BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa
perubahan pada aplikasi di berbagai disiplin ilmu, begitu pula dengan ilmu geografi. Masyarakat awam pada mulanya mengenal geografi hanya sebatas pada ilmu yang mempelajari mengenai kebumian, bagaimana bumi berotasi, tentang alam semesta, air, batuan, lahan, dan yang terbatas pada benda fisik saja, namun saat ini telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dengan mempelajari pula mengenai interaksi antar faktor lingkungan yang mencakup unsur abiotik, biotik dan budaya. Berdasarkan hasil interaksi antara ketiga komponen lingkungan tersebut menghasilkan pengetahuan mengenai demografi, penggunaan lahan, pengelolaan daerah aliran sungai, transportrasi, dan juga bidang kesehatan melalui Ilmu Geografi Kesehatan. Geografi kesehatan merupakan bagian dari ilmu geografi yang khusus mempelajari topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Geografi Kesehatan menggunakan konsep dan teknik dari disiplin ilmu geografi dalam menjelaskan suatu fenomena di bidang kesehatan. Salah satu konsep yang dominan dalam ekologi manusia dan mendukung kajian geografi kesehatan yaitu mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungannya secara holistik dan melihat interaksi antara manusia dengan beragam budayanya masing-masing dalam biosfer yang berbeda (Brown, et al. 2010). Kajian geografi kesehatan lebih menekankan pada pendekatan spasialekologis untuk kajian ekologi penyakit, dimana kejadian penyakit terjadi, apa penyebabnya, bagaimana pola sebarannya, bagaimana penularannya, cara penanggulangannya, merupakan beberapa pertanyaan yang harus dijawab secara komprehensif melalui analisis spasial. Peta sebagai alat peraga dapat memperlihatkan sebaran spasial kejadian penyakit yang ada sehingga dapat
1
menunjukkan distributional pattern dari fenomena kejadian penyakit dalam suatu bentanglahan. Dalam konteks analisis spasial, peran utama penginderaan jauh sangat membantu dalam kajian spasial sehingga ilmu geografi berkembang pesat. Semenjak tahun 1960, penginderaan jauh dan survei udara telah banyak berperan dalam berbagai survei dan pemetaan sumberdaya alam dan lingkungan. Peran penginderaan jauh saat ini tidak hanya di bidang ilmu geografi, tetapi juga telah berperan di bidang lain seperti kesehatan, ekonomi, sosial, pertanian, kehutanan dan teknik. Aplikasinya banyak digunakan mulai dari inventarisasi dan pengelolaan
sumberdaya
alam,
pengembangan
wilayah,
tata
ruang,
pengembangan bisnis, perencanaan transportasi, monitoring perubahan hutan dan lahan, kependudukan, militer, mitigasi bencana dan pemetaan persebaran penyakit. Cline (1970) telah menerbitkan atikel yang bejudul “New Eyes for Epidemiologist”: Aerial Photography and other Remote Sensing Techniques”. Pada artikel ini dibahas mengenai perkembangan aplikasi penginderaan jauh untuk kesehatan, salah satunya adalah program HAO (The Health Application Office) yang dikembangkan oleh NASA (1970-1976). Saat ini program HAO NASA sudah tidak berjalan lagi, namun NASA masih melakukan support data untuk lembaga yang bergerak di bidang kesehatan seperti CDC (The Centers for Disease Control and Prevention) (Albert, et al. 2000) Semenjak saat itu makin berkembang penelitian – penelitian di bidang kesehatan yang menggunakan bantuan data penginderaan jauh. Penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data fisik termasuk iklim untuk membantu monitoring beberapa penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, tuberkulosis, leptospirosis dan kolera. Peran penginderaan jauh akan semakin lengkap apabila ditunjang dengan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Berbagai keunggulan penggunaan Penginderaan Jauh dan SIG dalam kajian kesehatan antara lain : 1.
Penginderan jauh dapat menyajikan data permukaan bumi serta data iklim, dengan pengolahan menggunakan SIG dapat disajikan data spasial untuk
2
penelitian epidemiologi (visualisasi, monitoring, modeling, geostatistik, interaksi spasial). 2.
SIG dapat digunakan untuk berbagai aplikasi yang berkaitan dengan fasilitas kesehatan (akses menuju fasilitas kesehatan, ditribusi lokasi fasilitas kesehatan)
3.
SIG berbasis internet dapat digunakan untuk mempublikasikan informasi kesehatan (evaluasi, decision support systems, emergency response) secara real time ditunjang dengan data penginderaan jauh yang up to date
Pada Tabel 1.1 disajikan penelitian epidemiologi menggunakan data penginderaan jauh berdasarkan banyaknya literatur yang diperoleh.
Tabel 1.1. Penginderaan Jauh untuk Penelitian Penyakit Tahun 1975-2014 Penyakit terinfeksi dan vektor Bakteri Cholera Lymne disease Plague Mikosis Paracoccidioidom ycosis Rickettsioses Q fever Virus St.Louis Encephalitis Dengue fever Ebola fever Rift Valley fever Penyakit Parasit Dracunculiasis Echinococossis Fascioliasis Filariasis Leishmaniasis Malaria Schistosomiasis Trypanosomiasis Hanya vektor Mosquitoes Tick Hanya Patogen Nematodes, trematodes Exposure to pesticides Total
NOAA
Penyedia citra satelit Landsat SPOT
lainnya
NDVI
1 2 -
4 1
-
3 1 2
3 1
3 1
1 2 -
1 -
1
1
-
-
1
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
1
1 4 -
1 2 2
2
1 2 3 -
1 3 1
1 1 2 1
1 -
-
1 2 2 6 11 5
2 1 1 2 2 5 7 2
1 3 2
1 7 3
1 1 1 3 7 9 4
2 1 1 2 2 8 4 3
1 2 5 9 1
1 2
5
1 2
-
5 -
1 6
6 1
-
-
2
-
-
-
2
1
1
-
43
1 37
9
29
46
1 41
23
5
Sumber : Vincent (2006) dengan penambahan
3
Tipe memrosesan citra LC/LU Temp lainnya
Lingkup Kajian Lokal, Regional, Nasional
Penelitian kesehatan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh serta SIG, selama ini masih didominasi oleh aplikasi pada tema penyakit menular tertentu saja (bersifat parsial). Namun demikian ada juga yang sudah mencoba mengkompilasi beberapa penelitian yang ada menjadi sebuah rangkuman pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk kesehatan seperti yang dilakukan oleh Thomas (2001), Beck L (2002), dan Vincent (2006). Penelitian ini dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan data penginderaaan jauh untuk mendeteksi kondisi lingkungan yang dapat dijadikan parameter penentu kerentanan penyakit. Perkembangan sensor satelit menghasilkan berbagai jenis citra satelit dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan resolusi spasial dan temporal menghasilkan perbedaan kemampuan citra dalam menyadap informasi lingkungan. Perbedaan resolusi spasial di sini yang nantinya akan dikaji sejauh mana kemampuannya dalam menyediakan data kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit. Malaria sebagai salah satu penyakit menular, sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini tidak hanya menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan kematian, disamping menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya. Diduga 36% penduduk dunia terkena resiko malaria (WHO, 2010). Di negara berkembang, termasuk Indonesia, meningkatnya malaria sangat berkaitan erat dengan kekurangan gizi, krisis ekonomi, perang atau kerusuhan. Hal ini juga terjadi di Jawa Tengah. Peningkatan kasus malaria di Jawa Tengah terjadi di beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Purworejo. Pada tahun 2007 terdapat 440 kasus malaria di Kabupaten Purworejo. Tahun 2008 dan 2009 mengalami penurunan kasus malaria yaitu 417 dan 344, sedangkan pada tahun 2010 mengalami sedikit peningkatan dengan total kasus sebanyak 372. Kasus malaria di tahun 2011 mengalami peningkatan tajam sebesar 1001 kasus dan mulai menurun lagi pada tahun 2012 sebanyak 500 kasus. Pada tahun 2013 terdapat 615 kasus malaria dan tahun 2014 terdapat 700 kasus (lihat Gambar 1.1.) (Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, 2014)
