BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Latar belakang pemilihan judul skripsi mengenai Implikasi Dinamika Intra-ASEAN dalam sengketa Laut Cina Selatan terhadap Komunitas Keamanan ASEAN didasari oleh ketertarikan penulis kepada pemberitaan yang memperlihatkan situasi memanas yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS) empat tahun belakangan. Sedikitnya enam pihak terlibat langsung, yaitu Cina, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia.1 Pemberitaan-pemberitaan yang ada cenderung menonjolkan kekuatan militer antara Cina, Filipina, dan Vietnam. Ketiga negara tersebut saling provokasi melalui media massa di negara masing-masing dan sempat pamer kekuatan militer di perairan LCS dengan jalan menyelenggarakan operasi rutin atau latihan militer. Yang menambah menarik adalah bahwa konflik LCS ini bersamaan dengan dua perkembangan dunia terakhir. Pertama, kekuatan Cina yang semakin disegani dunia, terutama di bidang kemajuan ekonomi. Kedua, peralihan kebijakan luar negeri Amerika Serikat menjadi “high-profile intervention” di kawasan Pasifik.2 Dua rivalitas itu kemudian juga akan turut mempengaruhi keamanan regional. Selain itu, India dan Australia juga sangat mungkin terlibat dalam pusara konflik. Melihat beberapa perkembangan dan fenomena itu, Robert D. Kaplan sampai mengatakan bahwa Laut Cina Selatan adalah “the future conflict”.3 Laut Cina Selatan merupakan laut yang luasnya 3,5 juta kilometer persegi. Luas itu 39 persen dari total luas wilayah laut di Asia Tenggara yang berjumlah kurang lebih 8,9 juta kilometer persegi. Bila dibandingkan dengan total laut dunia, luas laut LCS sekitar 2,5
Penulis sengaja memakai kata “pihak” dan bukan “negara” karena adanya “One-China Policy” dalam masalah penyebutan terhadap Taiwan. Indonesia mengakui “One-China Policy” dan tidak menganggap Taiwan sebagai negara tersendiri. 2 Chinascope, South China Sea Issue: The U.S. Moves from Neutrality to High-Profile Intervention, Maret/April 2011, Issue 50, h. 25-27, http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=a9h&AN=60307657&site=ehost live, diakses tanggal 18 Maret 2013. 3 Robert D. Kaplan, “The South China Sea is the Future of Conflict”, Foreign Policy (online), September/ Oktober 2011, http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/08/15/the_south_china_sea_is_the_future_of_conflict?page=0,0, diakses pada 19 Maret 2013. Potensi keterlibatan India juga bisa dilihat dari langkah India membangun kekuatan laut dan menjalin aliansi baru dengan negara-negara di Asia Tenggara. René L Pattiradjawane, “Konflik adalah Pilihan, Bukan Keharusan”, Kompas, 7 April 2012, h. 8. 1
1
persennya.4 LCS tergolong laut setengah tertutup atau semi-closed sea yang 90 persen diantaranya dilingkari oleh daratan dan pulau-pulau. Di tengah-tengah LCS, terdapat dua kepulauan yang menjadi perselisihan antarpihak yang mengelilinginya, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Dua kepulauan itu tak pernah tercatat dihuni secara tetap oleh manusia karena kebanyakan hanya berupa karang-karang kecil.5 Kep. Spratly terdiri lebih dari 100 pulau kecil, karang, beting, dan gundukan daratan. Dari titik terdekat, jaraknya 100 mil dari pesisir Palawan, 350 mil dari pesisir Vietnam, dan sekitar 400 mil di selatan Kep. Paracel. Sementara Kepulauan Paracel terletak agak di utara. Kepulauan