BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena alih fungsi lahan dari lahan pertanian khususnya lahan sawah ke penggunaan lahan non pertanian berlangsung dengan cepat di Pulau Jawa. Cepatnya laju alih fungsi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan non pertanian merupakan konsekuensi logis dari tingginya urbanisasi. Tingginya urbanisasi ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan dan gejala urban sprawl. Konsekuensi logis dari pertumbuhan penduduk perkotaan adalah meningkatnya kebutuhan penduduk baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Dampak dari meningkatnya kebutuhan penduduk adalah permintaan lahan yang tinggi. Lahan tentu menjadi sumberdaya yang sangat penting untuk penduduk, baik untuk tempat tinggal maupun ruang melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Tingginya permintaan lahan mengakibatkan persaingan untuk memiliki atau menguasai lahan di suatu wilayah. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai ekonomi lahan. Nilai ekonomi lahan yang lebih rendah untuk penggunaan lahan pertanian menyebabkan adanya alihfungsi lahan ke penggunaan lahan non pertanian seperti industri, perumahan, atau infrastruktur lainnya (Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam Sudrajat, 2013). Tekanan penduduk terhadap lahan yang mengakibatkan adanya peningkatan permintaan lahan telah direspon secara positif oleh sebagian petani melalui peningkatan intensitas dan produktivitas. (Sinha, 1980; Sudrajat, 2010 dalam Sudrajat, 2013). Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya sebagian petani yang tergiur dengan harga lahan yang semakin tinggi, akibatnya petani tersebut memindah tangankan kepemilikan lahan kepada pemilik lain. Yunus (2001) menyatakan bahwa mengendurnya keinginan mempertahankan lahan pertanian dari petani tercermin dari perilaku, semangat, dan motivasi petani. Lahan sawah merupakan lahan yang paling rentan mengalami alih fungsi, hal tersebut akan semakin parah jika lahan sawah letaknya di lokasi yang strategis seperti pinggir jalan raya ataupun di dekat pusat keramaian. Padahal lahan sawah
1
merupakan salah satu input yang penting untuk memproduksi padi. Fenomena alih fungsi lahan sawah terkait dengan dimensi persoalan yang kompleks. Jhon T. Pierce (1981) menyatakan bahwa alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Ilham dkk (2003) menyatakan bahwa lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya juga memberikan manfaat yang bersifat sosial. Lahan sawah memiliki multifungsi yakni manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati. Terjadinya alih fungsi lahan tidak hanya terjadi akibat faktor alamiah, namun juga karena faktor kebijakan pemerintah (Anwar dan Pakpahan, 1990; Winoto, 1995 dalam Rahmanto, dkk 2006). Menurut Anwar (1995) dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Dalam hal ini dapat diindikasikan bahwa harga pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga harga yang ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation. Menurut Winoto (1996) dalam Rahmanto, dkk (2006), kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dari keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya. Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian bahwa land rent yang diperoleh dengan memanfaatkan lahan untuk sawah adalah 1/500 land rent yang diperoleh dari pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi, 1990 dalam Rahmanto,
2
dkk, 2006), 1/622 untuk perumahan (Riyani, 1992 dalam Rahmanto, dkk, 2006), 1/14 untuk pariwisata (Kartika, 1991 dalam Rahmanto, dkk, 2006), dan 1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis, 1991 dalam Rahmanto, dkk, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian terhadap penggunaan lahan untuk industri, perumahan, pariwisata, dan hutan industri masing-masing memberikan land rent 500; 622; 14; dan 2,6 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk sawah. Penilaian yang demikian menyebabkan proses alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor positif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lokasi lahan yang akan dibangun untuk kegiatan non pertanian. Petani memiliki peran penting dalam hal alih fungsi lahan. Petani berperan dalam memberi keputusan untuk mempertahankan atau menjual lahannya. Petani tentu memiliki pengetahuan mengenai fungsi lahan sawah. Namun, tidak semua petani mengetahui multifungsi dari lahan sawah. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan perilaku petani yang cenderung mengabaikan fungsi lain selain fungsi yang petani ketahui. Perilaku petani seperti itu dapat mengakibatkan alih fungsi lahan yang semakin cepat. Akibatnya, akan banyak penduduk yang merasa kehilangan fungsi dari lahan sawah, baik itu fungsi langsung, fungsi tidak langsung, maupun fungsi bawaan dari lahan sawah. Fungsi atau manfaat yang paling penting dari lahan sawah adalah untuk menjaga ketahanan pangan, baik yang bersifat individual, lokal, maupun nasional dan internasional. Makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah nasi. Nasi terbuat dari tanaman padi yang tumbuh di sawah. Jika sawah kian hari kian menyusut, maka akan berakibat pada ketahanan pangan. Impor beras bukanlah jalan terbaik dalam menanggulangi defisit beras di Indonesia. Kebijakan pemerintah mengenai pangan sampai saat ini belum optimal. Terbukti dengan menurunnya produksi beras dari tahun ke tahun di berbagai wilayah di Indonesia. Koridor Yogyakarta – Solo – Semarang (Joglosemar) adalah salah satu koridor yang berada di Pulau Jawa yang mencakup 12 Kabupaten/Kota yang
3
berada di jalur arteri regional (jalur utama) wilayah Joglosemar. Sepanjang koridor Joglosemar telah banyak terjadi alih fungsi lahan untuk keperluan non pertanian, seperti untuk industri, prasarana perkotaan, dan pemukiman. Fenomena alih fungsi lahan di Joglosemar kian hari kian memprihatinkan. Faktanya sebagian wilayah di Joglosemar merupakan sentra produksi padi, namun di sisi lain perkembangan wilayah yang mengalihfungsikan lahan dari pertanian ke non pertanian di Joglosemar tidak dapat dihindari. Konversi lahan pertanian akan menganggu produktivitas padi regional maupun nasional serta akan mengubah struktur ketenagakerjaan masyarakat setempat. Noor (1998) mengungkapkan bahwa upaya pengendalian konversi lahan ternyata menghadapi berbagai rintangan seperti inkonsistensi penerapan berbagai peraturan, termasuk penataan ruang wilayah Joglosemar. NSDA (1993) dalam Noor (1998) mengungkapkan bahwa wilayah Joglosemar memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, seperti halnya lahan yang subur dengan ketersediaan air yang cukup. Pernyataan tersebut menimbulkan
dilema
untuk
mengembangkan
lahan
pertanian
atau
mengembangkan bidang lain yang lebih potensial. Noor (1998) mengungkapkan bahwa wilayah Joglosemar dalam RTRW Pulau Jawa – Bali dan RTRW Jawa Tengah & DIY telah ditetapkan sebagai : (a) kawasan pengembangan pertanian dalam arti luas; (b) kawasan strategis tumbuh cepat; (c) kawasan strategis rawan bencana dan kawasan strategis perbatasan. Kebijakan tersebut sebenarnya mengandung
kontroversi
atau
ketidakkonsistenan
dalam
penataan
serta
pemanfaatan ruang. Wilayah Joglosemar di satu sisi dikembangkan sebagai kawasan pertanian yang berorientasi swasembada pangan, di sisi lain kebijakan mengembangkan wilayah Joglosemar sebagai kawasan strategis tumbuh cepat adalah mengembangkan industri, jasa dan perdagangan yang cenderung akan mengalihfungsikan lahan pertanian untuk mengembangkan kegiatan tersebut. Permasalahan tersebut diperparah dengan fakta bahwa terjadi pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup signifikan.