4
Gambar 1.1 Kasus Malaria di Kabupaten Purworejo Tahun 2007-2014 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo
Kasus leptospirosis banyak terjadi di wilayah tropis, leptospirosis juga meninggalkan masalah kesehatan masyarakat di sebagian Benua Asia, Eropa Timur dan Selatan, Australia dan Selandia Baru. Laporan dari USA menyatakan bahwa jumlah penderita atau kejadian leptospirosis pada manusia sekitar 50 – 150 orang/tahun. Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Barat (Widarso dan Wilfried 2003). Penyakit ini dalam beberapa tahun telah menyerang warga di Kabupaten Bantul, dalam rentang waktu 2009 hingga 2014 ini sudah terdapat ± 473 Kasus (kasus tertinggi dari Kecamatan Bantul, Kecamatan Imogiri, Kecamatan Jetis dan Kecamatan Sedayu). Pada tahun 2012 terdapat 1 orang meninggal dari 48 kasus, tahun 2013 terdapat 74 kasus dan pada tahun 2014 terdapat 6 orang meninggal dari 74 kasus. Fluktuasi kasus leptospirosis dari tahun 2009-2014 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dalam renstra Dinas Kesehatan tahun 2011-2015 sebenarnya telah menuliskan beberapa strategi terkait penanganan leptospirosis di Kabupaten Bantul. Dalam renstra disebutkan bahwa penanganan kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul dilaksanakan dengan 5
mengupayakan pencegahan dan promosi kesehatan pada masyarakat terkait penyakit leptospirosis. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap pemerintah dengan menyajikan informasi kerentanan wilayah secara spasial guna membantu dalam upaya pencegahan penyakit leptospirosis.
Gambar 1.2. Kasus Leptospirosis di Kabupaten Bantul Tahun 2009-2014 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul
Tuberkulosis yang sering disingkat TB berasal dari singkatan Tubercle basillus adalah suatu penyakit infeksi menular mematikan yang disebabkan oleh mikrobakteria. Laporan tuberkulosis (TB) dunia oleh WHO (2006) masih menempatkan
Indonesia
yang
merupakan
negara
berkembang
sebagai
penyumbang kasus TB tertinggi ketiga di dunia setelah India dan China. Jumlah kasus TB baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun. (Depkes RI, 2006) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan daerah berkembang dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan terutama di kawasan permukiman. Kepadatan penduduk tinggi akan menjadi faktor pendukung bagi menularnya suatu penyakit salah satunya adalah tuberkulosis. Berdasarkan data kesehatan, DIY memiliki jumlah kasus tuberkulosis yang cukup tinggi. Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki jumlah kasus penyakit tuberkulosis terbanyak se-DIY yaitu angka kesakitan TB: 40,5 % (228 kasus) dari total kasus tuberkulosis di DIY (lihat Gambar 1.3). Kecamatan yang memiliki jumlah prevalensi kasus 6
tuberkulosis tertinggi yaitu Kecamatan Imogiri dengan 114 kasus tuberkulosis (per 100.000 penduduk). Jumlah kasus tuberkulosis per Desa di Kecamatan Imogiri dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Gambar 1.3. Diagram Prevalensi (per 100.000 penduduk) kasus TB di DIY Sumber : Profil Kesehatan Tahun 2010
Gambar 1.4. Kasus Tuberkulosis di Kecamatan Imogiri Sumber : Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kab.Bantul
1.2.
Perumusan Masalah Penelitian Indonesia sebagai negara tropis merupakan kawasan endemik berbagai
penyakit menular, seperti malaria, demam berdarah, ISPA, TB, filariasis, diare dan sebagainya. Di samping itu Indonesia sebagai kawasan yang berkembang secara dinamis yang sejalan dengan era globalisasi, sehingga tidak bisa menghindari masuknya berbagai penyakit menular seperti SARS, avian influenza, polio serta penyakit yang tidak menular seperti kanker, ginjal, dan penyakit 7
lainnya. Setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perubahan lingkungan global (Global Environmental Change). Kesehatan manusia, jika ditinjau secara mendasar, terkait dengan kondisi sosial dan lingkungan. Selama berabad – abad manusia memperoleh keuntungan tetapi juga kerugian dari perubahan – perubahan yang mereka lakukan terhadap lingkungan sekitarnya. Terlihat serangan berbagai wabah penyakit menuntun kita untuk lebih arif memperhatikan dan memperlakukan lingkungan sekeliling. Bagi para peneliti, kondisi ini menjadi tantangan ilmiah sekaligus tantangan kemanusiaan, sampai sejauh mana aktifitas penelitian mampu menjawab permasalahan kesehatan masyarakat, satu masalah riil yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Banyaknya penyakit yang ada Di Indonesia membutuhkan upaya pemantauan, pengendalian, pencegahan dan pengobatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Untuk membantu mengimplementasikan upaya tersebut maka perlu dilakukan penelitian/kajian di bidang kesehatan. Perkembangan mutakhir (state of the art) kajian di bidang kesehatan masih banyak mengandalkan atau bertumpu pada data demografi, data kesehatan hasil rekap dari puskesmas, rumah sakit ataupun klinik dan data sosial ekonomi lainnya dan belum sepenuhnya dalam perspektif spasial. Aplikasi penginderaan jauh untuk kesehatan yang berkembang saat ini masih didominasi pada kasus-kasus penyakit menular seperti airborne diseases, dengan skala penelitian detail (area sempit). Penulis juga pernah melakukan penelitian mengenai kerentanan wilayah terhadap demam berdarah pada tahun 2004 dan 2007. Pada tahun 2011 dan 2014 penulis meneliti mengenai kerentanan wilayah terhadap malaria, sedangkan untuk penyakit leptospirosis dan tuberkulosis pernah diteliti oleh penulis pada tahun 2013. Untuk penyakit lainnya seperti penyakit yang sifatnya degeneratif masih jarang diteliti terutama penelitian dengan perspektif spasial menggunakan data penginderaan jauh. Pada saat ini menjadi tantangan bagi para peneliti, seperti apa
8
framework riset penginderaan jauh kesehatan untuk menentukan kerentanan wilayah terhadap penyakit menular berbasis lingkungan. Perspektif ke depan yang diharapkan adalah Penginderaan Jauh Kesehatan dapat dijadikan sebagai suatu sub disiplin ilmu “Medical Geography” dengan penekanan bahwa persoalan kesehatan mampu ditinjau dalam bentuk spasial dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan maupun penggabungan antara kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan kependudukan. Persoalan yang timbul yang merupakan “gap of knowledge” antara penginderaan jauh dan kesehatan lingkungan serta harapan ke depan tertulis dalam pernyataan-pernyataan berikut: 1.
