, Sinom, kinanthi, pucung, durma, mijil, asmaradana, gambuh. Setiap lagu mempunyai nada atau cengkok masing masing. Dalam acara macapatan dilakukan beberapa orang yang ahli dalam menyanyikan lagu itu serta cengkoknya. Kadang-kadang diiringi dengan musik gamelan sesuai dengan gending dan lagunya. Macapat dalam pembacaannya digilirkan sesuai dengan cerita serta tembangnya. Acara mocopatan sering dikaitkan dengan adanya kelairan anak (jagong bayi). Buku yang dibaca berkaitnan dengan pendidikan anak. Misalnya Serat Ambiya (riwayat nabi). Dalam mojopatan
masyarakat
pernah
desa
dilakukan
di
Karangsari, rumah
Mas
pementasan Bambang.
tradisi Mereka
menggunakan pakaian kebaya, mereka juga melantunkannya secara bersama-sama dan tidak jauh berbeda dengan tradisi mojopatan yang terjadi di dalam masyarakat Banyumas lainnya. Budaya Jawa masih kental dalam pementasan itu. Ibu-ibu yang terlibat dalam pementasan ini melakukan latihan berhari-hari bersama tim gamelan yang dilakukan di rumah salah seorang keluarga Mas Bambang. Di rumah itulah, para pemain dan para pemain gamelan berlatih, untuk mempersiapkan sebuah pementasan. Suasana kehidupan desa Karangsari yang kekeluargaan inilah yang kemudian membentuk kehidupan mereka lebih rukun dalam latihan berbagai kesenian yang ada di desa ini. 2.3.4 Panembrama Panambrama adalah kesenian Jawa yang dilakukan dengan menyanyi bersama-sama. Dari beberapa orang dengan suara yang berbeda yaitu suara ke-1, ke-2. Dan ke-3. Dalam panembrama satu orang
60
yang mengawali pada bait awal dan bait kedua dinyanyikan bersamasama.
Panembrama biasanya
yang
dilagukan tembang
kinanthi.
Kelahiran tradisi lisan panembarama di dalam masyarakat desa Karangsari sampai saat ini tidak ada yang tahu secara pasti. Tetapi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Karangsari sejak lama. Tradisi ini juga ditemukan di dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Mereka memiliki kesenian ini dan
dipentaskan
dalam
berbagai
kesempatan.
Mereka
juga
menyanyikannya dalam acara-cara tujuh belas Agustus, maupun dalam acara-cara masyarakat seperti pesta perkawinan atau syukuran. Mereka melantunkan berbagai tembang
yang terkenal dalam tradisi Jawa.
Mereka melantunkannya dengan menggunakan budaya dan bahasa Jawa, hal ini terlihat dari pakaian, maupun dari bahasa yang mereka gunakan dalam pementasan itu. Di samping itu, panembrama juga dipentaskan dalam acara-acara tujuh belas Agustus dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia. Sampai hari ini kesenian tradisional panembrama masih tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan
masyarakat
desa
Karangsari.
Di
lihat
dari
kostum,
panembrama sudah menggunakan pakaian kebaya nasional, dan ibu-ibu yang mementaskan itu sudah menggunakan kosmetika, seperti orang yang mau ke pesta. 2.3.5 Wayang Kulit Wayang kulit
adalah pertunjutan wayang
yang
berbentuk
bayangan manusia yang diwujutkan berupa gambar manusia sebagai raja, kesatria, pendeta, prajurid. Dalam wayang menampilkan cerita dari Ramayana dan Mahabarata. Dalam masyarakat Jawa, wayang kulit menggunakan cerita Ramayana dan Mahabarata sedangkan masyarakat Sunda jarang ditampilkan wayang kulit tetapi cerita Mahabarata dan Ramayana ditampilkan dengan boneka kayu berbentuk manusia sebagai raja, kesatria, prajurit, pendeta, pembantu (cepot) wayang tersebut adalah wayang golek. Wayang golek Yogyakarta (Jawa) cerita yang dimainkan adalah cerita menak (penyebaran Islam) adanya tokoh Marmaya,
61
Marmadi,
Wong
Pementasan
Agung
wayang
Jayengrana,
kulit
dilakukan
Patih oleh
Maktal,
dalang.
Lamdahur.
Dalang
yang
menangkilkan cerita, tokoh yang diperankan, mengetahui struktur cerita, menguasai dialog tokoh dan antar, memahami gending yang digunakan, bisa melawak, menyanyi, menggunakan keprak dan cempala. Dalang dibantu alat musik gamelan yang berupa kendang, demung, saron, kempul, gong, Bonang, kethuk kenong, slenthem, gender, gambang, siter, rebab, suling, keprak dan cempala, dan ditambah lagi dengan sinden (penyanyi). Lakon wayang kulit yang dimainkang misalnya Barata yuda, turunnya hahyu Makutharama, Rama nitis Dalam pementasan wayang kulit di desa Karangsari, pada waktu penelitian ini, dalangnya banyak memiliki kesalahan, sehingga Mas Bambang mengambil alih, tetapi setelah itu sang dalang kembali mengambil alih sampai selesai. Hal ini terjadi karena pada saat pementasan dimulai, salah satu wayangnya patah sehingga sangat mengganggu konsentrasi sang dalang. kondisi ini kemudian mempengaruhi performansinya saat itu. Dengan demikian, sebagai bagian dari masyarakat Banyumas, masyarakat
desa Karangsari juga masih memiliki kesenian tradisional ini.
Mereka memantaskan wayang kulit ini dalam berbagai kondisi, terutama saat pesta atau adanya hajatan salah saatu keluarga. Mereka juga mementaskannya melalui siaran radio FM Jaring Asmara, yang merupakan radio komunitas yang dimiliki oleh masyarakat desa Karangsari. Melalui radio ini, masyarakat mendengarkan pementasan wayang kulit semalam sentuk yang disiarkan oleh radio komunitas mereka. Sehingga pementasan tradisi lisan wayang kulit juga dapat didengarkan oleh masyarakat dari rumah mereka masing-masing atau disaat mereka melakukan tugas ronda. Kehadiran radio komunitas ini kemudian memberikan ruang baru dalam pementasan berbagai tradisi
lisan
dalam
masyarakat
desa Karangsari
kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
62
BAB III PEMENTASAN TRADISI LISAN JEMBLUNG Sebelum menjelaskan mengenai pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari, perlu dijelaskan mengenai hakikat dan sejarah pementasan tradisi lisan jemblung di tengah-tengah masyarakat Karangsari. Ini dilakukan agar dapat dipahami seperti apa jemblung itu di dalam masyarakat Karangsari. Di samping itu, penulisan sejarah pementasan tradisi lisan jemblung di daerah ini juga dapat membantu pemahaman kita mengenai pementasan tradisi lisan jemblung saat ini dan bagaimana masyarakat Karangsari mempelajari tradisi lisan itu hari ini.
3.1 Hakikat Jemblung dalam Masyarakat Karangsari Di atas telah disebutkan bahwa salah satu tradisi lisan yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari adalah tradisi lisan jemblung. Untuk itu, perlu dijelaskan secara mendetail mengenai hakikat dan sejarah tradisi lisan tersebut dalam masyarakat Jawa khususnya dalam masyarakat desa Karangsari. Karena dengan mengetahui secara detail mengenai hakikat dan sejarah dari tradisi lisan tersebut, memungkinkan untuk dapat memahami pementasan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari, bagaimana mereka menyukai, tertarik untuk menonton, dan bagaimana masyarakat membangun kebersamaan dalam kagiatan kesenian tersebut. Secara etimologi jemblung dalam masyarakat Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen adalah tempat air atau wadah37. Dalam masyarakat Karangsari, jemblung merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi. Menurut Ki Joger, jemblung merupakan kesenian yang telah mereka terima dari leluhur mereka. Ia menambahkan bahwa keberadaan jemblung di dalam masyarakat desa 37
Dalam perjalanan menuju tempat latihan Panembrama di rumah salah seorang anggota Mas Bambang, saya
bertemu dengan beberapa anak muda yang sedang duduk di deker, dan ketika saya tanyakan kepada mereka apakah mereka pernah menonton tari tradisional jemblung? Mereka mengatakan bahwa mereka belum pernah menonton. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jemblung itu bukan tarian tetapi tempat air.
63
Karangsari atau Kebumen secara umum mempunyai hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Jawa Tengah. Melalui kesenian, Islam memasuki dunia batin Jawa. Ki Joger mengatakan bahwa salah satu kesenian yang dimanfaatkan untuk memasuki dunia batin Jawa diawal-awal perkembangan Islam adalah melalui tradisi lisan jemblung. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan di dalam masyarakat desa Karangsari, masyarakat desa Karangsari masih percaya juga bahwa tradisi lisan jemblung seringkali melakonkan lakon-lakon yang ada di dalam babad Jawa atau lakon mengenai asal-usul bupati Kebumen pertama atau mereka menyebutnya lakon Ki Jaka Sangkip. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan tradisi lisan jemblung
mengatakan bahwa tradisi lisan
Jemblung merupakan tradisi yang diciptakan oleh Raden Bathara Katong, Bupati Ponorogo yang pertama. Raden Bathara Katong adalah seorang punggawa kerajaan Demak yang diutus oleh Raden Patah untuk ”babad alas” di wilayah sekitar gunung Lawu, tepatnya di sekitar daerah Magetan (sekarang) hingga sampai ke arah gunung Wilis dan laut selatan, termasuk di dalamnya wilayah Ponorogo. Di samping mendapatkan amanat untuk “babad alas”, Raden Bathara Katong juga mendapatkan perintah untuk melakukan penyebaran agama Islam di daerah baru tersebut. Dan akhirnya Raden Bathara Katong memilih menetap di Ponorogo hingga akhir hayatnya. Penamaan Jemblung Katong Wecana tersebut karena Raden Katong ingin mengabadikan namanya di dalam seni yang diciptakannya, sekaligus juga agar kesenian jemblung ini dapat digunakan untuk sarana penyebaran Islam di Ponorogo dengan mudah. Dalam sejarahnya kesenian Jemblung Katong Wecana awalnya hanya terdiri dari dalang saja. Sedangkan mendongengnya dengan lisan seperti macapat sebagaimana sastra lisan gaya pesisiran seperti di daerah Demak, asalnya. Dan inilah yang tidak begitu diminati oleh masyarakat Ponorogo, karena pada waktu itu masyarakat Ponorogo lebih menyukai wayang kulit dan seni reog, karena penampilannya yang lebih komplit dan menarik. Kemudian dengan mempertimbangkan selera masyarakat tersebut, Jemblung Katong Wecana dalam perkembangannya digubah meniru apa yang dilakukan dalam pertunjukan reog dan wayang kulit. Bedanya kesenian jemblung ini tetap pada dongeng lisan tanpa boneka kulit seperti halnya wayang kulit, yang ditiru
64
sebatas pada instrumen gamelannya saja. Kata jemblung lahir dari suara instrumen musiknya yang berbunyi blung…blung…blung…. (Hutomo, 2001:34) Di samping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata jemblung didasarkan pada salah satu tokoh cerita Menak yang bernama JemblungMarmadi, yaitu seorang tokoh cerita yang berperut buncit. Di dalam bahasa Jawa orang yang berperut buncit disebut njemblung (Hutomo, 2001: 35). Pendapat yang terakhir merupakan pendapat yang kurang tepat, sebab dalang jemblung tidak hanya menuturkan cerita Menak saja, akan tetapi dalang jemblung juga menuturkan cerita-cerita lainnya, misalnya cerita Panji dan cerita Sawungggaling. Adapun kata jemblung banyak terdengar di daerah Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo (Hutomo,2001: 35). Gamelan yang dipakai dalam pergelaran jemblung hanya dipilih empat macam saja yaitu; saron, kenong, kendang, dan gong, kemudian perangkat gamelan tersebut dipoles dengan makna Islam. Ningna menurut Muhammad Yusup merupakan keratabasa (memaknai kata dengan mengotak-atik dan dihubung-hubungkan dengan kata yang bermakna (Lihat Purwadi, 2001: 49) berarti camkan secara mendalam ajaran Islam, berasal dari suara gamelan saron; thukna, dalam keratabasa berarti terapkan atau amalkanlah ajaran Islam yang telah diperoleh, suara dari gamelan kenong; ndang-ndang dalam keratabasa berarti bersegeralah memeluk Islam dan mengamalkan ajarannya. Sedangkan sang dalang ketika mendongeng memegang alat musik terbang sambil membawakan cerita yang dilakonkan. Terbang ini adalah perangkat asli yang terdapat dalam kesenian jemblung. Alat terbang ini bersuara heem yang dimaknai oleh Muhammad Yusup sebagai ekspresi kepuasan orang yang telah mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna. Sementara adegan gara-gara yang terdapat dalam adegan wayang kulit, diganti dengan adegan tingkahan dan selingan (carangan). Adegan ini ditandai dengan senggakan”Ya lailo Rasolollah” atau “Ella allo hake lollah, allah allo allah”, atau “Ibrohim Hailollah”. Pada adegan selingan ini diisi dengan cerita humor dan penyuluhan sesuatu yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Menurut Muhammad Yusup sang dalang jemblung, bahwa kata “jemblung” berarti “mendengarkan” , artinya ketika orang menyimak cerita yang sedang dipaparkan oleh sang dalang, maka mereka akan ‘jenjem’ (tentram hatinya ), karena apa yang dipaparkan itu benar-benar mampu menyentuh kalbu
65
dan perasaan damai. Selain itu mereka terpana dengan kemampuan sang dalang yang tiba-tiba bisa menguasai seluruh cerita dan ilmu pedalangan, padahal sang dalang tidak pernah belajar kepada siapapun tentang ilmu pedalangannya. Cerita jemblung bagi masyarakat desa Karangsari bukan sekedar cerita fiksi untuk hiburan saja, tetapi cerita ini mengandung pasemon atau lambang kehidupan manusia. Dengan demikian cerita jemblung desa Karangsari ini memegang peranan penting dalam gerak hidup masyarakat Kebumen umumnya dan warga desa Karangsari khususnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat Jawa lainnya yang ada di daerah Ponorogo. Bagi masyarakat Ponorogo tradisi lisan jemblung dibutuhkan untuk berbagai keperluan, misalnya ; acara perkawinan, khitanan, tingkeban, ngruwat (ritual untuk membersihkan tempat dari gangguan roh jahat), dan sebagainya. Sifat pementasan jemblung berarti bisa dilakukan secara individual dan kolektif. Harapan yang mereka inginkan adalah sebuah kehidupan yang tenteram damai, terhindar dari segala mara bahaya, setelah sang dalang membersihkan ‘sukerta’ atau gangguan roh jahat yang ada di sekelilingnya (Hutomo,2001: 35-36). Di dalam masyarakat desa Karangsari tradisi lisan jemblung dapat juga dilakukan pada beberapa kegiatan masyarakat. Hal ini dapat juga ditemukan di dalam masyarakat lain di Jawa sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hutomo yang mengatakan bahwa apabila upacara merayakan tingkeban, yakni perayaan atau upacara orang hamil tujuh bulan, maka orang Islam santri akan memilih cerita Laire Nabi Musa, Laire Nabi Yusup, sedangkan bagi mereka yang Islam abangan, maka cerita Laire Jaka Tarub, sangat cocok dengan mereka (Hutomo,2001: 36). Di dalam kehidupan masyarakat lain di Jawa, khusunya masyarakat yang ada di beberapa wilayah pondok Pesantern. Tradisi lisan Jemblung dikaitkan dengan
kentrung
dalam
kaitan
instrumen
musiknya
yang
sama-sama
menggunakan terbang. Kemudian menyusul karangan Pigeaud (1938a) menyebut bahwa kata jemblung dan kentrung ada kaitannya dengan seni bercerita yang dijajakan secara berkeliling atau ngamen dengan iringan terbang. Dan kata jemblung kadang-kadang diucapkan cemblung, juga digunakan untuk menyebut gamelan speler atau pemain gamelan di daerah Banyuwangi (Hutomo,2001: 53 ).
66
Pigeaud sebagaimana yang dikutip Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa kemunculan kata kentrung sesudah kata jemblung sebenarnya berkaitan dengan instrumen terbang yang berukuran besar, yang bila dipukul tangan berbunyi blung…blung…blung… . Terbang berukuran besar ini kurang praktis apabila dibawa tukang jemblung pergi ngamen, karena perlu dipikul oleh dua orang. Bagi tukang jemblung yang ingin ngamen sendirian tentu terbang yang berukuran besar ini tidak akan terbawa, sebab terlalu berat, maka untuk memudahkan membawa alat itu ngamen kemana-mana diciptakanlah instrumen terbang yang lebih kecil ukuranya, kemudian suaranyapun berubah menjadi ..trung…trung…trung.. dan kemudian masyarakat menyebutnya dengan kentrung (2001:55). Menurut pendapat Suripan Sadi Hutomo dalam sebuah penelitiannya yang berjudul “Sinkretisme Jawa Islam”. Menemukan akar sejarah yang sama antara seni kentrung dan seni jemblung. Keduanya merupakan salah satu genre sastra lisan, dengan menggunakan instrumen baku terbang. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran instrumen yang dipakai keduanya. Kentrung menggunakan instrumen lebih kecil dari instrumen jemblung. Instrumen jemblung bersuara
blung..blung..blung…,
sedangkan
instrumen
kentrung
berbunyi
trung…trung…trung…(Hutomo,2001:55). Keduanya dimainkan ketika ditanggap oleh orang untuk keperluan hajatan. Bedanya lagi adalah kentrung dapat digunakan ngamen keliling, karena alat musiknya mudah untuk dibawa, sedangkan jemblung harus menunggu siapa yang mau nanggap, hal ini dikarenakan
alat
musiknya
memerlukan
tenaga
yang
banyak
untuk
membawanya pada acara tanggapan. Kesenian jemblung juga terdapat di daerah Banyumas bagian timur, yaitu di desa Sumpiuh. Menurut Kunst dan Goris (1927: 69) seperti yang dikutip Suripan Sadi Hutomo, di desa tersebut ada gamelan yang disebut gamelan Djembloeng. Adapun gamelan ini terbuat dari batang bamboo, namun apakah gamelan ini ada hubungannya dengan seni jemblung? Hingga saat sekarang belum pernah diteliti orang (2001: 53). Suripan Sadi Hutomo menyimpulkan bahwa kata jemblung untuk menyebut seni bercerita, lebih tua usianya daripada kata kentrung sebab pada tahun 1872 kata ini telah dikenal oleh Poensen, sedangkan kata kentrung baru disebut Pigeaud pada tahun 1938. Di samping itu, hal yang menarik ialah kata ini 67
daerah pemakaiannya cukup luas. Hal ini menurut Suripan Sadi Hutomo menandakan bahwa jemblung mempunyai akar yang mendalam di dalam masyarakat Jawa sebelum munculnya seni kentrung (2001: 54). Instrumen pengiring cerita yang dipergunakan seni kentrung jumlah dan jenisnya antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama. Ini disebabkan oleh perubahan kecil yang pernah terjadi di daerah tradisi kentrung. Misalnya di daerah Blitar, kesenian jedhor adalah kesenian yang disukai rakyat, maka mau tidak mau apabila kentrung tidak ingin kalah bersaing maka kesenian kentrung ini juga harus mempergunakan alat musik jedhor. Demikian halnya dengan daerah Ponorogo, masyarakatnya sangat mencintai kesenian reog Ponorogo dan juga mencintai wayang kulit, maka Basuni dan Muhammad Yusup sebagai dalang jemblung menambah perangkat musik yang ia pakai. Basuni menambah instrumen yang terdiri dari kendang (sebuah), terbang besar (sebuah), kethuk dan kenong (dua buah); sedangkan Muhammad Yusup mempergunakan instrumen kendang (sebuah), kenong (sebuah), saron (seperangkat),dan kecrek. Dengan demikian, bunyi instrumen kentrung Basuni seperti instrumen reyog Ponorogo; sedangkan bunyi instrumen kentrung Muhammad Yusup seperti bunyi instrumen wayang kulit (Hutomo,2001: 63). Muhammad Yusup yang ditulis Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa orang Islam dan orang Jawa Islam ialah sama-sama makhluk Tuhan. Mereka harus hidup bersaudara. Kentrung ialah kesenian hiburan milik orang Islam yang Jawa. Karena itu kentrung harus dapat diterima oleh kedua masyarakat ini. Kata Muhammad Yusup seterusnya, ia meniru wayang purwa sebab tidak ingin kalah bersaing dengan wayang purwa. Wayang ini merupakan kesenian orang Jawa , karena itu wayang purwa harus tetap dipelihara sebab orang-orang Arab datang ke tanah Jawa tidak membawa kesenian mereka, melainkan hanya membawa alQuran. Karena itu, Bathara Katong setelah memeluk Islam, menciptakan seni kentrung di Ponorogo (2001: 64). Rombongan kentrung Muhammad Yusup mempunyai seorang panjak yang bertugas sebagai pesindhen, yaitu penyanyi Jawa pengiring lagu-lagu dalam pertunjukan. Mengenai hal ini Muhammad Yusup, yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo, menerangkan bahwa pemakaian pesindhen dimaksudkan
68
untuk meniru adegan “gara-gara” seperti dalam pertunjukan wayang purwa. Bedanya di dalam kentrung tidak ada tokoh Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tetapi diambilkan dari tokoh-tokoh prajurit yang sedang mengikuti perjalanan tuannya (2001: 65). Koentjaraningrat yang dikutip Bambang Purnomo berpendapat bahwa salah satu aspek seni yang menonjol dalam kebudayaan pesisir adalah seni mendongeng yang disebut dengan istilah seni kentrung. Seni kentrung ini merupakan bagian dari sastra lisan Pesisiran Jawa Timur. Lebih jauh Koentjoroningrat menyebutkan bahwa seni kentrung di daerah pesisir Jawa Timur sering mengetengahkan cerita-cerita Menak dan kisah-kisah Nabi. Cerita lain yang juga sering dikemukakan oleh para panjak kentrung (dalang kentrung) adalah legenda-legenda Arab dan Hindu Jawa, sejarah kehidupan para Wali, cerita-cerita setengah sejarah dari Jawa seperti Bondhan Kejawen, Jaka Tarub, Damarwulan, cerita babad lain, dan sebagainya (2000:18-19). Suripan Sadi Hutomo dalam kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa secara esensial seni kentrung dan jemblung adalah sama, karena istilah penamaan kentrung dan jemblung hanya karena dilatari oleh penamaan masingmasing masyarakat yang ada di daerah yang ditempati. Di Blitar nama kesenian tersebut menjadi banyak versi diantaranya; kentrung, templing, tumbling, thumpling dan kempling. Demikian halnya dengan yang di Tuban, Banyuwangi, Tulungagung dan sebagainya. Khusus di Kediri dan Ponorogo kesenian tersebut dikenal dengan sebutan Jemblung. Cerita-cerita yang dimuat dalam kentrung atau jemblung benar-benar merupakan cermin atau proyeksi kehidupan orang Jawa yang tinggal di pedesaan. Dari paparan cerita ini orang dapat melihat realitas kehidupan rakyat kecil, rakyat pedesaan. Ia juga menambahkan bahwa cerita kentrung atau jemblung merupakan simbol pandangan hidup orang Jawa yang senantiasa mendambakan keharmonisan hidup (2001: 31). Pada dekade 1945 hingga 1970-an kesenian jemblung ini terbilang laris ditanggap orang. Hal ini karena di samping ada nilai seninya, jemblung juga sarat dengan nilai magis, mitos, religi, dan ilmu pengetahuan dimana hal-hal yang disebutkan itu bercampur-aduk dan hidup berdampingan dengan damai di tengah-tengah masyarakat Jawa. Pada gilirannya unsur-unsur itu saling
69
mempengaruhi, dan akhirnya menjadi tradisi (folklor) yang hidup subur dalam kehidupan orang Jawa (Herusatoto, 2000: 87). Sehubungan dengan itu, ki Joger mengatakan bahwa pasca kudeta militer 1965, ketika masyarakat tidak dapat melakukan banyak protes, maka para dalang jemblung di daerah Banyumas banyak diundang oleh masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini merupakan ruang perlawanan masyarakat ketika pemerintah terlalu melakukan tekanan pada masyarakat dalam rangka isu pembersihan PKI di pulau Jawa. Di samping itu, isu PKI juga banyak menggunakan tradisi lisan jemblung untuk mendiskreditkan PKI di dalam masyarakat Jawa. Sehingga tradisi lisan jemblung juga menjadi salah satu media dalam proses pembentukan wacana yang dibangun oleh pemerintah pada waktu itu38. Suripan Sadi Hutomo memetakan pandangan masyarakat, terkait dengan apresiasi dan pendapat mereka tentang jemblung. Pertama, masyarakat yang simpati terhadap kesenian ini, mereka adalah orang Islam yang beranggapan bahwa seni jemblung merupakan alat dakwah bagi rakyat jelata, mereka tidak merasa ragu menanggap jemblung. Kedua, sikap antipati , yaitu mereka – orang Islam – yang beranggapan bahwa seni jemblung sebagaimana seni kentrung merupakan seni maksiat, karena didalamnya mempermainkan Nabi yang suci. Oleh karenanya tidak jarang ketika jemblung atau kentrung ditanggap, seringkali acara ini diganggu oleh mereka yang tidak suka, dengan melempari batu atau apa saja. Melihat kenyataan yang demikian tidak jarang untuk menanggap dalang jemblung, seorang dalang jemblung atau kentrung harus melengkapi dirinya dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh Muspika yaitu, Camat, Dansek, Danramil dan Kepolisian setempat. Ketiga, kelompok orang yang tidak suka menanggap kentrung atau jemblung oleh karena takut kuwalat (mendapat azab). Pandangan ini dikaitkan dengan bukti yakni setiap orang yang mendalangkan jemblung atau kentrung selama ini adalah orang-orang yang buta matanya. Mereka beranggapan semua itu terjadi karena mereka kwalat kepada nabi (2001:78).
38
Wawancara, tanggal 15 Juli 2011
70
Di dalam tradisi lisan Jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen sama sekali tidak menggunakan alat music. Pementasan jemblung ini hanya memanfaatkan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh lisan mereka. Satu-satunya alat music yang digunakan oleh para dalam itu adalah keprak/ketrek. Tetapi dalam pementasannya telah menggunakan sound sistem yang modern. Dengan demikian, dari segi alat-alat yang digunakan, maka terdapat kekhasan tradisi jemblung dalam masyarakat desa Karangsari jika dibandingkan dengan apa yang pernah diteliti di beberapa tempat, seperti yang pernah dikemukakan oleh Suripan Hadi Hutomo (1993). Masyarakat desa Karangsari juga, bukan hanya menampilkan tradisi lisan jemblung dalam performansi yang langsung berhadap-hadapan dengan penonton. Tetapi masyarakat desa Karangsari telah mementaskan tradisi lisan jemblung melalui radio FM Jaring Asmara yang merupakan milik masyarakat desa Karangsari. Tradisi lisan Jemblung ditampilkan setiap malam Kamis, dan mendapatkan respon dari pendengarnya melalui (SMS) dan telpon. Dengan demikian, tradisi lisan jemblung bukan lagi menjadi tradisi lisan yang ditampilkan dalam ruang yang satu dengan pendengarnya, melainkan mereka telah menggunakan sistem komunikasi, sehingga pendengarnya tidak sebatas ruang dan waktu di sekitar pementasan sebagaimana ruang performansi dalam pementasan tradisi lisan tradisional, tetapi melingkupi seluruh masyarakat desa Karangsari dan bahkan sampai beberapa desa tetangga. Menurut Mas Bambang, pendengar radio Jarring Asmara bukan hanya masyarakat desa Karangsari, melainkan seluruh desa-desa sekitar bahkan pada sebagian pencinta seni yang ada di sekitar kota Kebumen39. Dengan demikian, ketika tradisi lisan jemblung dipentaskan pada studio Radio FM Jaring Asmara, maka pendegar tradisi lisan jemblung sudah mampu menjangkau beberapa daerah di sekitarnya. Penonton atau penanggap melalui resiver pun tidak dapat lagi diidentifikasi karakteristiknya. Karena mereka mendengarkan pementasan tersebut dari tempat masing-masing. Mereka hanya dapat dideteksi jika mereka menanggapi siaran.