4
1.2. Permasalahan Penelitian Perkembangan Kota Yogyakarta dan Kota Magelang telah membawa dampak besar terhadap transformasi wilayah di Koridor Yogyakarta-Magelang. Di sepanjang jalan antara Yogyakarta dan Magelang sudah banyak terjadi fenonema konversi lahan dari lahan pertanian khususnya sawah ke non pertanian. Padahal, di satu sisi wilayah di koridor tersebut merupakan kawasan pertanian yang subur dan ditunjang dengan saluran irigasi yang memadai. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di sepanjang koridor jalan raya Yogyakarta–Magelang tidak terjadi begitu saja, namun melalui proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh faktor – faktor penyebab yang khas baik bersifat internal (individu keluarga petani) atau oleh faktor eksternal (lingkungan keluarga petani dan letak lahan pertanian petani). Jika dilihat dari sisi pelaku alih fungsi lahan, maka yang menjadi pelaku adalah stakeholders yang berkaitan seperti para pejabat, akademisi, masyarakat, investor, dan petani itu sendiri. Meskipun pelaku–pelaku alih fungsi lahan bersikap pro terhadap alih fungsi lahan, namun tetap yang memegang keputusan terakhir adalah pemilik lahan (sawah) dan/atau petani. Keputusan petani untuk memindahtangankan hak kepemilikan lahan atau mengalihfungsikan lahan sawah ke penggunaan lain tergantung pada pengetahuan, pemahaman, apresiasi, dan sikap petani terhadap pentingnya multifungsi lahan sawah. Maka dari itu untuk mengetahui
keberlanjutan
usaha
tani
atau
keputusan
petani
untuk
mempertahankan kepemilikan lahan sawah perlu untuk diketahui pula pengetahuan dan sikap petani terhadap multifungsi lahan sawah. Peneliti berargumen bahwa terjadinya alih fungsi lahan di sepanjang jalan (koridor) Yogyakarta – Magelang akan terus terjadi dan tidak akan terkendali sampai ada peraturan yang jelas dan tegas mengenai perlindungan lahan pertanian. Namun tidak hanya itu, rendahnya pengetahuan petani mengenai multifungsi lahan sawah akan memengaruhi keputusan petani untuk tidak mempertahankan kepemilikan lahan sawahnya. Rendahnya keputusan petani selain dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan tentang multifungsi lahan sawah juga dipengaruhi oleh rasio land rent. Menurut Sudirman (2012) rendahnya nilai lahan pertanian dikarenakan bahwa penilaian multifungsi lahan pertanian masih dilakukan dengan
5
pendekatan harga pasar, belum memperhitungkan nilai miltifungsi lahan pertanian dengan pendekatan non pasar, terutama jasa lingkungan yang dihasilkan. Berikut ini adalah rasio land rent yang diperoleh dengan mengusahakan lahan untuk sawah dan penggunaan lain di Jawa, Tahun 1990 – 1992.
Tabel 1.1. Rasio Land Rent yang Diperoleh dengan Mengusahakan Lahan Untuk Sawah dan Penggunaan Lain di Jawa Tahun 1990 - 1992 Perbandingan Penggunaan Lahan
Rasio Land Rent
Peneliti
Sawah : Perumahan
1 : 622
Riyani (1992)
Sawah : Industri
1 : 500
Iriadi (1990)
Sawah : Pariwisata
1 : 14
Kartika (1990)
Sawah : Hutan Produksi
1 : 2.6
Lubis (1991)
Sumber : Nasoetion dan Winoto, 1996 dalam Rahmanto, dkk, 2006.
Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat berakibat pada hilangnya produksi pangan dan berkurangnya ketersediaan pangan wilayah, terganggu bahkan terputusnya keberlanjutan usahatani serta pendapatan petani yang berakibat hilangnya lapangan kerja pertanian bagi petani (Sudirman, 2012). Namun terlepas dari dampak negatif konversi lahan, masih terdapat dampak positif dari konversi lahan pertanian. Sudirman (2012) mengungkapkan contoh dampak positif dari adanya konversi lahan yaitu (a) peningkatan nilai properti lahan pertanian di sekitarnya sebagai konsekuensi logis dari peningkatan harga lahan yang terjadi, (b) peningkatan nilai land rent dari lahan sawah menjadi lahan terbangun, (c) peningkatan peluang usaha dan peluang kerjadi sektor non pertanian. Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. bagaimana tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang ? 2. bagaimana keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang ? 3. faktor – faktor apa saja yang memengaruhi tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang ?
6
4. faktor apa pula yang memengaruhi keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang? 5. seberapa besar pengaruh pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah terhadap keinginan petani mempertahankan kepemilikan lahan sawah di Koridor Yogyakarta – Magelang ?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang 2. Mengetahui tingkat keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang 3. Mengidentifikasi faktor–faktor yang memengaruhi pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta - Magelang 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keinginan petani untuk mempertahankan lahan sawah di koridor Yogyakarta - Magelang 5. Mengetahui besarnya pengaruh pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah terhadap keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang
1.4. Manfaat Penelitian 1. Dari segi ilmu pengetahuan diharapkan menjadi masukan yang positif dan memberikan pengertian yang lebih luas mengenai konversi lahan sawah menjadi lahan non – pertanian, khususnya di koridor Yogyakarta - Magelang 2. Dari segi pembangunan, diharapkan dapat memberikan masukan kepada stakeholders khususnya pemerintah dalam menentukan pola pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan pembangunan daerah 3. Menjadi tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya ataupun tujuan lain yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah, keinginan petani untuk mempertahankan lahan sawah, ataupun hubungan antar keduanya.