Masalah kesehatan lingkungan selama ini belum ditangani secara terintegrasi dengan masalah perencanaan lingkungan/wilayah, oleh karena itu perlu cara pandang baru atas masalah-masalah kesehatan lingkungan dengan perspektif spasial dengan memanfaatkan data penginderaan jauh, karena cara pandang ini dapat secara efektif memberi dukungan informasi kewilayahan untuk pengelolaan lingkungan dan perencanaan wilayah terkait kesehatan secara lebih komprehensif. Pengendalian atau manajemen penyakit yang berbasis komunitas dalam satu wilayah, memerlukan upaya integratif antara pelayanan kesehatan (pengobatan) atau manajemen kasus, dengan
manajemen
faktor
risiko
secara
simultan,
terintegrasi,
berkesinambungan, dan berkualitas (Achmadi, 2005). Diperlukan suatu kemampuan untuk melakukan tata laksana kasus atau lazim dikenal sebagai pelayanan kesehatan, dengan berbagai pengendalian variabel yang berperan secara terpadu termasuk didalamya adalah pemetaan penyakit dan penentuan kerentanan wilayah. 2.
Perlu dilakukan kaji ulang atas metode-metode pemodelan spasial tingkat kerentanan terhadap penyakit menular menggunakan data penginderaan jauh dan SIG, baik keunggulan dan keterbatasannya dalam penanganan masalah – masalah kesehatan. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kesehatan sudah dilakukan sejak tahun 1975 (Albert et al, 2000), dengan metode yang bervariasi. Oleh karena itu diperlukan rivew dan pemilihan metode mana 9
yang akan di kaji ulang. Kaji ulang difokuskan pada metode skoring, matching, geographically weighted regression (GWR) dan spatial multikriteria analysis (SMCE). Keempat metode ini dipilih karena metode skoring merupakan metode yang paling mudah dan paling banyak digunakan untuk penentuan kerentanan, metode matching merupakan metode yang secara konsep telah mapan nampun penggunaannya untuk penentuan kerentanan wilayah terhadap penyakit bisa dikatakan jarang, geographically
weighted
regression
merupakan
metode
penentuan
kerentanan dengan memperhatikan heterogenitas spasial, sehingga masing masing unit pemetaan dapat diberikan bobot tersendiri sesuai dengan karakteristik lingkungannya. Metode GWR ini mewakili penggunaan model regresi dalam menghasilkan output model. Metode spatial multikriteria analysis merupakan salah satu metode pengambilan keputusan dengan melibatkan banyak kriteria dan memilih dari beberapa alternative model. Pada dasarnya, terdapat beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk penentuan kerentanan wilayah terhadap penyakit dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG seperti metode neural network, cellular automata dan agent-based mode. Metode-metode tersebut tidak digunakan karena kerumitan dalam proses, sehingga belum tentu mudah diaplikasikan dan hasilnyapun belum tentu baik. 3.
Perlunya kerangka kerja (framework) pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk kesehatan terutama untuk identifikasi penyakit terkait lingkungan, dengan mengambil contoh wilayah, jenis penyakit dan model yang diharapkan mewakili variasi ketiganya di Indonesia (lihat Gambar 1.5). Atas dasar pernyataan – pernyataan diatas, penulis akan melakukan
penelitian yang bukan hanya dimaksudkan untuk menerapkan penginderaan jauh untuk kajian suatu kasus penyakit tertentu melainkan penelitian ini diharapkan dapat membangun framework Penginderaan Jauh untuk memahami fenomena spasial penyakit dengan memperhatikan faktor lingkungan. Berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas maka, penulis akan mengambil judul disertasi 10
Pemodelan Spasial Kerentanan Wilayah Terhadap Penyakit Menular Terkait Lingkungan Berbasis
Penginderaan Jauh (Kasus
Malaria, Leptospirosis dan
Tuberkulosis di Sebagian Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY)
Ideal
State of The Art
Penginderaan Jauh Kesehatan sebagai suatu Sub disiplin dari Geografi Kesehatan (Medical Geography)
Ilmu geografi kesehatan yang memperhatikan faktor lingkungan sebagai penyebab penyakit masih belum memanfaatkan data penginderaan jauh secara optimal Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan SIG makin pesat Keberadaan Ilmu Epidemiologi penyakit perlu dikembangkan dengan pendekatan spasial.
Epidemiologi penyakit tekait lingkungan sebagai model “Medical Geography”
Gap of Knowledge Perlu cara pandang baru atas masalah kesehatan dengan prespektif spasial dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG. Perlu review atas metode PJ yang sudah ada saat ini dan manfaatnya untuk penentuan tingkat kerentanan penyakit Perlu disusun framework penginderaan jauh untuk kesehatan terkait penentuan tingkat kerentanan terhadap penyakit menular terkait lingkungan
Gambar 1.5. Skema Perumusan Masalah
11
1.3.
Tujuan Penelitian 1.
Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik bentanglahan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis.
2.
Memetakan tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria dan leptospirosis, tuberkulosis dengan berbagai metode.
3.
Menyusun
framework
(kerangka
kerja)
model
spasial
tingkat
kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penilitian ini dapat dipilah menjadi manfaat secara teoritis dan manfaat praktis dengan rincian sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis a.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teori untuk lebih memperkaya pengetahuan tentang aplikasi data penginderaan jauh khususnya dalam pemanfaatan citra multiresolusi untuk kajian kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis.
b.
Memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan
epidemiologi
khususnya
epidemiologi
spasial
aplikasi terkait
ilmu model
kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis. c.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi penelitian lain yang mengkaji penyakit menular khususnya penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis dari sisi spasial.
2.
Manfaat praktis a.
Berdasarkan tinjauan pragmatis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi stakeholder dalam melakukan perbaikan kondisi lingkungan guna merumuskan
12
program pencegahan dan penanggulangan penyakit khususnya penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis. b.
Informasi mengenai kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu program pemerintah dalam mengelola lingkungan sebagai salah satu upaya mengurangi angka kejadian penyakit tersebut.