Paracel ini terdiri dari 15 pulau dan beberapa beting dan karang. Jaraknya sekitar 150 mil dari sebelah selatan pesisir Pulau Hainan, dan kira-kira 240 mil dari Da Nang di Vietnam.6 Selama ini konflik yang terkait dengan Kepulauan Spratly lebih sering muncul karena beberapa negara ASEAN terlibat sekaligus, yaitu Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Inilah yang menyebabkan Kep. Spartly menjadi lebih kompleks. Dalam peta, Kep. Spratly terletak lebih di tengah-tengah Laut Cina Selatan daripada Kep. Paracel yang agak ke utara. Sementara itu, karena letaknya lebih ke utara dan dekat dengan Teluk Tonkin, konflik Kep. Paracel melibatkan dua negara saja, yaitu Cina dan Vietnam (Lihat Gambar 1).7
Gao Zhiguo, “South China Sea: Turning Suspicion into Mutual Understanding and Cooperation”, dalam Saw Swee-Hock, Sheng Lijun, dan Chin Kin Wah (eds.), ASEAN-China Relations: Realities and Prospects (Singapura: ISEAS Publishing, 2005), h. 330. 5 Syamsumar Dam, Politik Kelautan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 242. 6 Lihat, Chi-Kin Lo, China’s Policy Toward Territorial Disputes: The Case of the South China Sea Islands (London and New York: Routledge, 1989), h. 10. 7 Sebenarnya ada dua gugusan kepulauan lagi di LCS yang diklaim oleh Cina, yaitu Pratas (Dongsha Islands) dan Macclesfield Bank (Zhongsha Island). Pratas terletak jauh di sebelah timur laut Kepulauan Paracel. Macclesfield Bank terletak sangat dekat di sebelah timur Kepulauan Paracel. Namun, klaim Cina atas dua kepulauan itu kurang menjadi kontroversi dan relatif tidak terlalu penting. Penyebabnya ada dua. Pertama, Pratas terletak lebih dekat dengan Cina, hanya sekitar 170 mil dari Hong Kong, daripada dengan Vietnam dan Filipina. Dua, fisiknya tidak signifikan. Pratas hanya terdiri dari satu pulau sangat kecil dan dua gundukan tanah. Sementara Macclesfield hanya berupa atol atau pulang karang yang kadang berada di bawah air. Namun, untuk Pratas, kini diduduki oleh Taiwan. Lihat, Chi-Kin Lo, Op. Cit., h. 25. 4
2
BATAS LAUT CINA SELATAN UTARA: CINA, TAIWAN TIMUR: FILIPINA BARAT: VIETNAM, THAILAND, MALAYSIA SELATAN: MALAYSIA, BRUNEI DARUSSALAM
Gambar 1. Letak Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly
Apa sebenarnya yang membuat LCS ini menarik bagi banyak pihak pengklaim? Pertama, faktor geografis. Kawasan Laut Cina Selatan merupakan jalur strategis pelayaran yang enam kali lebih padat dan lebih sibuk daripada pelayaran di Terusan Suez dan 17 kali lebih padat daripada Terusan Panama.8 Posisinya sangat signifikan dalam pelayaran internasional. Lebih dari 40.000 ribu kapal melewati jalur Laut Cina Selatan setiap tahunnya, setelah melewati jalur Selat Malaka.9 Lebih dari separuh kapal supertanker dan kapal niaga di seluruh dunia melewati perairan Laut Cina Selatan.10 Tak heran, dengan menguasai kawasan ini, suatu negara akan memiliki kekuasaan yang jauh lebih luas. Kedua, faktor ekonomis. Kedua kepulauan itu diduga menyimpan sumber daya alam yang langka seperti minyak dan gas alam, serta ikan. Dalam konteks yang lebih rinci, konflik yang lebih didasari oleh kepentingan akan minyak merupakan konflik antara Cina-Vietnam, sementara yang dipengaruhi oleh sumber daya ikan yang sangat melimpah terjadi antara Cina-Filipina. Menurut perkiraan Cina, LCS memiliki kandungan minyak kira-kira 105-213 miliar barrel.