7
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah belum banyak dijumpai. Apalagi jika penelitian tersebut dikaitkan dengan keinginan petani untuk mempertahankan lahan sawahnya. Padahal petani merupakan salah satu pelaku dalam proses alih fungsi lahan yang semakin marak terjadi. Penelitian ini juga relatif baru karena penelitian tentang pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah kebanyakan dilakukan di penggiran kota. Penggunaan istilah koridor atau jalan raya yang menghubungkan dua kota belum banyak diteliti mengenai pengetahuan petaninya tentang multifungsi lahan sawah maupun keinginannya dalam mempertahankan lahan sawah. Padahal disepanjang jalan antara dua kota akan mengalami alih fungsi lahan yang lebih cepat daripada dibelakang jalan atau diantara jalan kolektor. Koridor atau jalan yang menghubungkan dua kota antara Kota Yogyakarta dan Kota Magelang dianggap dapat mewakili untuk diteliti. Lokasi yang merupakan kawasan pertanian lahan sawah yang subur dan ditunjang dengan irigasi yang baik, serta pertumbuhan Kota Magelang yang gemilang dan keberadaan Kota Yogyakarta sebagai ibukota provinsi yang menunjukkan gejala urban sprawl menjadi alasan pertimbangan mengapa lokasi atau koridor ini dipilih. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang Rahmanto dkk (2006) terletak pada lokus penelitian dan tidak dikaitkannya persepsi petani dengan keinginannya untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah. Lokasi penelitian yang diteliti oleh Rahmanto berbasis pada wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mencakup tiga kabupaten yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto. Hasil penelitian Rahmanto menunjukkan bahwa masyarakat memiliki persepsi yang rendah tentang multifungsi lahan sawah dan berimplikasi dengan adanya alihfungsi lahan. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Triyanti (2011). Triyanti melakukan penelitian di Desa Sinduadi. Desa Sinduadi merupakan wilayah pinggiran kota Yogyakarta. Untuk lebih memperjelas perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu, berikut ini merupakan Tabel 1.2. yang berisikan keaslian penelitian ini.
8
Tabel 1.2. Beberapa Penelitian yang Terkait No. 1
Peneliti dan Tahun Penelitian Eka Ulthiya Sormin (2012)
Judul dan Metode
Lokasi
Analisis Tingkat Pengetahuan Petani Terhadap Manfaat Lahan Padi Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai (Survei, Deskrptif Kuantitatif)
Serdang Bedagai
2
Bambang Rahmanto, dkk (2006)
Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Lahan Ke Penggunaan Non – Pertanian (Survei, Deskriptif Kuantitatif)
Malang, Kediri, Mojokerto
3
Sudrajat (2013)
Tinjauan Spasial Komitmen Petani Mempertahankan Kepemilikan Lahan Sawah dan Pemanfaatannya Untuk Pertanian di Kabupaten Sleman dan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (Survei, Deskriptif Kuantitatif)
Kabupaten Sleman dan Bantul
Hasil Penelitian
Tingkat pengetahuan ini meliputi apakah petani mengetahui manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat bawaan dan fungsi negatif, 100% petani sampel memahami betul bahwa manfaat langsung dari lahan padi sawah adalah sebagai bahan pangan, 80% petani menyadari bahwa manfaat tidak langsung padi sawah adalah mencegah peluang banjir, dan 96.67% petani menyadari dengan menanam padi sawah dapat merusak lingkungan dan tanah akibat penggunaan bahan kimia. Perubahan luas lahan terbesar periode tahun 2005-2009 terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 11.27%. Hasil penilaian persepsi terhadap tiga lapisan masyarakat, yaitu petani, tokoh masyarakat desa, dan stake holder pembangunan daerah mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah pada umumnya masih terfokus pada manfaat langsung, khususnya fungsinya sebagai penyedia bahan pangan dan kesempatan kerja. Untuk fungsi-fungsi lahan sawah lainnya diperoleh tanggapan yang bervariasi, baik antar kelompok masyarakat yang diteliti maupun di antara sesama anggota kelompok masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa secara umum pemahaman masyarakat terhadap manfaat lain dari lahan sawah selain manfaat langsung belum disadari sepenuhnya. Terdapat perbedaan sebaran spasial tingkat komitmen petani dalam mempertahankan kepemilikan lahan sawah dan pemanfaatannya untuk pertanian di tiga zona penelitian. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat komitmen petani tersebut terdapat yang konsisten berpengaruh di semua zona penelitian, namun terdapat pula hanya di zona itu sendiri. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa di tiga zona penelitian terdapat hubungan positif antara komitmen petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan dengan tingkat komitmennya untuk memanfaatkan lahan sawah sebagai lahan pertanian.
9
Lanjutan Tabel 1.2. Beberapa Penelitian Yang Terkait Desa 4 Annisa Persepsi Masyarakat Sinduadi Triyanti Terhadap Alih Fungsi
5
(2011)
Lahan Pertanian ke Non Pertanian di Desa Sinduadi (Survei, Deskriptif Kuantitatif)
Yusuf Iskandar (2014)
Pengaruh Pengetahuan Petani Tentang Multifungsi Lahan Sawah Terhadap Keinginan Petani Mempertahankan Kepemilikan Lahan Sawah di Koridor Yogyakarta – Magelang (Survei, Deskriptif Kuantitatif)
Koridor Yogyakarta – Magelang
Persepsi masyarakat terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mayoritas bersikap tidak setuju terhadap adanya alih fungsi lahan. Persepsi tersebut berbeda antara petani dan non petani. Persentase ketidaksetujuan petani lebih tinggi daripada non petani. Persepsi petani dalam mempertahankan lahan pertanian menunjukkan bahwa petani memiliki keinginan sedang untuk mempertahankan lahan pertanian, namun cenderung memiliki keinginan tinggi untuk menjual, menyewakan, atau merubah sendiri lahan pertaniannya ke non pertanian. Tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah di koridor Yogyakarta – Magelang termasuk sedang dan berimplikasi dengan keinginan petani untuk mempertahankan lahannya sampai waktu tertentu. Faktor – faktor yang memengaruhi tingkat pengetahuan petani adalah usia, pendidikan, luas lahan garapan, dan jarak dengan pusat kota. Faktor – faktor yang memengaruhi keinginan petani mempertahankan lahan adalah usia, dan jarak dengan pusat kota. Terdapat pengaruh yang signifikan dari pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah terhadap keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah.