39
Wawancara, tanggal 10 Juni 2011
71
3.2 Sejarah Pementasan Tradisi Lisan Jemblung Berdasarkan hasil diskusi dengan ki Joger, ia mengatakan bahwa sejarah pementasan atau performansi tradisi lisan jemblung di daerah Banyumas ada sejak pertama kali Islam masuk di daerah ini. Kesenian jemblung merupakan bentukan dari para penyiar Islam
untuk menyesuaikan misi mereka dengan
kebudayaan masyarakat setempat yang lebih suka menonton tradisi wayang kulit, dan untuk memasuki dunia batin Jawa maka dibuatlah tradisi lisan jemblung. Dalam perjalanan sejarahnya, pementasan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari mengalami pasang surut sebagai mana di daerah lain. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ki Joger bahwa pada pasca gerakan tiga puluh September 1965, ia banyak diundang untuk mengkampanyekan anti PKI oleh pemerintah melalui tradisi lisan jemblung. Ia pentas ke beberapa tempat di daerah Banyumas. Tetapi setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa, pementasan tradisi lisan jemblung hampir tidak pernah dikenal. Bahkan pada waktu itu, tradisi berkesenian di dalam masyarakat desa Karangsari seakan mati dan digantikan oleh kesibukan ekonomi. Terlebih dengan masuknya televisi ke desa Karangsari, maka menambah jarangnya pementasan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari. Tetapi setelah pemerintah Orde Baru berkuasa terlalu lama dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat di mana-mana, maka pementasan tradisi lisan jemblung mulai lagi menjadi alternatif kesenian masyarakat. Masyarakat lebih suka mendengarkan kritikan yang dimainkan melalui lakonlakon yang dimaikan oleh para pemain tradisi lisan jemblung dibandingkan hanya menonton TVRI yang monoton menyajikan kesuksesan penguasa. Melalui pementasan tradisi lisan jemblung, masyarakat dapat menemukan ruang komunikasi masyarakat yang baru, terutama bagi para seniman. Mereka sudah mulai memperbincangkan kondisi pemerintahan Orde Baru. Kritik-kritik yang diberikan melalui dialog-dialog yang dilakukan oleh para dalang dalam pementasan jemblung semakin memberikan ruang batin masyarakat. Selanjutnya,
pasca
reformasi,
sebagai
salah
satu
dampak
dari
perkembangan teknologi dan telekomunikasi, tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari semakin sulit didapatkan. Keterbukaan informasi, membuat masyarakat desa Karangsari semakin leluasa mencari sumber-sumber
72
informasi. Hal ini sebagaimana kesaksian para penduduk masyarakar desa Karangsari yang masih berusia muda. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengenal tradisi lisan jemblung. “Yang kami kenal adalah kesenian eblek dan mojopatan. Saat ditanyakan mengenai tradisi lisan jemblung mereka justru bertanya ulang, seperti apa itu?” itu artinya bahwa tradisi lisan jemblung pernah mengalami mati suri di dalam masyarakat desa Karangsari. Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang mahasiswi dari Kebumen yang saat ini kuliah di UGM. Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah menonton atau bahkan mendengar kata jemblung itu. Namun, setelah adanya kesadaran di berbagai belahan dunia akan kelemahan dari globalisasi, dan kembali setiap kebudayan mencari identitas jati dirinya, maka kondisi ini juga mempengaruhi pola pikir masyarakat desa Karangsari. Kesadaran itu kemudian mengispirasi generasi muda dan tua desa Karangsari untuk kembali menghidupkan kembali kesenian mereka, karena adanya kesadaran bahwa di tengah-tengah globalisasi, dibutuhkan kearifan lokal sebagai identitas lokal mereka dalam pergaulan nasional dan internasional. Untuk kepentingan itu,
masyarakat desa
Karangsari kemudian mendirikan
sangar kesenian tradisional Cipto Roso dibawah pimpinan Bambang Eko S. H., S.Pd. Melalui tangan beliaulah kesenian tradisional di desa Karangsari kembali dihidupkan termasuk tradisi lisan jemblung. Melalui sanggar seni Kesenian Tradisional Cipto Roso inilah, kemudian membangun Radio FM Jaring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat) ini kembali diperkenalkan berbagai tradisi lisan di daerah ini kepada masyarakat luas, termasuk kepada generasi mudanya. Melalui perjuangan panjang, Radio ini kemudian menjadi sarana sosialisasi tradisi lisan di daerah ini. Karena melalui radio ini, masyarakat desa Karangsari dan desa-desa di sekitarnya kembali mengenal berbagai tradisi lisan di daerah ini. Karena radio ini disiarkan dengan menggunakan bahasa Jawa, sehingga mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Beberapa jam tayang harus menggunakan bahasa Jawa, menyebabkan masyarakat desa Karangsari kembali mencintai tradisi lisan mereka, termasuk tradisi lisan jemblung. 3.3 Performansi Tradisi Lisan Jemblung
73
Performansi atau pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari merupakan suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi dan proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Sehingga, performansi tradisi lisan jemblung merupakan ruang komunikasi di dalam masyarakat desa Karangsari. Ruang dimana penonton dan pemain/dalang berkumpul di suatu tempat untuk mendengarkan pesan yang disampaikan oleh para dalang dengan model komunikasi yang tidak mirip dengan model komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi disampaikan dalam bentuk kreatif yang lebih estetik, sehingga mampu mengundang minat para penonton. Di sisi yang lain, karena pementasan sebagai model komunikasi kultural memungkinkan terjadinya interaksi antara pemain dan penonton dalam ruang pementasan tersebut. Dalam performansi tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari terjadi proses interaksi antara penonton dan pemain. Baik di dalam pementasan yang disajikan langsung di aula Sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso pimpinan Mas Bambang, maupun interaksi yang terjadi dari para pendengar yang mengikuti pementasan tersebut melalui Radio Komunitas Jaring Asmara. Mereka memiliki ruang untuk memberikan masukan mengenai lakon yang akan mereka sampaikan. Dalam pementasan tradisi lisan jemblung yang disiarkan langsung oleh Radia Jaring Asmara memiliki ruang untuk terjadinya partisipasi masyarakat dalam pementasan tersebut, sehingga mampu mempengaruhi perkembangan struktur alur cerita. Pementasan tradisi lisan jemblung yang dilakukan pada pada tanggal 13 Juli 2011 yang lalu, menampilkan empat orang pemain, serta diikuti oleh beberapa orang penonton, termasuk penonton dari tim tradisi lisan dari Universitas Gadjah
Mada. Dalam pementasan tersebut, memperlihatkan
bagaimana penonton mampu dipengaruhi oleh para pemain jemblung. Melalui lakon Ki Jaka Sangkrip, para pemain mampu memasukkan hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Karangsari. Melalui lakon yang dipentaskan seperti itu, memungkinkan penonton lebih dekat dengan kehidupan mereka. Sehingga akhirnya, penonton atau pendengar mampu menangkap makna yang ingin disampaikan oleh para pemain. Kalau kita melihat konsep pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari, maka pementasan tradisi lisan jemblung dilakukan dengan
74
mengadopsi konsep cerita rakyat dan drama. Kalau dalam cerita rakyat, pencerita hanya melakukannya sendirian, maka dalam tradisi lisan jemblung pencerita atau sang dalang melakukannya secara bersama-sama seperti dalam sebuah pementasan drama. Dialog dibangun seperti di dalam drama, tetapi memiliki sedikit perbedaan dengan drama yaitu kalau drama berintikan pada dialog dan action, maka pada tradisi lisan jemblung hanya difokuskan pada dialog dan ekspresi yang dibantu oleh kemampuan olah vokal yang luar biasa dari para pemain. Action atau laku tidak terlalu dipentingkan, kecuali sedikit ekspresi wajah dan gerak tangan yang membantu penonton untuk memahami dialog yang diucapkan oleh para dalang tradisi lisan jemblung. Konteks dan suasana selalu digambarkan melalui permaian vokal para pemain yang luar biasa. Mereka dapat meniru berbagai konteks, suara burung-burung, suara ayam, kambing, kerbau dan lain-lainnya. Pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari memiliki berbagai konteks pementasan. Sehubungan dengan berbagai bentuk model komunikasi tersebut, Mas Bambang, mengatakan bahwa “Pementasan atau performansi tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari biasanya dilakukan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Ia menambahkan bahwa. Pada zaman dahulu, tradisi lisan jemblung ditanggap dalam berbagai hajatan masyarakat Karangsari dan beberapa desa tetangga. Misalnya, acara perkawinan, khitanan, tujuh belasan (peringatan hari kemerdekaan RI), dan hajatan masyarakat desa Karangsari lainnya”. Ia juga menambahkan bahwa dewasa ini tradisi lisan jemblung
dalam masyarakat desa Karangsari biasa
dimainkan oleh empat orang yaitu (ki Joger) sebagai dalang, Mas Bambang, Mas Salim dan Pak Wasimin40. Pementasan tradisi lisan jemblung juga sebagian sudah ditunjang oleh sekelompok pemain gamelan Jawa, sehingga tradisi lisan jemblung masyarakat Karangsari memiliki keunikan dibandingkan dengan tradisi lisan jemblung lainnya di daerah lain di Jawa. Selain itu, pementasan tradisi lisan jemblung juga sudah ditunjang oleh teknisi audio yang modern yang dipimpin oleh pak Syukur. Performansi atau pementasan tradisi lisan jemblung dewasa ini, sudah dipadukan dengan penggunaan sound sistem yang lebih baik. Dengan demikian, 40
Wawancara tanggal 23 Juli 2011
75
ada kekhasan pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari jika dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah Kebumen dan sekitarnya. Tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari tidak seperti bayangan kami bahwa tradisi lisan jemblung masih tampil dalam kondisinya yang tradisional sebagaimana dikemukakan oleh banyak peneliti tradisi lisan seperti Suripan Hadi Hutomo (1993). Dimana dalam penelitian itu disebutkan bahwa tradisi kentrung atau jemblung merupakan tradisi lisan yang dimainkan dengan menggunakan alat-alat musik tradisional. Ternyata di dalam pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari telah dilengkapi dengan sound sistem yang lebih canggih, dan terkadang dipentaskan di studio Radio FM Jarring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat). Lebih mengejutkan lagi ketika kami mewawancarai mas Bambang di depan Radio “Jaring Asmara”, milik masyarakat desa Karangsari. Ia mengatakan bahwa “Tradisi lisan jemblung sudah punya jadwal di dalam siaran radio Jaring Asmara. Jemblung disiarkan semalam suntuk oleh radio tersebut dan di tangkap oleh banyak resiver penduduk desa Karangsari dan bahkan oleh penduduk di desa-desa lain di daerah ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelpon yang berasal dari luar desa Karangsari. Ini menunjukan bahwa tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari telah menyesuaikan diri dengan adanya perkembangan teknologi telekomunikasi
yang
tumbuh
dan
berkembang
di
dalam
masyarakat.
Perkembangan tradisi lisan yang dibangun melalui pemanfaatan teknologi informasi akan memberikan ruang baru dalam kehidupan tradisi lisan tersebut. Kalau dulu pementasan tradisi lisan jemblung dilakukan di dalam rumah atau di teras rumah untuk menghibur anak-anak atau anggota keluarga, maka saat ini masyarakat Karangsari telah mementaskan tradisi lisan jemblung melalui siaran langsung di radio FM, dan pendengarnya atau audiens pun semakin beragam dan luas. Apa yang diungkapkan Mas Bambang bahwa banyak yang merespon melalui sms saat siaran langsung, ini menunjukan bahwa partisipasi masyarakat dalam pementasan itu, sudah berbeda dalam pementasan tradisional jemblung. Di samping itu, pola komunikasi sosial mereka sudah berubah, kalau dulu komunikasi budaya dalam pementasan tradisi lisan jemblung terjadi secara langsung, dimana penonton berada bersamaan satu ruang dan tempat dengan para pencerita, maka saat ini, melalui siaran langsung penonton dapat
76
mendengarkan tradisi lisan jemblung sambil minum kopi jauh dari studio radio FM Jaring Asmara. Di samping itu, partisipasi masyarakat juga semakin meningkat dalam pementasan tradisi lisan jemblung melalui radio. Karena secara psikologi, mereka akan lebih leluasa dalam mengungkapkan tanggapan mereka melalui pesan singkat yang dikirim lewat hand phone mereka. Dalam pementasan tradisi lisan jemblung di atas pentas yang dilakukan di sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso, di depan rumah Mas Bambang, tradisi lisan jemblung dimainkan oleh empat orang. Dalam pementasan tradisi lisan jemblung tersebut, keempat pemain jemblung memainkan lakon sejarah Babak Kebumen dengan judul “Sang Ki Jaka Sangkrip”. Lakon Ki Jaka Sangkrip merupakan lakon yang biasa dimainkan oleh masyarakat Kebumen karena lakon tersebut menjelaskan tentang sejarah Kebumen, dimana Ki Jaka Sangkrip merupakan tokoh terkenal dan dikenal sebagai bupati pertama di daerah ini. Performansi atau pementasan tradisi lisan jemblung yang ditampilkan pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011 menampilkan empat orang tokoh. Performansi dimulai dengan pembukaan dilakukan oleh mas Bambang, sebagai pengantar dengan menggunakan bahasa Jawa. Ia menjelaskan bahwa lakon yang akan mereka bawakan adalah berhubungan dengan sejarah Kebumen. Selanjutkan lantunan kisah Ki Jaka Sangkrip dilanjutkan oleh Pak Salam41 dan Pak Wasimin42. Sambung menyambung dengan diiringi irama yang dikeluarkan dari mulut mereka serta alat pembukaan suara keprak/keprek yang dipegang oleh ki Joger sebagai pimpinan dalang.
41
Pak Salam adalah seorang dalang Jemblung yang berasal dari petani sawah, ia tinggal dengan cucunya di
desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Diumurnya yang sudah sepuh, Pak Salam dan teman-temannya masih sangat memiliki harapan untuk menghidupkan kembali tradisi leluhur mereka. Mereka rela menyiar dengan suka rela di radio Kumunitas Jaring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat) 42
Pak Wasimin, ia seorang pensiunan guru SD. Bersama kakaknya mereka sangat tertarik pada kesenian
tradisional di daerahnya. Mereka menjadikan hiburan ini sebagai ruang untuk melepas berbagai kepenatan mereka dalam hidup, apalagi selama menjalani hari-hari senja di desa Karangsari. Namun setiap mereka bertemu untuk mengembangkan tradisi lisan di kampung mereka, semangat kembali tumbuh seperti mereka masih usia dua puluh lima tahun. Mereka semangat, mereka mau menghidupkan kebudayaan mereka.
77
Keempatnya berpakaian Jawa dengan ikat kepala warna merah yang dihiasi dengan kuning43. Dengan baju batik lengan panjang yang berwarna merah bermotif kembang-kembang putih. Kembang melati yang melambangkan kesucian jiwa. Sedangkan celana yang dikenakannya adalah celana kain hitam. Mereka duduk bersila tanpa alas kaki. Mereka menghadap ke arah penonton dan di depannya disiapkan sesajian sebagai bagian dari pementasan. Di atas pentas yang disiapkan oleh Mas Bambang, para dalang duduk berhadapan dengan penonton yang duduk sekitar tiga sampai lima meter. Karena kondisi pentas yang besar tersebut, mereka menggunakan sound sistem yang modern. Sehingga suara para dalang bisa didengar dengan baik oleh penonton. Ini juga memberi gambaran bahwa pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari sudah menggunakan alat-alat modern yang tidak tradisional. Sesajian itu, merupakan dunia simbolis Jawa khususnya masyarakat desa Karangsari, dunia batin yang tidak semua orang Jawa memahaminya. Ki Joger
menjelaskannya bahwa “Penggunaan sesajian dalam pementasan
jemblung merupakan refleksi atas dunia batin Jawa. Sepintas, sesajian itu, disajikan di dalam tempayan yang terbuat dari bambu. Di dalamnya berbagai makanan, dibagian tengah misalnya nasi tumpeng yang di atasnya disimpan Lombok atau cabe yang ditusuk dengan lidi, satu cabe ditusuk dalam bentuk melintang dan satunya dalam posisi berdiri. Menurut ki Joger, nasi tumpeng itu merupakan symbol kehidupan dalam budaya batin Jawa. Sedangkan penggunaan cabe dan bawang di atas nasi tumpeng tersebut menyimbolkan tentang adanya permintaan kepada yang maha kuasa agar selama pementasan itu tidak turun hujan. Di sekeliling nasi tumpeng itu, beberapa jenis makanan, seperti pisang ambon, ketupat, ayam bakar, teh, kopi, rokok, kerupuk, ikan, umbi-umbian. Atau semua hasil pertanian dan makanan pokok disajikan dalam sesajian saat pementasan tradisi lisan jemblung. Sehubungan dengan sesajian tersebut, mas Bambang mengatakan bahwa sesajian tersebut, merupakan makanan yang harus disiapkan oleh
43
Dalam wawancara saya dengan ki Joger sang dalang, ikat kepala itu merupakan pemberian dari mahluk
halus. Dan sejak saat itu, ikat kepala yang berwarna merah kuning itu dijadikan sebagai kostum dalam setiap pementasan jemblung (Wawancara, tanggal 14 Juli 2011).
78
penanggap jemblung sebagai persiapan makanan dan minuman pemain selama mereka memainkan jemblung. Hal ini dapat dilihat ketika lakon, Ki Ki Jaka Sangkrip dimainkan, empat pelakon itu, selalu mengabil makanan dan ramalannya sehingga makanan itu sudah masuk dalam property pementasan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari. Ki Joger memulai ceritanya dengan tetap memberikan salam pembuka, dengan membawakan cerita Joko Sangrip. Lalu disambung oleh Mas Bambang dan Wasimin, serta diamini oleh mas Salim. Lalu gamelan dibunyikan sebagai awal dimulainya sebuah cerita. Ki Joger memulai penceritaan dengan mengucapkan bismilahir rahmanir rahim, dan mengungkapkan kalimat: “Riwayat hidup Ki Ki Jaka Sangkrip” “Bismilahir rahmanir rahim dengan suara biasa, lalu dilanjutkan dengan melantunkan kalimat, “simalatoroo,” kemudian ketika pemain bersama-sama mengikuti, kalimat simar toro,” kurangkane katee” dengan nada yang panjang. Dalam tradisi lisan Jemblung masyarakat desa Karangsari, pemain jemblung memainkan berbagai jenis lakon, misalnya lakon asal-usul Kebumen. Dalam lakon tersebut para pemain jemblung memainkan kisah terbentuknya Kebumen yang dikenal dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa Karangsari sebagai lakon, bukan saja bermain memainkan peran tokoh yang dia bawakan (biasanya beberapa tokoh peran yang ia mainkan), tetapi juga merangkap sebagai bunyi alat musik yang mereka inginkan. Sedangkan pemain wanita, ia bertugas juga sebagai waranggana (pesinden, penyanyi). Dalam tradisi lisan jemblung pada masyarakat Jawa yang lain di luar masyarakat desa Karangsari, dalang jemblug biasanya dimainkan oleh 4 atau 5 orang. Kalau 4 terdiri dari 3 pria dan 1 wanita. Salah seorang dari 4 pemain itu menjadi : dalang dan sekaligus juga sebagai pemain. Bentuk pementasan Dalang Jemblug sangat sederhana dan cukup dilakukan di dalam rumah, karena pemainnya hanya 4 atau 5 orang. Para pemain Dalang Jemblug duduk bersila berkeliling mengelilingi meja kecil dan pendek serta kosong tidak ada perlengkapan lainnya. Perlengkapan bagi pemain hanyalah : Kudhi (semacam pisau khas Banyumasan). Fungsi Kudhi ini sebagai peralatan untuk membantu para pemain dalam pementasan. Dapat berfungsi sebagai senjata dalam adegan perang, atau sebagai perlengkapan lainnya.
79
Performansi tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari, alat yang digunakan ki Joger hanya menggunakan sebuah alat yang bernama keprak. Dengan alat itu, ki Joger mengendalikan jalannya alur pementasan. Ki Joger menggunakan keprak untuk memulai dialog. Setiap jeda, Ki Joger akan memulainya dengan membunyikan alat itu. Seolah pengendali pementasan berada di bunyi benda itu. Tetapi dalam tradisi lisan jemblung yang lainnya, sering juga dipakai sebagai cempala dalam pementasan wayang kulit atau sebagai keprak untuk sang dalang. Kostum yang digunakan dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari adalah pakaian batik berwarna merah hati, yang bermotif kembangkembang melati putih. Mereka juga menggunakan pec berwarna merah dan kuning. Dengan model blangkon Jawa, menurut ki Joger, warna dari blankon yang digunakan dalam pementasan merupakan pemberian/petunjuk yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Mereka mendapatkan petunjuk itu, sewaktu mau mementaskan jemblung dalam suatu pementasan saat mementaskan tradisi lisan jemblung di daerah Banyumas. Celana yang digunakan oleh empat pemain jemblung dalam masyarakat desa Karangsari adalah celana kain yang berwarna hitam. Dalam konteks aslinya, masyarakat desa Karangsari dalang jemblung menggunakan pakaian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga kita dapat temukan dalam masyarakat Jawa di daerah lain, di luar masyarakat desa Karangsari, pakaian para pemain dalang jemblug sangat sederhana, yaitu pakaian biasa bagi tradisi di Banyumasan, yaitu pakaian lengkap daerah Banyumasan, terdiri dari : jas tutup atau surjan, kain batik, belangkon atau iket dan memakai selop (sandal). Semua itu merupakan pakaian adat Jawa pada umumnya yang dipakai untuk keperluan suatu upacara atau pertemuan resmi. Dalang jemblug merupakan teater tutur yang paling sederhana dan paling murni, yang semua diungkapkan lewat media ungkap yang paling esensial, yaitu suara. Dengan kemampuan suaranya, para pemain dapat menggambarkan suasana cerita, kejadian dan watak dari berbagai tokoh yang seolah-olah dimainkan oleh berpuluh-puluh orang. Sehingga dalang jemblung melahirkan cerita yang menarik untuk ditonton karena seolah-olah teater, dan ini menunjukan bahwa tradisi lisan jemblung menjadi menarik dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen.
80
Pementasan tradisi lisan dalam masyarakat desa Karangsari juga memiliki kemiripan yang apa yang terjadi di daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti Banyumas. Kalau di dalam masyarakat Banyumas, banyak menceritakan tentang masalah Islam, maka tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari juga banyak menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan penyiaran agama Islam di daerah ini. Pementasan di rumah Mas Bambang yang mengambil cerita “Sang Ki Jaka Sangkrip” merupakan bukti nyata atas realitas bahwa tradisi lisan jemblung merupakan salah satu ruang konstruksi sosial yang memuat budaya Islam dalam masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ki Joger bahwa pada awalnya jemblung masuk seiring dengan masuknya ajaran Islam di daerah ini. Di samping itu, model komunikasi yang disampikan dalam bentuk kocak dan humor yang ditemukan dalam tradisi lisan jemblung di luar masyarakat Karangsari, juga ditemukan dalam pementasan jemblung
yang dilakukan di
dalam masyarakat desa Karangsari. Aspek inilah kemudian yang membuat penonton untuk tetap menyaksikan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari. Sehingga tradisi lisan jemblung sampai hari ini masih tetap mendapatkan tempatnya tersendiri dalam kehidupan masyarakat penontonnya. Untuk lebih mamahami bagaimana bentuk pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari, maka berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan pementasan tersebut, yaitu (1) bahan dan alat yang digunakan dalam mendukung pementasan tradisi lisan jemblung, (2) performer atau penyaji, (3) audiens (penonton atau pendengar), (4) VariasiVariasi yang ditimbulkan atas adanya tanggapan audiens. 3.3.1
Bahan atau Alat yang Digunakan Dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Karangsari kecamatan
Sruweng kabupaten Kebumen, jika mendengarkan kata jemblung maka referensi mereka ada dua, pertama anak-anak muda akan berkata bahwa itu adalah tempat air. Kalau kita katakan bahwa ‘tradisi lisan jemblung” maka mereka akan mengatakan bahwa itu adalah kesenian yag dimainkan dengan menggunakan mulut sebagai suara musiknya. Sehingga mereka akan mengatakan bahwa tradisi lisan jemblung merupakan tradisi lisan yang tidak menggunakan alat-alat atau bahan. Ini juga akan terjadi kalau itu di dengar oleh banyak masyarakat
81
Jawa di daerah lainnya. Sehingga hampir semua peneliti jemblung menyepakati bahwa tradisi lisan ini hanya menggunakan mulut sebagai alat pementasannya. Pada hal, kalau kita kembali pada apa yang pernah dikemukakan oleh pada ahli mengenai pementasan tradisi lisan, maka salah satu bagian penting dalam pementasan tradisi lisan adalah keberadaan bahan dan alat yang dalam pementasan tersebut. Sehubungan dengan itu, Finnegan (1992) mengatakan bahwa dalam penelitian tradisi lisan, satu hal yang perlu di diperhatikan oleh peneliti tradisi lisan dalam performansi atau pementasan tradisi lisan adalah aspek bahan atau alat yang digunakan. Dengan demikian, maka dalam pementasan tradisi lisan jemblung membutuhkan beberapa alat atau bahan, seperti kostum, sound sistem, sesajian, panggung, radio FM, resiver, yang semua itu merupakan alat-alat atau bahan yang perlu diperhatikan guna mendukung performansi tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari. Semua itu diperlukan dalam rangka mendukung proses pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari. a.