1.5. Lingkup Kajian Dalam melakukan pemetaan suatu penyakit, peran Ilmu Geografi cukup penting, kajian dalam Geografi juga menyangkut bidang kesehatan, sehingga dikenal dengan nama Geografi Kesehatan atau Medical Geography. Lingkup kajian Geografi kesehatan meliputi : 1. Geografi penyakit, yang meliputi eksplorasi, deskripsi dan pemodelan spatio-temporal
(ruang-waktu)
kejadian
penyakit
dan
fenomena
lingkungan yang terkait, deteksi dan analisis cluster penyakit dan pola, analisis kausalitas dan hipotesis penyakit baru 2. Geografi sistem pelayanan kesehatan, yang berkaitan dengan perencanaan, manajemen dan pelayanan kesehatan yang sesuai (memastikan antara lain akses pasien yang memadai) setelah menentukan kebutuhan kesehatan masyarakat sasaran dan layanan zona jangkauan. Posisi penelitian ini termasuk dalam lingkup kajian Geografi Penyakit yang melibatkan sub bidang Ilmu Penginderaan Jauh, Kartografi dan Sistem Informasi Geografi. Penelitian ini merupakan salah satu aplikasi dari Ilmu Penginderaan Jauh yang mengambil tema kesehatan. Posisi dari Aplikasi Penginderaan Jauh di Bidang Kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.2. Penginderaan jauh merupakan suatu cabang dari Ilmu Kebumian, termasuk Kartografi dan Sistem Informasi Geografis. Sabins (1996) menjelaskan bahwa penginderaan
jauh
adalah
ilmu
untuk
memperoleh,
mengolah
dan
menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan sutau objek. Sedangkan menurut Lillesand 13
and Kiefer (2004), “Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji”. Ilmu penginderaan jauh terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu penginderaan jauh murni dan penginderaan jauh terapan. Aplikasi atau terapan dari Ilmu Penginderaan Jauh meliputi berbagai bidang seperti Pertanian, Kehutanan, Tata Ruang, Kelautan, Pertanahan, Geologi, termasuk bidang Kesehatan. Kajian penginderaan jauh untuk aplikasi di bidang kesehatan lebih banyak terkait pada kajian kemampuan citra penginderaan jauh dalam menyediakan data lingkungan yang terkini untuk kepentingan manajemen pengendalian penyakit terkait lingkungan terutama fisik dan biotik, juga bidang pelayanan kesehatan terkait penyediaan data aksesibilitas dan penentuan lokasi fasilitas kesehatan ditinjau dari aspek kondisi fisik lahan. Sistem Informasi Geografi merupakan sebuah sistem yang menyimpan, mengolah, manipulasi serta analisis data digunakan dalam penelitian ini terutama dalam membuat basis data penyakit dan data lingkungan yang digunakan. SIG digunakan dalam pemodelan kerentanan serta pembuatan peta. Ilmu Kartografi berperan penting dalam pembuatan peta baik peta – peta parameter untuk pembuatan model kerentanan dan juga peta distribusi penyakit. Ilmu Kesehatan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Klinis.
Ilmu Kesehatan
Masyarakat memiliki beberapa cabang ilmu atara lain: Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan, Biostatistik, Prilaku Kesehatan, Antropologi Kesehatan, Ekonomi Kesehatan, Psikologi Kesehatan, Gizi Kesehatan Masyarakat dan lain sebagainya. Cabang Ilmu Kedokteran Klinis meliputi Pre-Klinis (Anatomi, Fisiologi, Biokimia,
Histologi,
Farmakologi,
Patologi
Anantomi,
Patologi
Klinik,
Mikrobiologi) dan Klinis (Anastesiologi, Dermatologi, Kedaruratan Medis, Kedokteran Umum, Ilmu Penyakit Dalam, Neurologi, Obstetik dan Ginekologi, Perawatan Penenangan Pasien, Pediatri, THT-KL, Kedokteran Rehabilitasi Medis,
14
Kedokteran Preventif, Psikiatri, Terapi Radiasi, Radiologi, Spesialis Bedah, Ilmu Kedokteran Gender dan lain sebagainya).
Geographic Techniques
Meteorology
Biology
Pedology
Demography
Antropology, Psychology,Sociolo gy
Economics
Political Science
History
Klimatology
Biogeography
Soil Geography
Population Geography
Behavioral Geography
Economic Geography
Political Geography
Historical geography
Engineering Remote Sensing
Geology
Computer Science Geographic Information System
Geomorfology
Geodesy Cartography
Quantification Methodes in Geography
Posisi penelitian ini
Statistics
Tabel 1.2. Lingkup Kajian Penelitian Dilihat Dari Posisi Ilmu Yang Digunakan
Physical Geography
Antropologi Kesehatan
Prilaku Kesehatan
Pendidikan Kesehatan
Epidemiologi
Studi kebijakan Kesehatan
Gizi Kesehatan Masyarakat
Biostatistik
Ekonomi Kesehatan
Kesehatan lingkungan
Psikologi Kesehatan Politik Kesehatan
Management Kesehatan
Sosiaologi Kesehatan
Kedokteran Klinis Pre Klinis Klinis
Administrasi Kesehatan
Kesehatan Masyarakat
Human Geography
Anatomi, Fisiologi, Biokimia, Histologi, Farmakologi, Patologi Anantomi, Patologi klinik, Mikrobiologi,
Anastesiologi, Dermatologi, Kedaruratan medis, Kedokteran Umum, Ilmu Penyakit Dalam, Neurologi, Obstetik dan Ginekologi, Perawatan penenangan pasien,Pediatri, THTKL, Kedokteran rehabilitasi medis, Kedokteran preventif, Psikiatri, Terapi radiasi, Radiologi, Spesialis bedah, Ilmu kedokteran gender
Penelitian ini merupakan aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi di bidang kesehatan khususnya kesehatan lingkungan yang mengkaji kejadian penyakit di suatu kelompok masyarakat terutama yang dipengaruhi oleh 15
kondisi lingkungan (lingkungan disini sebagai habitat dari vektor penyakit serta sebagai sarana atau media penularan penyakit). Fokus utama penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan untuk membuat model kerentanan wilayah terhadap penyakit. Penyakit disini dipilih tiga jenis penyakit yaitu Malaria, Leptospirosis dan Tuberkulosis. Dipilihnya ketiga jenis penyakit tersebut berdasarkan tiga pertimbangan : 1. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan penyakit dapat disadap dari data penginderaan jauh. 2. Berbagai penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, dimana faktor lingkungan tersebut berbeda – beda dan terkait kerincian data yang berbeda pula, sehingga terdapat perbedaan penggunaan data penginderaan jauh khususnya resolusi spasial atau skalanya. Hal ini sangat menguntungkan karena dengan adanya perbedaan faktor lingkungan yang mempengaruhi dan kedetailan data yang diperlukan, maka penelitian ini dapat melibatkan citra penginderaan jauh multiresolusi spasial. Kajian Malaria menggunakan citra resolusi sedang yaitu Landsat 8 (resolusi spasialnya 30 m), kajian Leptospirosis menggunakan resolusi sedang – agak tinggi yaitu ALOS AVNIR (resolusi spasialnya 10 m), dan kajian Tuberkulosis menggunakan
citra resolusi tinggi
yaitu
Quickbird
multispektral (resolusi spasial 2,4 m). 3. Malaria dipilih karena dapat mewakili penyakit dari kelompok airborne disease dan vector borne disease, Leptospirosis untuk mewakiti waterborne dan vector borne disease, sedangkan Tuberkulosis digunakan untuk mewakili penyakit dari kelompok airborne disease. Walaupun belum dapat mewakili semua resolusi spasial citra penginderaan jauh maupun jenis penyakit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tetapi setidaknya penelitian ini telah memberikan kontribusi sejauh mana citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk kajian penyakit.