Hasil penelitian Triyanti menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak setuju dengan alih fungsi lahan pertanian. Namun terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat petani dengan non petani. Petani cenderung bersikap kontra dengan alih fungsi lahan namun juga cenderung rendah komitmennya dalam mempertahankan kepemilikan lahan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Eka Ulthiya Sormin (2012) memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Sormin melakukan penelitian di Kabupaten Serdang Bedagai dengan fokus penelitian pada tingkat pengetahuan petani tentang manfaat lahan padi sawah. Perbedaan yang mendasar terletak pada tidak dikaitkannya aspek keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah dengan tingkat pengetahuan tersebut. Penelitian Sormin menghasilkan fakta bahwa petani cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang manfaat lahan padi sawah.
10
Penelitian yang dilakukan Sudrajat (2013) memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Sudrajat adalah penelitian yang lebih kompleks karena merupakan sebuah disertasi. Sudrajat melihat adanya perbedaan spasial mengenai komitmen petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan pertanian. Zona yang lebih dekat dengan Kota Yogyakarta adalah zona yang paling rendah komitmennya dan akan semakin tinggi komitmennya jika wilayah (zona) tersebut lebih jauh posisinya dari Kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan
Sudrajat
berkaitan
dengan
komitmen
petani,
namun
belum
menghubungkan tingkat pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah dengan komitmen atau keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawah.
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Pengetahuan Petani Tentang Multifungsi Lahan Sawah Pengetahuan didefinisikan sebagai hasil tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap suatu obyek (Sunaryo, 2002). Namun Van den Ban dan Hawkins (1999) dalam Levis (2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu aspek dalam perilaku. Pengetahuan merupakan suatu kemampuan individu (petani) untuk mengingat–ingat segala materi yang dipelajari dan kemampuan untuk mengembangkan intelegensi dalam bertani. Teori Bloom dalam Levis (2013) menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi, yang kemudian melahirkan sikap, dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Adanya pengetahuan yang baik terhadap suatu hal akan mendorong terjadinya perubahan perilaku pada diri individu (petani). Pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut, demikian sebaliknya (Levis, 2013). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, antara lain :
11
a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginpretasi materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi diartikan sebagai penggunaan suatu hukum – hukum, rumus, metode, prinsip, dan lain sebagainya. d. Analisis (Analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih terkait satu sama lain. e. Sintesis (Synthesis) Sintess merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian – penilauan berdasarkan criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat (2010) di pinggiran kota Yogyakarta memberikan gambaran bahwa petani pada umumnya hanya mengetahui fungsi lahan sawah sebagai penghasil bahan pangan. Manfaat lahan sawah bagi lingkungan belum sepenuhnya diketahui oleh petani. Hal tersebut menjadi suatu implikasi terhadap komitmen petani untuk tidak mempertahankan kepemilikan lahan sawah, sehingga alih fungsi lahan akan semakin marak terjadi. Manfaat bagi lingkungan dibagi kedalam dua sifat yaitu sifat positif lahan sawah
12
bagi lingkungan serta sifat negatif lahan sawah bagi lingkungan. Secara umum sifat negatif lahan sawah berkaitan dengan penggunaan pupuk dan cara pengolahan dan pengelolaan lahan sawah. Sudrajat (2010) melakukan penelitian tentang pengetahuan petani pinggiran kota terhadap manfaat lahan sawah bagi lingkungan, baik fungsi positif maupun fungsi negatif. Hasil penelitian di pinggiran kota Yogyakarta menunjukkan bahwa petani kurang mengetahui fungsi positif maupun negatif dari lahan sawah. Kurangnya pengetahuan petani tentang fungsi positif dan negatif dari lahan sawah akan berimplikasi terhadap komitmen petani dalam mencegah keinginan untuk mengalihfungsikan lahan sawah. Hal ini dapat terjadi sebagai konsekuensi logis dari kurangnya pengetahuan petani tentang fungsi negatif maupun fungsi positif dari lahan sawah, sehingga petani tidak lagi memiliki kepedulian terhadap lingkungan lahan sawah.
1.6.2. Lahan dan Pemanfaatannya Lahan sering disebut sebagai real property dalam istilah yang sangat dasar properti yaitu tidak tetap dan bergerak - yang berbeda dari milik pribadi atau juga properti dapat diartikan sebagai (seperti dalam barang dan harta benda) yang tidak tetap dan dapat dipindahkan. Prinsip-prinsip umum kepemilikan common law telah lama ditetapkan di pengadilan ekuitas meskipun konsep tingkat kepemilikan telah berubah secara signifikan antara abad ke sembilan belas hingga abad ke dua puluh. Selain itu, peraturan perundang-undangan terus menempatkan peningkatan pembatasan hak-hak dan manfaat yang dinyatakan akan bertambah dengan kepemilikan lahan (Donnelly, 1985 dalam Donnelly, 2012). Pada common law atau hukum adat, istilah "lahan" bila digunakan dalam kaitannya dengan paket tertentu berarti permukaan bumi, lahan terdiri dari apaapa yang ada di bawah permukaan ke pusat bumi dan kolom udara di atas permukaan. Ini termasuk segala sesuatu yang tumbuh pada atau terdapat pada lahan, seperti pohon, tanaman dan bangunan.
Hal ini juga termasuk semua
mineral dalam tanah kecuali emas dan perak, pada hukum milik Crown disebutkan sebagai logam kerajaan (Hallmann, 1994 dalam Donnelly, 2012).