Kostum Dalam pementasan tradisi lisan jemblung yang dilaksanakan di halaman
rumah mas Bambang atau di sekretarian Sanggar Seni Cipto Roso desa Karangsari, yang dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 2011, beberapa bahan atau alat yang digunakan dalam bentuk kostum adalah baju, blanko, dan celana panjang hitam. Baju yang digunakan oleh para dalang jemblung adalah baju batik warna merah, dengan blonko yang berwarna merah tetapi memiliki kain kuning sebagai bagian dari blonko itu. Ki Joger mengatakan bahwa “Blonko itu memiliki makna tersendiri dalam kehidupannya sebagai seorang dalang. Ia mengatakan bahwa di dalam perjalan hidupku sebagai dalang, saya diberikan blanko oleh seorang yang tidak dikenal di daerah Banyumas44”. Bloanko itu memiliki warna sebagaimana warna blonko yang dikenakannya selama menjadi dalang selama bertahun-tahun. Blanko merupakan salah satu penutup kepala yang tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Blanko merupakan salah satu penanda identitas
44
Wawancara tanggal 14 Juli 2011
82
budaya Jawa terutama dari mereka yang berasal dari luar Jawa. Dengan melihat blanko akan mengetahui bahwa itu adalah salah satu identitas dari kebudayaan Jawa. Dalam pementasan itu, mereka menggunakan baju batik dengan motif kembang-kembang warna merah, menjadi salah satu kostum yang digunakan dalam pementasan ini. Di samping itu, keempat dalang juga menggunakan celana hitam. Duduk bersila menghadap mic, dan hanya Ki Joger yang memegang keprak. Beberapa pemain yang lainnya tidak memegang apa-apa. Mereka menggunakan celana penjang warna hitam. Setelah naik ke atas panggung mereka tidak menggunakan alas kaki. Mereka duduk bersila menghadap penonton, dengan menggunakan pakaian seragam semua. Kostum mereka sama, mulai dari blanko, baju sampai dengan celana panjang. Mereka semua menampilkan kostum yang sama dalam pementasan itu.
b. Sesajian Dalam performansi tradisi lisan jemblung di atas, mereka menggunakan sesajian sebagai salah satu bahan yang dibutuhkan dalam pementasan mereka. Hal ini dapat dilihat dalam pementasan tersebut terdapat sesajian yang dulu digunakan sebagai simbol budaya Jawa. Apabila diteliti secara lebih mendalam, maka di dalam pementasan tradisi lisan jemblung merupakan ruang sinkretisasi berbagai aliran pemikiran dan agama yang ada di dalam masyarakat Jawa. Semuanya hadir dalam simbol-simbol yang ada di dalam sesajian itu. Ini menunjukkan bahwa dalam performansi tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari dan Jawa pada umumnya, khususnya kalau dihubungan dengan sosial budaya masyarakat pendukung tradisi lisan jemblung. Sesajian, tidak hanya hadir begitu saja dalam tradisi lisan jemblung tanpa makna sebagai properti
penting
dalam
performansi
jemblung
dalam
masyarakat
desa
Karangsari. Bagi masyarakat desa Karangsari bahan atau alat yang disajikan dalam pementasan jemblung tersebut memiliki makna tersendiri hal ini dapat dilihat dari pemaknaan masyarakat Karangsari sebagai berikut. Pertama, nasi tumpeng yang berada di tengah sesajian itu mempunyai makna bahwa kita harus lurus menuju Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Budha, nasi tumpeng
83
menyimbolkan stupa yang menjadi lambang agama Budha. Di atas nasi tumpeng tersebut, terdapat buah cabe atau lombok merah yang ditusuk silang, mirip salib dalam kepercayaan atau agama Kristen. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa proses membakar dupa melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan dalam agama Hindu dan doa yang diungkapkan dengan doa beragama Islam yang diawali dengan Bissmillahirohmanirohim dan diakhiri dengan salam45. Dalam sesajen itu, juga menggunakan pisang ambon, ini mereka maknai sebagai simbol perpisahan dengan orang yang jahat atau roh jahat yang akan mengganggu dalam pelaksanaan kesenian jemblung. Kupat yang dimaksudkan bahwa kupat mengandung kata lepat yang berarti kesalahan maka jika terjadi kesalahan mohon kepada Tuhan minta maaf segala kesalahan yang mungkin saja terjadi dalam proses pemetasan tradisi lisan jemblung. Ayam itu mengandung makna semua orang yang hidup akan mati, dan jika yang yang digunakan untuk sesaji itu ayam yang masih hidup berarti arang itu akan hidup untuk bekerja untuk mencari makan untuk kebahagiaan dalam hidup di dunia dan akherat. Teh atau kopi itu mengibaratkan memberikan minum kepada orang yang merasa haus, dan juga kepada yang melaksanakan kegiatan yang merasa haus disuruh minum. Tukon pasar maksudnya pertunjukan biar ramai regeng, seorang pemain dan penontonnya. Tempe goreng dipakai untuk lauk dalam makan nasi dan sayur yang disiapkan untuk makan. Ketan maksudnya biar dekat dengan
yang
kuasa
supaya
diberi
kebahagiaan
dalam
pelaksanaan
keselamatan, ketenteraman tidak diganggu oleh manusia dan mahluk lain. Krupuk ikan tambahan lauk untuk makan. Kinang suruh mengirim roh. Kembang punya hajad mawar, kanthil, kenanga itu berarti kembang mawar supaya tersebar, kembang kanthil supaya penonton menunggu sampai selesai dan dalam pementasan berikutnya selalu datang menonton Jemblung. Kenanga maksudnya menjadi kenangan yang ditontonya. Tumpeng gingsul itu bermakna menolak bahaya yang mengancan sehingga dalam pertunjukan tidak ada rintangan. Dengan demikian, seluruh isi sejajen bagi mereka tidak hadir begitu saja, melainkan lahir dari tradisi dan nilai-nilai yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat desa Karangsari. Ini menunjukkan bahwa berbagai alat atau bahan 45
Wawancara dengan Ki Joger tanggal 13 Juli 2011
84
dalam pementasan tradisi lisan jemblung juga memiliki ruang untuk dapat memahami budaya masyarakat pendukungnya. Berdasarkan informasi yang telah disampaikan di atas, maka property atau alat yang digunakan dalam performansi tradisi lisan jemblung tidak hadir dalam kekosongan budaya. Namun ketika ditanyakan kepada Mas Bambang, sesajian ini untuk apa? Jawabnya adalah bahwa pada zaman dulu, melalui sesajian inilah, para dalang jemblung makan dan minum saat pementasan. Di zaman dulu, sesajen ini merupakan salah satu yang dinikmati sesudah pelaksanaan pementasan. Jawaban itu, tentunya hanyalah sebuah bentuk jawaban yang sederhana. Mas Bambang memiliki jawaban seperti itu, karena saat ini ia sudah memiliki pemikiran yang rasional, sebagai bagian pergaulannya yang laus, di kantor, dan di saat masih kuliah. Sehingga pemaknaan sebagaimana dikemukakan oleh Ki Joger seperti disederhanakan. Penjelasan mengenai makna sesajian di atas menunjukkan bahwa tradisi lisan jemblung memiliki keterikatan dengan budaya Jawa. Bagaimana keragaman budaya dibungkus dalam suatu kegiatan, sehingga kedatangan Islam di Jawa dapat diterima oleh masyarakat. Konteks inilah kemudian dalam perkembangannya, Islam masuk di Jawa melalui kesenian yang bersifat humanis dan seni, sehingga masyarakat menerimanya dengan baik. Melalui sesajian itu, tergambar bagaimana simbolsimbol agama dan kepercayaan yang selalu berseberangan di dunia nyata, tetapi di dalam tradisi lisan jemblung menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai sebuah kebersamaan.
Seluruh
elemen
yang
menggunakan
simbol-simbol
kepercayaannya dan mengakui bahwa tradisi lisan jemblung merupakan milik kita, entah mereka beragama Kristen, Hindu, Budha, Islam maupun aliran Kejawen. Mereka akan menerima pementasan jemblung sebagai kesenian mereka. Ini menunjukkan bahwa kekuatan seni yang diramu dalam tradisi lisan jemblung mampu menjadi alat hiburan dan sekaligus ruang akulturasi budayabudaya yang ada di tanah Jawa khususnya yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sesajian yang digunakan dalam performansi tradisi lisan jemblung merupakan pertemuan beberapa kepercayaan yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang ada dalam sesajian tersebut. Melalui sesajian tersebut, dapat dilihat bahwa tradisi lisan jemblung
85
merupakan tradisi yang mengakomodasi beberepa budaya sebelumnya, seperti budaya yang dibawa oleh agama Budha, Hindu, Kejawen dan budaya yang dibawa oleh agama Kristen. Di dalam sesajian itu, semuanya disatukan sebagai sesajian yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan jemblung. Ini menunjukkan bahwa tradisi lisan jemblung mampu mengakomodasi budayabudaya yang ada di daerah Karangsari dan Banyumas secara umum. c. Sound Sistem Selian bahan-bahan dan alat di atas, pementasan tradisi lisan jemblung juga ditunjang oleh sound sistem modern yang krunya dipimpin oleh Mas Syukur. Sound sistem tersebut digunakan untuk membantu para dalang terutama dalam hal pawer suara. Dengan alat itu, mereka mampu melakukan pementasan dengan suara yang sedang, seperti orang yang sedang bercerita. Tetapi suara mereka mampu ditangkap oleh pendengar, karena dibantu oleh alat pengeras suara yang baik, melalui mekanisme volume kontrol suara dalang dapat diatur, sehingga menarik untuk di dengarkan oleh penonton maupun pendengar yang ada di rumah. Dengan menggunakan sound sistem yang baik, mereka dengan mudah memainkan tradisi lisan jemblung tanpa harus memaksa pita suara mereka, terutama dalam melantangkan suara sehingga dapat di dengarkan oleh penoton. Melalui sound sistem yang baik tersebut, berbagai dialog yang dimainkan di dalam tradisi lisan jemblung dapat dinikmati oleh penonton dari arah yang agak jauh. Penggunaan
sound
system
sebagai
salah
satu
properti
dalam
performansi tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari sekaligus memperlihatkan bagaimana kesenian tradisional ini tampil diera teknologi modern. Kalau di daerah lain, performansi ini berlangsung secara tradisional, maka di dalam masyarakat Karangsari telah tampil dengan menggunakan sound sistem yang modern. Tentunya ini harus dipertanyakan, apakah setiap pementasan harus menggunakan alat yang sama? Apakah dalam pementasan di dalam
masyarakat
Karangsari
performansi
tradisi
lisan
jemblung
akan
ditampilkan sebagaimana di daerah lain? Maka setelah ditelusuri lebih jauh, maka ternyata tidak semua pementasan tradisi lisan jemblung dipersiapkan dengan baik sebagaimana yang terjadi di dalam pementasan yang dilakukan di
86
aula sanggar kesenian tradisional Cipto Roso. Dalam penampilannya di rumahrumah atau di tempat pesta, maka mereka hadir tanpa menggunakan sound sistem yang lengkap, tetapi terkadang mereka pentas tanpa pengeras suara. d.
Frekuensi Radio Penggunanaan frekuensi radio sebagai salah satu alat yang digunakan
dalam pementasan jemblung ini menunjukan bahwa tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari bukanlah pementasan tradisional, melainkan pementasan yang dipersiapkan dengan baik. Kesiapan kru Radio Komunitas FM Jaring Asmara untuk menyiarkan langsung pementasan itu merupakan suatu yang luar biasa dalam pementasan tradisi lisan jemblung. Melalui siaran langsung tersebut, masyarakat desa Karangsari dapat menikmati kesenian jemblung dari rumah, kebun, kios, atau dimana saja mereka berada. Dengan demikian, kami berpikir bahwa untuk kelangsungan tradisi lisan yang ada di Nusantara, seharusnya mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan teknologi dan perubahan sosial masyarakat. Penggunaan radio FM Jaring Asmara dalam berbagai pementasan tradisi lisan dalam masyarakat desa Karangsari merupakan langkah maju yang harus ditiru oleh daerah lain di Nusantara, terutama dalam pemanfaatan media elektronik lainnya. Pemanfaatan Radio FM Jaring Asmara dalam masyarakat desa Karangsari telah menghidupkan kembali berbagai tradisi lisan yang ada dalam masyarakat. Sehingga mendorong generasi muda untuk datang langsung menyaksikan pementasan tersebut. Di samping itu, tradisi lisan jemblung dapat dinikmati di berbagai tempat masyarakat bekerja. Ini sekaligus menjadi tantangan tradisi lisan dalam bersaing dengan berbagai hiburan modern yang dapat memanfaatkan kesenian tersebut. Bahkan kalau melihat beberapa situs di internet, maka performansi tradisi lisan jemblung pernah memanfaatkan situs untuk pemirsa di internet, dan ini artinya bahwa tradisi masyarakat di pelosok, sudah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dunia. Dengan demikian, pengembangan tradisi lisan jemblung yang telah memanfaatkan teknologi informasi dalam performansinya, dapat saja menjadi alternative dalam pemeliharaan dan pengembangan tradisi ini di masa depan. Di samping itu, penyebarannya melalui media internet akan merespon orang-orang yang berminat untuk mempelajari tradisi lisan jemblung di masa depan. Di sisi
87
yang lain, penggunaan media telpon genggam yang banyak menggunakan musik-musik tradisional juga menjadi ruang untuk pengembangan tradisi lisan, termasuk tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari. 3.3.2
Pemain Jemblung Telah di sebutkan di atas, bahwa salah satu unsur yang penting untuk
dijadikan sebagai fokus kajian dalam performansi atau pementasan tradisi lisan adalah penyaji atau performer. Karena pada peran penjayilah kelangsungan tradisi lisan itu berlangsung. Seorang penyaji dalam tradisi lisan, sebelum menjadi penyaji, terlebih dahulu menjadi audiens (penonton dan pendengar) selama bertahun-tahun. Setelah itu ia melakukan magang selama bertahuntahun pada seorang dalang senior, membantu dalam semua pementasan yang dilakukan oleh seniornya. Lalu lama-kelamaan dalam setiap pementasan ia mulai terlibat dan terkadang menggantikan seniornya dalam suatu kegiatan dan barulah ia menjadi dalang. Dengan demikian, performer dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari ini adalah para dalang atau pencerita dalam peristiwa penceritaan atau pementasan tradisi lisan. Dalam tradisi lisan jemblung, masyarakat desa Karangsari mengenalnya penyaji atau performer tersebut dikenal dengan istilah dalang. Ini disebabkan karena mereka masih terpengaruh dari kebudayaan Jawa yang sangat akrab dengan dunia pewayangan yang memiliki konsep “dalang” untuk menyebut tukang cerita atau performer dalam tradisi lisan jemblung tersebut. Kalau melihat performer tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari tanggal 13 Juli 2011, maka ada empat orang yang terlibat dalam tradisi lisan jemblung yaitu (1) Ki Joger, (2) Wasimin, (Salim) serta Mas Bambang sebagai pemilik sanggar sekaligus pimpinan kesenian dalam desa Karangsari. Dari segi umur empat pencerita ini adalah berumur rata-rata di atas enam puluh tahun, kecuali mas Bambang, yang juga masih aktif sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan dan Kebudayan Kabupaten Kebumen. Wasimin, pensiunan guru SD, sedangkan Ki Joger yang bertugas sebagai dalang utama dalam pementasan itu bekerja sebagai petani dan pengrajin. Pak Salim yang hidup dengan seorang cucu yang mengalami kondisi yang tidak menguntungkan, tetap bergabung dalam kelompok kesenian ini. Yang menurutnya ini adalah ruang
88
untuk mengajarkan nilai-nilai, serta menumbuhkan tradisi dan semoga masyarakat dapat mengikuti untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan leluhur. Dari segi umur, keempat pemain jemblung telah berusia. Oleh karena
itu, kondisi pelantun seperti ini, dapat saja mengancam
keberadaan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat desa Karangsari. Hal ini disebabkan karena, kurangnya perhatian dari generasi muda masyarakat Karangsari. Hal ini ketika kami tanyakan ke beberapa anak muda yang kami temukan di pinggir jalan yang sedang duduk di deker di dekat rumah Mas Bambang, “Apakah Anda mengenal jemblung? Maka spontan, itu tempat air mas. Ketika kami tekankan bahwa yang kami maksud adalah kesenian, yaitu seni tutur, maka mereka mengatakan bahwa, kami belum pernah nonton. Malam mereka bertanya, “Seperti apa itu pak?” Pernyataan dan pertanyaan anak-anak muda tersebut menggambarkan kondisi sosial dimana tradisi lisan jemblung hidup dan berkembang di dalam masyarakat desa Karangsari. Anak-anak mudanya sudah tidak mengenal tradisi lisan jemblung lagi, dan malah mereka lebih suka pada berbagai alternatif hiburan yang ditayangkan di berbagai saluran televisi. Di sisi yang lain, para dalang sudah mulai memasuki usia senja, memungkinkan tradisi lisan jemblung akan hilang dari bumi Karangsari jika tidak didorong melalui sanggar kesenian tradisional Cipto Roso. Terlebih dengan masuknya, teknologi telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, memungkinkan masyarakat desa Karangsari untuk mendapatkan lebih banyak alternative hiburan yang lebih gampang di dapat dan murah. Selama beberapa hari di desa Karangsari, kami menyaksikan bagaimana masyarakat
menikmati
berbagai
perkembangan
teknologi,
mulai
dari
penggunaan telpon genggam, televisi, video, sampai pemanfaatan telpon genggam sebagai resifer dalam mendengarkan berbagai hiburan yang menjadi program radio komunitas mereka. Para dalangpun memiliki telpon tenggam, sehingga mereka memiliki peluang untuk mendapatkan informasi yang sama dengan masyarakat lainnya di desa-desa tetangga termasuk berbagai infomasi yang datang dari desa-desa tetangga. Walaupun di antara para dalang tradisi lisan jemblung mengalami tanggung jawab yang sangat besar, di usia yang tua, Mas Salim sangat mengkhawatirkan cucunya yang belum tentu bisa bertahan sendirian ketika ia
89
tidak ada. Ketika mas Salim menceritakan kondisi itu, air matanya menetes, sebuah ke galauan seorang kakek yang akan meninggalkan seorang cucu yang secara fisik dan mental bisa bertahan dalam kehidupan yang semakin hari semakin sulit ini. Sambil meneteskan air matanya, ia menceritakan keadaan hidupnya bersama cucu seperti itu, ia sedih karena usianya yang sudah tua. Masa depan cucunya kemudian tidak akan jelas, ketika sudah tiada. Sebelum mementaskan tradisi lisan jemblung ini, para dalang melakukan pertemun di rumah mantan kepala desa untuk membicakan mengenai lakon akan mereka pentaskan besoknya. Pada rapat itu, mereka memutuskan untuk mementaskan lakon Ki Jaka Sangkrip yang membicarakan perjuangan hidup seorang bupati Kebumen di masa lalu. Di samping itu, mereka juga menyepakati Ki Joger sebagai dalang utama yang bertuga untuk mengatur jalannya cerita.
3.3.3
Penonton Penonton merupakan salah satu hal yang penting dalam pementasan
tradisi lisan. Mereka akan datang menyaksikan pertunjukan tradisi lisan, mereka memberikan penilaian, dan sekaligus mereka belajar tentang tradisi lisan yang disajikan. Mereka akan mengingat berbagai cerita yang selalu mereka tonton. Demikian juga dengan tradisi lisan jemblung yang ada di dalam masyarakaat desa Karangsari. Penontonlah yang akan memberikan penilaian terakhir, apakah pementasan tersebut sukses atau tidak? Penontonlah yang akan memberikan tanggapan apakah pementasan itu membosankan atau mengasyikkan. Dalam pementasan tradisi lisan jemblung yang diadakan di desa Karangsari pada tanggal 13 Juli 2011 yang lalu, para penonton Karangsari memadati seputaran sekretarian Sanggar Seni Cipto Roso yang berada di halaman depan rumah Mas Bambang Eko SH. S.Pd. Beberapa anak muda hadir di situ, mereka datang menikmati beberapa tradisi yang selama ini dinikmati melalui radio. Karena tradisi lisan jemblung jarang dilakukan secara langsung, maka hari itu beberapa anak-anak dan ibu-ibu datang untuk menyaksikan acara tersebut. Dari segi umur, penonton pada pertunjukan jemblung dalam masyarakat Karangsari dipenuhi oleh penonton yang terdiri dari beberapa jenis umur. Ada
90
anak-anak SD, yang kebetulan pulang sekolah, ada masyarakat yang pulang dari sawah, ada juga masyarakat yang baru pulang dari pasar, bertemu di tempat pementasan itu. Ini disebabkan karena pementasan ini telah diumumkan melalui Radio
Jaring
Asmara.
Sehingga
masyarakat
mengetahui
pelaksanaan
pementasan jemblung di halaman rumah Mas Bambang atau di sekretariat Sanggar Kesenian Tradisional “Cipto Roso” pimpinan Mas Bambang. Suasana matahari yang terik, tidak menyurutkan minat penonton tradisi lisan jemblung. Masyarakat datang berbondong-bondong menyaksikan beberapa pementasan tradisi lisan yang diadakan oleh Sanggar Kesenian Tradisional “Cipto Roso”, yang merupakan salah satu sanggar seni yang paling aktif di desa Karangsari. Pementasan yang dilakukan pada pukul 11.16 WIB ini telah memberi kesempatan kepada para petani dan murid sekolah yang lewat di sekitar itu untuk menyaksikan pementasan. Dalam pementasan tersebut, beberapa kali penonton tertawa terutama saat mereka menyaksikan para dalang jemblung yang memainkan suara-suara seperti suara ayam (yang biasa dimainkan oleh Pak Salim, suara Monyet, suara kerbau, semua itu mengundang tawa para penonton. Di samping itu, penonton juga sangat tertarik pada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para dalang, misalnya gerakan tangan, raut wajah, mimic dan ekspresi lainnya menyedot mata penonton. Di samping itu, penonton juga sangat tertarik pada cerita yang dilakonkan, karena sebenarnya cerita itu sudah diketahui oleh banyak masyarakat desa Karangsari, namun pementasan ini merupakan ruang baru dalam pementasan atau penceritaan tradisi lisan, maka semua ini tetap meminta perhatian
penonton.
Banyak
hal
yang
dilakukan
para
dalang
dalam
mengembangkan cerita. Sehingga ketika menyaksikan tradisi ini secara langsung, akan melahirkan kondisi yang berbeda apabila cerita ini di baca di buku atau diperpustakaan. Apa bila melihat keseriusan berapa penonton yang menikmati cerita ini, ini tentu berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang kisah Ki Jaka Sangkrip yang selama ini dipahami oleh masyarakat desa Karangsari. Kisah atau lakon ini selalu disiarkan atau dipentaskan melalui Radio Jaring Asmara. Menurut Mas Bambang, pendengar radio Jaring Asmara ini, di samping masyarakat desa Karangsari juga berasal dari beberapa daerah di sekitar Karangsari atau bahkan
91
sampai di kota Kebumen. Mereka sangat antusias dalam menanggapi siaran yang memuat pementasan tradisi lisan jemblung. Mengacu pada SMS yang masuk ke radio, maka ada yang dari beberapa kecamatan lain. Sehingga kalau pementasan ini disiarkan secara langung oleh radio Jaring Asmara, maka jumlah pendengarnya pun tidak dapat dideteksi secara detail. Namun satu hal yang menarik dari masyarakat desa Karangsari adalah kemampuan mereka memanfaatkan media elektronik untuk menikmati atau menyebarluaskan tradisi lisan mereka. Berdasarkan jenis audiens yang ada dalam tradisi lisan jemblung tersebut, maka jenis audiens itu perlu dibedakan.
Pertama adalah audiens
sebagai penonton yaitu mereka yang hadir langsung di tempat pementasan, dan kedua adalah para pendengar yang menjadi audiens pementasan tradisi lisan jemblung dari resiver mereka. Dengan demikian, mereka tidak berada di tempat pementasan, tetapi mereka bisa saja sedang memasak di dapur, bekerja di sawah, atau sedang tidur-tiduran di kamar. Banyak audiens tradisi lisan jemblung yang mendengarkan berbagai pementasan tradisi lisan jemblung terutama saat siaran langsung dari studio Radio Jaring Asmara. Mereka mendengarkan dan terkadang memberikan respon kepada para dalang yang ada di studio melalui telpon atau pesan singkat melalui perangkat telpon genggam mereka. Bahkan, keterlibatan penonton menjadi sangat dominan, jika dibandingkan dengan menonton secara langsung. Masyarakat memiliki keberanian untuk bertanya dan mengomentari berbagai masalah di dalam masyarakat melalui sms, dari pada berbicara langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penonton yang menonton tradisi lisan jemblung yang dipentaskan di dalam masyarakat desa Karangsari adalah para siswa SD, petani yang pulang dari sawah, serta beberapa anak muda yang lewat di daerah itu. Di samping itu, penontonnya adalah warga desa yang ada di sekitar aula Sanggara Kesenian Tradisional Cipto Roso yang ada di desa Karangsari. Dari segi keterlibatan penonton, terlihat bahwa penonton sangat antusias, terutama dalam merespon kelucuan yang dimainkan oleh para pemain atau dalang. 3.3.4
Partisipan
92
Yang dimaksud dengan partisipan dalam pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat Karangsari adalah seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam rangka terwujudnya pementasan tersebut. Dengan demikian, partisipan bukan hanya mereka yang menyiapkan, termasuk para dalang, tetapi penonton juga dapat berpartisipasi dalam pementasan tersebut. Sebagai pementasan atau performansi yang lainnya, maka pementasan tradisi lisan jemblung ini melibatkan beberapa pihak. Di antara pihak-pihak yang dilibatkan adalah kru Radio Jaring Asmara, Mba Iva yang ada di Studio, kru Sound sistem di bawah pimpinan Mas Syukur, seorang pengusaha muda masyarakat desa Karangsari yang memiliki komitmen untuk mendukung tiap-tiap pementasan dari segi peralatan berupa sound sistem yang lengkap. Dengan demikian, pementasan tradisi lisan jemblung tidak lagi sesederhana yang kita bayangkan, dimana meraka tinggal datang membawa diri dan bercerita, karena jemblung merupakan tradisi lisan yang alatnya hanya kemampun memainkan mulut. Lalu itu dianggap selesai, melainkan melibatkan banyak partisipan dalam sebuah pementasan, kru panggung, tata busana, seksi konsumsi. Mereka bekerja untuk sebuah pementasan tradisi lisan jemblung. Di samping itu, yang berpartisipasi dalam pementasan jemblung adalah kru yang menyiapkan sesajian. Ini tentunya harus dipersiapkan sejak malamnya, sehingga pementasan ini memerlukan persiapan sesajian yang tentunya ini juga akan rumit, karena dalam sesajian tersebut, terdiri dari ketupat, ayam bakar, teh, kopi, telur rebus, nasi tumpeng dan lain-lainnya dan itu membutuhkan partisipasi masyarakat desa Karangsari. Terutama mereka yang memasak sesajian tersebut. Dengan demikian, pementasan tradisi lisan jemblung melibatkan banyak partisipan yang masing-masing memiliki fungsi dan perannya masing-masing, misalnya ada yang konsentrasi pada Radio Jaring Asmara yang melakukan siaran langsung, kru makanan yang menyiapkan sesajin, dan kru sound sistem yang menyiapkan sound sistem sehingga dapat digunakan dalam pementasan ini. Sebelum pementasan di mulai, kru Mas Syukur telah sibuk mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sound sistem, mereka telah sibuk sejak pagi atau bahkan sejak malamnya. Sementara anak buah Mas Bambang sudah
93
menyiapkan panggung dan latar panggung yang juga dilakukan sehari sebelum pementasan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi lisan jemblung sudah hampir sama sibuknya dengan konser music modern yang banyak melibatkan personil dalam kegiatan tersebut. Tentunya, ada beberapa motiv yang terjadi pada setiap partisipan, namun secara umum, mereka semua sibuk pertama karena mereka cinta dengan tradisi lisan mereka, kedua, mereka menjadikan ini sebagai ruang sosialisasi diri, ketiga, karena ini juga berhubungan dengan keberadaan mereka di dalam suatu masyarakat, karena kepala desa merupakan kakak mas Bambang. Tentunya ini juga harus dapat dipertimbangkan dari segi kekuasaan. Di samping itu, aspek meteri juga sudah mesti dipertimbangkan dalam keberadaan partisipan dalam pementasan tradisi lisan jemblung. Ada juga yang berpartisipasi seperti ini sebagai media sosialisasi produk, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ki Joger bahwa terkadang dalam melakukan
siaran
langsung
di
Radio
Jaring
Asmara,
terkadang
ia
menginfomasikan semacam iklan tentang produk kreatifnya berupa kayu-kayu ukiran. Sehingga jika melihat motiv masyarakat berpartisipasi dalam tradisi lisan jemblung akan bervariasi. Misalnya, Pak Wasimin dan kakaknya yang pensiunan guru, tentunya akan memiliki motivasi yang berbeda dengan paritisipan yang lainnya. Mereka akan cenderung melihat kesenian tradisional ini sebagai ruang eksistensi diri dan tanggung jawab mereka pada keberlanjutan tradisi di dalam masyarakat Karangsari. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wasimin bahwa, “Pada prinsipnya mereka menyukai kesenian sepetri ini sejak kecil, mengapa karena orang tua mereka adalah pemain gamelan sejak dulu”. Jika melihat semangat itu, maka mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk berpartisipasi dalam pementasan tradisi lisan di dalam masyarakat Karangsari. Mereka memiliki kecintaan terhadap seni karena sejak anak-anak mereka sudah tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga seni. Ini tentu akan berbeda dengan Mas Bambang, di samping sebagai salah satu tokoh masyarakat yang ada di desa Karangsari, keberadaan sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso telah menjadikannya untuk bisa eksis ke
94
beberapa tempat di luar desa, bahkan mas Bambang dapat menjadi salah seorang pejabat yang menangani kebudayaan di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen. Ia bahkan sudah memperkenalkan kesenian tradisi lisan masyarakat Kebumen ke beberapa kegiatan tingkat nasional atau bahkan ke tingkat internasional. Ini menunjukkan bahwa Mas Bambang merupakan salah satu kekuatan atau tokoh masyarakat desa Karangsari yang mampu melahirkan beberapa partisipasi masyarakat di bidang kesenian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam pementasan tradisi lisan jemblung disebabkan karena mereka tumbuh dan berkembang dalam nilai-nilai dan tradisi yang dekat dengan tradisi lisan jemblung. Sehingga mereka sudah memiliki motivasi, hal ini karena tradisi lisan jemblung sudah ada di dalam keseharian mereka. Mereka banyak dibesarkan dengan nilai-nilai dan tradisi yang dimuat dalam tradisi yang membentuk kebudayaan mereka. 3.4 Pementasan Tradisi Lisan Jemblung sebagai Hiburan Alternatif Sebagai kesenian tradisional, tradisi lisan jemblung mengakar dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa Karangsari. Nilai-nilai dan tradisi yang membangun kesadaran mereka tidak hanya menjadikan mereka bagaimana mereka menjadi masyarakat Jawa, tetapi kesenian tradisional itu telah menjadi media alternatif dalam kehidupan mereka dewasa ini. Kalau selama ini, masyarakat Karangsari berpikir untuk membangun kesadaran bersama dalam pembangunan desa, mulai dari pembangunan kotak surat, papan informasi, sampai
pembangunan kelompok-kelompok, tetapi
partisipasi masyarakat masih sangat kurang terutama dalam menyalurkan aspirasi pemikiran mereka. Melihat kondisi tersebut, maka dibangulan kelompok-kelompok seni dan pembangunan Radio FM Jaring Asmara. Melalui inilah kemudian, masyarakat Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen memulai partisipasi masyarakatnya. Pementasan kesenian-kesenian tradisional yang disiarkan secara langsung oleh radio FM Jaring Asmara, menjadi hiburan alternatif dalam masyarakat desa Karangsari dan desadesa di sekitarnya. Dengan mendegarkan berbagai pementasan kesenian tradisional melalui radio tersebut, kemudian dilakukan berbagai upaya pencerahan dan sosialisasi
95
program pemerintah desa. Melalui program ini kemudian, banyak mendapatkan tanggapan dari masyarakat melalui pesan singat atau SMS. Kalau melalui kotak surat, mereka malu untuk menyampaikan itu, papan informasi juga tidak maksimal, maka melalui pementasan langsung melalui radio, memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan desa. Mereka lebih leluasa mengirimkan tanggapan mereka, saran mereka, terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Sebaliknya, melalui radio FM Jaring Asmara pemerintah dapat menitipkan pesan, baik kepada mereka para dalang yang diselipkan dalam dialog-dialog sisipan, seperti dalam kasus wayang kulit disebut dengan goro-goro46. Dengan demikian, di samping sebagai hiburan alternatif di tengah serbuan budaya asing yang dibawa oleh media, mereka lebih memilih untuk mendengarkan siaran radio, karena radio tersebut memiliki informasi yang aktual dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai contoh, dalam pementasan tradisi lisan jemblung yang dipentaskan di dalam masyarakat Karangsari, ketika tokoh pesuruh Ali-Ali anak buah Nyai Roro Kidul datang untuk memeriksa kerajaan, maka berkatalah abdi yang ditemuinya, bahwa “Kampung dalam keadaan baik, karena ada program PNPM Mandiri dari Pemerintah. Jalan-jalan dibangun, sehingga masyarakat dapat menjalankan motor mereka dengan baik di jalan-jalan kampung”. Ini menunjukan bahwa kesenian jemblung bukan hanya menjadi media hiburan biasa, tetapi menjadi media alternatif dalam membangun impian kolektif mereka atau kalau menggunakan bahasa modern visi dan misi bersama dalam membangun desa Karangsari. Konsep yang digunakan oleh masyarakat Karangsari untuk mementaskan tradisi lisan melalui radio komunitas, merupakan salah satu bentuk kreativitas yang harus ditiru oleh
berbagai
kebudayaan
lain
di
Nusantara.