16
1.6.
Keaslian Penelitian Pemetaan
kerententanan
dan
resiko
malaria
menggunakan
data
penginderaan jauh dan SIG memang bukan merupakan hal yang baru. Beberapa peneliti seperti Kiang, R. (2006), Holani, A. (2003), Tran, A. (2008), Cintia, Vasconcelos, Evlyn Novo (2009), Abolfazl (2010), dan Abdulhakim (2014), menggunakan data penginderaan jauh untuk mendapatkan parameter penggunan lahan, sungai dan iklim sebagai parameter penentu kerentanan dan resiko malaria di berbagai wilayah seperti Etiophia, Thailand, Amazone, Rwanda, Prancis dan juga di wilayah Kabupaten Purworejo (lihat Tabel 1.4). Upaya penyediaan data spasial yang berkaitan dengan kerentanan wilayah terhadap penyakit berbasis lingkungan telah dilakukan dan dikembangkan dengan berbagai variasi data dan metode. Penelitian tersebut pada umumnya menggabungkan antara data penginderaan jauh dengan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Sebagi contoh, pada pemetaan kerentanan penyakit malaria yang dilakukan sebelumnya menggunakan pendekatan bentanglahan dan iklim. Bentanglahan diperoleh dari interpretasi citra penginderaan jauh sedangkan data iklim diperoleh dari data sekunder (BMG). Begitu pula dengan pemetaan kerentanan demam berdarah, data banyak diperoleh dari survei lapangan sedangkan penggunaan data penginderaan jauh masih belum maksimal. Berbeda halnya dengan kajian penyakit malaria, untuk kajian kerentanan leptospirosis dan tuberkulosis menggunakan data penginderaan jauh dan SIG masih belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu mengenai kajian spasial Leptospirosis pernah dilakukan oleh Barcellos, et al. (2000),Vincent, et al. (2006), Sunaryo (2010), Tatiana, et al. (2010), Renata, et al. (2014), yang meneliti mengenai faktor-faktor lingkungan dan sosial yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis dengan menggunakan pendekatan geografi (Tabel 1.5). Data penginderaan
jauh
belum
optimal
digunakan
pada
penelitian-penelitian
sebelumnya. Kajian tuberkulosis secara spasial pernah dilakukan oleh Wenyi, et al. (2015), Carlos (2014), Erlangga (2009), Srinivasan,
R. dan Venkatesan, P.
(2013), Venkatesan, P., Srinivasan, R., dan Dharuman (2012) di daerah China, 17
Brazil, India dan Kota Yogyakarta. Penggunaan data penginderaan jauh yang berupa citra Quickbird sudah pernah dilakukan oleh Erlangga (2009) untuk mendapatkan parameter penentu kerentanan. Erlangga memetakan resiko tuberkulosis menggunakan Ordinary Least Square, sedangkan Venkatesan menggunakan Bayesian Conditional Autoregressive untuk pemetaan tuberkulosis. Penelitian mengenai tuberkulosis dapat di lihat pada Tabel 1.6. Walaupun penelitian ini memiliki objek kajian yang sama dengan penelitian yang ada sebelumnya yaitu kerentanan penyaki malaria, leptospirosis dan tuberkulosis namun penelitian ini tetap memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya sehingga penelitian mengenai pemodelan spasial kerentanan wilayah terhadap penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis berbasis data penginderaan jauh ini dapat dikatakan asli/original.
Jika dalam kajian-kajian
sebelumnya dilakukan secara parsial atau hanya 1 jenis penyakit saja, namun pada penelitian ini peneliti mengkaji tiga jenis penyakit menular sekaligus dengan menggunakan empat model penentuan tingkat kerentanan yaitu skoring/indeks, matching, spatial multicriteria evaluation dan geographically weighted regression. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan keempat metode penentuan kerentanan wilayah terhadap penyakit
malaria, leptospirosis dan
tuberkulosis yang nantinya dapat menjadi dasar pembuatan framework pemodelan spasial kerentanan wilayah terhadap penyakit-penyakit tersebut. Framework pemodelan kerentanan wilayah penyakit malaria, leptospirosis dan tuberkulosis berbasis data penginderaan jauh inilah yang menjadi temuan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menggunakan data penginderaan jauh multiresolusi sebagai salah satu sumber data yang dapat menyajikan informasi fisik lahan dan iklim. Pada penelitian ini, peneliti melakukan review atas metode – metode kajian penginderaan jauh kesehatan. Review ini dilakukan guna melihat kecenderungan atau tren penggunaan data penginderaan jauh, berapa akurasi hasilnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan penyusunan framework/kerangka kerja konsep dan teknis penentuan tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit. Untuk memperkaya penelitian yang sudah
18
ada serta mendukung teori yang dibangun, maka diperlukan pembuatan model spasial tiga jenis penyakit sebagai tambahan masukan sekaligus sebagai bahan uji. Sebagai salah satu syarat mengenai keaslian penelitian adalah adanya keahlian yang spesifik yang dimiliki oleh peneliti dengan dibuktikan adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang sejalur. Pada Tabel 1.3 disajikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan peneliti yang berkaitan dengan penginderaan jauh kesehatan: Tabel 1.3. Penelitian Aplikasi Penginderaan Jauh Kesehatan oleh Penulis No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Judul Pemodelan Spasial Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Menggunakan SIG Di Terban Kecamatan Kelurahan Gondokusuman Yogyakarta Pemodelan Spasial Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Menggunakan SIG Di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Penginderaan Jauh dan SIG untuk Perencanaan dan Geocoding dalam Geografi Kesehatan Multi-temporal Image Analysis for Environmental Change Detection to Determine Malaria Case Incident Pattern (Case Study Loano, Purworejo, Bagelan, Kaligesing and Bener SubDistrict) Perbandingan Akurasi Pemodelan Spasial Kerentanan Wilayah Terhadap Penyakit Tuberkulosis berbasis Ekologi dan Administrasi (Kasus di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul) Perbandingan Akurasi Pemodelan Spasial Kerentanan Wilayah Terhadap Penyakit Leptospirosis Berbasis Ekologi dan Administrasi Pemodelan Spasial Kerentanan Wilayah Terhadap Penyakit Leptospirosis Berbasis Ekologi Penggunaan Multicriteria Analysis untuk Menentukan Daerah Rawan Malaria di Sebagian Kabupaten Purworejo Application of Geographically Weighted Regression For Vulnerable Area Mapping of Leptospirosis in Bantul District Analysis of The Influnce of Human Settlement Environmental Quality To Malnutrition Rate Using Remote Sensing Imagery Approach Case Study : Mataram Urban Area Lombok.