13
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang dalam pengertiannya mencakup lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, lahan termasuk apa - apa yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas hewan dan manusia baik di masa yang lampau maupun saat ini, seperti tindakan konservasi tanah dan reklamasi pada suatu bagian atau keseluruhan lahan tertentu. Secara langsung maupun tidak langsung, aktivitas manusia akan berkaitan dengan lahan seperti untuk pertanian, pemukiman, transportasi, industry atau untuk rekreasi, sehingga dapat dikatakan bahwa lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Definisi yang dikemukakan oleh Sitorus tidak jauh berbeda dengan yang didefinisikan oleh FAO, sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi dari keduanya merupakan definisi yang tepat untuk menggambarkan lahan. Vink dalam Sudrajat (2013) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan bukan hanya merupakan tempat dari berbagai ekosistem tetapi juga merupakan bagian dari ekosistem - ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung dari lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan untuk suatu penggunaan tertentu juga akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Sumberdaya lahan mungkin dinilai dalam aspek atau atribut yang berbeda dalam pemanfaatannya. Perbedaan dalam cara penilaian lahan ini akan menyebabkan perbedaan dalam penggunaannya. Seorang petani yang akan memanfaatkan lahan akan lebih memperhatikan aspek ekosistem seperti ketersediaan air atau kemudahan untuk diolah, sebaliknya seorang pengembang perumahan akan lebih memperhatikan aspek ruang atau lokasi dari lahan yang
14
bersangkutan. Selanjutnya, penggunaan yang lebih menekankan lahan sebagai aspek ekosistem ataupun yang lebih menekankan lahan sebagai ruang, keduanya akan memberikan dampak tertentu terhadap lahan sebagai suatu bentang alam.
Penggunaan lahan merupakan suatu cara manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan materil maupun spiritual dengan cara yang khas. (Vink 1975 dalam Gandasasmita 2001). Campur tangan manusia ini sangat jelas terutama dalam memanipulasi kondisi ataupun proses - proses ekologi yang berlangsung pada suatu areal. Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen - komponen yang dianggap tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather 1986 dalam Gandasasmita, 2001). Misalnya diubahnya areal hutan yang heterogen menjadi lahan
perkebunan
yang
homogen
karena
budidaya
perkebunan
lebih
menguntungkan daripada hutan. Demikian juga dengan pengalihfungsian lahan rawa menjadi lahan tambang, lahan terbuka menjadi perkebunan dan sebagainya. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek - objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek - objek tersebut. Sedangkan penggunaan lahan secara umum didefinisikan sebagai penggolongan penggunaan lahan yang dilakukan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu: (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan dan sebagainya; (2) penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan bersifat sangat dinamis, bervariasi menurut waktu dan tempat. Barlowe (1986 dalam Gandasasmita, 2001) menyatakan bahwa dalam
15
menentukan penggunaan
lahan, terdapat tiga faktor penting yang perlu
dipertimbangkan yaitu faktor fisik
lahan, faktor ekonomi, serta faktor
kelembagaan. Selain itu faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan (Gandasasmita 2001). Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor - faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor - faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi iklim, sumberdaya air dan kemungkinan pengairan, bentuk lahan dan topografi, serta karakteristik tanah, yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan. Faktor kelayakan ekonomi adalah seluruh persyaratan yang diperlukan untuk pengelolaan suatu penggunaan lahan. Pengelola lahan tidak akan memanfaatkan lahannya kecuali bila penggunaan tersebut, termasuk dalam hal ini teknologi yang diterapkan, telah diperhitungkan akan memberikan suatu keuntungan atau hasil yang lebih besar dari biaya modalnya (Barlowe 1986 dalam Gandasasmita, 2001). Kelayakan ekonomi ini bersifat dinamis, tergantung dari harga dan permintaan terhadap penggunaan lahan tersebut atau hasilnya. Penerapan
teknologi
baru
ataupun
meningkatnya
permintaan
mungkin
menyebabkan suatu penggunaan lahan yang tadinya tidak memiliki nilai ekonomis berubah menjadi layak secara ekonomis (Saefulhakim 1999 dalam Gandasasmita, 2001). Faktor - faktor kelembagaan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor - faktor yang terkait dengan sosial budaya dan aturan - aturan dari masyarakat, termasuk dalam hal ini aturan atau perundangan dari pemerintah setempat (Barlowe 1986 dalam Gandasasmita, 2001). Penggunaan lahan yang dijumpai di suatu wilayah adalah penggunaan lahan yang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah, sosial budaya, kebiasaan, tradisi, ataupun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.