8
Robert D. Kaplan, Op. Cit. Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 205. 10 Gao Zhiguo, “South China Sea: Turning Suspicon into Mutual Understanding and Cooperation”, dalam Saw Swee-Hock, Sheng Lijun, dan Chin Kin Wah (eds.), Loc. Cit. 9
3
Sementara menurut U.S. Geological Survey, kandungannya kira-kira 28 miliar barrel.11 Di kawasan kaya minyak itu sudah beroperasi perusahaan-perusahaan eksplorasi seperti Exxon Mobil Corp, Forum Energy Plc, Vietnam Oil and Gas Gorup atau PetroVietnam, serta Talisman Energy Inc.12 Dari segi kekayaan ikan, LCS menyumbang 10 persen dari total penangkapan ikan di seluruh dunia dan menjadi sumber protein penting bagi 600 juta orang yang hidup di sekitarnya. Dari segi kekayaan ekologi, terdapat 51 jenis bakau dan 450 spesies karang di LCS yang dicatat oleh Filipina.13 Potensi yang menggiurkan itu membuat negara-negara di sekitarnya tertarik untuk memperoleh manfaat darinya. Meskipun belum terlalu pasti seberapa besar potensi yang terkandung di LCS, kompetisi berebut akses dan kepemilikan ini tetap keras. Bagi pihak yang terlibat, yang penting adalah jangan sampai area yang kaya sumber daya ini dikuasai dan dieksplorasi oleh pihak lain. Dengan mengetahui dua faktor penting di atas kita bisa memperkirakan akan ada setidaknya tiga implikasi saat terjadi konflik di area LCS. Pertama, mengenai kebebasan navigasi. Dengan menjadi jalur pelayaran niaga dunia, konflik militer terbuka dapat mengancam kapal-kapal yang melintas. Ini yang selalu dikhawatirkan oleh Amerika Serikat dan Jepang yang menginginkan kebebasan pelayaran dagang dan militer. Kedua, konsekuensi ekonomi. Hubungan ekonomi yang mengglobal telah menyebabkan jalur ini sangat penting. Kebanyakan sumber daya impor Jepang, misalnya, diangkut melalui LCS. Bila wilayah ini berkonflik dan harus ditutup meskipun beberapa saat, bukan hanya Jepang saja yang terkena efek buruknya. Dengan kekuatan ekonominya selama ini, Jepang mungkin saja menghentikan bantuan-bantuan dan menunda investasi di negara-negara di Asia Tenggara. Hal itu akan memberikan dampak buruk bagi perekonomian kawasan. Negara-negara seperti Amerika Serikat juga mungkin akan mengajak negara-negara besar lain di seluruh dunia
11
Donald E. Weatherbee, International Relations in Southeast Asia The Struggle for Autonomy (Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2005), h. 134. Tapi menurut berbagai sumber, perhitungan mengenai potensi di Laut Cina Selatan sangat bervariasi dan belum pasti. 12 PetroVietnam, misalnya, telah menghasilkan 24,4 juta tons atau 26 persen dari total produksi minyak pada tahun 2010, di tiga titik Laut Cina Selatan. Untuk sementara, Vietnam merupakan penghasil minyak utama di wilayah itu. Vietnam juga memiliki 60 kontrak kerja sama produksi dan eksplorasi dengan beberapa perusahaan minyak luar negeri. Lihat, Leszek Buszynski, The South China Sea: Oil, Maritime Claims, and U.S.-China Strategic Rivalry, http://csis.org/files/publication/twq12springbuszynski.pdf, diakses pada 13 Maret 2013. 13 Jumlah tersebut sangat jauh dibandingkan 5 jenis bakau dan 35 spesies karang yang ditemukan di Atlantik. Lihat, Gao Zhiguo, Loc. Cit.