19
Tahun 2004
2007
2007
2011
2013
Publikasi Tesis S2
Jurnal Pendidikan Geografi GEA Universitas Pendidikan Bandung Vol 10.No.2 Oktober 2010 Seminar Lapan
Workshop Spatial Reasoning 2. Integrating Spatial Reasioning in Interdisciplinary Reasearch and Education, University of The Philippines Diliman, November 4-8, 2011 Seminar Hasil Penelitian Dosen Fakultas Geografi Tgl 30-31 Oktober 2013
2013
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan 26 Oktober 2013 Sekolah Vokasi UGM
2014
Jurnal Geografi Fakutas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.Volume 11.No1.71-83 Seminar Hasil Penelitian Dosen Fakultas Geografi
2014
2015
Indonesian (Submitted)
Journal
of
Geography
2015
Proceeding: The 36Th Asean Conference On Remote sensing, Quezon City Metro Manila Philippines
20
Tabel. 1.4. Penelitian Tema Malaria Terdahulu Peneliti
Judul
1.
No
Abdulhakim Ahmed, (2014)
Gis and Remote Sensing For Malaria Risk Mapping Ethiopia
Membuat peta risiko malaria di Ethiopia
Tujuan
2
Mursyid, (2014)
Model Dinamika Spasial Ekologis Variabilitas Lingkungan Terhadap Dinamika Vektor Malaria di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah
Mengetahui pola sebaran, tingkat kerentanan wilayah dan pembuatan model variabilitas kualitas lingkungan terhadap dinamika vektor malaria
3
Joseph Tuyishimire, (2013)
Spatial Modelling of Malaria Risk Factor in Ruhuha Sector Rwanda
Membuat pemodelan spasial risiko malaria di Ruhuha Sector, memetakan habitat potensial nyamuk Anopheles dan memetakan kejadian malaria.
Metode Data penginderaan jauh digunakan untuk menyadap data penggunaan lahan, elevasi, sungai, data lainnya berupa data iklim dan data sosial. Pembuatan peta risiko menggunakan metode Multicriteria Analysis. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif analitik dengan longitudinal survey untuk 4 musim. Parameter penelitian terdiri dari kualitas air, kualitas udara, sosial ekonomi dan kepadatan vector malaria. Analisis kluster diskriminan untuk uji variabilitas lingkungan dan dinamika vector. Perhitungan indeks dan model matematis digunakan untuk evaluasi kerentanan, prediksi perubahan lingkungan dan kepadatan vektor malaria. Data yang digunakan adalah, demografi, ekonomi, iklim, topografi, penggunaan lahan, tubuh air, kejadian malaria. Beberapa data diperoleh dari hasil interpretasi orthophoto (resolusi 25 cm). Peta habitat nyamuk diperoleh dari pemetaan landuse dan survei lapangan. Peta persebaran kejadian malaria dipetakan menggunakan IWD spatial analysis tools di ArcGIS.
21
Hasil Peta risiko yang dihasilkan dari analisis overlay menunjukkan bahwa 20,5 % , 11,6 % , 23,8 % , 34,1 % dan 26,4 % dari wilayah penelitian Menjadi sasaran risiko malaria sangat tinggi, tinggi , sedang, rendah dan sangat rendah Ditemukan 9 spesies Anopheles di Kabupaten Purworejo. Pola kasus malaria tidak mengalami perubahan, terjadi di wilayah endemis dan berpola cluster. Kualitas air dan udara merupakan diskriminan kuat terhadap kelimpahan vector.
Penggunaaan orthopotho efektif untuk mendapatkan data penggunaan lahan, tubuh air dan kondisi rumah. Variabel yang digunakan memiliki korelasi tinggi terhadap risiko kejadian malaria
Tabel. 1.4. Lanjutan No 4.
Peneliti Laari Prosper Basommi, (2011)
Judul Spatial Analysis of Malaria Epidemiology in the Amanse West District
Tujuan Pemetaan risiko penyakit Malaria di Ghana menggunakan GIS
Metode Pendekatan geostatitical bayesian digunakan untuk mengkorelasikan hubungan antara elevasi dan risiko penyakit. Sistem Informasi Geografis yang digunakan untuk membuat permukaan risiko. Overlay peta risiko penyakit dengan hutan, sungai/aliran untuk mengetahui dampaknya dengan prevalensi penyakit.
6.
Abolfazl, (2010)
Improvement of RS and GIS Technigues Involving Malaria High Risk Regions Determinatination
Untuk melihat korelasi antar kondisi lingkungan dan iklim pada suatu wilayah dengan risiko penyakit Malaria.
7.
Cíntia H,. Vasconcelos, Evlyn Novo, (2009)
Remote Sensing and GIS to Analize The Vulnerability to Malaria in face of Processes Held in the Urbanfringe of Human Settlement in The Amazone Forest.
Mengetahui hubungan perubahan penutup dan penggunaan lahan terhadap kejadian malaria
Parameter suhu udara menggunakan metode SEBAL, Kelembapan diperoleh dari kombinasi data tempertur dari citra dan data meteorologi di lapangan. Tutupan vegetasi dan tubuh air diperoleh dengan mengombinasikan metode NDVI dan EVI. Untuk mendapatkan wilayah yang berisiko malaria dipergunakan teknik overlay dan pembobotan parameter diatas. Citra Landsat dan Citra Radar digunakan untuk mendapatkan data tutupan dan penggunaan lahan serta area yang sering terkena banjir.
22
Hasil Peta risiko dibuat dengan mengintegrasikan metode statistik Poisson menunjukkan daerah berisiko, berada di tengah wilayah Ghana. Jarak dari sungai, hutan, suhu, curah hujan dan elevasi berpengaruh terhadap prevalensi malaria. Ada efek bervariasi dari ketinggian dengan prevalensi penyakit yang dibuktikan dalam model regresi Bayesian. Ada kecenderungan umum kejadian penyakit yang tinggi antara 1-3 km dari tepi hutan. Curah hujan berpengaruh terhadap kejadian Daerah yang memiliki risiko tinggi terhadap penyakit Malaria memiliki temperature 20-350C, kelembaban relatif 55-80%, vegetasi lebat dan terdapat lahan basah. Hasil akhir berupa zonasi daerah berisiko tinggi terkena penyakit Malaria.