16
1.6.3. Pemilikan dan Penguasaan Lahan Sawah Penguasaan lahan pada dasarnya mencakup hak kepemilikan maupun hak pengelolaan atau penggarapan. Ketiganya merupakan salah satu produk dari kelembagaan, sehingga dinamika dari penguasaan atau hak sangat berkaitan erat dengan perubahan nilai, norma ataupun hukum yang dianut dan berlaku dalam suatu komunitas. Sistem pemilikan lahan pertanian khususnya sawah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam menentukan pola penggunaan lahan pertanian. Sistem pemilikan lahan pertanian menurut Rostam dan Anuar (1984) dalam Sudrajat (2013) berbeda antara satu negara dengan negara lain atau satu masyarakat petani dengan masyarakat petani lainnya. Sistem pemilikan dan penguasaan lahan pertanian banyak dipengaruhi oleh adat istiadat, agama, sistem sosial masyarakat, dan sifat kerajaan. Dalam referensi yang sama, dikemukakan pula empat sistem pemilikan lahan, yakni : 1. Pemilikan Bersama Sistem pemilikan lahan pertanian ini dianggap sebagai milik sekelompok masyarakat dan pemilikan secara individu tidak dibenarkan. Pemilikan lahan pertanian ini merupakan pemilikan lahan yang paling tua terutama di negara Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan. Sistem pemilikan bersifat individu atau petani – petani masih dibolehkan mengerjakan lahan walaupun secara hukum bukanlah milik pribadi. 2. Pemilikan Secara Besar Sistem pemilikan ini pada dasarnya merupakan sistem pemilikan yang sudah kuno. Sistem pemilikan ini dimiliki oleh satu orang atau sekelompok orang yang paling berpengaruh di suatu wilayah. Lahan yang dimiliki tersebut, digarap oleh orang lain yang secara status lebih rendah dari orang yang memiliki lahan. 3. Pemilikan Bebas Sistem pemilikan bebas merupakan sistem pemilikan lahan pertanian secara bebas dapat dimiliki oleh perorangan. Sistem pemilikan lahan secara bebas sangat penting bagi petani dalam menjamin keberlangsungan kegiatan bertaninya. Namun, faktanya lahan yang dimiliki petani khususnya di Jawa sangat sempit, yaitu kurang dari 0.25 hektar. Hal ini diperparah dengan
17
kenyataan bahwa tekanan penduduk dan faktor lain seperti sistem warisan dan pembangunan non pertanian semakin tinggi. Akibatnya, dengan semakin menyempitnya lahan, semakin tidak ekonomis lahan pertanian khususnya sawah yang diusahakan. 4. Pemilikan Sewa Peneliti banyak menjumpai petani yang menyewa lahan pertanian daripada yang dimiliki. Hal tersebut biasanya disebabkan pemilikan lahan pribadi yang sempit atau memang tidak memiliki lahan namun ingin bertani sebagai akibat dari ketiadaan lapangan pekerjaan lain. Bentuk sewa dari lahan pertanian juga bermacam – macam. Pertama, petani yang hanya membayar sewa lahan kepada tuan – tuan tanah dengan uang atau hasil produksi. Kedua, petani memberikan imbalan kepada tuan tanah atau pemilik lahan yang lebih besar yaitu sekitar 30% -50%. Ketiga, petani diberikan kesempatan untuk mengerjakan lahan pertanian dengan diberikan biaya hidup dan semua hasil produksi diserahkan kepada tuan tanahnya. Kesepakatan biasanya dilakukan diawal penggarapan. Perubahan struktur pemilikan lahan sawah salah satunya dipengaruhi pula oleh adanya fragmentasi lahan. Di Jawa, fragmentasi lahan banyak terjadi. Akibat dari fragmentasi lahan sawah adalah semakin sempitnya sawah yang dimiliki petani dari generasi ke generasi selanjutnya. Namun, peneliti berargumen bahwa fragmentasi lahan dapat mengakibatkan dampak negatif, serta dampak positif. Dampak negatifnya adalah semakin sedikitnya lahan garapan petani dan semakin sedikit pula hasil yang diperoleh petani. Namun, salah satu dampak positif yang dihasilkan adalah linear-nya kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan sumberdaya manusia yang berorientasi ke non – pertanian.
1.6.4. Multifungsi Lahan Sawah Multifungsi lahan sawah pada dasarnya merupakan istilah untuk menunjukkan bahwa sawah memiliki banyak fungsi. Rahmanto, dkk (2006) menyebutkan bahwa multifungsi lahan sawah terdiri dari manfaat langsung atau fungsi langsung, fungsi tidak langsung, fungsi bawaan, serta fungsi negatif.
18
Irawan (2006) menegaskan bahwa lahan sawah dapat dinilai secara ekonomi dan nilainya jauh lebih tinggi daripada nilai produksi saja atau nilai harga lahannya. Multifungsi lahan sawah memberikan penilaian lain pada lahan sawah. Semua aspek yang ada dan fungsi yang ada pada lahan sawah memiliki nilai, baik nilai ekonomi secara langsung, nilai ekonomi yang tidak langsung, nilai ekonomi bawaan, dan tak luput pula nilai negatif dari lahan sawah. Nilai – nilai tersebut faktanya tidak disadari baik oleh petani, masyarakat, ataupun kalangan pengambil kebijakan di tingkat daerah. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non–pertanian memang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor selain pertanian, namun tidak disadari bahwa alih fungsi lahan tersebut meninggalkan lahan sawah yang berharga dan memiliki multifungsi. Bukan menjadi alasan jika pemerintah tidak mengetahui apa yang harus dilakukan jika laju alih fungsi lahan sawah tergolong tinggi, apalagi di Jawa yang sejatinya memilki fasilitas pertanian yang memadai. Program – program yang digulirkan pemerintah masih tidak konsisten dan tumpang tindih. Program pemerintah tersebut di satu sisi ingin mengembangkan pertanian, di sisi lain ingin pula menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara cepat, dan faktanya kebijakan tersebut telah mengalihfungsikan lahan sawah. Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak output, oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC, 2001 dalam Sudirman, 2012). Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian, manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Nasoetion dan Winoto,1996; Pramono, dkk.,1996; Sumaryanto, dkk., 1996; Sumaryanto dan Suhaeti, 1999; Irawan, dkk., 2000; Mayrowani, dkk., 2003 dalam Rahmanto, dkk., 2006): (1) penghasil bahan
pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata.
19
Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996; Wu et al., 1997; Nishio, 1999; Sutono, dkk., 2001; Tala’ohu, dkk., 2001; Yoshida, 2001; Setiyanto dkk ., 2003; Tala’ohu, dkk., 2003 dalam Rahmanto, dkk., 2006): (1)
mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organic pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati. Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang memperhatikan kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan berpotensi menimbulkan dampak atau fungsi negatif (Jacobsen et al., 1981; Cicerone and Shetter, 1983; Holzapfel-Pschoer et al, 1986; Schutz et al., 1989; Steenvoorden, 1989; Kimura et al., 1991; IPCC, 1992; Kluddze et al, 1993; Setyanto dkk., 1997; Wihardjaka dkk., 1997a; Wihardjaka dkk., 1997b; Setyanto dkk., 1998; Suharsih dkk., 1998; Suharsih dkk., 1999; Wihardjaka dkk., 1999; Setyanto dkk., 2000; Nursyamsi et al., 2001; Tarigan dan Sinukaban, 2001; dan Wihardjaka dan Makarim, 2001 dalam Rahmanto, dkk., 2006),
yaitu dapat menyebabkan: (1) pemanasan global melalui efek rumah kaca, (2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida), dan (3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah.