Melalui
pemanfaatan media
telekomunikasi seperti ini, kesenian tradisional bukannya akan mengalami mati suri, melainkan salah satu media alternatif dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin terkikis identitas dan moralnya. Di sinilah kami kira, bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi dalam pembangunan kebudayaan dewasa ini. Banyak negara yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dan kekayaan budaya mereka dalam membangunan kebudayaan modern mereka. Sehubungan
46
Wawancara dengan Mas Bambang tanggal 14 Juli 2011 di studio Radio Komunitas FM Jaring Asmara.
96
dengan itu, Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa nilai-nilai tradisional bisa menjadi sumber inspirasi dalam penciptaan kebudayaan baru di masa depan. Di samping itu, banyak produser-produser film di Afrika dan India mengangkat nilai-nilai tradisional mereka sebagai inspirasi dalam pembangunan kebudayaan mereka melalui film. Orang Jepang, China, dan Korea Selatan membuat film-film mereka dengan terinspirasi dari nilai-nilai tradisional mereka, mereka bisa mengajarkan nilai-nilai dan tradisi mereka dengan menfaatkan media dan teknologi modern. Rupanya, walaupun hanya melalui radio FM, masyarakat desa Karangsari telah memanfaatkan teknologi dalam pembangunan kebudayaan mereka. Dan kalau ini dapat didukung oleh pemerintah, maka pembangunan kebudayaan di Indonesia dapat menggali nilai-nilai dan tradisi yang ada dalam berbagai kebudayaan, dalam mendukung ekonomi kreatif. Dengan demikian, kesenian tradisional jemblung bukan hanya sebagai media hiburan semata, melainkan sebagai ruang inspirasi bagi pambangunan kebudayaan di masa depan. Tradisi lisan jemblung diharapkan dapat menjadi media yang mampu memberikan inspirasi dalam pengembangan ekonomi kreatif khususnya di daerah Karangsari dan Kebumen pada umumnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagai media alternatif tradisi lisan jemblung dapat menjadi media alternatif dalam masyarakat yang saat ini banyak disuguhi oleh berbagai berita dan siaran yang membosankan. Kalau selama ini mereka hanya menonton berbagai film sineteron dan berita di televisi mengenai pejabat yang korup, pemerintah yang lamban, serta perilaku penegak hukum yang cenderung tidak adil dalam memutuskan perkara. Menonton atau mendengarkan kesenian tradisional seperti jemblung menjadi pilihan, dalam mengisi dan menghibur kegundahan dan keputusasaan masyarakat terharap perkembangan kehidupan kebangsaan yang semikin tidak pasti.
97
BAB IV FORMULA DAN KOMPOSISI SKEMATIK TRADISI LISAN JEMBLUNG 4.1 Formula Tradisi Lisan jemblung Pementasan dalam tradisi lisan tidak dapat dipisahkan dengan system formula dan komposisi skematik, karena kedua hal itu adalah tidak dapat dipisahkan dengan pementasan itu sendiri. Sehubungan dengan itu, selain berbicara tentang formula sebagai ciri utama kelisanan, Lord47 juga menekankan aspek-aspek kelisanan puisi Yugoslavia berupa komposisi, performansi, dan transmisi. Menurut Lord48, bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi (pertujukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat bersamaan. Lord mengatakan bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di dalam performansi (1981: 13). Selanjutnya, ia menjelaskan ada tiga tahap dalam proses komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar. Untuk mengetahui bagaimana sistem formula dan komposisi skematik tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari, maka dilakukan analisis guna memahami mengapa seorang pelantun atau para dalang tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari mampu mengingat cerita yang begitu panjang. Terlebih ketika mereka mementaskannya secara bersama-sama. Di samping itu, mereka juga dapat melakonkan berbagai cerita tanpa membaca cerita di dalam buku. Cerita tersebut seolah mengalir begitu saja ketika mereka tampil
di
atas
panggung.
Mereka
bercerita
di
atas
panggung
tanpa
mempersiapkan diri terlebih dahulu, tetapi mereka hanya bertemu dan berjanji bahwa mereka akan melakonkan suatu cerita tertentu. Hal ini sebagaimana ketika mereka melakonkan tradisi lisan jemblung di aula Sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso di desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah tersebut.
47
Albert B. Lord, The Singer...
48
Ibid., hlm. 13-29
98
Dalam pementasan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari pemanfaatan sistem formula sebagaimana dikemukakan oleh Lord di atas, digunakan dalam rangka mempermudah para dalang dalam penceritaan lakon Ki Jaka Sangkrip. Walaupun penggunaan formula tidak seperti pada apa yang dimaksud Lord dalam nyanyian rakyat Yogoslavia. Hal ini disebabkan karena tradisi lisan jemblung tidak ditampilkan dalam bentuk nyanyian, melainkan ditampilkan dalam bentuk cerita tutur atau semi drama. Sehubungan dengan itu, Teeuw (1988: 4), mengatakan bahwa beberapa tradisi lisan, seperti pantun Sunda dan puisi kentrung Jawa, jika dipandang dari segi formula dan formulaic, maka akan memiliki kemiripan dengan puisi yang diteliti oleh Lord; di samping formula yang kuat, juga adanya persediaan streotip yang dapat dirakit menjadi pantun (Kartini, 1984) atau kentrung (Hutomo, 1993) sesuai dengan kebutuhan. Namun, tidak semua konsep teori dasar formula Lord sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga penyesuain-penyesuaian atau “adaptasi” dengan konteks tradisi masing-masing dilakukan sesuai dengan objek di lapangan. Beberapa penelitian yang pernah melakukan penyesuaian mengenai penerapan konsep formula tersebut adalah terjadi pada kasus tanggomo, walaupun Nani Tuloli secara umum berupaya untuk menerapkan teori formula Lord dalam kajiannya, tetapi pada akhirnya Nani Tuloli harus menerima bahwa data tanggomo bukanlah nyanyian yang dikembaangkan melalui matra-matra yang tetap, melainkan cerita tutur yang kemudian berkembang melalui alur cerita. Sehingga dalam kesimpulannya dapat dilihat bahwa secara khusus ada perbedaan. Perbedaan tersebut, terjadi karena dalam tanggono tidak ditemukan sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap pada suku atau kata tertentu. Ini disebabkan tanggomo merupakan tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang berbentuk cerita rakyat, dan akan berbeda dengan nyanyian masyarakat Yogoslavia yang diteliti oleh Albert B. Lord. Hal senada juga diungkapkan oleh Hutomo dalam penelitiannya mengenai tradisi lisan kentrung di Tuban. Menurut Hutomo, teori formula Lord tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada tradisi lisan kentrung, sehingga dalam aplikasinya ia menyebut konsep ini dengan istilah
99
“semacam formula”. Hal yang sama juga disampaikan oleh Amin Sweeney49 bahwa tidak semua kesimpulan Lord yang berlaku di Yugoslavia dapat diterapkan sepenuhnya di dalam komposisi tradisi Melayu. Sehubungan dengan pendapat di atas, teori formula Lord juga akan diterapkan secara tepat dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Hal ini disebabkan karena tradisi lisan jemblung memiliki kasus yang sama antara kasus Tanggomo yang dianalisis oleh Nani Tuloli atau kasus kentrung yang dianalisis oleh Hutomo. Dalam kajian ini, pemanfaatan teori formula Lord tetap digunakan, mengingat teori ini sangat membantu para dalang untuk mengingat cerita di dalam suatu pementasan tradisi lisan jemblung tersebut. Bahwa persoalan yang paling penting harus dipahami adalah mengapa para dalang mampu melakukan komposisi mengenai cerita yang panjang dalam suatu pementasan tanpa harus menghafal terlebih dahulu. Bagaimanapun sebagai sebuah tradisi lisan, para dalang jemblung tetap memanfaatkan sistem formula, walaupun tidak terikat oleh adanya ritme, melainkan lebih banyak digerakan oleh adanya motif yang dikembangkan berdasarkan konsep ruang sesuai dengan perjalanan tokoh Ki Jaka Sangkrip dalam lakon tersebut. Pengulangan beberapa motif-motif ini kemudian yang disinyalir oleh Hutomo “semacam formula” di dalam pementasan tradisi lisan kentrung yang ditelitinya di dalam masyarakat Tuban. Pengulangan kata atau kelompok kata dalam membangun alur cerita dapat dikembangkan dalam tradisi lisan jemblung. Sebelum melakukan analisis terhadap sistem formula tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa tengah ini, diperlukan beberapa langkah penyelesaian terutama dalam proses memahami bahwa tradisi lisan jemblung masyarakat
desa
Karangsari
berbeda
dengan
nyanyian
rakyat
masyarakat Yogoslavia yang memiliki ritme dan bait. Ini akan berbeda
49
Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay Word, (Berkeley-Los Angeles-
London: University of California Press, 1987), hlm. 68.
100
dengan tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari berbentuk cerita, ditampilkan seperti cerita rakyat, tetapi dimainkan seperti di dalam drama, sehingga pengembangan alur cerita didasarkan pada pengaluran atau plot yang dibangun berdasarkan sekwen cerita. Alur cerita mengalir berdasarkan konsep ini. Sehingga dalam menganalisis formula sebagai salah satu fokus dari pemikiran Lord dalam penelitian ini, akan diarahkan bagaimana sistem formula dan formulaik dalam bentuk sekwen-sekwen cerita sebagai sesuatu yang berperan penting dalam rangkaian pementasan tradisi lisan
jemblung
masyarakat desa Karangsari
tersebut. Sehubungan dengan itu, tradisi lisan jemblung menyajikan berbagai jenis lakon yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Di dalam performansi yang ditampilkan dalam lakon “Sang Ki Jaka Sangkrip” yang dimainkan oleh Ki Joger dan teman-temannya. Lakon “Sang Ki Jaka Sangkrip” menceritakan perjalanan kehidupan bupati Kebumen yang melakukan perjalanan dalam menemukan diri diri daan keluarganya setelah dibuang karena sakit-sakitan. Namun pertemuannya dengan Brahmana membuat Ki Jaka Sangkrip mendapatkan petunjuk dan kesaktian, sehingga ia mampu memahami apa-apa yang ditemukan di sekitarnya, termasuk keinginannya untuk kembali kepada keluarganya. Secara sepintas, akan muncul kekaguman pada kemampuan empat dalang yang menceritakan cerita Joka Sangkrip yang begitu panjang. Mereka bercerita seolah mengalir dari empat dalang jemblung tanpa henti. Mereka memiliki kekuatan untuk menceritakan sebuah lakon, seolah mereka menghafal lakon yang panjang tersebut. Keheranan itu sama dengan keheranan Albert B. Lord dan Milman
Parry yang kagum terhadap daya ingat Homer yang
melantunkan puluhan ribu baris tanpa mengalami hambatan (1981). Hal yang sama juga terjadi pada para pelantun50 бanti-бanti yang setelah menyanyikan tradisi бanti-бanti Wakatobi bertanya mengapa itu terjadi, mengapa mereka 50
Dalam sebuah wawancara Wa Ina Kii, mengatakan bahwa apa yang membuat kita bisa
melantunkan teks yang begitu panjang, pada hal kalau kita pikirkan maka itu tidak mungkin kita dapat lakukan (Udu, 2012 : 12).
101
dapat mengetahui teks-teks бanti-бanti yang sama sekali tidak pernah dipikirkannya sebelum bernyanyi. Keheranan itu, dapat dipahami setelah ditemukan pola paralelisme dan repetisi dalam syair-syair yang dilantunkan oleh Homer. Yang kemudian dipolulerkan oleh Lord sebagai teori formula (1981: 30). Dalam rangka memahami, mengapa para dalang jemblung mampu bercerita dalam waktu yang panjang tersebut, maka perlu dilakukan analisis mengenai sistem repetisi dan paralelisme yang ada dalam cerita Ki Jaka Sangkrip sebagai ruang untuk mengingat bagi para dalang dalam proses komposisi di saat melakukan performansi. Mereka menggunakan sistem formula dan formulaic dengan berpijak pada aspek komposisi skematik yang ada dalam tradisi lisan jemblung Jika melihat penceritaan yang ada dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari di atas, maka terdapat beberapa paralelisme dan repetisi yang digunakan oleh para dalang. Teks cerita dalam tradisi lisan jemblung yang ditampilkan dalam pementasan ini di atas, memperlihatkan adanya sistem formula yang membantu sang dalang untuk mengingat, sehingga mereka mampu bercerita secara lancer, mulai dari awal hingga akhir cerita. Dengan menggunakan sistem formula, sang dalang mampu melanjutkan ceritanya. Dalang yang satu dengan dalang yang lainnya sambung-menyambung membangun cerita. Karena setiap kata atau kelompok kata yang selalu diulang (repetisi) memiliki hubungan (parallel) dengan bagian cerita berikutnya. Di samping itu, para dalang juga telah memiliki memory yang kuat mengenai cerita tersebut, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mengembangkan alur cerita setelah salah seorang di antara mereka menyebutkan cerita tersebut. Sehubungan dengan konsep Formula dalam analisisnya mengenai kentrung atau jemblung yang menyajikan cerita Sarahwulan di dalam masyarakat Tuban, Hutomo mengatakan bahwa penggunaan formula sebagaimana yang dimaksud oleh Lord (1981: 30) di dalam dunia pewayangan Jawa bisa disamakan dengan istilah cakepan blangkon atau capekan kethu (Atmodjo dalam Hutomo, 1993: 109). Dimana bagi orang Jawa, blangkon dan kethu itu hanya dipakai apabila dibutuhkan, tetapi jika tidak dibutuhkan maka ia akan tetap di tempatnya, yaitu canthelan. Analogi ini, akan lebih jelas, ketika dihubungkan dengan sistem memori manusia, dimana memori manusia akan merespon dan mengeluarkan apa yang tersimpan ketika mendapatkan stimulus dari luar.
102
Sehingga setiap mendengarkan kata atau kelompok kata yang muncul dari seorang dalang, maka dalang lain dapat melanjutkan cerita atau mengingat kelanjutan cerita. Karena cerita yang diungkapkan oleh seorang dalang, akan memberikan stimulus untuk munculnya cerita tersebut di memory dalang lainnya. Dengan kondisi tersebut mereka dapat menyambung cerita antara seorang dengan seorang dalang yang lainnya. Hal yang sama juga terjadi dalam pementasan dalang jemblung masyarakat Karangsari, ketika mementaskan cerita Ki Jaka Sangkrip. Dalam pementasan itu, sang dalang menggunakan kata atau kelompok kata khusus sebagai konsep skematik yang tersimpan dalam memori kolektif masyarakat desa Karangsari. Kata atau kelompok kata merupakan unsur-unsur bahasa yang sewaktu-waktu dapat digunakan oleh dalang untuk menceritakan peristiwa tertentu yang terulang. Peristiwa yang terulang dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari ini yang mungkin sama dengan apa yang dimaksud oleh Lord sebagai tema (bdk, Hutomo, 1993: 109). Kata atau kelompok kata yang selalu digunakan oleh para dalang dalam cerita Ki Jaka Sangkrip antara lain ialah: kademangan kuntowinangun, yang dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari diungkapkan secara bersama-sama atau suara kor oleh para dalang. Pengulangan kelompok kata ini merupakan ruang untuk mengingat stok cerita sebagai kelanjutan cerita. Selanjutnya, dalam lakon Ki Jaka Sangkrip, juga menggunakan pola pertanyaan untuk mengingatkan dalang lain kepada kelanjutan cerita yang akan mainkan. Pola ini akan membantu para dalang untuk mengingat sambungan cerita, ketika ia mengalami kendala untuk mengingat kelanjutan cerita. Kelompok kata tanya biasa digunakan oleh salah seorang dalang, kelompok kata tanya seperti sing ane warunge kae “yang ada warungnya itu ya?” Pertanyaan itu mengingatkan mereka (para dalang) untuk mengingatkan memory mereka pada cerita Demang Kuthowinangun Hangga Yudha. Dari situlah kemudian berkembang cerita mereka. Mula-mula para dalang memperkenalkan tokoh melalui latar cerita mereka. Sebuah warung yang dihuni oleh Demang Kuthowinangun Hangga Yudha. Pertanyaan mengenai adanya tujuh orang anaknya, mengingatkan mereka untuk memulai cerita Ki Jaka Sangkrip. Selanjutnya pengulangan nama tokoh Ki Jaka Sangkrip juga menjadi ruang untuk mengingat apa alur cerita berikutnya.
103
Di dalam cerita Ki Joko Sangkip tersebut, formula melalui kata atau kelompok kata tersebut selalu digunakan oleh dalang sebagai sarana untuk mengingat dan melanjutkan ceritanya. Dalam lakon Ki Jako Sangkrip, terdapat pula beberapa kata yang selalu digunakan seperti, kata Tanya (sing ane warunge kae?),
pengulangan
nama
(kademangan
Kunthowinangun),
kebonaken,
perjalanan (…. ), kata sikacapo koyo, semedine, kebo bule, kacop kacarita Ki Jaka Sangkrip, ana, setelah …., kemudian pergi ke selatan, bertemu dengan, ditanya tentang, memberi nama pada desa, melihat orang, bertanya tentang, bertapa, bertanya tentang tujuan, menjelaskan, dan melanjutkan perjalanan. Beberapa kata tanya dalam cerita Ki Jaka Sangkrip memberikan ruang untuk adanya kelanjutan cerita. Kata-kata tanya itu menjadi sarana untuk mengingat cerita. Pertanyaan atau pernyataan mengenai tempat yang ditemukan dalam oleh Ki Jaka Sangkrip dalam perjalanannya mencari keluarganya menjadi ruang repetisi dan paralelisme yang senantiasa digunakan oleh para dalang dalam mengembangkan alur cerita. Di dalam pementasan tradisi lisan jemblung, jika seorang dalang berhenti dalam suatu bagian ceritanya, maka dalang lain akan memberikan pertanyaan, sehingga membantu dalang lainnya untuk mengingat kelanjutan cerita tersebut. Dengan demikian, beberapa sistem formula yang dapat digunakan dalam pementasan tradisi lisan jemblung adalah penggunaan kata “tanya”. Dengan bertanya, maka akan melahirkan jawaban dari seorang dalang lainnya. Melalui jawaban itu pula, dalang lainnya dapat melanjutkannya dengan tetap mengacu pada sekwen cerita yang telah dibangun oleh dalang sebelumnya. Misalnya, ketika bertanya tentang siapa dalang Kunthowinangun? Maka pertanyaan diajukan oleh dalang Wasimin. Ia bertanya tentang Demang Kunthowinangun sang dalang terkenal. Wasimin kemudian memperjelas siapa dalang terkenal itu, ia kemudian bertanya “sing ana warunge kae?” “yang ada warungnya itu ya? Pertanyaan itu mendorong dalang Ki Joger untuk mengingat dan menjelaskan tentang sang dalang, ia kemudian menjawab bahwa “ya sing asri kae” “iya yang asri dulu” kemudian memori Ki Joger melanjutkan ceritanya dengan mengingat dalang terkenal itu. Karena Ki Joger masih menjelaskan ketenaran Demang Kunthowinangun terlalu panjang dan dianggap oleh Mas Bambang telah terjadi pengembangan alur yang terlalu luas, maka Mas Bambang mengingatkan Ki Joger dengan
104
memberikan pertanyaan tentang nama dari sang Demang. Ia bertanya bahwa “Kui demang ana jenenge mbok” “Demang itu, ada namanya? Pertanyaan itu kemudian memberikan pengaruh kepada dalang lain untuk mengingat siapa Demang Kunthowinangun itu, sehingga pertanyaan-pertanyaan itu tersebut merupakan salah satu pola yang penting dalam kajian formula mengenai tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari. Melalui penggunaan kata tanya, yang ada di dalam tradisi lisan jemblung alur cerita dapat dikembangkan menjadi alur cerita yang dapat dikembangkan selama berjam-jam. Melalui sistem pertanyaan seperti ini para dalang mampu mementaskan suatu cerita dalam tradisi tersebut. Dengan demikian, pola formula sebagaimana dikemukakan oleh Lord, tidak semuanya dapat diterapkan dalam tradisi lisan ini, tetapi konsep mengenai pengulangan kata atau kelompok kata tersebut, tetap menjadi sarana sistem paralelisme dan repetisi dalam membangun formula yang dimanfaatkan dalam pementasan tradisi lisan jemblung
masyarakat
desa
Karangsari.
Ini
menunjukan
bahwa
untuk
mengingatkan dalang lainnya, seorang dalang akan bertanya kepada dalang lainnya tentang sesuatu, apakan menggunakan kata tanya yang merujuk pada waktu seperti penggunaan kata tanya yang berhubungan dengan kondisi waktu misalnya penggunakan kata dengan kapan, atau bertanya tentang seseorang misalnya pertanyaan yang menggunakan kata tanya siapa? Dengan demikian, pementasan tradisi lisan jemblung dalam masysarakat desa Karangsari lebih memanfaatkan berbagai pertanyaan dalam rangka mengembangkan ceritanya. Sekwen cerita dibangun dari adanya beberapa pertanyaan yang dikembangkan oleh para dalang. Lalu apakah kehadiran kata tanya dalam pementasan ini yang kemudian dapat disebut dengan formula? Mungkin ini akan berbeda dengan apa yang ditemukan Lord, tetapi memiliki hubungan parelelisme yang sama dengan seperti apa yang ada dalam pemikiran Lord, dimana beberapa pertanyaan itu telah menjadi bagian yang penting dalam pengembangan cerita. Karena pertanyaanpertanyaan itu akan mendorong dalang lain untuk menjawab sesuai dengan bentuk pertanyaan. Sehingga kemungkinan untuk melupakan alur cerita sangat kecil. Ketika Ki Joger atau Wasimin terlalu panjang lebar bercerita pada suatu tempat, maka Mas Bambang akan berkata “terus”, lalu kedua dalang itu akan melanjutkan cerita dengan kembali kepada kata “diceritakan dan langsung
105
menunjuk pada pertemuan atau nama tempat yang baru ditemukan tokoh Ki Jaka Sangkrip dalam perjalannya menuju ke arah selatan. Di samping itu, penggunaan kata tanya tersebut, kehadiran salah satu tokoh yang selalu meminta untuk ditirukan alurnya juga membantu proses penceritaan menjadi lancar. Dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari, dalang mas Bambang memberikan ruang untuk memberikan kelanjutan cerita, misalnya dengan memberi pertanyaan dan mengatakan ‘terus’, sehingga alur cerita dapat dilanjutkan oleh dalang yang lain. Beberapa penggunaan kata ‘terus’ ini, akan mengingatkan kepada sang dalang untuk melanjutkan alur cerita kepada sekwen yang lain, atau tetap mengembangkan sekwen cerita atau peristiwa utama yang sedang diceritakan. Seorang dalang yang bertanya, “terus” ini akan mendorong dalang lain untuk memberikan penekanan pada alur cerita yang sedang diceritakan atau malah memilih untuk berpindah kepada ruang dan peristiwa baru. Dengan demikian, penggunaan kata “terus” ini berpeluang untuk memperpendek atau memperpannjang alur cerita. Karena ketika pernyataan itu ingin dijelaskan oleh dalang lainnya, maka akan terjadi kondisi dimana alur akan diperpanjang atau diperpendek oleh dalang yang sedang bercerita. Sebaliknya penggunaan kata ‘terus” sebagaimana dikatakan oleh Mas Bambang dalam lakon Ki Jaka Sangkrip ini memberikan ruang untuk menegaskan atau memperpendek alur cerita, sehingga pernyataan itu sangat penting untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam tradisi lisan ini. Mengingat pertanyaan atau pernyataan itu, memegang perananan penting dalam pengembangan alur cerita. Ini tentunya tidak terlepas dari kondisi penonton, bagaimana reaksi penonton di dalam suatu pementasan. Apakah penonton masih tertarik dengan bagian cerita itu atau sudah tidak tertarik dengan bagian alur cerita tersebut. Jika penonton kurang antusias dengan bagian cerita tesebut, dan waktu pementasan tidak panjang, maka mendengarkan kata “terus” yang dungkapkan oleh Mas Bambang
akan
direspon
oleh
dalang
lain
sebagai
pernyataan
yang
mengisyaratkan agar cerita segera berpindah kepada peristiwa berikutnya. Pada pementasan jemblung dalam masyarakat Karangsari saat ini, dalang Mas Bambang cenderung mengingatkan dalang lain untuk melanjutkan alur cerita, sesuai dengan bagian-bagian motif yang ada dalam lakon Ki Jaka Sangkrip. Pengembangan alur cerita dapat dilakukan pada tiap-tiap tema atau
106
sub tema cerita. Namun, karena Mas Bambang selalu mengatakan kata “terus”, maka dalang lain mengambil tema lain atau lebih pas kalau disebut dengan istilah peristiwa yang lain, atau melanjutkan cerita, dimana tokoh meninggalkan tempat peristiwa tertentu dengan memanfaatkan kata atau kelompok kata “diceritakan Ki Jaka Sangkrip” melakukan perjalanan ke Selatan lalu bertemu lagi dengan tokoh lain di ruang dan tempat yang berbeda. Pertemuan itu, mengingatkan dalang lain, apa yang akan mereka ucapkan atau ceritakan kemudian, sehingga cerita mengalir begitu saja sampai mereka selesai. Di samping pertanyaan dan penggunaan kata “terus” oleh dalang lain, alur cerita di dalam lakon Ki Jaka Sangkrip, juga banyak dibantu oleh adanya perubahan tempat peristiwa yang mendorong bergeraknya alur cerita. Karena pergeseran ruang atau tempat terjadinya peristiwa di mana tokoh Ki Jaka Sangkrip menginjakkan kaki di suatu tempat, menjadi sarana utama dalam pengembangan cerita, misalnya beberapa tempat yang disebutkan akan memberikan bagaimana cerita itu dibangun. Ini merupakan salah satu formula yang harus dimiliki oleh seorang dalang dalam pementasan tradisi lisan jemblung dalam masyarakat Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Setiap tempat yang ditemuinya akan membawa pada alur cerita yang lainnya. Alur cerita akan tersingkap dari memory para dalang lainnya. Sehingga terdapat formula cerita yang selalu dipengaruhi oleh aspek ruang dan waktu sebagai kondisi yang menciptakan terjadinya motif dalam suatu penceritaan. Pemanfaatan ruang atau tempat dalam suatu peristiwa, dan pertemuannya dengan tokoh lain di suatu tempat tersebut, akan berpotensi untuk mengingatkan sang dalang dan penonton tentang apa yang akan terjadi di tempat itu. Misalnya, ketika cerita dibuka, maka latar cerita di istana tempat Kunthowinangun. Di sana terdapat tokoh-tokoh yang terdiri dari anak-anak Kunthowinangun yang berjumlah tujuh orang. Ia juga mengumpulkan saudara dan pegawai istana. Dari peristiwa itu kemudian melahirkan motif cerita yang bercerita tentang kisah kehidupan Kunthowinangun di dalam istana. Kisah di dalam istana tersebut, mengingatkan para dalang lain pada posisi Ki Jaka Sangkrip yang merupakan anak angkat. Mendengarkan kisah dalam istana dan pertemuan Kunthowinangun dengan anak-anaknya itu, memberikan stimulus kepada para dalang dan penonton tentang siapa Ki Jaka Sangkirp yang kebetulan adalah anak angkat. Maka dalang Wasimin kemudian
107
mengatakan bahwa Ki Jaka Sangkrip yang dijauhi oleh keluarganya itu ya? Ia melanjutkan cerita itu, sampai akhirnya Ki Joger dan Wasimin membangun dialog antara Brahmana dan Jaka Sangkirp di tengah hutan. Perubahan tempat dari istana ke tempat hutan ini, memungkinkan untuk terjadinya dialog antara Bharamana dan Ki Jaka Sangkrip, dan sekaligus menimbulkan motif yang menggerakkan cerita ini ke ke arah yang lebih jauh, dimana Ki Jaka Sangkrip yang sakit-sakitan mendapatkan kekuatan (jimat) atau petunjuk dari Brahmana sebagai modal dalam melakukan perjalanan selanjutnya. Hal ini sebagaimana dilihat dalam kutipan berikut. K i J o g e r
Bra hm ana
Elingono yo, lan ngertia. Kabeh lara, pati, lan pesti jodo lan rejeki kabeh ana ing astane maha kuasa. Dijalukana saiki,nganti nggering ganteng, nganti sing kepriwe carane yen 108anic108 tinakdir kudu mati ora kena mati.