4
untuk memberikan sanksi ekonomi bagi pihak-pihak yang terlibat.14 Ketiga, secara politis, negara-negara di sekitar kawasan tersebut memiliki sejarah konflik yang panjang. Apabila terjadi konflik, diperkirakan konflik itu akan menimbulkan pengaruh yang luas dan melibatkan banyak negara. Apalagi negara-negara tersebut memiliki hubungan dengan negara besar di dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang.15 Tidak heran kalau Amitav Acharya menyebut LCS sebagai “flashpoint of conflict” pasca-Perang Dingin.16 ASEAN sebagai organisasi regional tidak bisa tinggal diam. Hal ini beriringan dengan posisi ASEAN yang semakin dianggap sebagai kekuatan penting dalam politik internasional dan deklarasi Komunitas Keamanan ASEAN pada tahun 2003. Pasca-Perang Dingin, sehubungan dengan makin lengkapnya negara-negara di Asia Tenggara masuk menjadi anggota ASEAN, ASEAN mulai lebih gencar dan melakukan banyak cara untuk menyelesaikan sengketa ini. Permasalahan LCS ini pernah dibahas dalam ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1994, 2001, dan 2011. KTT ASEAN juga cukup rajin dalam pembahasan LCS dengan sedikitnya membahasnya di lima KTT, yaitu KTT ASEAN V, XI, XVII, XX, dan XIX. Pada tahun 2011, permasalahan LCS diberi perhatian dalam ASEAN Ministrial Meeting (AMM). Beberapa lokakarya dan joint working group juga telah diselenggarakan. Dengan itu semua, ASEAN terlihat berusaha menjadi “the driving forces” di kawasan, dengan memegang teguh norma-norma ASEAN, diantaranya dengan menentang penggunaan kekerasaan, mengutamakan solusi damai, dan mengadakan kerjasama efektif di kalangan ASEAN.17 Pertanyaannya, mengapa masalah LCS belum juga tuntas? Apakah ASEAN, seperti yang pernah disebut oleh David Irvine dengan keras, adalah “klub omong kosong yang sangat lambat mengambil keputusan”?18 Makmur Keliat menyebut, penyebabnya adalah prinsip “ASEAN Way”, yakni cara kerja berdasarkan musyawarah Ralph A. Cossa, “Security Implications of Conflict in the South China Sea: Exploring Potential Triggers of Conflict”, A Pacific Forum Special Report, Hawaii, Maret 1998, h. v. 15 Hasjim Djalal, et.al., Usaha-Usaha Mengalihkan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan Menjadi Potensi Kerjasama, kerja sama penelitian Yayasan Pusat Studi Asia Tenggara dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (Jakarta: Yayasan Pusat Studi Asia Tenggara, 1995), h. 3. 16 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order, 2nd Edition (New York: Routledge, 2009), h. 157. 17 Norma yang dikenal dengan “ASEAN Way” ini telah tercantum di Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang ditandatangani dalam KTT Bali pada bulan Februari 1976. Lihat, Departemen Luar Negeri RI, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa:Buku IV B Periode 1966-1995(Masa Orde Baru) (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1998), h. 234-236. 18 Seperti yang ditulis Mohammad Sabir, David Irvine mengungkapkannya dalam artikel “Making Haste Less Slowly: ASEAN from 1975”. Lihat, Departemen Luar Negeri RI, ibid., h. 208. 14
5
untuk mencapai mufakat. Dalam masalah LCS, ASEAN belum mampu mendisiplinkan perilaku para anggotanya.19 ASEAN juga tidak satu sikap. Padahal, Wapres Indonesia Boedinono dalam KTT Ke-20 ASEAN menegaskan bahwa “ASEAN harus satu sikap, terutama dalam perincian code of conduct”.20 Masalahnya, mantan Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan tidak terima dengan kritik bahwa kerja organisasi yang dipimpinnya tidak efektif. Surin mengatakan, “Kita (pihak-pihak yang terlibat) semua berkomitmen dan bekerja sama di berbagai tingkatan, mulai dari level lapangan hingga tingkat politik dan pemimpin. Dengan demikian, bersama, kita bisa mengirim sinyal dan pesan yang tepat ke dunia kalau kami di sini mengelola urusan kami secara efektif.”21 Mengamati perdebatanperdebatan itu, penulis tertarik untuk membahas dinamika intra-ASEAN dalam sengketa sengketa Laut Cina Selatan dan implikasinya bagi proses Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ ASC).