1.6.5. Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan atau konversi lahan secara umum dapat diartikan sebagai perubahan fungsi suatu penggunaan ke penggunaan lainnya, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian besar dari alih fungsi lahan ini yaitu dari penggunaan pertanian ke penggunaan non pertanian. Padahal, pertanian khususnya sawah memiliki multifungsi yang harus tetap dilestarikan, utamanya dalam menjaga ketahanan pangan. Alih fungsi lahan juga tersurat dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2009, yaitu berubahnya fungsi sebagian atau seluruh
20
kawasan dari fungsi semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain baik secara tetap maupun sementara. Definisi alih fungsi lahan dari Undang – Undang tersebut dirasakan lebih selaras dengan yang dimaksud dalam penelitian ini. Alih fungsi lahan yaitu perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan yang disebabkan oleh berbagai faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang kian hari kian bertambah, baik jumlah penduduknyanya maupun kebutuhannya. Menurut Rusastra dan Budhi (1997) , alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non – pertanian dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi secara langsung terjadi akibat keputusan pemilik lahan pertanian untuk mengalihfungsikan lahan pertanian mereka untuk penggunaan lainnya seperti untuk industrI, permukiman, sarana dan prasarana. Sedangkan secara tidak langsung terjadi akibat faktor eksternal yang mengharuskan
adanya
perubahan
penggunaan
lahan.
Pernyataan
yang
dikemukakan tersebut tepat untuk menggambarkan bahwa keinginan petani dalam mempertahankan lahan dapat memengaruhi proses alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari suatu penggunaan ke penggunaan lainnya. Peneliti berargumen bahwa alih fungsi lahan dapat menyebabkan perubahan baik pada skala makro, meso, maupun mikro. Pada skala makro, yaitu terjadinya perubahan secara nasional atau besar – besaran menyangkut aspek multifungsi dari lahan pertanian khususnya sawah. Aspek multifungsi ini menjadi hilang seiring berjalannya waktu. Kebijakan pemerintah dalam hal ini menjadi perhatian utama, sehingga perlu adanya ketegasan dalam mengatasi permasalahan alih fungsi lahan secara makro. Pada tingkat meso, peneliti berargumen bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan adanya perubahan struktur masyarakat, dimana petani akan tergeser posisinya sebagai orang paling berpengaruh di masyarakat. Tidak hanya itu, kebijakan tingkat regional perlu diperkuat agar alih fungsi lahan tidak terjadi begitu saja namun melalui proses yang sedemikian dipersulit agar lahan sawah tetap abadi. Sedangkan pada tingkat mikro, alih fungsi lahan akan menyebabkan perubahan pada struktur rumah tangga dan pandangan rumah tangga terhadap nilai “kesuksesan”.
21
Berdasarkan fakta empiris di lapangan terdapat dua jenis proses alih fungsi lahan sawah, yaitu alih fungsi sawah yang langsung dilakukan oleh pemilik dan alih fungsi lahan yang dilakukan oleh bukan petani, melalui proses penjualan. Inti dari pernyataan tersebut yaitu, petani terkait langsung dengan alih fungsi lahan. Faktor – faktor yang mendorong petani untuk mengalihfungsikan atau memindah tangankan kepemilikan lahan sawahnya dapat beragam. Namun, peneliti berargumen bahwa pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah dapat menyebabkan proses alih fungsi lahan yang lebih cepat. Jamal (2000) mengungkap kan bahwa berdasarkan faktor – faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses alih fungsi, maka tipologi alihfungsi lahan terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu 1. Alih fungsi lahan gradual – berpola sporadik, pola alih fungsi lahan yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomui dan keterdesakan pelaku alih fungsi lahan 2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave yaitu pola alih fungsi lahan yang mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relative sama 3. Alih fungsi lahan adaptif demografi, yaitu pola alih fungsi lahan yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal akibat adanya pertumbuhan penduduk 4. Alih fungsi lahan yang disebabkan oleh masalah sosial, pola alih fungsi lahan yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama 5. Alih fungsi lahan tanpa beban, pola alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukkan lain 6. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, yaitu pola alih fungsi lahan yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru di lokasi tertentu 7. Alih fungsi lahan multi bentuk atau tanpa pola, yaitu alih fungsi lahan yang diakibatkan berbagai faktor peruntukkan seperti pembangunan pemukiman, perkantoran, sekolah, industry, perdagangan, dan jasa.
22
Irawan (2005) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan atau konversi lahan lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering, karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1. Pembangunan kegiatan non–pertanian seperti komplek perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industry lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering 2. Akibat pembangunan masa lalu yang terfokus upaya peningkatan produk padi, maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering 3. Daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
1.6.6. Koridor Antarkota Penggunaan istilah koridor antarkota pada dasarnya terilhami dari penelitian yang dilakukan Giyarsih (2009) yang meneliti transformasi wilayah di koridor Yogyakarta-Surakarta. Yunus (2007) mengemukakan koridor antar kota sebagai berikut, “Koridor antarkota merupakan suatu jalur wilayah memanjang dengan lebar yang sangat bervariasi, tergantung dari besar dan kecilnya pengaruh jalan raya tersebut terhadap wilayah sekitarnya. Wilayah disepanjang jalur jalan raya ini dianggap membentuk wilayah tersendiri karena menciptakan kekhasan atribut yang ditimbulkannya dan dapat dibedakan dengan jelas dengan wilayah dibelakangnya. Kekhasan yang paling menonjol sebagai diferensiator dengan wilayah dibelakangnya adalah sifat sosial ekonomi dan spasialnya. Pengaruh sifat kekotaan sangat mendominasi kegiatan penduduknya sehingga kebanyakan bangunan disepanjang jalur jalan tidak lagi berorientasikan sektor pertanian namun berorientasikan sektor non-pertanian. Demikian pula dengan performa spasialnya, makin dekat dengan jalur jalan raya makin kentara sifat kekotaannya baik dari struktur permukimannya, tata ruang bangunanbangunan secara individual maupun kondisi sosialnya. Sifat-sifat kekotaan ini akan makin kabur sejalan dengan makin menjauhnya jarak terhadap jalur jalan raya ini (Yunus, 2007)”
23
Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan oleh Giyarsih (2009) dalam disertasinya, yang dimaksud dengan koridor antarkota adalah suatu kawasan yang terletak antara dua kota utama yang mengubungkan kedua kota utama tersebut. Koridor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kawasan kawasan kanan-kiri jalan raya yang menghubungkan Kota Magelang dengan Kota Yogyakarta yang dalam penelitian ini sekaligus berfungsi sebagai batas panjang koridor, dan wilayah administrasi desa di sepanjang jalan Yogyakarta-Magelang berfungsi sebagai batas lebar koridor.