Lah saiki kudu nggoleki lantaran kang pinandang wae
Ingatlah ya, dan pahamilah. Semua penyakit, mati, jodoh dan rejeki semua ada di tangan Maha Kuasa. Diminta sampai susah sedih sampai yang seperti apa caranya bila belum berakhir harus mati, tidak akan bisa mati.
Lah sekarang harus mencari jalan keluar yang kamu alami saja.
Dengan melihat petunjuk yang diberikan oleh Brahmana kepada Ki Jaka Sangkrip yang ungkapkan oleh dalang Ki Joger memberikan ruang kepada dalang lain untuk melanjutkan alur cerita. Ki Joger memerankan peran Brahmana yang sedang menasihati Ki Jaka Sangkrip untuk tetap bersabar dan mencari jalan keluar dari segala yang menimpa kehidupan manusia. Karena biar diminta
108
seperti apapun untuk mati, kalau belum waktunya, maka itu tidak akan mati. Sehingga Brahmana memberikan petunjuk kepada Ki Jaka Sangkrip untuk mencari jalan keluar. Lalu Bramana memberikan syarat untuk keluar dari masalah penyakit yang di derita Ki Jaka Sangkrip. Melalui pertemuannya dengan Brahmana, Ki Jaka Sangkrip mendapatkan jimat yang akan digunakannya dalam petualangannya, dengan syarat harus mampu bertapa di dalam perut kerbau putih. Dengan mendapatkan jimat dan tidak diberitahu apa khasiatnya itu, kemudian Ki Jaka Sangkrip melakukan perjalanan ke arah barat hutan untuk mencari kerbau putih tempatnya bertapa. Ini menunjukan bahwa jimat dan pertemuannya dengan Brahmana itu menjadi salah satu peristiwa utama yang berpeluang untuk membentuk pertemuanpertemuan berikutnya dengan tokoh-tokoh lain di dalam alur cerita berikutnya. Perjalanan Ki Jaka Sangkrip ke hutan, terus keluar dari hutan dari arah barat, memberikan ruang untuk melanjutkan cerita ini dengan baik oleh para dalang dalam pementasan tradisi lisan jemblung ini. Dengan demikian, bagian cerita ini menunjukkan bahwa repetisi dan paraleisme yang menjadikan alur cerita dalam tradisi lisan jemblung ini berjalan dengan baik. Peran formula sangat berpotensi untuk memberi ruang kepada dalang untuk mengingat, atau mengembangkan suatu tema, atau malah melanjutkan dengan bagian motif cerita selanjutnya. Penggunaan sistem repetisi dan paralelisme dalam suatu cerita ini memungkinkan akan terbangun sebuah wacana yang gampang dikembangkan sesuai dengan kepentingan atau waktu yang disediakan oleh penanggap. Jika penanggap menyediakan waktu yang panjang, misalnya semalam sentuk, maka sang dalang dapat memperluas pengembangan cerita pada tiap-tiap motif cerita melalui sistem repetisi dan paralelisme tersebut. Pemanfaatan tema-tema cerita memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana pengembangan alur cerita. Namun jika penanggap ternyata hanya beberapa jam, maka sebagai dalang akan mengingatkan untuk melanjutkan cerita pada skematik yang lain. Ini sangat memungkinkan untuk mengantur alur cerita sesuai dengan keinginan penonton. Dalam pementasan yang dilakukan di aula Sanggar Seni Tradisional Cipto Roso, kemudian kesempatan untuk mengembangkan ini selalu diarahkan oleh Mas Bambang dengan mengungkapkan kata “terus”. Mendengarkan itu, Ki Joger akan melanjutkan cerita ke alur atau tempat yang lainnya.
109
Dalam pementasan yang memiliki waktu yang panjang, misalnya pementasan tradisi lisan jemblung di Radio FM Jaring Asmara, kisah di tengah hutan tersebut dapat saja diperpanjang dengan memasukkan isu-isu yang berhubungan dengan masyarakat seperti isu lingkungan, bagaimana tumbuhan harus dihargai dan lain sebagainya sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran sang dalang atau bagaimana respon penonton atau pendengar. Jika pendengar atau pentonton adalah mereka yang selalu merusak hutan, maka dialog bisa saja terjadi dengan berupaya agar Brahmana memberitahu Ki Jaka Sangkrip untuk memelihara hutan, tetapi karena penonton tidak ada yang seperti itu, maka laur cerita diarahkan kepada alur cerita yang lainnya. Dengan demikian, setiap peristiwa utama dalam cerita berpotensi untuk dimanfaatkan oleh para dalang untuk dikembangkan dalam performansi cerita lisan, dan ini tergantung dari waktu dan ruang dimana pementasan dilakukan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
S a l a m
Biy un ge
Jane wonge apa mripate njenengan sing ra genah iku?
Sebenarnya orangnya apa matanya anda yang tidak bener itu?
K i
Ki jur u tan i
lah bisa juga rong prasangakan kui mau apa kiye apa gue. Jare kae kon gawe belik ning ngisor lo kae belik cilik..
Lah bisa juga dua prasangka itu. Itu tadi apa dia apa aku. diakatakanny disuruh membuat sumber air kecil. Dan sebenarnya aku juga tidak rela, di suruh ngorbanaken kerbau jika ingin masyarakat sini damai, sejahtera.
biy un
Terus
Terus
J o g e r
S a
karepe
maunya
110
l a m
ge
kepiye?
bagaimana?
K i
Ki jur u tan i
Sing jane aku kang owel, kon ngorbanaken kebone yen kepingin masyarakat kene ayem tentrem, makmur maburmabur jibar- jibur
Terus disuruh mengurbankan kerbau jika ingin masayarakat sini damai sejahtera dan makmur.
Biy un ge
Aja di gugu___________ ____
Jangan dipercaya ____________
Ki jur u tan i
Inyong nak kene dituwakaken kudu ngerteni uwong kang butuh, uwong kang perlu apa meneh uwong sing butuh dipikiraken. ora mung mikir awake dewek
Aku disini dituwakan harus memahami orang yang butuh, orang yang perlu, apalagi Orang yang butuh dipikirkan bukan hanya memikirkan diri sendiri
S a l a m
Biy un ge
La wong yo awake dewe isih butuh, d idol iso kanggo tuku motor
La kita saja masih butuh. Di jual kan bisa untuk beli motor
B a m b a n g
Ba mb an g
[Nduwe kaya]
[Punya kaya….]
K
Ki
Tuku motor angger
J o g e r
K i J o g e r
bojo
ko’
Beli
istri
kok
motor
bila
111
i j o g e r
S a l a m
jur u tan i
nyupiri karo dolanan hape kae kesasar banjur nabrak. Lah kaya kene biyunge kedadeyan iki kayane ora kedadeyan sak baene. Dadi yen ngurbanaken secara ikhlas, Mbok menawa katrima nuwune mring sang maha kuasa. Ayo podo di ikhlasakaen wae.
mengendarainya sambil bermain hape itu tersesat lalu menabrak (kecelakaan). Lah kesini bu, kejadian ini sepertinya bukan kejadian yang biasa. Jadi bila mengurbankan dengan ikhlas mungkin akan diterima permintaanya oleh sang maha Kuasa. Ayo diikhlaskan saja
Biy un ge
Yo angger mengkono aku melu wae
Ya asal seperti itu aku ikut saja
Lah iku sing jenenge wong wadon, iku sing jenenge sigaraning nyawa aja ngeyek. Nah bocah- bocah mburi wes pada bali?
Nah itu yang namanya wanita, ikut sing jenenge belahan jiwa jangan rewel. Nah bocah- bocah belakang sudah pada pulang?
Urung
Belum
J o g e r
Suit…suit… mrene W i s m a
Bo ca h mb uri
pada
Kenapa- kenapa
Suit…suit pada kesini
Kenapa- kenapa/
112
n
1
b a m b a n g
Bo ca h mb uri 2
Wonten napa?__________ _
Ada apa?_____________ _
Jur u tan i
Yen pada ngumpul kaya mengkene iki rasaning ati mungkug banget. Rasa- rasaning iki bakal kaleksanan
Jika semua kumpul seperti ini rasanya hati senang sekali. Rasa-rasanya ini akan terlaksana.
Dari dialog tersebut di atas, terlihat bahwa dalang berpeluang untuk mengembangkan alur cerita disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat yang secara psikologis sangat mengimpikan transportasi berupa motor. Dan ini kemudian yang dapat membuat penonton tertawa, karena dalam cerita Ki Jaka Sangkrip sudah dimasukkan hal-hal yang berbau modern, seperti motor yang tidak mungkin ada di saat Ki Jaka Sangkrip hidup. Dengan demikian, konsep pengembangan alur cerita di samping memanfaatkan beberapa repetisi maupun paralelisme, juga memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan kehidupan penonton. Ini merupakan salah satu strategi yang dimanfaatkan oleh dalang jemblung untuk mengembangkan cerita dan sekaligus memancing perhatian penonton. Setiap subtema cerita, penceritaan juga selalu dilakukan oleh para dalang dengan menyanyikannya secara bersama-sama. Dalam pementasam tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat desa Karangsari, beberapa nyanyian yang dilakukan dengan suara korr seperti ini menjadi salah satu bentuk formula yang tidak bisa dikesampingkan dalam analisis formula tradisi lisan jemblung, karena kondisi ini merupakan teknik agar setiap dalang tetap fokus pada alur cerita yang mereka ceritakan. Misalnya ketika tokoh Ki Jaka Sangkrip memberikan nama pada suatu kampung, seperti kampung Kebebekan.
113
Perjalanan Ki Jaka Sangkrip ke selatan mencari keluarganya dan pertemuannya dengan banyak orang di beberapa tampat menjadi motif yang menjadikan alur cerita ini gampang dihafal oleh orang yang mementaskan cerita ini. Para dalang mengetahui formula yang dikembangkan melalui pertemuan dengan seseorang di suatu tempat. Misalnya dapat dilihat pada pertemuan Ki Jaka Sangkrip dengan seorang penggembala bebek. Melalui pertemuan dengan pengembala bebek itu, kemudian Ki Jaka Sangkrip memberikan nama kampung itu dengan nama kampung Kebebekan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. K i J o g e r
Ang ong Beb ek
Kula lagi ngingon bebek napo panjenengan badhe tumbas bebek nopo badhe tumbas tigan?
Saya sedang mengembala bebek apakah tuan ingin membeli bebek atau akan membeli telur?
W a si m i n
Js
Aku ora arep tuku bebek atawa endhok
Saya tidak akan membeli bebek atau telor
W a si m i n
JS
Kula badhe nyuwun priksa nopo ngriki panggesaganipun ngingu bebek
Saya ingin bertanya apakah disino kehidupan memerihara bebek.
K i J o g e r
Ang on beb ek
Enggih ingriki kathah ingkang ngingu bebek
Ya disini banyak yang memelihara bebek
114
S a l a m
JK
Pangupojiwa bebek wau dipun lestantunaken kanggo pengandel-andel
Pekerjaan memelihara bebek harus dilesarikan sebagai kekuwatan
K i J o g e r
Pak Tuw o
Inggih den
Ya terima kasih tuanku
S a l a m
JK
Benjang rejaning jaman dusun niki diparingi asma dusun Kebebekan,
Jika yang akan datang desa ini menjadi makmur diberi nama Kebebekan
Sasampunipun damel dusun kebebekan lajeng lumampah mangidul malih, nyaketi dateng dukun bayi
Sesudah membuat dusun Kabebekan kemudian berjalan ke selatan, mendekati dukun bayi
K i J o g e r
Ini menunjukan bahwa salah satu dalang akan mengungkapkan kata “Dicaritakan Ki Jaka Sangkrip” melanjutkan perjalanan ke selatan, dan bertemu atau lewat pada suatu peristiwa dan singgah bertanya, terjadi dialog, dan kemudian memberikan lagi nama pada tempat tersebut sesuai dengan pekerjaan tokoh, atau ciri khas lokasi, seperti ketika ia bertemu dengan peternak bebek, maka kampung itu menyebutnya kampung Kebebekan. Tetapi ketika ia menemukan masyarakat yang memelihara banyak ayam jago, Ki Jaka Sangkrip setelah menasihati untuk tidak digunakan untuk berjudi, lalu memberi nama kampung itu sebagai kampung Kejagoan, demikian sampai akhir cerita.
115
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perjalanan Ki Jaka Sangkrip ke selatan mencari keluarganya merupakan motif yang berkembang dan ada dalam setiap ingatan para dalang. Ini menunjukan bahwa para dalang jemblung pada masyarakat desa Karangsari pada prinsipnya mereka telah menghafal beberapa tematik yang apabila dibawa ke dalam kajian struktur sastra, itu dapat diistilahkan dengan satuan terkecil dari alur cerita yang biasa disebut dengan sekwen51. Ini akan memudahkan para dalang untuk menyambung dan mengingat cerita. Bagaian-bagian sekwen cerita inilah yang memungkinkan setiap dalang mampu bercerita secara bersama-sama. Yang apabila dihubungkan dengan konsep formula dan formulaic serta konsep komposisi skematik yang dikemukakan oleh Lord (1980) menjadi sangat relevan untuk menjadi kekuatan ingatan atau memori dari sang dalang. Beberapa contoh pengulangan formula dan formulaic dalam teks Ki Jaka Sangkrip yang dilakonkan dalam tradisi lisan jemblung dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut. Kocapo koyo mengkono eloking jagat ening semedine ki jaka sankrip katrimah ingkang Maha kuwaos. Sakmenika wonten wewujudan harupi brahmana. Wong kaki- kaki gumrajag tanpa larapan ketuke jleg (ujugujug) sak nlika piyambake hanggugah semedine Ki Ki Jaka Sangkrip Pangendikaning sang Brahmna
51
Dicaritakan seperti itu keajaiban dunia . Di dalam bertapanya Ki Jaka Sankrip diterima yang Maha Kuasa. Saat itu ada penampakan seperti Brahmana. Seorang kakek-kakek datang entah dari mana asalnya terlihat dengan tiba-tiba saat itu juga ia membangunkan bertapanya Ki Jaka Sangkrip Berkatalah sang Brahmana
Sekwen merupakan satuan terkecil dari suatu cerita, mungkin dalam pemikiran Lord inilah
kemudian yang disebut dengan tematik. Jika dalam analisis Lord, pengulangan kata atau kelompok kata dalam tradisi lisan dikenal dengan repetisi atau paralelisme, maka sekwen dalam pembangunan cerita akan berperan sebagai bagian penting dalam sebuah cerita, dan berpotensi memiliki atau mengandung sebuah motif. Sehinga alur cerita dapat diteruskan, dan cerita dapat dilanjutkan sesuai dengan keinginan penonton dalam tradisi lisan.
116
Kocap kacarita Ki Jaka Sankrip sampun nampi piyandel saking Brahmana, lampahiro mangilen ngantos dumugi karang pradesan.
Diceritakan Ki Jaka Sankrip sudah menerima jimat dari Brahmana. Berjalan ke Barat sampai daerah pedesaan.
Penggunaan kata tanya yang selalu digunakan oleh Mas Bambang dapat saja berfungsi untuk mengingatkan dalang lain seperti “ada apa pak” ketika dalang lain menceritakan sebuah peristiwa yang berhubungan dengan ruang, dapat membangkitkan memorisasi dari dalang lainnya, tentang apa yang akan terjadi di ruang tersebut. Kemudian apa yang dilakukan oleh Mas Bambang yang selalui tertawa dengan bertanya menunjukan bahwa ada upaya untuk membangkitkan memorysasi dalang lain, untuk melanjutkan atau menyanggahi cerita dalang lainnya. Ini kemudian menyebabkan penonton dapat melihat adanya kontinuitas pementasan dalam membangun alur cerita. Pertanyaan dalang Mas Bambang berikut memperkuat bagaimana alur cerita dalam pementasan tradisi lisan jemblung bergerak berdasarkan system repetisi atau formula sesuai dengan perkembangan motif dan tempat yang dituju oleh Ki Jaka Sangkrip. Di samping itu, setiap perubahan latar yang akan diceritakan, selalu dimulai dangan kata “diceritakan” atau “dikatakan”. Hal ini dapat dilihat dalam pengulangan cerita berikut. Kocapo koyo mengkono eloking jagat ening semedine ki jaka sankrip katrimah ingkang Maha kuwaos. Sakmenika wonten wewujudan harupi brahmana. Wong kaki- kaki gumrajag tanpa larapan ketuke jleg (ujugujug) sak nlika piyambake hanggugah semedine Ki Ki Jaka Sangkrip
Dicaritakan seperti itu keajaiban dunia . Di dalam bertapanya Ki jaka sankrip diterima yang Maha Kuasa. Saat itu ada penampakan seperti Brahmana. Seorang kakek- kakek datang entah dari mana asalnya terlihat dengan tiba-tiba saat itu juga ia membangunkan bertapanya Ki Jaka Sangkrip. Berkatalah sang Brahmana
Pangendikaning Brahmna
sang
117
Beberapa pengulangan kata “Kocapo” atau “diceritakan” dapat ditemukan setiap terjadinya dialog di dalam suatu tempat. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa perkembangan alur cerita, dilakukan berdasarkan kekuatan memory mereka yang dipandu oleh pergerakan sekwen cerita yang digerakan oleh motif cerita yang terjadi di setiap tempat dan waktu tertentu. Pengulangan kata “Kocapo” dalam pementasan tradisi lisan menjadi ciri khas yang membantu mengingatkan para dalang pada suatu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Cerita yang dibuka dengan dibuangnya Ki Jaka Sangkrip yang sakitsakitan sejak bayi, membuatnya ia sangat menderita dan dijauhi oleh saudarasaudaranya dan akhirnya ia di buang ke kebun. Penderitaan yang dialaminya, membuat Ki Jaka Sangkrip tak berdaya, sehingga ia bertapa dan berdoa agar ia dicabut saja nyawanya dari pada menderita seperti itu setiap hari, dijauhi keluarga, dan sanak famili. Maka pada tengah malam, ia pun berkeluh kesah yang kemudian di abadikan dalam tembang. Dengan mendengarkan adanya tembang yang mengisahkan keluh kesah ini, maka pengulangan kata “kocapo” dalam pementasan ini akan menjadikan mereka untuk mengingat kelanjutan cerita, tetapi berdasarkan motif yang ada sebelumnya. Inilah kemudian yang menjadikan terjadinya paralelisme di dalam pementasan tradisi lisan. Sehingga seorang pelantun atau penyaji, tidak perlu menghafal semua cerita, tetapi mereka hanya mengingat potongan-potongan cerita, dan potongan-potongan itu yang kemudian akan digali terus menerus, sehingga akan menemukan motif baru. Perjalanan Ki Jaka Sangkrip ke hutan, tidak makan dan tidak minum, membuatnya
untuk
berada
pada
posisi
yang
sangat
menderita,
satu
permintaannya adalah agar nyawanya di cabut saja. Tetapi pertemuan Ki Jaka Sangkrip dengan Brahmana, memberikan motif atau potongan cerita yang sangat penting untuk mengingatkan para dalang dialog apa yang akan diungkapkan dalam dialog antara Ki Jaka Sangkrip dan Brahmana. Karena Wasimin telah mempertemukan Ki Jaka Sangkrip dengan Brahmana, maka Ki Joger langsung membangun dialog yang terjadi dalam pertemuan tersebut. Mereka sudah melakukan dialog antara Wasimin dan Ki Joger dimana Wasimin berperan sebagai Ki Jaka Sangkrip sedangkan Ki Joger berperan sebagai Brahmana. Dalam dialog itu, motif untuk memahamkan Ki Jaka Sangkrip menjadi sangat penting untuk memahami arah dialog mereka.
118
Sehingga dapat dikatakan bahwa pementasan tradisi lisan jemblung memiliki system formula sebagaimana dikemukakan oleh Lord. Hal ini disebabkan karena ini adalah cerita rakyat yang dipentaskan, dan bukan nyanyian rakyat yang memiliki system formula yang dibangun oleh konsep skematik, tetapi di dalam cerita Ki Jaka Sangkrip ini cerita berkembang berdasarkan motif cerita yang digerakkan oleh sekwen-sekwen yang bergerak berdasarkan action dan setting atau laku dan latar yang selalu dilakukan pengulangan pada setiap perubahan tempat peristiwa. Pemberian jimat kepada Ki Jaka Sangkrip oleh Brahmana merupakan motif yang kuat untuk mengembangkan cerita ini. Perjalannya untuk bertapa di perut kerbau bule, membuat menjadi motif pertemuan Ki Jaka Sangkrip dengan manusia. Hal ini diungkapkan Ki Joger yang memerankan peran Brahmana, bahwa ketika itu, pak tani bermimpi untuk kesejahteraan masyarakat ia harus menggali sumur dan menyembelih kerbau putihnya dan dagingnya harus disedekahkan kepada masyarakat. Dan setelah dimandikan oleh warga di sumur yang baru digalinya dengan cara bergotong-royong, Ki Jaka Sangkrip langsung sehat. Ia tidak sakit lagi. Perjalanan Ki Jaka Sangkrip untuk mencari ayahnya ke arah selatan, menjadi motif yang menggerakan cerita ini. Pertemuannya dengan orang-orang yang membangun rumah, nasihat Ki Jaka Sangkrip untuk mendirikan rumah pada selasa pahing dan Sabtu Kliwon, dan sebagai rasa syukurnya, masyarakat melakukan syukuran dengan cara memotong kambing, lalu kemudian Ki Jaka Sangkrip memberikan desa itu dengan nama Kawedusan merupakan rangkaian peristiwa yang dikembangkan melalui sistem repetisi yang dibangun berdasarkan konsep ruang dan peremuan yang menjadi peristiwa dalam kondisi tersebut. Dengan demikian, setelah melihat beberapa contoh penggunaan formula dan tema dalam cerita Ki Jaka Sangkrip di atas, terlihat bahwa penggunaan kata atau kelompok kata atau formula menurut pengertian Lord, tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam menganalisis lakon Ki Jaka Sangkrip yang ada dalam tradisi lisan jemblung, mengingat lakon dalam cerita Ki Jaka Sangkrip ini tidak berbentuk puisi sebagaimana yang lakukan Lord pada nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia. Walaupun demikian, konsep formula sebagaimana dilakukan oleh Lord untuk nyanyian rakyat tersebut, dapat juga digunakan untuk
119
menganalisis bagaimana kerja memori yang digunakan oleh para dalang, sebagaimana dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari. Pola-pola formula yang disusun berdasarkan motif yang dibangun dalam alur cerita menunjukan bahwa para dalang memiliki kemampuan untuk mengingat, alur cerita, sehingga alur cerita dapat berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain. Di samping itu, pola pembangunan latar dalam setiap cerita membantu dalang tradisi lisan jemblung untuk melakukan komposisi. Misalnya, ketika Ki Jaka Sangkrip tiba di sebuah desa, dan menemukan pengembala itik yang sedang menggembala itiknya, maka dalang lain sudah dapat mengetahui kelanjutkan cerita. Suara burung-burung yang diperankan oleh Pak Salim, akan memperdengarkan suasana seperti berada dalam sawah atau tempat yang penuhi oleh suara itik. Ini akan berbeda ketika bertemu dengan para petani yang sedang beternak sapi, maka suara sapipun akan keluar dari mulut pak salim dan Mas Bambang. Dengan demikian, sistem formula dalam tradisi lisan jemblung yang dipentaskan di dalam masyarakat desa Karangsari, juga terlihat dari suasa kampung yang dilalui oleh Ki Jaka Sangkrip. Suara-suara burung ini merupakan bagian memorysasi para dalang bahwa setiap tokoh Ki Jaka Sangkrip melewati suatu tempat, maka suasana tempat itu harus disuarakan oleh dalang lainnya. Sehingga mengakibatkan banyaknya pola repetisi yang memiliki paralelisme dengan kondisi dan dialog yang akan dikemukakan pada ruang tersebut. Kehadiran motif dan latar dalam pementasan ini, yang disambut dengan suara burung-burung atau suasana latar yang dikemukakan oleh dalang, akan membantu memorysasi penonton, atau memory mereka tentang kehidupan masyarakat Karangsari dewasa ini, terkadang para dalang mengaitkannya dengan kehidupan hari ini, tetapi karena adanya pola motif dan tempat, akhirnya para dalang kembali kepada alur utama. Sehingga beberapa ungkapan yang menyinggung dunia realitas mereka sebenarnya memancing keterlibatan penonton, terutama dalam membangun kesadaran mereka tentang keseharian mereka. Oleh karena itu, penggunaan motif dan latar menjadi salah satu formula yang dapat digunakan dalam proses penceritaan tradisi lisan dalam pementasan tradisi lisan jemblung ini. Melalui motif dan latar inilah, para dalang mampu mengingat, proses paralelisme dan repetisi yang dijumpai dalam pementasan
120
tradisi lisan jemblung membuat mereka mampu mengingat cerita ini sehingga mereka dapat melakukan komposisi dalam pementasan secara bersamaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem repetisi dan paralelisme yang dipopulerkaan oleh Albert Bates Lord dengan formula tidak dapat diterapkan secara langsung dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa tengah. Tetapi konsep Lord tersebut tetap memegang peranan penting dalam pementasan atau performansi tradisi lisan jemblung tersebut. Hal ini disebabkan karena konsep repetisi dan paralelisme tersebut merupakan ciri khas dari aspek kelisanan yang ada, termasuk dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari.