B. Rumusan Masalah Penulisan skripsi ini berusaha menjawab: Bagaimana dinamika intra-ASEAN dalam menghadapai sengketa Laut Cina Selatan? Apa implikasi dinamika tersebut terhadap Komunitas Keamanan ASEAN?
C. Kerangka Teori Skripsi ini akan menggunakan komunitas keamanan sebagai dasar kerangka teori. Komunitas keamanan sangat penting untuk diketahui terlebih dulu. Kajian teori mengenai komunitas keamanan tercatat pertama kali ditawarkan oleh Karl Deutsch. Menurut Deutsch, dalam tulisannya berjudul Security Community (1961), “A security community is considered to be a group which has become integrated, where integration is defined as the attainment of a sense of community accompanied by formal and informal institutions and practices, sufficiently strong and widespread to assure peaceful change among members of a group with reasonable certainty over a long period of time.”22 Definisi komunitas keamanan dari Karl Deutsch sesuai dengan teks Bali Concord II, bahwa tiga pilar komunitas ASEAN “are “Pola Kerja ASEAN Dikritisi”, Kompas, 4 September 2012, h. 10. “ASEAN Tak Kompak Hadapi China”, Kompas, 5 April 2012, h. 10. 21 “Hillary Clinton Puji Indonesia”, Kompas, 5 September 2012, h. 8. 22 Karl W. Deutsch, “Security Community”, dalam James N. Rosenau (ed.), International Politic and Foreign Policy (New York: The Free Press of Glencoe. Inc., 1961). 19 20
6
closely intertwined and mutually reinforcing for the purpose of ensuring durable peace, stability and shared prosperity in the region”.23 Dengan demikian, komunitas keamanan memiliki beberapa poin berikut: (1) dibentuk oleh dua atau lebih unit politik, (2) memiliki banyak transaksi dan interaksi yang terus-menerus, (3) bertujuan untuk menjamin perdamaian di antara sesama anggota dalam waktu yang lama, dan (4) tercapainya integrasi berupa “we feeling” di antara para penduduk. Dengan poin-poin kunci tersebut, Deutsch kemudian membagi komunitas keamanan menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah Amalgamated Security Community (ASC). Tipe ini terjadi ketika dua unit atau lebih yang independen bergabung membentuk suatu pemerintahan yang lebih besar. Contoh dari ASC ini misalnya Amerika Serikat, yang pada awalnya terbentuk dari 13 negara bagian. Tipe kedua adalah Pluralistic Security Community (PSC). Tipe ini terjadi ketika unit-unit ini membentuk suatu institusi bersama yang independen secara politik dan hukum. Negara-negara yang tergolong PSC ini memiliki nilai-nilai dan berusaha untuk membangun identitas dan loyalitas bersama.24 Ciri pembeda dalam masyarakat keamanan pluralistik adalah “semua hubungan di antara unit-unit dapat diramalkan berjalan damai dan bila konflik timbul, biasanya akan diselesaikan dengan kompromi, penghindaran, dan imbalan, bukan dengan ancaman, penangkalan, atau kekuatan”.25 Contoh dari tipe ini adalah Atlantik Utara antara Amerika Serikat dan Kanada. Menurut para akademisi, ASEAN sebagai sebuah contoh dari PSC bisa dikategorikan sebuah komunitas keamanan yang longgar, dan memungkinkan untuk menjadi komunitas keamanan yang utuh.26 Berbeda dengan studi yang menyatakan bahwa komunitas keamanan ini memunculkan kebudayaan regional bersama seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan sebagainya, menurut Amitav Acharya, komunitas keamanan bisa saja terbentuk di antara negara-negara yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai demokrasi liberalis atau hak asasi manusia. Yang lebih penting adalah masyarakatnya selalu memelihara hubungan damai. Amitav dalam Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order tidak mengharapkan komunitas keamanan dalam term Cristopher Roberts, ASEAN’s Myanmar Crisis: Challenges to the Pursuit of a Security Community (Singapore: ISEAS, 2010), h. 2. 24 CPF. Luhulima, et. al., Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 74. 25 K. J. Holsti, diterjemahkan oleh M. Tahir Azhary, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Edisi Keempat Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), h. 212. 26 Luhulima, CPF., et. al., Op. Cit., h. 76-77. 23