1.7. Kerangka Pemikiran Petani dan lahan sawah yang dimilikinya dibagi kedalam tiga zona penelitian, zona A adalah petani yang memiliki lahan sawah persis di kanan-kiri jalan utama Yogyakarta-Magelang, zona B adalah petani yang memiliki lahan sawah di kanan-kiri jalan kolektor namun terhubung dengan jalan utama Yogyakarta-Magelang, dan zona C adalah petani yang memiliki lahan sawah di belakang jalan utama maupun jalan kolektor namun dekat dengan jalan raya utama maupun kolektor dalam koridor Yogyakarta-Magelang. Pada dasarnya, pembagian lokasi tersebut berkaitan dengan derajat aksesibilitas lahan sawah dengan jalan raya. Tentunya, setiap petani memiliki karakteristik dan setiap lahan sawah juga memiliki karakteristik. Karakteristik petani tentu akan memengaruhi pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah. Karakteristik petani dan karakteristik lahan sawah serta pengetahuan petani tentang multifungsi lahan sawah tentu akan memengaruhi keinginan petani untuk mempertahankan
kepemilikan
lahan
sawah.
Keinginan
petani
untuk
mempertahankan kepemilikan lahan sawah akan menghambat alih fungsi lahan, sehingga multifungsi dari lahan sawah akan tetap lestari. Multifungsi lahan sawah terdiri dari fungsi langsung, fungsi tidak langsung, fungsi bawaan, dan fungsi negatif. Secara lebih rinci, dapat dilihat Gambar 1.1. yang berisi kerangka pemikiran peneliti.
24
Zona I
Zona II
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
25
1.8. Batasan Operasional 1.
Lahan sawah adalah suatu penggunaan lahan yang dimaksudkan untuk memproduksi padi baik melalui irigasi maupun tadah hujan. Dalam penelitian ini lahan sawah adalah aspek utama yang diteliti terkait dengan karakteristik keberadaannya.
2.
Petani adalah penggarap lahan sawah. Petani merupakan sumber data pada penelitian ini, terutama terkait dengan karakteristik petani.
3.
Koridor adalah jalan raya yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Kota Magelang. Panjang jalan ini adalah 43 Km yang terbentang diantara dua provinsi, yaitu Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
4.
Yogyakarta adalah suatu kota yang menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta sering disebut juga sebagai kota pelajar, kota budaya, maupun kota wisata.
5.
Magelang adalah salah satu kota di Jawa Tengah. Magelang termasuk dalam koridor Yoglosemar dan terhubung dengan Yogyakarta melalui Jalan Magelang.
6.
Sawah di kanan – kiri jalan utama adalah lahan sawah yang lokasinya persis di kanan – kiri Jalan Magelang.
7.
Sawah di Kanan – kiri jalan kolektor adalah lahan sawah yang lokasinya persis di kanan – kiri jalan kolektor yang terhubung dengan Jalan Utama Magelang.
8.
Sawah di belakang jalan adalah lokasi lahan sawah yang tidak berada persis di kanan – kiri jalan utama maupun jalan kolektor.
9.
Umur petani adalah lama hidup petani semenjak lahir yang diketahui melalui proses wawancara.
10. Tahun sukses adalah tingkatan pendidikan terakhir petani yang tidak terbatas pada batasan “tamatan” yang diketahui melalui proses wawancara. 11. Anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga dari petani yang diketahui melalui proses wawancara.
26
12. Pengalaman bertani adalah lamanya petani dalam melakukan usaha tani. 13. Usaha selain bertani adalah pekerjaan sampingan petani selain bertani. 14. Rata – rata pendapatan pertanian adalah banyaknya pendapatan atau penghasilan yang diperoleh petani melalui aktivitas pertanian. 15. Rata – rata pendapatan non pertanian adalah banyaknya pendapatan atau penghasilan yang diperoleh petani bukan melalui aktivitas pertanian. 16. Pengeluaran konsumsi adalah banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk keperluan konsumsi seluruh anggota rumah tangga. 17. Luas lahan sawah pribadi adalah luas lahan sawah yang dimiliki petani yang legal. 18. Luas lahan sawah bagi hasil adalah luas lahan sawah yang menggunakan sistem bagi hasil. 19. Luas lahan sawah sewa adalah luas lahan sawah yang disewa petani untuk diusahakan sebagai lahan sawah. 20. Jarak dari Kota Yogyakarta adalah seberapa jauh lokasi lahan sawah dari pusat Kota Yogyakarta. 21. Jarak dari Kota Magelang adalah seberapa jauh lokasi lahan sawah dari pusat Kota Magelang 22. Letak lahan sawah adalah posisi atau lokasi dimana lahan sawah itu berada. 23. Produksi adalah banyaknya hasil tani dalam satu kali masa tanam. 24. Harga jual adalah nilai rupiah hasil produksi per – satuan berat. 25. Biaya tanam adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk input satu kali masa tanam. 26. Pembantu petani adalah ada tidaknya orang lain yang membantu petani untuk mengusahakan lahan sawahnya. 27. Pengetahuan
petani
tentang
multifungsi
lahan
sawah
adalah
pengetahuan petani tentang manfaat langsung, tidak langsung, bawaan, dan fungsi negatif dari lahan sawah. Pengukurannya menggunakan skala likert kemudian dikonversi kedalam nilai interval.
27
28. Manfaat langsung lahan sawah adalah manfaat yang langsung dirasakan seperti penghasil bahan pangan, menyediakan kesempatan kerja, dan lain sebagainya. 29. Manfaat tidak langsung lahan sawah adalah manfaat yang tidak langsung
dapat
dirasakan
seperti
mengurangi
peluang
banjir,
mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah, dan lain sebagainya. 30. Manfaat bawaan lahan sawah adalah manfaat bersifat “ada” dari lahan sawah dan dapat dirasakan seperti sarana pendidikan dan sarana mempertahankan keanekaragaman hayati. 31. Fungsi negatif lahan sawah adalah fungsi yang bersifat negatif dari lahan sawah seperti pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah, pencemaran air melalui penggunaan bahan kimia, dan lain sebagainya. 32. Keinginan petani untuk mempertahankan lahan adalah besarnya rasa keinginan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan sawahnya agar terhindar dari proses penjualan dan persewaan yang diukur dengan skala likert dan dikonversi nilainya kedalam nilai interval.
28