4.3 Komposisi Skematik Jemblung Berbicara menganai konsep komposisi skematik tradisi lisan jemblung, tidak akan terlepas dari pemikiran Ruth Finnegan (1992: 117121) yang mengatakan bahwa komposisi skematik merupakan cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun dan dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu
atau
kolektif,
keterkaitannya
dengan
pertunjukan
atau
performansi, dengan teks pasti dan teks bebas. Dengan demikian, komposisi merupakan proses penciptaan sastra lisan yang terkait dengan model konteks yang bersangkutan, baik menyangkut proses dimulainya penciptaan maupun pada saat pertunjukan. Kalau merujuk pada konsep komposisi skematik sebagaimana dimaksud dalam analisis Lord dan Finnegan di atas, maka cerita Ki Jaka Sangkrip yang dilakonkan dalam tradisi lisan jemblung ini dapat diuraikan sebagaimana yang dimaksud oleh Chatman sebagai analisis sekwen dalam kajian sastra. Menurut Seymour Chatman, (1980: 43-44), sekwen merupakan satuan peristiwa terkecil yang membentuk alur cerita. Dengan demikian, ada beberapa sekwen yang
121
mengandung aspek komposisi skematik dalam cerita Ki Jaka Sangkrip itu dan dicurigai sangat membantu proses penceritaan di dalam tradisi lisan jemblung. Beberapa sekwen tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kunthowinangun mengundang anggota keluarga dan pagawai Istana 2. Pertemuan di ruang istana 3. Tujuh anak Kunthowinangun termasuk Ki Jaka Sangkrip 4. Ki Jaka Sangkrip yang hidup sakit-sakitan 5. Keluhan karena sakit 6. Adanya keinginan orang tuanya untuk membuang Ki Jaka Sangkrip ke kebun 7. Terbuang ke kebun 8. Keinginan untuk mati 9. Bertemu dengan Brahmana 10. Mendapatkan petnujuk 11. Melakukan semedi di dalam perut kerbau 12. Pengembala yang bermimpi 13. Menceritakan mimpi sang pemilik kerbau 14. Tangapan sang istri 15. Menyembelih kerbau 16. Menggali sumur 17. Melaksanakan syukuran 18. Melakukan perjalanan ke selatan 19. Bertemu dengan peternak kambing 20. Memberikan nama kampung kambing 21. Bertemu dengan peternak bebek 22. Memberi nama kampung bebek 23. Bertemu dengan orang yang mau melahirkan 24. Memberi petunjuk untuk menggunakan daun waru dan alas 25. Memberi nama bayi, Ki Dadap dan Ki Waru 26. Pertemuan dengan pemelihara ayam gajo 27. Nasihat untuk tidak berjudi 28. Memberi nama kampong, kampung kejagoan 29. Bertemu dengan orang yang bertengkar 30. Istri yang tidak mau di madu
122
31. Nasihat buat mereka yang mau kawin dua 32. Istri dibangunkan rumah 33. Petunjuk untuk membangun rumah dihari baik 34. Bertemu dengan dengan seorang pertapa 35. Keinginan untuk cepat bertemu dengan orang tua 36. Pertintah untuk pergi ke gunung di pantai selatan 37. Pertemuan Ki Jaka Sangkrip bertemu dengan pesuruh Nyi Roro Kidul 38. Keinginan Kumbang Ali-Ali untuk melihat keadaan di kerajaan 39. Pertemuan Kumbang Ali-Ali dengan seorang abdi 40. Keterangan abdi tentang tidak adanya kendala di desa karena ada PNPM Mandiri dari pemerintah 41. Rencana Ki Jaka Sangkrip untuk bertapa 42. Kondisi gerah 43. Cerita sampai di sini Kalau melihat sekwen-sekwen tersebut di atas, maka sekwen pertama yaitu (1) “Kunthowinangun mengundang anggota keluarga dan pagawai Istana” merupakan salah satu sekwen yang penting untuk diingat oleh dalang dalam pementasan tradisi lisan. Karena melalui sekwen itu, cerita dimulai, melalui dialog antara sang dalang, yaitu Ki Joger dan Wasimin berikut. K i j o g e r
Nalika semana, Ki demang sawetara hangempalaken 123anic123 para kadang lan sentana utawi datan para putraputra ingkang pitu cacahipun.
Saat itu, Ki Demang sesaat mengumpulkan semua saudara dan juga pegawai istana atau dengan para putra yang tujuh jumlahnya.
W a si m i n
Putrane Demang Hangga Yudha pitu cacahe
Anaknya demang Hangga Yudha tujuh jumlahnya.
123
Dari dialog tersebut, kisah mengenai Ki Jaka Sangkrip itu dimulai. Sekwen ini kemudian akan dibangun dalam latar istana, sehingga dalang lainnya mampu memahami apa yang akan terjadi di dalam istana tersebut. Sekwen ini sangat potensial untuk dikembangkan dalam pementasan tradisi lisan. Mengingat peristiwa ini terjadi di dalam istana, dimana beberapa tokoh dapat berkumpul di ruang itu. Belum lagi ditambah dengan adanya respon penonton, maka alur cerita dapat dikembangkan oleh para dalang dengan kehidupan yang dekat dengan kehidupan mereka. Jika dibandingkan dengan tradisi бanti-бanti di Wakatobi, maka strategi ini juga dilakukan oleh Maestro kaбanti yaitu La Ode Kamaluddin. Dalam suatu kesempatan ia mengatakan bahwa kalau ia diundang, maka ia harus tahu konteks pementasannya, sehingga mampu menyesuaikan isi lantunannya dengan kondisi kebutuhan masyarakat yang mengundang dia. Demikian juga dengan sekwen-sekwen selanjutnya, dimana semuanya berpotensi untuk dikembangkan, tergantung dari konteks pementasan, dan kejelian para dalang tradisi lisan jemblung untuk merespon penonton yang adadi tempat itu. Sekwen cerita ini juga dapat dikembangkan melalui sejauhmana para dalang mengetahui latar belakang sosial masyarakat yang menanggapi atau memesan pementasan tersebut. Kondisi tersebut di atas, sangat terbuka untuk terjadi dalam pementasan tradisi lisan, karena para pelaku tradisi lisan, tidak pernah terikat oleh sebuah struktur yang paten, melainkan mereka hanya memiliki beberapa skematik yang kemudian dapat dikembangkan dalam konteks performansinya. Hal ini dapat dilihat dari empat puluh tiga sekwen cerita kisah Ki Jaka Sangkrip dikisahkan dalam pementasan tradisi lisan jemblung yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari. Ketiga puluh empat sekwen itu, tidak pasti hadir dalam setiap pementasan, melainkan akan berkembang dalam setiap performansi. Keempat puluh tiga sekwen di atas, merupakan satuan-satuan peristiwa yang sempat dikembangkan oleh para dalang dalam pementasan yang dilakukan di aula sanggar Kesenian Tradisional Cipto Roso pada tanggal 13 Juli 2011 yang lalu. Dengan demikian, setiap dalang paling tidak harus memiliki beberapa skemata tentang komposisi sekwen atau peristiwa utama. Sekwen-sekwen berikutnya berkembang sesuai dengan kebutuhan penonton, terutama berhubungan dengan respon mereka terhadap pementasan tersebut. Penggunaan sekwen-sekwen tersebut di dalam pementasan tradisi
124
lisan hampir sama dengan penggunaan kelompok kata siap pakai di dalam lantunan Homer dan Oedipus yang diteliti oleh Albert B. Lord. Dinama di dalam tradisi lisan yang berbentuk nyanyian, akan bergerak sesuai dengan irama dan ritme yang ada, dan akan ada kata-kata yang selalu timbul dan bergerak berasarkan konsep skematik yang ada di dalam tradisi tersebut. Sedangkan di dalam tradisi lisan yang berbentuk cerita, maka sistem formula itu tetap ada, tetap bergerak berdasarkan sekwen cerita yang ada. Satuan-satuan peristiwa tersebut akan menjadi formula sebagaimana diperkenalkan oleh Lord dan nyanyian masyarakat Yogoslavia. Dilihat dari tema cerita, maka pergerakan sekwen dalam cerita ini adalah mengusung tema sentral yaitu “Perjuangan Tokoh Ki Jaka Sangkrip dalam mendapatkan kebaikan. Tema ini kemudian muncul dalam beberapa peristiwa utama yang menjadi wajib diketahui oleh setiap dalang jemblung. Tanpa mengetahui peristiwa utama, seorang dalang tidak akan mampu tampil dalam suatu pementasan. Selanjutnya, jika penonton tidak memiliki pengetahuanisi lisan, maka ia tidak akan tertarik untuk menyaksikan pementasan cerita tersebut. Pengetahuan mengenai peristiwa utama yang ada dalam tradisi lisan, akan mendorong seseorang untuk menonton sebuah pementasan. Karena bisa jadi, pengetahuan mengenai peristiwa utama tersebut, merupakan teks awal yang akan menjadikan pementasan atau suatu performansi dalam tradisi lisan. Beberapa sekwen utama yang menjadi penggerak dari lakon Ki Jaka Sangkrip ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Demang Kunthowinangun mengumpulkan anak-anaknya 2. Jaka Sangkrip dibuang ke Hutan 3. Pertemuan dengan Brahmana 4. Jaka Sangkrip Semedi di perut kerbau 5. Perjalanan Ki Jaka Sangkrip setelah sembuh 6. Pertemuan dengan tukang kebun 7. Perjalanan ke selatan mencari keluarga 8. Pertemuan orang memelihara itik 9. Pertemuan dengan orang melahirkan 10. Pertemuan dengan orang yang memelihara ayam Jago 11. Pertemuan dengan pengawal Nyi Roro Kidul 12. Pertemuan Ki Jaka Sangkrip dengan keluarganya
125
Dengan adanya 12 persitiwa utama tersebut, terbangun komposisi skematik tradisi lisan jemblung menjadi sebuah cerita yang utuh. Melalui performansi tradisi lisan jemblung, para dalang dapat melakukan perluasan dalam suatu performansi sesuai dengan konteks dan respon penonton. Pemanfaatan peristiwa utama dalam mengembangkan alur cerita, menjadi ruang pertemuan kesadaran antara para pemain dan penonton. Karena sekwensekwen lainnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tanggapan penonton. Kalau penontonnya memiliki respon dan berpartisipasi dalam pengembangan alur cerita, maka beberapa peristiwa utama itu dapat dikembangkan dengan panjang lebar, sesuai dengan konteks dan tanggapan penonton di dalam pementasan. Dengan demikian, pemanfaatan komposisi skematik dalam performansi tradisi lisan jemblung merupakan bagian terpenting dalam merangkaikan beberapa peristiwa utama yang membangun sekwen-sekwen cerita, sehingga terbangun cerita yang menarik di depan penonton. Peristiwa-peristiwa utama yang ada dalam sebuah tradisi lisan, termasuk dalam tradisi lisan jemblung masyarakat Karangsari hadir dengan didukung oleh kompsisi skematik yang ada di dalam benak para dalang dan penonton yang ada di dalam masyarakat desa Karangsari. Beberapa sekwen atau satuan peristiwa utama dalam suatu cerita tersebut, kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan istilah komposisi skematik Lord. Tetapi karena cerita Ki Jaka Sangkrip berbentuk cerita dan tidak dibangun dalam bentuk bait dan baris, maka komposisi skematik seperti itu yang mengisi memory pada dalang. Mereka tidak perlu menghafal keseluruhan cerita, cukup mengetahui beberapa peristiwa utama dalam sejumlah sekwen, maka seseorang dapat menceritakan cerita tersebut. Seorang dalang hanya menghafal beberapa peristiwa utama tentang suatu cerita, maka ia sudah akan dapat mengembangkan cerita tersebut dalam pementasan tradisi lisan. Pemanfaatan sistem formula yang selalu memanfaatkan pengulangan kata atau kelompok kata, penggunaan kata tanya, serta suara koor yang selalu dinyanyikan bersama-sama, membuat komposisi laur cerita ini dapat diingat dengan mudah oleh para dalang jemblung. Sekwen-sekwen itu akan muncul dengan sendirinya, ketika terjadi proses repetisi dalam suatu cerita. Misalnya, dengan mengingat sekwen “bertemu dengan peternak kambing” maka dalang
126
yang lain akan memiliki kesempatan untuk menyambung cerita sesuai dengan memorynya yang berhubungan dengan kambing tersebut. Lalu mereka akan mengingat sekwen berikutnya yaitu “Ki Jaka Sangkrip memberi nasihat” itu semua merupakan sekwen-sekwen cerita yang harus di ingat oleh seorang pencerita dalam tradisi lisan. Ini akan membantu memory mereka dalam menceritakan cerita rakyat atau dalam performansi tradisi lisan, sebagaimana yang terjadi dalam pementasan tradisi lisan jemblung di dalam masyarakat Karangsari. Dengan demikian, cerita “Ki Jaka Sangkrip” yang dilakonkan dalam tradisi lisan jemblung yang dipentaskan di dalam masyarakat Karangsari tidaklah bergerak berdasarkan aspek skematik yang dibangun melalui bait-bait yang disusun melalui kondisi matra dan bunyi yang sama, sebagaimana dikemukakan oleh Lord dalam masyarakat Yogoslavia. Melainkan bergerak berdasarkan alur cerita yang digerakkan oleh motif dan latar. Satuan-satuan peristiwa atau sekwen di atas menunjukan bahwa tradisi lisan jemblung digerakan oleh beberapa peristiwa yang pada akhirnya memberikan schemata kepada para dalang dalam mengembangkan ceritanya. Di dalam alur cerita yang ada di dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari juga penuh dengan adanya penyimpangan dari alur cerita. Hal ini dapat dilihat pada dialog /La wong yo awake dewe isih butuh, d idol iso kanggo tuku motor/, “ La kita saja masih butuh. Di jual kan bisa untuk beli motor” /Tuku motor angger nyupiri karo dolanan hape kae kesasar banjur nabrak. Lah kaya kene biyunge kedadeyan iki kayane ora kedadeyan sak baene. Dadi yen ngurbanaken secara ikhlas, Mbok menawa katrima nuwune mring sang maha kuasa. Ayo podo di ikhlasakaen wae/, “Beli motor bila mengendarainya sambil bermain hape itu tersesat lalu menabrak (kecelakaan). Lah kesini bu, kejadian ini sepertinya bukan kejadian yang biasa. Jadi bila mengurbankan dengan ikhlas mungkin akan diterima permintaannya oleh sang maha Kuasa. Ayo diikhlaskan saja!” Ini menjukan bahwa, para dalang tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari memiliki ruang untuk merespon masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Melihat adanya bagian dialog seperti ini, dalam konteks pementasan tradisi lisan menjadi bagian penting karena bagian ini merupakan ruang untuk membuat cerita ini menjadi menarik bagi para penonton. Melalui alur terbuka
127
seperti ini memungkinkan masyarakat desa atau audiens memiliki skemata tentang apa yang menjadi persoalan hidup mereka. Melalui dialog itulah, kemudian menjadi harapan sebagian penonton yang selama ini memiliki impian untuk memiliki motor. Bagian cerita ini merupakan bagian cerita yang berisi tentang impian masyarakat Karangsari terhadap kendaraan motor. Namun, bagian alur cerita ini juga menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral dalam masyarakat Karangsari ditanamkan. Bahwa keinginan untuk membeli motor, masih dikalahkan untuk kebutuhan sosial, yaitu menyumbangkan kerbaunya kepada kepentingan masyarakat umum. Hal ini dapat dilihat dari perkataan istri petani itu yang mengatakan bahwa /ayo, podo diikhlasakaen wes wae/ “Ayo ikhlaskan saja”. Dengan demikian, formula dan aspek komposisi skematik yang ada dalam cerita Ki Jaka Sangkrip telah membantu memori para dalang. Hanya dengan memiliki konsep mengenai peristiwa utama dalam sekwen-sekwen cerita dalam suatu tradisi lisan, khusunya yang berhubungan dengan cerita atau drama, seorang dalang atau penutur dalam tradisi lisan dapat mengembangkan sebuah cerita selama berjam-jam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan penonton. Di sini, respon penonton dapat membantu pengembangan sekwensekwen cerita tersebut menjadi lebih banyak. Melalui konsep formula dan skematik tersebut, dalam mampu bermain selama berjam-jam, karena ada ruang-ruang tertentu untuk memasukkan pesan-pesan yang dalam dunia wayang Jawa disebut dengan goro-goro. Penggunaan formula dan konsep tematik sebagaimana yang dikemukakan oleh Hutomo (1993) dalam analisisnya mengenai cerita Sarahwulan dapat juga berlaku pada cerita Ki Jaka Sangkrip yang dipentaskan oleh pada dalang dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pementasan tradisi lisan jemblung,
penyusunan
cerita
tidak
berdasarkan
aspek
sistem
formula
sebagaimana dikemukakan oleh Lord, dimana cerita dibangun berdasarkan tema penceritaan sebagaimana yang dilakukan oleh Lord dalam masyarakat Yogoslavia, tetapi proses komposisi bergerak berdasarkan aspek skewen cerita yang digerakan oleh adanya motif dan latar terutama yang terbangun dalam peristiwa utama dalam suatu cerita. Motif dan latar yang terdapat dalam peristiwa utama itulah kemudian yang sangat berpotensi untuk pengembangan sekaligus
128
proses komposisi dalam penceritaan yang ada dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa tidak semua pementasan tradisi lisan dapat dianalisis dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bates Lord, terutama dalam konsepnya mengenai sistim formula dan komposisi skematik yang bergerak dalam matriks yang sama. Melainkan dalam pementasan tradisi lisan di Nusantara, terutama yang dilantunkan dalam bentuk nyanyian rakyat, kemungkinan untuk menerapkan teori Lord dapat dilakukan, tetapi apabila tradisi lisan itu, berisi tentang sebuah cerita, maka konsep Lord tersebut, harus dipertimbangkan, karena proses komposisi tidak lagi dibangun oleh sistem formula yang terikat oleh matrik yang sama, melainkan dibangun oleh sekwen-sekwen cerita yang digerakkan oleh motif. Beberapa
penelitian
yang
pernah
dilakukan
di
Indonesia
yang
menggunakan teori Lord mengalami beberapa kendala terutama dalam melakukan analisis mengenai system formula dan komposisi skematiknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Suripan Hadi Hutomo yang meneliti kentrung di Jawa. Dalam analisisnya dikemukakan bahwa diperlukan modifikasi teori untuk menganalisis cerita Dammar Wulan yang dilakonkan dalam tradisi lisan jemblung masyarakat Jawa Timur. Demikian juga sebagaimana pengakuan dari Nani Tuloli yang meneliti cerita rakyat Tanggomo masyarakat Gorontalo. Dalam temuannya, menyimpulkan bahwa tetap diperlukan modifikasi konsep-konsep Lord dalam menerapkannya dalam cerita rakyat di Nusantara. Ini tentunya, terjadi karena ada perbedaan pola tradisi liisan yang diteliti oleh Lord dengan tradisi lisan Tanggamo yang diteliti oleh Nanti Tuloli. Lain halnya kalau sebuah cerita tersebut tetap disajikan dalam bentuk syair yang mementingkan aspek bait, baris dan rima, maka kemungkinan penerapan teori itu dapat dilakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam cerita rakyat yang tidak disampaikan dalam bentuk syair sangat cocok untuk dianalisis dari segi pengembangaan alur cerita. Analisis mengenai sekwen sangat disarankan, karena dengan mengetahui sekwen-sekwen yang membangun alur cerita, maka akan ditemukan peristiwa utama sebagai salah satu bagian penting yang harus dipahami oleh seorang pencerita tradisi lisan. Melalui pengetahuan mengenai peristiwa utama, seorang ahli tradisi lisan dapat bercerita karena inilah yang
129
kemudian dalam tradisi lisan dalam bentuk nyanyian rakyat disebut stok siap pakai. Pada nyanyian rakyat, teori ini tetap memungkinkan untuk menerapkan teori Lord dalam analisisnya. Walaupun memerlukan penyesuaian-penyesuaian dalam menghadapi data.
130
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari Kecamatan Sruweng kabupetan
Kebumen
Jawa
Tengah
memiliki
keunikkan
tersendiri
jika
dibandingkan dengan beberapa tradisi jemblung atau kentrung yang ada di beberapa wilayah yang ada di Jawa. Perbedaan ini seiring dengan karakteristik masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen yang memiliki sejarah dan kebudayaan yang berkembang selama ini. Di samping itu, tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari kecamaran Sruweng kabupaten Kebumen memiliki performansi yang berbeda dengan kentrung di daerah lain. Perbedaan tersebut, dipengaruhi oleh pandangan dunia mereka, tentang kehidupan yang lebih mengarah kepada bagaimana mereka dapat memanfaatkan kesenian dalam pembangunan daerah mereka. Kalau di daerah lain, jemblung atau kentrung dipentaskan berhadapan langsung dengan penonton dalam suatu tempat, maka dalam masyarakat desa Karangsari di samping dipentaskan secara langsung berhadapan dengan penonton, jemblung dipentaskan dan dinikmati oleh masyarakat desa Karangsari melalui radio komunitas yang bernama Radio Jaring Asmara (Jaringan Aspirasi Masyarakat) yang menyiarkan tradisi lisan jemblung hampir setiap malam Kamis. Sistem formula dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari, digerakan oleh motif dan latar yang digunakan oleh para dalang untuk menceritakan tradisi lisan jemblung. Komposisi skematik tidak ditemukan dalam tradisi lisan jemblung masyarakat desa Karangsari, melainkan komposisi dibangun melalui sekwen yang digerakan oleh adanya motif dan latar dalam perkembangan sebuah cerita. Pemanfaatan tradisi lisan jemblung dalam pembangunan desa Karangsari dianggap sebagai media yang dapat di akses dengan mudah dan gampang dalam memberikan respon terhadap berbagai masalah dalam masyarakat desa Karangsari. Baik masalah sosial, politik, budaya, pertanian yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam penyiaran jemblung yang disiarkan memlalui radio tersebut, masayarakat dapat merespon setiap alur cerita yang dimainkan dalam tradisi
131
lisan jemblung sehingga kembali dapat direspon oleh para dalang yang ada di studio. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah disebutkan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan kepada masyarakat desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen Jawa Tengah bahwa dalam rangka melestarikn tradisi lisan jemblung maka hendaknya dilakukan upaya-upaya penelitian dari masyarakat desa Karangsari sehingga tradisi lisan jemblung dapat dijadikan sebagai salah satu media komunikasi sosial yang efektif dalam masyarakat desa Karangsari. Selanjutnya, pemanfaatan radio FM sebagai ruang pemanfaatan teknologi dalam pelestarian tradisi sudah harus dilakukan di daerah lain di nusantara, mengingat pemanfaatan tradisi lisan dalam pembangunan memiliki ruang yang efektif dalam pembangunan masyarakat khususnya masyarakat desa. Hendaknya tradisi lisan jemblung dapat dijadikan sebagai mata pelajaran muatan local di dalam masyarakat desa Karangsari atau kabupaten Kebumen, mengingat tradisi ini sangat disukai masyarakat dan memuat berbagai nilai-nilai budaya Jawa yang termuat dalam properti maupun dalam setiap lakon yang dimainkan oleh para dalang jemblung yang ada.
132
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press. Abrams, M.H. 1985. A Glossary of Literary Terms. 5th edition. Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Acker, J. 1990. “Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory Of Gendered organizations. Gender and Society. 4 (2): 139-158. Ahimsa-Putra, H.S. 2001. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Albom, M.. 2006. Selasa Bersama Morrie. Diterjemahkan oleh Alex Tri Kontjono Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Alisjahbana, A. T. 1952. Puisi Lama. Jakarta: Pustaka Rakyat. Bascom, W. R. 1955. “Verbal Art” (American Folklore Society), Vol. 68, No. 269 (Jul. Sep., 1955), pp. 245-252. Bascom, W. R. 1973. “Folklore, Verbal Art, and Culture”: The Journal of American Folklore, Vol. 86, No. 342 (Oct. - Dec., 1973), pp. 374-381 BPS Kabupaten Kebumen. 2012. Kabupaten Kebumen dalam Angka 2012. Kebumen: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kebumen. Budiman, K.. 1999a. Kosasemitika. Yogyakarta: LkiS Bunanta, M.. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chatman, Seymour. 1980. Story and Discouerse: Narrativ Structure in Fiction and Film. Ithaca and London: Cornell University Prees. Culler, J.. 1983. On Deconstruction: Theory and Crititcism After Structuralism. London: Routledge & Kegan Paul Danandjaja, J.. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Danandjaja,
J.. 1998. “Folklore dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Pudentia (editor). Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
133
Danandjaja, J.. 2003. Folklore Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti. Djamaris, E..1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta : Balai Pustaka. Djarudju, LD. S. 1995. Buton dalam Kilasan Sejarah. Kendari: Fisip Unhalu. Dundes, A.. 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press. Eagleton, T.. 1983. Literary of Semiotic: An Introduction. Basil Blackwell: Oxford. Esten, M.. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa. Fine, E. C. 1984. The Folklore Text. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Finnegan, R. 1992. Oral Traditions and The Verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge. Finnengan, R.. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Context. Bloomington: Indiana University Press. Finnengan, R.. 1978. Oral Literature in Africa. Nairobi, London: Oxford University Press. Foley, J. M.. 1986. Oral Tradition in Literature: Interpretation in Contexs. Colombia: University of Missouri Press. Foucault, M. 1990. The Use of Plesure. Vol. 2. New York: Vintage Books. Giddens, A.. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama. H.P. Rickman. 1967. Understanding and The Human Studies. London: Heinemann Educational Books Limited. Hutomo, S. H.. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ikram, A.. 1984. “Perlunya Memelihara Sastra Lama” dalam Majalah Analisis Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud. Iswari, E.. 2010. Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklore. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Jacobs,
M.. 1966. “A Look Ahead in Oral Literature Research” (The Journal of
134
American Folklore), Vol. 79, No. 313 (Jul. - Sep., 1966), pp. 413-427. Jefferson, A. and Robey, D.. 1987. Modern Literary Theory: A Comparatif Introduction. London: B.T. Batsford Ltd. Kartini, T., dkk. 1984. Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kasiyan, 2006. Media di Era Budaya Massa: Tegangan antara Berkah dan Kutukan bagi Humaniora. Yogyakarta: Makalah Simposium Internasional Dies Natalis ke-60 dan Lustrum ke-12 Fakultas Ilmu Budaya UGM 16-17 Maret 2006. Levin, H.. 1973. “Literature as an Institution”, dalam Elizabeth and Burns, Tom. Sosiology of Literature and Drama. Great Britain: C. Nicholls and Company Ltd. Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusert, London, England: Harvard Univerity Press. Masiri, R.. 2009. Maula, Sebuah Tradisi Lisan Masyarakat Ciacia Kabupaten Buton: Telaah Bentuk, Isi dan Fungsi. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu. Mattulada, dkk. 1990. Sawerigading: Folklore Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Offset. Mosse, J. C. 2003. Gender dan Pembangunan Diterjemahkan oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munafi, La Ode A. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Buton (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung : Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Nagy, G.. 1996. Homeric Questions. Texas. University of Texas Press. Ong, W. J. 1989. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London: Methuen. Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Tradisi Lisan. Putra, A.. 2005. Sistem Morfologi Verba Bahasa Buton Dialek Buton. Yogyakarta: FIB UGM.
135
Rahman, N. dan Adiwimarta, S. S. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia. Ratna, N. K. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rendra, 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta : Pustaka Jaya. Ritzer, G. 1980. Sosiology: A Multiple Paradigm Science. Toronto: Allyn dan Bacon. Rusdin, A. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran. Salman, I. 2005. Keluarga Sakinah dalam Aisyiah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah. Santoso, W., M. 2001. “Keluarga Perempuan dan Anak dalam Kotak Kaca yang Terlewatkan”. Dalam Muhamad Hisyam (editor) Indonesia Menapak Abad Dua Satu dalam Kajian Sosial dan Budaya. Jakarta: Peradaban. Selden, R. 1997. Teori Kesuasatraan Sezaman. (terjemahan Umar Junus) Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Sugono, D. dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Teeuw, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Buton. 1987. Pedoman Kegiatan Kesenian (Seni Teater). Kendari: Nuri Mas. Tirtawidjaya, Y. H. T., dkk. 1979. Sastra Lisan Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tuloli, N. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa. Vansinna, J. 1965. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. London: Hatzel Watson and Viney Ltd. Wellek, R. dan Warren, A. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. Wolf, N. 1994. Fire With Fire: The New Female Power and How to Use it. New York: Ventage Books.
136
Yektiningtias-Modouw, W. 2008. Helaehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Internet: http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Dalang_Jemblung http://ilmuhanif.blogspot.com/2010/11/sejarah-kesenian-jemblung.html
137
LAMPIRAN 1 Teks Tradisi Lisan Jemblung N a m a
K I J O G E R
K I J o g e r
K I W a s i
To ko h
SA MB UT AN
Jawa
Indonesia
Inggih menika kawulo sak rombongan kedah ngaturaken kesenian ingkang asesirah kesenian jemblung. Manggamangga menawi mangke mbok bilih wonten kekirangannipun bab atur carios, mangke saget wonten bukuninpun. Sebab menika kula nggih naming anulada saking buku- buku ingkang sampun kacipta .
Iya itu, saya (beserta) satu rombongan harus mempersembahkan (memberikan) kesenian yang bernama kesenian Jemblung. Silahkan apabila nanti bila ada kekurangan dalam penyampaian cerita, nanti dapat ada bukunya.
Prayoginipun bade dipun wiwiti, inggih menika mendet asesirah Babad Kebumen utawi Riwayatipun KI Jaka Sankrip.
Sebab itu saya juga hanya mencontoh dari buku- buku yang sudah diciptakan (diterbitkan). Sebaiknya akan dimulai yaitu mengambil judul Babad Kebumen atau Kisah hidup Ki Jaka Sangkrip.
kel um pok
Tabuhe didum lan sinden lan suling
Pembagian gamelan, sinden dan sulin
dal ang
Bismillahirohmanirohim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan penyayang.
Sinarkoro /sinarkoro (kur)/ purwakaning gati /. purwakaning gati (kur) Sun amedal kawruh kang sanyata /kawruh Kang sanyata (kur)/
Sinarkoro(memberi gandaran lagu dandhanggula) Sebagai pembukaan yang sebenarmya. Saya membeberkan (menceritakan) yang sebenarnya.