Daerah Novo Repartimento dan Tucurui merupakan lingkungan waduk lebih rentan terhadap kejadian malaria. Kejadian malaria memiliki kaitan dengan hidrologi dan waduk, curah hujan dan dinamika populasi.
Tabel. 1.4. Lanjutan No
Peneliti
Judul
8.
Tran, A. (2008)
9.
Lawrence N. Kazembe (2007)
Using Remote Sensing to Map Larva and Adulth Populations of Anopheles hyrcanus(Diptera:Culicidae) A Potential Malaria Vector in Southern France Spatial Modelling and Risk Factors of Malaria Incidence in Northern Malawi
10.
Kiang, R. (2006)
11
Holani, A. (2003)
Tujuan
Metode
Hasil
Pemetaan larva Anopheles hyrcanus (Diptera: Culicidae) di Prancis Selatan
Interpretasi menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi.
Terdapat keterkaitan antara faktor lingkungan dengan banyaknya larva. Ketelitian mencapai (pearson r = 0,97, p< 0,05)
Membuat peta risiko malaria di Malawi bagian utara dengan pendekatan spasial ekologi.
Data kejadian malaria tahun 2002 sampai 2003 dibandingkan dengan faktor lingkungan yaitu ketinggian, curah hujan, kapasitas menahan air tanah (soil water holding capacity)
Meteorological, Environmental Remote Sensing and Neural Network Analysis of The Epidemiology of Malaria Transmission in Thailand.
Untuk mengetahui penularan malaria melalui data iklim dan lingkungan menggunakan data penginderaan jauh dan analisis neural network
Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria Dengan Dukungan Penginderaan Jauh (Studi Kasus di Daerah Endemis Malaria Pegunungan Menoreh Wilayah Perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan DIY
Mengestrak data penginderaan jauh untuk mendapatkan resiko faktor lingkungan , mengestimasi tingkat intensitas penularan malaria, menentukan akurasi estimasi intensitas penularan malaria
Data hujan, temperatur, kelembapan relatif, indeks vegetasi merupakan independent variabel untuk model malaria Metode neural network dan artificial intelligence technique digunakan untuk membuat model pengaruh variabel diatas dengan kejadian malaria. Faktor lingkungan yang berisiko terhadap penularan malaria diperoleh dari hasil interpretasi Landsat TM. Analisis diskriminan digunakan untuk membuat persamaan intensitas penularan malaria.
Risiko malaria (RR> 1) di daerah dataran rendah sebagian besar terletak di sepanjang daerah tepi danau, khususnya di Karonga dan Nkhatabay dan risiko rendah (RR <1) di sepanjang dataran tinggi Nyika dan Vwaza. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi spasial dalam risiko malaria di wilayah tersebut merupakan kombinasi dari berbagai faktor lingkungan. Prediksi kasus malaria tahun 1994-2000 menggunakan metode neural network memiliki akurasi 53%.
23
80% parameter diperoleh dari interpretasi Landsat TM yaitu suhu, kelembaban, kebun campur dan pekarangan perumahan. Persamaan intensitas penularan malaria sbb: Y= 3,198+1,936(suhu udara)+1,341(kepadatan nyamuk vector)+1,971 (kelembaban udara)+1,893 (pekarangan perumahan)+1,339 (kebun campur). Ketepatan estimasi sebesar 95%
Tabel 1.5. Penelitian Tema Leptospirosis Terdahulu No 1.
2.
2.
Peneliti Renata Gracie, Christovam Barcellos, Mônica Magalhães , Reinaldo SouzaSantos and Paulo Rubens Guimarães Barrocas (2014) Tatiana Spinelli Martins Soares, Maria do Rosário Dias de Oliveira Latorre Gabriel Zorello Laporta Márcia Regina Buzzar (2010) Vincent Herbreteau, Florent Demoraes, Wasana Khaungaew, JeanPierre Hugot, JeanPaul Gonzalez, Pattamaporn Kittayapong and Marc Souris (2006)
Judul Geographical Scale Effects on the Analysis of Leptospirosis Determinants
Spatial and Seasonal Analysis on Leptospirosis in The Municipality of São Paulo, Southeastern Brazil, 1998 to 2006
Use of Geographic Information System and Remote Sensing for Assesing Environment Influence on Leptospirosis Incidence, Phrae Province, Thailand
Tujuan
Metode
Mengetahui faktor lingkungan dan sosial ekonomi yang tepat untuk menentukan daerah risiko Leptospirosis pada skala regional, municipal dan lokal. Melakukan analisis spasial dan temporal distribusi Leptospirosis dan mengidentifikasi faktor sosial dan ekologi yang mempengaruhi kejadian leptospirosis
GIS digunakan untuk analisis data. Untuk menentukan hubungan antara kejadian Leptospirosis dengan kondisi lingkungan sosial ekonomi menggunakan Moran’s Index.
Membuat basis data penyakit leptospirosis. Mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan dengan penyakit leptospirosis
Data penggunaan lahan dan indeks vegetasi diperoleh dari pengolahan Citra Aster. Data ini selanjutnya dianalisis dengan kejadian leptospirosis. Pembuatan basis data menggunakan SavGIS.
Indeks Moran digunakan untuk melihat pola spasial kejadian Leptospirosis. Analisis Korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan natara variabel dengan kejadian Leptospirosis.
24
Hasil Pada skala regional terdapat hubungan yang kuat antara kejadian leptospirosis dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah kumuh. Pada skala kota tidak ada korelasi antara kondisi lingkungan sosial ekonomi, sedangkan pada skala lokal terdapat hubungan yang kuat antara kejadian leptospirosis dengan daerah yang terkena banjir. Leptospirosis meningkat pada musim hujan. Di musim kemarau terjadi di beberapa lokasi terutama di wilayah miskin.
72, 9% kejadian Leptospirosis berada pada desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan berada pada wilayah penggunaan lahan pertanian dan kerapatan vegetasi tinggi. Studi ini merupakan studi pendahuluan. Untuk mendetailkan penelitian sebaginya menggunakan unit analisis desa.
Tabel 1.5. Lanjutan. No 3.
Peneliti Barcellos Christovam, Paulo Chagastelles Sabroza. (2000)
4.
Maria Cecilia Vega, Corredor Jacob Opadeyi (2012)
5.
Dwi Sarwani (2005)
Judul Socio-Environmental Determinants of The Leptospirosis Outbreak of 1996 in Western Rio de Janeiro: a Geographical Approach Hydrology and Public Health: The Linkage of Human Leptospirosis and Local Hydrological Dynamics in Trinidad, West Indies Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang)
Tujuan Melakukan analisis hubungan antara data sosial dan lingkungan terhadap kejadian Leptospirosis
Mengetahui hubugan antara kondisi hidrologi dan pelayanan kesehatan terhadap kejadian Leptospirosis
Mengetahui faktor risiko lingkungan yang terdiri dari lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi kejadian leptospirosis berat.