Luwung kinarya rerepe / kinarya rerepe (kur)/ sinakalaning nganggur engengrengeng anglipur hati./ anglipur hati (kur)/
Lumayan untuk kegiatan menembang ketika nganggur, bersenandung menghibur hati.
138
m i n
K I B a m b a n g
din yan yik an
Ngilangno rasa susah /soso susah (kur)/ tinimbang ngalamun
Menghilangkan rasa daripada ngelamun
sedih
Syukur yen nindakn-migunanono -------------------dawuhing sudarmi. Urip ning jaman anyar (kur)
Syukur bila-------------bermanfaat----------------perintah suami. Hidup di zaman baru.
S u a r a p e n o t o n y a n g m e m a n g g i l a n a k n y a
K i S a
139
l a m
K i
Repsirep Dotopitono anenggih pundi minangka kanggo bebukane carita.
Repsirep Dotopitonoya itulah yang mana yang digunakan untuk pembukaan cerita
[Koyo dalang temenan]
[Seperti dalang sungguhan]
Inggih menika kademangan Kuthowinangun, / kademangan Kuthowinangun (Kur)/
Yaitu kademangan Kuthowinangun
[sing ana warunge kae? ].
.[yang ada warungnya itu ya? ],
[ya sing asri kae].
[iya, yang asri dulu].
Ingkang ajejuluk demang kutho winangun
Dengan gelar Kuthowinangun.
Kui demang ana jenenge mbok
Itu Demang ada namanya
J o g e r
K i J o g e r
K i W a s i m i n
K i
demang
J o g e r
K i B a m b a n
140
g
K i
Hangga
Hangga
Digenepi Hangga Yudha
Di lengkapi Hangga YUdha
Dadi Demang Kutho Winangun Hangga Yudha.
Jadi Demang Kuthowinangun Hangga Yudha.
Nalika semana, Ki demang sawetara hangempalaken 141anic141 para kadang lan sentana utawi datan para putraputra ingkang pitu cacahipun.
Saat itu, Ki Demang sesaat mengumpulkan semua saudara dan juga pegawai istana atau dengan para putra yang tujuh jumlahnya.
W a s i m i n
Putrane Demang Hangga Yudha pitu cacahe
Anaknya demang Hangga Yudha tujuh jumlahnya.
K i
Menawi ingkang setunggal menika putra angkat, inggih sejatosipun menika keponakan ingkang asesilih “ Ki Jaka Sankrip”. Nanging, ki jaka Sankrip sawetara
Tetapi yang satu itu anak angkat, yang sebenarnya adalah keponakan yang namanya “ Jaka Sankrip”. Tapi ki Jaka Sankrip saat itu
j o g e r
K i B a m b a n g
K i W a s i m i n
K i j o g e r
j o
141
g e r
nandang gerah utawi sakit
sedang sakit atau sakit bau anyir
( w a s i m i n )
ambune bacen uripe disiyo-siyo
hidup dijauhi oleh saudaranya.
Naliko semono, panandange ki Jaka Sankrip ngaruwara sanget dene saking sakitipun. Saha anggenipun disiyo-siyo para sederek. Kocapo ingkang Rama ngersaaken supados dikebonake Ki Jaka Sankrip.
Saat itu, nasib Ki Jaka Sankrip sangat menderita karena sangat sakit. Juga dijauhi oleh para saudara. Berkatalah ayahnya meminta supaya “dikebonaken” (dikebunkan) Ki Jaka Sankrip.
Dikebonaken neng kebon
ateges
ditandur
Dikebonaken tegese dipun damelaken gubuk ing sak pinggiring kebonan.
Dikebonaken (dikebunkan) berarti dibuatkan gubuk di pinggir kebun.
Saklebete wonten kebonan piyambakipun ngaruwara atau berkeluh kesah (sedhih).
Saat di dalam perkebunan, ia mengeluh. Di dalam hatinya mendingan dicabut nyawanya karena sangat tidak kuat menahan terhadap sakitnya,
Sakapeping dalang (kur) Sakjroning penggalih haluwung sirna binanjut saking ora kuat ngampet 142anic142 sakitipun.
Kocapo sak tengahing ndalu piyambakipun menika ngaruwara ngantos cerita ing saklebeting tembang.
Di tengah malam, ia mengeluh atau berkeluh kesah bercerita di dalam tembang atau nyanyian.
Ngantos carito wonten tembang
Kocapo kaya mengkono si jaka sankrip, lenging ndriya hanganyut tuwuh ngucali ganing sirna.* * (golek dalan pati). Nuli medhak saking panggung kacarita lumampahipun dumugi alas gleor.
Di ceritakan seperti itu ki jaka sankrip, mencari sarana untuk mati. Kemudian turun dari undakan gubuk dan diceritakan perjalanannya sampai hutan 142anic142. Sesampai di hutan
142
Nganti ning alas gleor kalara- lara. Kocapo lakuning Jaka Sankrip nganti pitung dina pitung bengi, ora kolu mangan ora kolu ngombe sengaja pasrah kepingin enggal nyawane di cabut dening kang maha kuasa. Tinimbangane lara sue ra ana tambane. Nggugat karo sing Maha Kuasa njaluk pangadilan kepriwe. Arep njaluk mari apa arep diparingi mati.
143anic143 (kesakitan).
menderita
Di ceritakan perjalanan Ki jaka Sankrip sampai tuju hari tuju malam. Tidak bisa makan tidak bisa minum. Sengaja pasrah ingin secepatnya nyawanya dicabut oleh yang Maha kuasa. Daripada sakit lama tidak ada obatnya. Menggugat kepada yang Maha Kuasa meminta pengadilan bagaimana. Mau minta sembuh apa minta diberi kematian.
Kocapo si Jaka Sankrip saking sikep mandengi pucuking grana kanthi ngeningaken 143anic143 pancandria. Panca lima ndria pangangen- angen. Kocapo kang sekarang kang binangkus saduka kang sinidikoro lenging cipta angarasa marang ingkang murbeng dumadi lan kados pundi marganipun pejah lan kados pundi menawi dipun 143anic143 waras ingkang minangka kanggo jampi kesembuhan
Diceritakan si Jaka Sankrip dari kekusukan memandang pucuk hidung dengan mengheningkan panca indra. Panca lima, indra perasa. Diceritakan yang sekarang diliputi kesedihan yang mendalam menenangkan pikiran. Bertanya kepada yang Maha menciptakan seperti apa caranya mati dan bagaimana apabila di berikan kesembuhan yang sebagai sarana obat untuk kesembuhan
Kocapo koyo mengkono eloking jagat ening semedine ki jaka sankrip katrimah ingkang Maha kuwaos. Sakmenika wonten wewujudan harupi brahmana. Wong kaki- kaki gumrajag tanpa larapan ketuke jleg (ujug- ujug) sak nlika piyambake hanggugah semedine Ki Jaka Sangkrip Pangendikaning sang Brahmna
Dicaritakan seperti itu keajaiban dunia . Di dalam bertapanya Ki jaka sankrip diterima yang Maha Kuasa. Saat itu ada penampakan seperti Brahmana. Seorang kakek- kakek datang entah dari mana asalnya terlihat dengan tiba-tiba saat itu juga ia membangunkan bertapanya ki Jaka Sangkrip. Berkatalah sang Brahmana
K
Bra
Eh Yang sukma mustikaning jagat
E Yang Sukma perhiasannya
143
i
hm ana
J o g e r
putuku- putuku aja kelara- lara anggonmu aja keterus- terusan anggonmu ngesuh budi ngrusak raga. Ngger putuku, jugaro semedine ngger.
Suara tak beraturan, ruang jeda (kur)
Atur pangandikanira brahmana
K i
dunia, cucuku- cucuku jangan bersakit- sakit dirimu, jangan diterusteruskan dirimu bertafakur budi (akhlak) merusak badan. Nak cucuku, bangunlah dari tapamu nak.
sebagai
sing
Beginilah perkataan Brahmana.
sang
Bra hm ana
Ngger, Jaka Sankrip siro jugaro semedine ngger.
Nak, Jaka Sankrip. Kamu bangunlah dari tapamu nak.
Jak a san krip
Inggih sewu- sewu sembah manuwun, sewu- sewu nyuwun ngapunten, panjenengan sinten?
Iya beribu- ribu terimakasih, beribu- ribu mohon maaf. Anda ini siapa?
Bra hm ana
Bab asmaningsun kurang prayogi Sing perlu iku siro nduwe saja apa geneo nganti mati raga ing sajronning alas.
Mengenai namaku kurang penting. Yang penting itu kamu memiliki keinginan apa. Kenapa sampai membunuh badan di dalam hutan.
Jak a Sa nkri p
Inggih waleh- waleh menapa kanjeng eyang, bilih kula menika saweg nandang ingkang tanpa mboten wonten pedetipun wiwit alit kula dipun rengkuh kalian tiyang sepuh ngantos dumugi semanten, ngantos dumugi titi wanci menika, tansah nandang loro, tansah nandang tatu mboten wonten mantunipun. Saking menika duh eyang, kula tansah ngupadi kados pundi kulo supados dumugining pejah kewolo duh eyang.
Iya sebenarnya eyang, bila saya itu selalu mengalami tanpa tidak ada putusnya, dari kecil saya di angkat oleh orang tua hingga sampai saat ini, hingga di waktu ini, saya selalu mengalami sakit, tansah mengalami luka tidak bisa sembuh. Oleh karena itu eyang, saya selalu mencari bagaimana saya supaya mati saja eyang.
J o g e r
K i W a s i m i n
W a s i m i n
144
M a s b a m b g a n g
K i
Su ara pen yeli ng
Eh (dengan ekspresi)
Bra hm ana
Ngger jaka sankrip
Nak jaka sankrip
Jak a Sa nkri p
Inggih kados pundi?
Inggih kados pundi?
Bra hm ana
Elingono yo, lan ngertia. Kabeh lara, pati, lan pesti jodo lan rejeki kabeh ana ing astane maha kuasa. Dijalukana saiki,nganti nggering ganteng, nganti sing kepriwe carane yen 145anic145 tinakdir kudu mati ora kena mati.
Ingatlah ya ,dan pahamilah. Semua penyakit,mati, jodo dan rejeki semua ada di tangan Maha Kuasa. Diminta sampai susah sedih sampai yang seperti apa caranyanya bila belum berakhir harus mati, tidak akan bisa mati.
J o g e r
Lah saiki kudu nggoleki lantaran kang pinandang wae
Lah sekarang harus mencari jalan keluar yang kamu alami saja.
W a s i m i n
Jak a Sa nkri p
Inggih kados pundi lantaranipun duh kanjeng eyang
Iya bagaimana jalan keluarnya kek?
K i
Bra hm ana
Tapi kepengen mari tenan to?
Tapi ingin sembuh benar to?
j o g e r
145
K i
Jak a Sa nkri p
Inggih saestu mantun.
Bra hm ana
Iki eyang ana piyandel
Ini eyang ada kepercayaan (cara)
Jak a Sa nkri p
Inggih
Iya
Bra hm ana
Ning sarate sliramu isih kurang tapane.
Tapi syaratnya kamu masih kurang tapanya.
Jak a san krip
Inggih kados pundi?, kulo kedah semedi utawa tapa kalo wau?
Iya bagaimana?, saya harus bertapa seperti tadi?
Bra hm ana
Kajaba mbanter semedine, kudu nglakoni tapa brata sak jroning weteng kebo bule.( srepeg ning ning ning nong nong nong gerr)
Selain lebih keras bertapanya, harus menjalani tapa di dalam perut kerbau bule.
j o g e r
K u r
w a s i m i n
kula
kepingin
Iya sungguhan sembuh.
saya
ingin
penyeling
Ki jak a san krip
Dados kulo meniko sagetipun waras kados wingi wuni, kula kedah anglampahi tapa ing sak lebeting weteng kebo bule
Jadi saya itu bisanya sembuh seperti dulu , saya harus menjalani tapa di dalam perut kerbau bule.
Bra hm ana
Mula iku gek tampanana. Iki jenenge sesupe 146anic ing waris. Iki ana wujud 5 perkara diagema.
Oleh karena itu cepat terimalah. Ini namanya sesupe 146anic ing waris. Ini
K u r
146
ada wujud 5 hal, pakailah.
K u r
K i
Keluhan keheranan
Jak a san krip
Kapiyasane eyang?
Bra hm ana
Wes aja takon kapiyasane. Niatmu apa, iki mengko insyaallah kejangkung karo kang Maha Kuasa
Sudahlah jangan tanyakan kasiatnya. Niatmu apa ini nanti insyaalah akan di kabulkan oleh Sang Maha Kuasa
Jak a Sa nkri p
Dados sasampunipun kula anyepeng piyandel. Menapa ingkang kula saja saget kalampahan
Jadi setelah saya memegang jimat,. Apa yang saya harapkan dapat terkabul.
Bra hm ana
Tampanana lantaran.
Terimalah sebagai sarana.
dal ang
Kocap kacarita ki jaka sankrip sampun nampi piyandel saking Brahmana, lampahiro mangilen ngantos dumugi karang pradesan.
j o g e r W a s i m i n
K i j o g e r
kados
pundi
minangka
duh
kanggo
Kasiatnya seperti apa kek?
Diceritakan Ki jaka Sankrip sudah menerima jimat dari Brahmana. Berjalan ke Barat sampai daerah pedesaan.
Bunyi-bunyian gendang dari mulut selama beberapa menit K i J o g e r
Analasak wana wasa anrajang jurang tebis bebasan ana bandatan den trajang ana gunung den unggahi ana jurang den turuni. Tumeka wonten ing dusun inggih menika dusun ingkang wonten kandangipun kebo kathah.lan ing sawijining kandang wonten kebo bule warninipun. Ki jaka Sankrip mandeg jegreg.
Menerobos hutan dan melewati jurang seolah halangan di terjang, ada gunung di daki, ada jurang dituruni. Sampai ada di dusun yaitu dusun yang ada kandang kebonya banyak. Dan di salah satu kandang ada kebo bule warnanya. KI jaka sankrip berhenti. Ia
147
Pangendikanira
b a m b a n g
W a s i m i n
berkata
Teriakan “ngeri toh)
Ki Jak a san krip
M a s
Yen tak pikir- pikir kok yo ra ana nyatane ingatase aku Ki Jaka Sankrip supaya mertapa ana sajroning weteng kebo bule. Yo opo to biso kelakon aku supaya mertapa ing sajroning weteng kebo bule. Carane mlebu kepiye?
Kalau kupikir- pikir ya tidak ada nyatanya. Seorang aku ki jaka Sankrip supaya bertapa ada dalam perut kebo bule. Ya apa bisa kejadian aku supaya bertapa di dalam perut kebo bule. Caranya masuk gimana?
Memberikan pertanyaan kepada ki Joko sangkrip (………………..)
B a m b a n g
W a s i m i n
Jak a san gkri p
Yo wes dikaya ngapa manut dawuhe kang kanjeng eyang. Mula aku bakal ngupadi anane si kebo bule. Lah kae ana kandang lah kebeneran ana kebone bule. Coba tak prepekane
Ya sudah apapun mengikuti nasehatnya kakek. Maka aku bakal mencari adanya kerbau bule. Lah itu ada kandang, lah kebetulan ada kerbau bulenya. Coba ku dekati.
w a s i m i n
Jak a san gkir p
Pancen bener iki pas ana kebo bule . nanging miturut wangsite si eyang aku supaya mertapa sajroning weteng kebo bule. Ki olehe arep mlebu ki arep metu endi? Umpama lewat cungure yo mokal bisa kelakon. Umpamane lewat cangkem malah kemamah
Pasti benar ini pas ada kerbau bule. Tapi menurut pesan si kakek aku harus bertapa di dalamnya perut kerbau bule. Ini caranya mau masuk tuh lewat dari mana? Apabila lewat mulutnya tidak mungkin bisa. Saumpama lewat mulut pati kekunyah.
Kaya- kayane pandhitane among uwus,
Sepertinya pandhita itu hanya bohong.
K i S a l a
148
m
K i
Ora bertanggung jawab
Tidak bertanggung jawab
B a m b a n g
K i
Emeng Sankrit
penggalihipun
ki
Jaka
Ragu perasaannya ki Jaka Sankrit.
K i
Emeng penggalihipun Sankrip.
ki
Jaka
Ragu- ragu perasaan ki Jaka Sankrip.
J o g e r
Kaelokaning jagat wonten sa wijining brahmanana ingkang dumuginipun tanpa sinakasangka. Datan kanyana- nyana Ki jaka sankrip ka junjung wonten gegering kebo. Sak nalika wonten ing gegere maeso ambles dateng ing sak lebeting waduk maesa wau
Keajaiban dunia ada seorang Brahmana yang kedatangannya tanpa didugaduga. Tidak disangka- sangka ki Jaka Sankrip di angkat kerbau punngung kerbau. Seketika berada di punggung kerbau masuk ke dalam perut kerbau tadi.
Pangudaswaraning ndriya ki jaka Sankrip wonten ing waduk kebo.
Di dalam hati Ki Jaka Sankrip dalam perut kerbau.
Gumun- gumun, kang tanpa wangenan. Apa ya iki aku wes sakjrroning ing waduking kebo bule. Kenangapa kok kena di di arani ora ana ganda ra ana ambu apa- apa. Lah malah tak rasakke kaya sumringah seger kepenak awakku
Heran, heran yang tidak terbayang. Apa ya ini aku sudah berada di dalam perut kerbau bule. Kenapa kok bisa dikatakan. Tidak ada aroma, tidak ada bau apa- apa. Lah jadinya ku rasakan seperti sumringah seger nyaman. Badanku
Nang njeru ameh mangan usus ana, ameh mangan ati kari mbetot.
Di dalam mau makan usus ada, mau makan hati tinggal petik (ambil)
w a s i m i n
W a s i m i n
K i
Ki jak a san krip
B a m
149
b a n g S a l i m
K i
penyeling
Dal ang
j o g e r
Kocapo kaya mangkono datan kacerita wonten perute kerbau.
Cerita seperti itu, tidak di ceritakan ada perut kerbau.
Ingkang wonten karang pradesan, inggih menika ingkang kagungan maesa kae mau. Inggih menika ki Juru Tani ingkang sabekta nendra , lagi kepenak turu. Salebetipun sami pada tilem nampa sasmitaning jawata. Impen kados kedadosan manapa wontenipun nggih menika , ingkang supados yen pancen kepingin grumbul menika aman makmur, ayem tentrem, liken ayem saranane siji kudu nggawe belik ning sak ngisore kayu lo sebelah utawa sisih lor wetan
Yang berada pedesaan, yaitu yang mempunyai kerbau itu mau. Yaitu Ki Juru Tani yang sedang tidur,sedang tidur lelap. Di saat tidur menerima petunjuk dari dewa. Mimpi seperti kejadian apa yang ada yaitu, yang seperti bila memang ingin grumul itu aman makmur, ayem tentrem, damai sejah tera. Jalan yang harus dilaksanakannya satu membuat belik (sumber air,) di bawah pohon kayu lo. Sebelah atau sisi timur laut.
Nomer lorone siro kudu ngelingi marang kamakmuraning lingkungan. Kudu nglilakne kebone bule di sembelih utawa dipragat kanggo slametane wong sak lingkungan. Enggal kuwi mau ndang tindakna. Wonten tiang sing mertapa singati- ati anggone mbedel waduke .
Nomer duanya mengingat pada kemakmurannya lingkungan, harus merelakan kebo miliknya yang bule untuk disembelih untuk digunakan syukuran orang satu lingkungan. Cepat segera dilakukan,ada orang yang bertapa, berhati- hatilah membedah perut kerbaunya.
________ biyunge.
___________, heh bu!, bu heh bu!
B a m b a n g
K i j o g e r
K i
Ki juru tani
heh
biyunge,
heh
j o g
150
e r
Music dari mulut k u r
K i
biy ung e
Apa.. apa jane kepiye kang?
Apa… apa? Sebenarnya bagaimana mas?
Ki juru tani
Wong wes tangi wet mau, diundang meneng wae kenangapa to?
Orang sudah bangun dari taddi dipanggil- panggil diem aja. Kenapa to?
Bojo ra mbejaji
Istri yang didak baik.
biy ung e
Ana apa bapakne?
Ada apa pak?
Ki Jur u tani
iki jane olehku tangi kaget. aku ngimpi kok kaya- kaya temenan ditekani wong kui
ini sebenarnya aku bangun kaget aku mimpi kok sepertinya benar-benar di datangi orang itu.
S a l a m
Biy ung e
Lawong ngimpi digugoni Kepiye?
La orang mimpi aja dipercaya gimana?
J o g e r
Ki juru tani
Gek kaya- kayane ana wong kakikaki temekan kene. Gek kaki- kaki kui aneh banget
Sepertinya ada orang kakekkakek yang sampai disini . dan kakek- kakek itu aneh.
s a l a m
B a m b a n g
S a l a m
151
S a l a m
biy ung e
Aneh kepiye?
Aneh gimana?
K i
Ki Jur u tani
Uwong iku dideleng ki cak katon cak ora ning nduweni cahya jan cumorong ngilang-ngilangi
Uwong iku di lihat tuh kadang kelihatan kadang nggak tapii Memiliki cahaya yang sangat terang.
S a l a m
Biy ung e
Jane wonge apa mripate njenengan sing ra genah iku?
Sebenarnya orangnya apa matanya anda yang tidak bener itu?
K i
Ki juru tani
lah bisa juga rong prasangakan kui mau apa kiye apa gue. Jare kae kon gawe belik ning ngisor lo kae belik cilik..
Lah bisa juga dua prasangka itu. Itu tadi apa dia apa aku. diakatakanny disuruh membuat sumber air kecil. Dan sebenarnya aku juga tidak rela, di suruh ngorbanaken kerbau jika ingin masyarakat sini damai, sejahtera.
S a l a m
biy ung e
Terus karepe kepiye?
Terus maunya bagaimana?
K i
Ki juru tani
Sing jane aku kang owel, kon ngorbanaken kebone yen kepingin masyarakat kene ayem tentrem, makmur mabur- mabur jibar- jibur
Terus disuruh mengurbankan kerbau jika ingin masayarakat sini damai sejahtera dan makmur.
Biy ung e
Aja di gugu_______________
Jangan ____________
Ki
Inyong
Aku disini dituwakan
j o g e r
J o g e r
J o g e r
K
nak
kene
dituwakaken
dipercaya
152
harus
o
juru tani
kudu ngerteni uwong kang butuh, uwong kang perlu apa meneh uwong sing butuh dipikiraken. ora mung mikir awake dewek
memahami orang yang butuh, orang yang perlu, apalagi Orang yang butuh dipikirkan bukan hanya memikirkan diri sendiri
S a l a m
Biy ung e
La wong yo awake dewe isih butuh, d idol iso kanggo tuku motor
La kita saja masih butuh. Di jual kan bisa untuk beli motor
B a m b a n g
Ba mb ang
[Nduwe bojo ko’ kaya]
[Punya istri kok kaya….]
K i
Ki juru tani
Tuku motor angger nyupiri karo dolanan hape kae kesasar banjur nabrak. Lah kaya kene biyunge kedadeyan iki kayane ora kedadeyan sak baene. Dadi yen ngurbanaken secara ikhlas, Mbok menawa katrima nuwune mring sang maha kuasa. Ayo podo di ikhlasakaen wae.
Beli motor bila mengendarainya sambil bermain hape itu tersesat lalu menabrak (kecelakaan). Lah kesini bu, kejadian ini sepertinya bukan kejadian yang biasa. Jadi bila mengurbankan dengan ikhlas mungkin akan diterima permintaanya oleh sang maha Kuasa. Ayo diikhlaskan saja
Biy ung e
Yo angger mengkono aku melu wae
Ya asal seperti itu aku ikut saja
Lah iku sing jenenge wong wadon, iku sing jenenge sigaraning nyawa aja ngeyek. Nah bocah- bocah mburi wes pada bali?
Nah itu yang namanya wanita, ikut sing jenenge belahan jiwa jangan rewel. Nah bocahbocah belakang sudah pada pulang?
Urung
Belum
Suit…suit… pada mrene
Suit…suit pada kesini
Kenapa- kenapa
Kenapa- kenapa/
J o g e r
j o g e r
S a l a m
J o g e r
W i s m
Boc ah mb uri
153
a n
1
b a m b a n g
Boc ah mb uri 2
Wonten napa?___________
Ada apa?______________
Jur u tani
Yen pada ngumpul kaya mengkene iki rasaning ati mungkug banget. Rasa- rasaning iki bakal kaleksanan
Jika semua kumpul seperti ini rasanya hati senang sekali. Rasa-rasanya ini akan terlaksana.
Boc ah mb uri 2
Jelase kepiye
Jelasnya bagaimana?
Jur u tani
Aku mau bengi ngimpi yen kepingin daerah kene makmur mawi ayem tentrem, iku saranane siji aku dikon gawe belik cilik ing sak ngisore kayu Lo kae sisih lor wetan
aku semalam bermimpi, jika ingin daerah sini makmur dan juga damai tentram itu sarananya satu aku di suruh membuat sumber mata air kecil di bawah kayu lo itu sebelah utara timur.
Boc ah mb uri 2
Ah mung gawe belik, jamban we purun apa meh digawe saiki napa?
Ah Cuma membuat sumber air kecil, membuat jamban saya saja mau . Apa mau di buat kan sekarang?
Jur u tani
Teruse mengko wae , sing mesti saiki aku njaluk karelaanmu.
Lanjutannya nanti saja yang pasti sekarang aku meminta kerelaanmu.
Boc ah mb uri 2
Aaah agawe belik?, ndene dadi makmur kan kene?
Hah membuat sumber air?, sini menjadi makmur?
Jur u tani
Iya, ning awas koe eling ojo ngarep- ngarep ongkos
Iya, tapi awas kamu ingat jangan mengharap- harap ongkos.
Boc ah mb uri
Mboten- mboten
Tidak- tidak
154
2
K i
Jur u tani
Gotong royong ngerti?, kerja bakti ngerti? Berbakti maring salah sawijining hal sing dituju tanpa bayaran apa- apa
Gotong royong tahu?, berbakti kepada salah satunya hal yang dituju. Tanpa bayaran apa- apa
Jur u tani
Wes kae gek ndang di gawe
Sudah cepat di kerjakan
Kepiye?
Bagaimana?
Nggih, sing kulo gumuni, nembe dipun duduk sakilan banyunipun sampun bening
Iya, yang saya heran. Baru di gali sekilan airnya susah bening.
Jur u tani
Sak teruse kayak kiye, angger belike wes dadi welinge ki mau aku kon ngurbanaken kebo buleku sing lagi meteng kae. Apa ya tega, kok ya pas lagi meteng
Sak teruse kayak gini, bila sumber airnya sudah jadi. Pesannya aku disuruh mengurbanken kebo buleku yang sedang hamil. Apa ya tega? Kok ya pas lagi hamil
Boc ah mb uri 1
Ning pancen welinge impen nggih kenging mawon nadyan lagi meteng
Tapi memang pesan mimpi itu ya bisa saja, meskipun sedang hamil.
Jur u tani
Lah iku kon ngurbanaken digawe slametan nak kene.
Lah itu, disuruh mengurbankan diperuntukkan syukuran di sini.
Boc ah mb uri 1
Kebo bule meniko diutus dipun sembeleh dipun kangge slametan dateng lingkungan mriki
Kebo bule itu, disuruh di sembeleh untuk digunakan syukuran di lingkungan sekitar.
dal ang
Kocapo saking rukune sing nyambut damel nganti ameh anggrendet sing ana ing sajruning waduk
Diceritakan karena rukunnya yang bekerja sampai hampir menyobek yang ada di dalam perut.
Ki jak a
Kisanak, bapak- bapak ingkang sami nyambut damel ingkang ngrumat menika kebo atos- atos
Tuan, bapak- bapak yang sedang bekerja ingkang merawat kerbau ini. Hati- hati
j o g e r
K i
155
w a s i m i n
K i
san krip
ambedelipun kula ingkang mriki.
membedahnya, saya hyang disini.
Boc ah mb uri 1
Masak, iki dikirane meteng, eh malah jebule manungsa
Masak?, ini dikiranya hamil eh malah ternyata manusia
Jak a san krip
Medeni niku pesonipun ambeler kulo.
Menakutkan itu menggores saya.
Jur u tani
Alhamdulillahhirrobbil’alamin. Hiki wong semenegedene ana ing njero weteng
Alhamdulillahirrabbil’alamin. Ini orang sebegini besar ada di dalam perut.
Iki mending di dusi nak belik kae. Belik kae ra isa dienggo marang adus sapa- sapa kajaba kanggo ngedusi ki jaka sankrit. Kiye jaka sankrit
Ini sebaiknya dimandikan. Di sumber air itu. Sumber air itu, tidak bisa digunakan untuk mandi oleh siapapun juga kecuali ki Jaka Sankrit. Nah ini ki jaka sankrit
Dal ang
Caritane rame-rame pada nggotong ki jaka sankrit. Eloking jagat jaka sankrit metu sekoning telaga mari total. Kena diomongke yen caraning ndalang waloyo jati. Waras. Gagah bagus mencorong cahyane.
Ceritanya, rame-rame pada ngangkat ki jaka sankrit. Ajaibnya dunia, jaka sankrit keluar dari sendang sembuh total. Bisa dikatakan dalam bahasa dalang waluyo jati. Sehat, gagah dan tampan. Bersinar auranya.
Jur u tani
Siki di gendong mlebu ngomah. Ayo alon- alon.
nak
Sekarang di angkat ke rumah. Ayo pelan- pelan.
Biyunge- biyunge ambene ditata biyunge
Bu- ibu tempat tidurnya ditata bu.
Kepiye kedadeyane bapakne?
Bagaimana kejadiannya pak?
pisaunya,
j o g e r
.
Biy ung e
156
Jur u tani
Ya kepiye kedadeyane, ya kaya mengkene.
Ya bagaimana kejadiannya, ya begini.
Heh saikine kayane_____ jajal tak takonane.
Heh sekarang sepertinya________ coba kutanyain.
Mengko disik to cah bagus aku takon karo slirane. Apa slirane uwis bisa ngomong?. Bilih wis bisa ngomong coba jajal ngomongo.
Nanti dulu ya cah bagus aku tanya sama kamu. Apa kamu sudah bisa bicara?. Apabila sudah coba bicaralah
Jak a san krip
Iya pengestunipun panjengan sami. Kulo sampun waras- wiris kados wingi- wingi wuni raos seger sumringah tanpa nandang tatu. Awit sak derengipun kulo lumebet saklebeting weteng kebo bule, kula nandang lara gudik , amis bacin, arus gandanipun ingkang mboten wonten mantunipun. Nek sak menika kula saget mantun kados meniko makaten kanggeh kulo nyuwun pangapunten lan nyuwunmatur tembah nuwun sanget dumateng panjenengan sami.
Iya atas doanya anda semua. Saya sudah sehat, sehat seperti kemarin- kemarin, terasa segar dan tidak ada mengalami luka. Awalnya sebelum saya masuk kedalam perut kerbau bule, saya mengalami sakit gudik, amis, dan tidak enak baunya, yang tidak pernah sembuh. Saat ini, saya bisa sembuh seperti ini, karenanya saya minta maaf dan saya berterimakasih sekali pada anda semua.
Jur u tani
Ya sepada- pada. Ning sapa sing dadi sesilih lan seko endi slirane?
Ya sama- sama. Tapi siapa namamun dan darimana asalmu?
Jak a san krip
Ya nami kulo jaka sankrip putra saking demang kutho winangun handayudha.
Ya nama saya Jaka Sankrip putra dari demang kuthowinangun handayudha.
Jur u tani
Alhamdulillahirrabbil alamin jebul pundene dewek. Isih turun
Alhamdulillahhirrobbil’alamin. Ternyata junjungannya sendiri. Dan masih sodara
b a m b a n g
Ya terus?
Jak a san
Ing kala wau amrih kula kedah mantunipun, kula kedah mertapa dateng kebo bule inggih kebo
Tadinya saya bisa sembuhnya, saya harus bertapa pada kerbau bule ya
157
krip
panjengan niku
kerbau anda itu
Jur u tani
Sing ndawuhi sapa?
Yang menyuruh siapa?
Se ora ng bra hm ana
Ingkang brahmana
dawuhi
Sawijining
Yang menyuruh brahmana
Lah
Yayaya… aku paham. Lah sekarang terus bagaimana, aku dan teman-teman ya ucapkan terimaksih banyak dapat pertolongan. Dirimu sekarang sampai seggar, bugar, gagah, cakap, dan bersinar.
K i
Yoyoyo….aq paham. teruse kepiye?
sak
j o g e r
Aku sak kanca ya matur suwun sanget antuk tetulung. Sliram saiki nganti seger buger gagah bagus lan mncorong.
Seorang
Jur u tani
Kejaba kue, sendang kang dinggo adus kijaka sankrit mau. Sing miturut carita jaka sankrit nemahi lara. Besuk yen ana rejaning jaman, sendang kui paringana jeneng sendang kuwarasan.
Daripada itu, sendang yang dipakai ki jaka sankrit tadi. Berdasarkan cerita, ki jaka sankrit mengalami sakit. Besok jika ada ramainya zaman. Sendang ini diberi nama sendang kwarasan.
Jur u tani
Kecobo sing mengkono ngger, sakmeniko kados pundi, saksampunipun meniko sampun sehat. Niki slametan sampun dipun sekseni,
Daripada itu nak, sekarang bagaimana setelah kamu sudah sehat ini. Ini syukuran juga sudah di saksikan
Jak a san krit
Inggih sepisan malih kula ambali matur nuwun atas pitulunganipunpanjenengan sami kangge sak lajengipun kulo tasih gadah sudarma, tiyang sepuh. Sakmenika kula bade ngupadi wonten pundi dunungipun tiyang sepuh kula.
Iya sekali lagi saya ulangi terimaksih atas pertolongan anda semua. Untuk selanjutnya saya masih punya ayah.orang tua saya. Sekarang saya akan mencari dimana keberadaan orang tua saya.
Ooo ngono, inggih menawi mekaten kulo dongaken mangke saget _____tanpa alangan setunggal menapa. Menawi kersa sejatosipun panjenengan singgah sawetara
Ooo begitu, iya bila begitu saya doakan nanti bisa____________tanpa halangan satupun. Apabila mau sebenarnya anda tinggal sebentar
Teng mriki, mengke kulo bade matur rama ing kutho winangun
disini. Nanti saya yang akan cerita ayah di kuthowinangun
158
K i
carios ingkang sejatosipun.
cerita yang sebenarnya.
Jak a san krip
___________Inggih menawi mekaten nyuwun pangestu
______________Iya begitu minta restu.
dal ang
Kocapo ingkang kaya mengkono_______ki jaka sankrip lumampah mengidul paranipun sahingga anemahi batur ingkang bade ngedeaken griya. Sareh dadi batur, kewuhan anggenipun bade ngedekaken griya_______lajeng menika kaampiran dening jaka sankrip
Diceritakan seperti itu, _________kijaka sankrip berjalan ke selatan dan menemui rombongan batur (abdi) yang akan mendirikan rumah. Karena jadi batur kesulitan ketika mau mendirikan rumah. __________ lalu mereka di dekati oleh jaka Sankrip
Jak a san krip
Tak wespadakke rame________lagi gawe_______
Tak perhatikan seperti ramerame____lagi nyambut gawe____
j o g e r
Inggih sakmenika sinten?
koyo
Ramenyambut
panjenengan
kalu
Iya sekarang anda siapa?
Ditepangke wae, aku Ki Jaka Sankrip
Dikenalke wae aku ki jaka Sankrip.
________ngedeke omah ngono?
_____mendirikan rumah gitu?
Yen menurut pitungan, yang kanggo ngedeke ngomah kui_________jikuen petungan pitungan aja nganti dino sempoyong
Jika menurut perhitungan yang digunakan untuk mendirikan rumah itu jangan sampai hari sempoyong.
Sempoyong kenapa?
kui
Sempoyong kanapa?
Sempoyong ndoyong.
omahe
apa
utawa
itu
apa
dan
gampang
Sempoyong rumahnya mudah miring.
Jak a Sa ngk rip
Yen dino sempoyongan omah sing didegake gampang rubuh.
Jika hari kurang bagus (sempoyongan) rumah yang dibangun roboh. Jika mendirikan rumah yang paling bagus hari Selasa Pahing atau Sabtu Kliwon
Ba pak
Monggo kula aturi pinarak dhahar riyin
Yen ngedegke omah dino Selasa Paing utowo dino Setu Kliwon
Marilah kita datang ke rumah makan terlebih dahulu.
159
Jok o Sa ngk rip
kula sampun mongga kadhahara mangke kula kedangon
Saya sudah makan, silahkan Bapak-bapak silahkan makan. Saya sudah terlalu lama
Ba pak Jur u Tan i
Saranane mriwayi banget
Tuan itu (ksatria)
Inggih pada di gatekno lan ugo ditemeni ya. Pada seksenana____ wedus besok titiwancine ana rejaning jaman jenengono desa kene kanthi jeneng desa kawedusan
Iya diperhatikan dan diseriusi. Semua saksikan _________kambing diwaktu ada ramainya jaman. Beri nama desa ini dengan nama desa kaweduasan
Mang mriki wae kisanak kabeh aku kang lagi ngidul kepanggeh dateng panjenengan sedoyo dembe masang batur sesuk yen ana rejaneng jaman dusun iki diarane deso kabaturan
Kesinilah saja saudara semua aku sedang kearah selatan semua bertemu memasang pondasi jika keadaan yang baik desa ini diberi nama Desa Kabaturan.
Lampahiro ki Jaha Sangkrip ngangidul
Jaka Sangkrip berjalan ke selatan
Weduse kaya wedhus gembel
Kambing gembel
Jaka Sangk rip
La kae ana bocah pirangpirang padha angon wedhus. Bocah-bocah lagi padha ngopo
Lah disana banyak anak menggembala kambing. Anakanak sedang apa?
Bocah aqngo n
Kula nembe angon wedhus Napa sampean badhe tuku wedhus
Saya sedang mengemala kambing, apakah Anda akan membeli kambing
Js
O kulo boten badhe tumbas mendo, pancen pangupojiwene pancen ngingu wedhus
O tidak akan membeli kambing, bemang pekerjaannya memelihara kambing
Ba
Inggih den
Ya tuan (den)
seorang
priyayi
Lanjutan
Jaka Sangk rip
d a l a n g
seperti
wedhus
160
LS
Lan anggonmu ngingu wedhus iku biso kanggo pangupajiwa neng dusun kene do digatekno lan diajenni yen rejaning jaman deso iki dijenengi deso Kewadhusan.
Dan engkau memelihar kambing itu dapat sebagai pekerjaan di desa. Semua perhatikan dan dihargai jika keadaan baik desa ini diberi nama Kewedusan.
Kocapo Ki Joko Sangkrip mreksani kathah ingkang ngingu wedhus ndamel dusun Kewadhusan, paranne ngidul kendel wonten Ketep Ngreti ketep ki ngendi
Terceritera ki Jaka Sangkrip mengetahui banyak orang yang memelihara kambing, dan membuat dusun Kawedusan, arahnya keselatan berhenti di Ketep, mengetahui ketep itu dimana
mboten Pak
Bukan Pak
Ki Jaka Sangkrip ningali tiang angon bebek. Kendel sanalika ki Jaka Sangkrip, he, kisanyak panjenengan-pajenengan niku lagi ngopo?
Ki Jaka Sangkrip melihat orang mengembala bebek. Berhentilah Ki Jaka Sangkrip, he , teban engkau sedang apa?
Angon g Bebek
Kula lagi ngingon bebek napo panjenengan badhe tumbas bebek nopo badhe tumbas tigan?
Saya sedang mengembala bebek apakah tuan ingin membeli bebek atau akan membeli telur?
Js
Aku ora arep tuku bebek atawa endhok
Saya tidak akan bebek atau telor
JS
Kula badhe nyuwun priksa nopo ngriki panggesaganipun ngingu bebek
Saya ingin bertanya apakah disino kehidupan memerihara bebek.
Angon bebek
Enggih ingriki kathah ingkang ngingu bebek
Ya disini banyak memelihara bebek
JK
Pangupojiwa bebek wau dipun lestantunaken kanggo pengandel-andel
Pekerjaan memelihara bebek harus dilesarikan sebagai kekuwatan
Pak Tuwo
Inggih den
Ya terima kasih tuanku
JK
Benjang rejaning jaman dusun niki diparingi asma dusun Kebebekan,
Jika yang akan datang desa ini menjadi makmur diberi nama Kebebekan
D a l a n g
Jaka Sangk rip
D a l a n g
membeli
161
yang
D a l a n g
s a l i m
W a s i m i n
Sasampunipun damel dusun kebebekan lajeng lumampah mangidul malih, nyaketi dateng dukun bayi
Sesudah membuat dusun Kabebekan kemudian berjalan ke selatan, mendekati dukun bayi
JK
Mbok sampean kok sibuk sanget meniko wonten kados pundi
Bu engkau sangat sekali, bagaimana sekarang.
Dukun bayi
Menika lajeng badhe derek, empun badhe brojol meniko anak keponakan saking dokter sampun di USG mila sampun ngregoni kula sampun kesusu
Ini sekarang engkau ingin mengikuti, hampir lahir anak anak kemenakan, dia dari periksa oleh dokter di USG maka jangan sampai mengganggu, saya terburuburu
kawan
Sabar disik yu
Sabar dahulu yu
JS
Cobi mbok dukun mbok bilih puniko kangge sipat lantaran lair si ponang jabang bayi mendheta kanthi sarono sepindhah mendhet godhong dhadhap serep supados dipun ulesi, kaping kalihipun godhong waru
Coba Mbah Dukun mungkin ini yang digunakan sebagai sarana lahirnya bayi itu. Ambilah yang digunakan sebagai sarana pertama ambilah daun dadap serep oleskanlah yang kedua adalah daun waru
dukun
Godhong dhasar
Daun waru untuk alas
kawan
Wonten neng tengah sawah
B a m b a n g
warune
kangge
sibuk saat
Yang berada di tengah sawah
Terus!
JS
Menika kange sarat sarono supados lancar ponang jabang bayi saking meniko monggo dipun cobi
Ini sebagai syarat digunakan supaya bayi lahir. Maka dari itu marilah kita coba terlebih dahulu.
Dukun Bayi
Mangkeh kula laksanake
Terima kasih laksanakan
akan
162
saya
K i
Ni dukun enggal cekat-ceket anggenipun nyaranani laire jabang bayi lajeng lair ponang jabang bayi lair kembar sanalika.( srepeg ning ning ning nong nong nong blanggentaknong gerr)
Ni Dukun segera dengan cepat menggunakan dua syarat untuk syarat melahirkan anak. Bayi seketika lahir kembar (Gendhing srepek)
bayi
Owek owek owek
Owek owek nangis)
Bapak ke bayu
Kados pundi niki
Bagaimana ini
JS
Lare puniko sampun lair kembar, benjang wonten rejaning jaman dados dusun Kembaran.
Anak sudah lahir kembar, jika daerah itu baik dijadikan daerah itu menjadi Dusun Kembaran
Bapak e anak
Kadus pundi lajenipun puniko lajeng diparingi nama sinten
Bagaimana selanjutnya diberi nama siapa?
JS
Ponang jabang bayi puniko dipun paringi nami ki Dhadhap lan Ki Waru.
Kedua bayi itu diberi nama ki Dadap dan Ki Waru
Bapak e anak
Monggo kisanak pinarak rumiyin wonten griyo ngriki
Silahkan nak mampirlah dahulu di rumahku
JS
Ora, Nboten pak kulo nembe tapa broto nglajengaken lampah
Tidak Pak, saya sedang bertapa, dan akan menlanjutkan perjalanan.
Doyo doyo saged kaleksanan kang sinedya. Lajeng nyabrang sakilen neng sabrangan wonten tiang jagongan, ki Jaka Sangkrip mampir wonten tiyang jagongan.
Keingan keras terpenuhi keinginan. Kemudian menyeberang di sebelah barat sungai ada orang berkumpul sambil ngobrol, Ki Jaka Sangkrip mendatangi orang sedang berkumpul sambil ngobrol
J o g e r
s a l i m
w s a i m i n
K i j o g e r
owek
163
(bayi
ini
D a l a n g
JS
Sawise aku nyebrang rantap rantat wonten grumbul wonten tiyang khathah ngingu jago, poro kadang sedoyo panjenengan nembe sami ngingah jago punapa jago-jago punika dipun ben
Sesudah saya menyeberang bergegas sampai di grumbul (semak-semak) banyak orang yang memelihara jago, kawan-kawan semua, engkau sedang memelihara jago, apakah jago-jabo itu diadu
Tukan g ayam
Meniko dipunpioro
Ini dipelihara
JS
ponapa dipun adu menopo dhateng kabotohan Penika namung kangge kelangenan lan kangge pangupojiwo.
Apakah diadu, apakah untuk taruhan, apakah hanya untuk kesenangan dan untuk mata pencaharian
Tukan g ayam
Punika lancuripun sai
Ini dulu ekarnya bagus
JS
Meniko sai kangge kelangenan lan pengupojiwo, senajanto namung mruwat jago yendi rumat kanthi sahe saged kangge pangupojiwa namung kulo weling ngingu jago yo ngingu jago, ojo kanggo ngabotohan.
Ini bagus untuk kesenangan dan penghasilan, walaupun merawat jago jika dirawat dengan baik dapat digunakan sebagai pekerjaan hanya saja pesanku memelihara jago itu memelihara jago, jangan digunakan untuk berjudi.
Tukan g ayan
Niku boten kangge adu jago meniko larangane pemerintah kadang-kadang pitik tarung piyambak
Itu tidak digunakan nyabung ayam (jago) itu dilarang pemerintah, kadang-kadang ayam berkelahi sendiri.
JS
Kula melu bingah ngrumat jago boten kangge kabotohan, lan sampeyan sampun mangertos yen ngadu jago meniko larangane pemerintah, lan awisane agami, pramilo saking puniko kisanak sedoyo kaseksenono, mangke rejaning jaman grumbul puniko kaparinan nomo grumbul Dusun Pejagoan.
Saya ikut senang memelihara jago tidak digunakan berjudi, dan engkau sudah mengetahui bahwa menyabung ayam itu dilarang pemerintah, dan dilarang agama. Maka dari itu saudara saksianlah, jika daerah ini menjadi bagus semat-semat itu diberi nama Dusun Pejagoan.
Jaka Sangkrip sasamponipun nameni grundul pajagoan lajeng kesah maleh mangidul parane wonten ing pasulayan, Joko Sangkrip mrepegi tiang inggan padudon
Setelah Jaka Sangkrip memberi nama grumbul Pejagoan, kemudian pergi ke arah selatan tempat orang bertengkar. Jaka Sangkrip mendekati orang yang sedang bertengkar.
164
JS
Sauwese aku mreki wong padudun utowo daredah mas sahene kados pundi
Setelah aku sampai pada orang bertengkar dan berebutan, mas sebaiknya bagaimana?
JS
Puniko badhe dipun wayuh panjenengan iyo menopo boten dipun wayuh
Ini kamu akan dimadu, kamu mahu atau tidak akan dimadu.
mbok
Kulo mboten porun
Saya tidak mahu dimadu
JS
Yen boten purun dipun wayuh geh boten dipun wayuh awit wong mayuh meniko pikantuk palilah saking garwo kaping kalih kudu adil
Jika tidak mahu dimadu ya tidak dimadu, karena orang memadu itu harus mendapat izin dari istri yang kedua haris adil
Tiyang sanes
Omah disewakaken
Istri disewakan rumah
mbok
Meniko kerus SMS -an
JS
Kulo sampun mangertos Monggo dipun rembak ingkang sae-sae ampun ngantos padudon kados ngaten, menawi sampeyan dipon wayuh kedah adil, yen sampeyan meniko saget ayem tentrum lan adil kados pundi njur kisanak sami dipuntrapaken ayem tentrum benjang rejaning jaman deso meniko dipon paring nama Desa Kewayuhan
Saya sudah tahu, marilah kita bicarakan dengan baik jangan sampai bertengkar seperti ini, jika dimadu harus adil, jika kamu bisa mewujudkan nyaman tenteram dan adil, bagaimana saudaara dapat melaksanakan nyaman dan tentram besuk jika daerah ini baik maka dusun ini diberi nama Desa Kewayuhan.
Kacarios ki Joko Sangkrip sampun nyukani nami deso Kewayuhan lajeng lumampah mangidul ngantos dumugi wit puring ingkang kangge pager ketemu kalian sesepuh ing grumbul meniko semono samyo gendhu-gendhu rana
Terceritera Ki Joko Sangkrip telah memberi nama Desa Kawayuhan kemudian berjalan keselatan sapai pada pohon Puring yang digunakan untuk pagar bertemu dengan sesepuh di Grumbul (semaksemak) pada saat itu orang merasakan kegembiraan.
JS
Lo panjenengan nembe nyambutdamel meniko pantes sanget wit puring
Yo Bapak sedang mengerjakan ini sangat tepat sekali pohon Puring
Pak Tuwo
Meniko wit puring kados ijuk
Inilah pohon puring seperti ijuk
D a l a n g
165
JS
Menopo wit diginakaken
saged
Apakah pohon puring bisa dimanfaatkan
Pak tuwo
Inggeh saget kangge bangunan nopo-nopo
Ya bisa digunakan bangunan apa saja.
JS
Dados saged menopo mawon ginanipun
Kemudian dapat digunakan untuk apa saja
Pak tuwo
Meniko kangge wonten ing sabin
lemolemo
Ini dapat digunakan rerimbungan di sawah
JS
Monggo bapak benjan wonten rejaning jaman benjang dusun puniko dipun nameni deso Puring.
Silahkan Bapak jika daerah ini baik dusun, desa ini akan diberi nama Desa Puring
Salajengipun sasampunipun maringi nomo Deso Puring sameniko dados kecamatan Puring lajeng Jaka Sangkrip lulampah mangilen wonten Dusun Cungkup wonten guwo kendel sawentawis nanging mboten topobroto mlajengaken mlampah mangilen wonten grumbul nomo pengantin
Selanjutnya sesudah memberi nama Desa Puring sekarang menjadi kecamatan Puring. Jaka Sangkrip berjalan kearah barat di Dusun Cungkup di suatu gua berhenti sepentar tetapi tidak bersemedi, melanjutkan berjalan menuju arah ke arah barat menuju grumbul (semak) nama Pengantin.
Guwone bolong nopo kae sing diarani Karang Bolong
Gua itu berobang apakah itu yang diberi nama Karang Bolong
Sulukan sasampunipin guwo Langse puniko ingkang kanggi tapa broto salajengipun Jaka Sangkrip topobroto wonten mriku, ngeningaken pancadria badhe maneges wonten ingkang maha Kuwoso sintento ingkang ngukir jiwo raga kulo. Wawit saking manteping sinedya manteping semedi katrimah deneng Pengeran ingkang mbaurekso ing papan mriku Jaka Sangkrip neruske semedi pitung dino pitung bengi wong ing ngriku kenging dayaning semedi awaki padha panas pramila penunggu puniko sanjang dumakeng Jaka Sangkrip supaya njugaraken anggene topo . lenglengengdrio mangungkung pangandikaniro
(sulukan) sesudah Gua Lungse apakah yang digunakan untuk bersemedi, kemudian Joko Sangkrip bertapa di gua itu. Bersemedi menenangkan diri pancaindra akan mengeningkan cipta menghadap ke Hyang Maha Kuasa. Siapakah yang mengukir jiwa dan raga (orang tuaku). Karena kemantapan hati yang diiginkan keinginan yang mantap dalam semede diterima permintaannya Kepada Tuhan yang menunggu di daerah itu. Jaka Sangkrip melanjutkan bersemedi (bertapa) selama tuju hari tuju malam. Orang di daerah itu terpengaruh terhadap terkemampuan badan menjadi panas karena penunggu berkata dengan
d a l a n g
JS
d a l a n g
puring
166
resi Ketan
Jaka Sangkrip supaya membatalkan bertapanya. Lelengengdrio mangungkung. Perkataan resi Ketan
Resi Ketan
Apo karepmu kuwi topobroto nengkene
Apakah keinginanmu bertapa di sini
JS
Keparenga matur ingkang sudi amestani nami kulo Joko Sangkrip
Bolehlah saya mengatakan yang akan memberi nama Jaka Sangkrip
Resi Ketan
Jaka Sangkrip njur duwe karep singkepriye
Jaka Sangkrip kemudian punya keinginan apakah?
JS
Kula pengin sanget mangertos tiang sepuh kulo
Saya ingin mengetahui orang tuaku
Resi Ketan
Aku ora bisa ngomong saiki nanging aku ano piandel iki nogo geni iki kanggu ngupoyo kamektenmu lan sudarmamu mulo ngger tampanono lan iku kowe kudu menyang ngalas ana palenggahane ratu kidul siro semedeo ano ing ngalas kono ono ing ringin pitu. Mula nger tampanono. Enggal mangkato akeh wong kepanasen Alas moros alas gawat kaliwat-liwat gung liwang liwung jalma mora jalma mati, sapto moro sapto mati dewa mara keplayu. Antepe Joko Sangkrip ora maidu anggeniro semedi manekung ing karsake Hyang Wedi. Kocapo sajabaning pertapan wonten utusan saking ratu kidul patih Kumbang ali-ali sak balane ( gending ning nong ning nong ning nong ning nong nung ningnongnung. Bendrong)
Saya dapat mengatakan sekarang, tetapi saya punya kekuatan yang bernama Nogogeni itu yang digunakan untuk mencari kebahagiaanmu dan orang tuamu. Maka dari itu terimalah dan egkau harus pergi ke hutan tempat tinggal Ratu Kidul (Ratu Pantai Selatan). Engkau segeralah berada di hutan disana ada pohon beringin tuju. Maka segera terimalah. Segera berangkatlah banyak orang yang kepanasan Alas Moros hutan sangat berbahaya hutan yang sangat besar orang yang datang orang itu mati, binatang datang binatang itu mati, dewa datang berlarian. Keinginan ki Jaka Sangkrip benar-benar bertapa menghadap kepada Hyang Wedi. Terceritera di luar pertapaan ada peruruh dari Ratu Kidul bernama Patih Kumbang Aliali sepulangnya ( gending ning nong ning nong ning nong ning nong nung ningnongnung. Bendrong)
Kumb ang
Ah ah ah patih aku Kumbang aliali aku bakal niti priksa
Ha ha ha Patih (perdana mentri) nama saya Kumbang Ali-Ali saya akan melihat bagaimana keadaan di
167
aliali
kepiye kahananing praja
kerajaan.
abdi
Menawi kawontenan ing tlatahan mriki katingal sae nir ing sambekala pembangunan wanten ingnriki wonten PMPM Mandiri saking pemerintah. Babagan pembangunan dalam perekonomian
Jika keadaan daerah ini kelihatan bagis tidak ada halangan pembangunan disini ada PNPM Mandiri dari pemerintah bagian pembangunan dalam perekonomian
abdi
Ketentreman mbokbilih wonten parang muka Wonten tepiswiringing negari mboten alangan satunggal menopo ingkang badhe ngreribeti negari
Ketentreman jika ada rerusuh di sekitar daerah tidak ada halangan satuapapun walaupun yang akan menjadi kendala.
Kumb ang Aliali
Pirangdino iki rasane panas yen biso dadi wanito pudarno anggone topo
Beberapa hari ini gerah jika bisa sebagai wanita supaya bertapanya selesai
Kocap kacarito ki Jako Sangkrip Anggone topo tasih setunggal malih ingkang kagalih pramila nerusken tapane katrimane semedi katrima dening Kang Maha Kuwaos. Dine carios kula punggel semanten rumiyin sanes dinten kalajengaken malih jayajaya wijayanti rahayu widodo ingkang pinanggih wasalamualaikum waruhmatullahiwabarohkatu.
Tercerita ki Joko Sangkrip bertapa masih satu yang dipikirkan maka dari itu melanjutkan bertapanya diterima bertapanya oleh Yang Maha Kuasa. Adapun cerita ditong sekian dahulu dan hari dilanjutkan lagi. Jayajaya wijayanti rahayu widodo ingkang pinanggih wasalamualaikum waruhmatullahiwabarohkatu.
d a l a n g
LAMPIRAN 2 Informan Penelitian: 1. Nama
: Ki Joger Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani dan Pengrajin
Alamat Kebumen Peran 2. Nama Agama Pekerjaan
: Desa Karangsari Kecamatan Sruweng Kabupaten : Sebagai Dalang Utama : Wasimin : Islam : Pensiunan Guru 168
Alamat Peran
: Desa Karangsari Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen : Sebagai Dalang
3. Nama Agama Pekerjaan Alamat
: Salim : Islam : Petani : Desa Karangsari Kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen
4. Nama Agama Pekerjaan Alamat Peran
: Mas Bambang : Islam : PNS : Desa Karangsari kecamatan Sruweng kabupaten Kebumen : dalang dan Koordintor Sanggar Seni
169
LAMPIRAN 3 Foto-foto Pementasan Tradisi Lisan Jemblung
Komposisi Perfromansi Tradisi lisan Jemblung Dari kanan, Mas Bambang, Pak Salim, ki Joger dan Pak Wasimin
Gambar : Tumpeng dalam tradisi Lisan jemblung
170