Metode Data yang digunakan meliputi, kepadatan penduduk, pasokan air bersih, tempat pembuangan sampah, kemiskinan, sistem pembuangan kotoran, daerah rawan banjir. Data sosial dan lingkungan dilihat pengaruhnya terhadap penyakit Leptospirosis menggunakan analisis spasial (GIS). GIS dan Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR) digunakan untuk membangaun model ekologi menggunakan faktor curah hujan, pola aliran, drainase tanah dan topographic wetness index.
Hasil Data sosial yang digunakan tidak banyak berpengaruh, pengaruh yang kuat ditunjukkan pada kepadatan penduduk dan lokasi banjir.
Jenis penelitian adalah observasional dengan rancangan kasus kontrol. Jumlah sampel 63 kasus dan 63 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan analisis multvariat dengan metode regresi logistik
Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya sampah di dalam rumah, curah hujan, jarak rumah dengan sungai. Faktor lingkungan biologi yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar rumah
25
Faktor curah hujan, pola aliran, drainase tanah dan topographic wetness index memiliki hubungan pada skala lokal dengan kejadian Leptospirosis
Tabel. 1.6. Penelitian Tema Tuberkulosis Terdahulu No 1.
Peneliti
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
Wenyi Sun, Jianhua Gong, Jieping Zhou, Yanlin Zhao, Junxiang Tan, Abdoul Nasser Ibrahim, Yang Zhou (2015)
A Spatial, Social and Environmental Study of Tuberkulosis in China Using Statistical and GIS Technology
Mengetahui pengaruh sosial dan lingkungan terhadap penyakit Tuberkulosis.
Hasil analisis menggunakan EFA dan PLS-PM menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian TB dengan faktor sosial dan lingkungan. Analisis GWR menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan sosial menunjukkan pada area yang berbeda hubungannya berbeda.
3.
K. Ram Mohan Rao, Yogesh Kant, Kapil Yadav, Satya Chandra (2014)
Disease Modeling – An Alert System for Informing Environmental Risk Factor for TB Infection
Membuat peta risiko penyakit Tuberkulosis. Mengetahui hubungan antara variabel lingkungan, iklim dan sosial ekonomi terhadap penyakit Tuberkulosis
4.
Srinivasan R, Venkatesan P (2013)
Bayesian Model For Spatial Dependence and Prediction of Tuberculosis
Mempelajari pola spasial dan ketergantungan spasial penyakit Tuberkulosis. Mendapatkan informasi tentang penyebaran penyakit dan juga untuk memperkirakan lokasi penyakit.
Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk analisis pengaruh faktor lingkungan dan sosial terhadap penyakit Tuberkulosis. Partial Least Square Path Modeling (PLSPM) untuk menganalisis antara faktor lingkungan dan sosial dengan kasus Tuberkulosis. GWR model digunakan untuk melihat pengaruh lokal antara faktor lingkungan dan sosial dengan kejadian Tuberkulosis. Model regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara curah hujan, suhu, fasilitas kesehatan, kemiskinan, kepadatan penduduk Risiko dengan kejadian Tuberkulosis. dihitung dengan rata – rata kemungkinan terjadinya tuberkulosis dan kerentanan terhadap infeksi. Peta risiko dihitung menggunakan teknik statistik. Sistem peringatan dikembangkan dengan dan dipublikasikan menggunakan GIS melalui internet. SAS dan WinBUGS software yang digunakan untuk analisis spasial TB. Bayesian Kriging digunakan untuk melihat pengaruh faktor penyebab penyakit Tuberkulosis.
26
Variabel temperatur memiliki R sebesar 0.58, curah hujan 0.41, HIV 0.42, jumlah penduduk 0.09, dan pendapatan R=0.05. Daerah yang sangat rentan terdapat di wilayah selatan dan barat Uttarakhad State.
Kriging telah meningkatkan prediksi risiko tuberkulosis di bagian kota Chennai. GIS efektif untuk analisis spasial dan analisis statistik.
Tabel. 1.6. Lanjutan. No 5.
Peneliti Venkatesan, P., Srinivasan, R., and C. Dharuman (2012)
Judul Bayesian Conditional Autoregresive Model For Mapping Tuberkulosis Prevalence in India
Tujuan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membangun Bayesian Model CAR spasial untuk mempelajari pola TB di India. Data Survei Kesehatan Keluarga Nasional Tuberkulosis
6
Erlangga Satya (2009)
Menentukan dan membuat peta resiko TB di Kota Yogyakarta menggunakan spasial statistic analysis
7.
Irma Prasetyowati, Chatarina Umbul Wahyuni (2009)
Pemodelan Spasial Kejadian Penyakit Tuberkulosis Melalui Analisis Citra Quickbird dan SIG di Kota Yogyakarta Hubungan Antara Pencahayaan Rumah, Kepadatan Penghuni dan Kelembaban, dan Risiko Terjadinya Infeksi TB Anak SD di Kabupaten Jember
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis risiko pencahayaan, kepadatan penghuni dan kelembaban terhadap terjadinya infeksi TB (TB Infection) anak SD di wilayah kota di Kabupaten Jember.
Metode Bayesian Conditional Autoregressive (CAR) Model adalah teknik pemetaan penyakit yang digunakan untuk pemodelan risiko penyakit. Informasi dari daerah yang berbatasan dengan daerah penelitian digunakan juga dalam pemodelan ini. Teknik simulasi digunakan untuk memperkirakan parameter. Software WinBUGS digunakan untuk pemetaan penyakit CAR Model tuberkulosis. Parameter penentu kerentanan TB diinterpretasi dari citra Quickbird dan survai lapangan. Model indeks digunakan untuk mebuat kerentanan terhadap TB, sedangkan peta resiko dibuat dengan metode Ordinary Least Square. Teknik pengumpulan data dengan wawancara pada responden dan observasi pada rumah responden. Data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis data dalam tabel frekuensi dan persentase. Untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh variabel terikat dan variabel bebas secara bivariat digunakan uji regresi logistik sederhana dengan metode enter.
27
Hasil Hasil penelitian mengungkapkan bahwa negara bagian timur laut yang memiliki risiko yang lebih tinggi TB dibandingkan lainnya daerah. Metode CAR Bayesian terbukti menjadi alat yang berguna untuk pemodelan penyakit tuberkulosis.
Kepadatan permukiman, jarak terhadap jalan Penggunaan lahan, jarak terhadap sungai, jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap pusat kegiatan, kepadatan permukiman dan potensi interaksi keruangan berpengaruh terhadap kejadian TB Besar risiko terjadinya infeksi TB anak pada pencahayaan yang tidak memenuhi syarat adalah 16.9 kali daripada pencahayaan yang memenuhi syarat. Besar risiko terjadinya infeksi TB anak pada kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat adalah 4.6 kali lebih besar daripada kepadatan penghuni yang memenuhi syarat. Ada pengaruh kelembaban terhadap terjadinya infeksi TB anak. Untuk setiap kenaikan kelembaban 1% maka besar risiko terjadinya infeksi TB anak akan meningkat menjadi 1.2.
28