7
Deutsch, tapi “to use the idea of security community as a framework within which to examine the revolution and nature of ASEAN‟s political security role and identify it faces in developing a viable security community”.27 Dalam proses menuju komunitas keamanan itu, menurut Deutsch, sebagaimana ditulis K. J. Holsti, setidaknya ada tiga hal yang perlu diamati di antara negara-negara yang ingin membentuk masyarakat keamanan, dalam hal ini negara-negara anggota ASEAN. Pertama, para pembuat kebijakan dua unit politik atau lebih dan masyarakat pada umumnya berhenti merenungkan kemungkinan perang bersama. Kedua, dua negara atau lebih yang telah membentuk organiasi kawasan berhenti mengalokasikan sumber daya untuk membangun kemampuan militer yang ditujukan kepada satu sama lain. Ketiga, ada penerimaan dan kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan dan perjanjian tertentu bila tujuan kolektif unit-unit tidak selaras.28
D. Argumen Utama Selama ini, sengketa Laut Cina Selatan cenderung dinamis. Pembahasan dan usaha ASEAN mengenai Laut Cina Selatan mengalami pasang-surut. Sampai saat ini, masih tidak ada kesatuan sikap negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi sengketa Laut Cina Selatan. Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam cenderung menanggapi dengan keras, dan bahkan cenderung setuju mengerahkan kekuatan militer. Sementara Malaysia dan Brunei Darussalam cenderung lebih tenang. Negara seperti Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat langsung, malah terbilang aktif mendorong stabilitas dan perdamaian di wilayah Laut Cina Selatan. Tidak adanya kesatuan ini berimplikasi pada terhambatnya pelaksanaan Komunitas Keamanan ASEAN. Sebab, pertama, masih ada negara-negara yang memiliki dan memilih reaksi dengan mempertimbangkan kekuatan militer yang dikhawatirkan akan menuju kemungkinan perang bersama. Hal ini tidak bisa lepas dari kekuatan-kekuatan interregional dan global untuk ikut campur terlalu dalam melalui negara-negara ASEAN, seperti Amerika Serikat melalui Filipina atau Cina melalui Kamboja. Kedua, ASEAN tidak mampu mencegah Filipina dan Vietnam untuk mengerahkan kekuatan, yang dikhawatirkan akan mengarah kepada perlombaan senjata atau kemampuan militer yang ditujukan kepada satu sama lain.
27 28
Amitav Acharya, Op. Cit., h. 3. K. J. Holsti, Op. Cit., h. 212-213.
8
Di sini termasuk munculnya modernisasi militer di antara negara-negara pengklaim. Ketiga, sensitifnya masalah ini membuat negara-negara yang terlibat langsung tidak mematuhi tata norma perilaku yang berlaku di wilayah Laut Cina Selatan. Hal ini berarti tidak ditaatinya DOC. ASEAN juga gagal bermufakat untuk memiliki satu pendapat mengenai kode tata perilaku di LCS dan pemberian sanksi bila terjadi suatu insiden. Dengan demikian, sulit membayangkan Komunitas Keamanan ASEAN akan terwujud dalam waktu dekat.
E. Metode Penelitian Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dua metode, yaitu: (a) studi literatur; dan (b) analisis dokumen. Studi literatur dilakukan dengan melihat secara teoretis perkembangan yang terjadi di lapangan, dengan melakukan studi atas artikel yang ada di jurnal maupun publikasi ilmiah lain, baik dalam bentuk cetak maupun bentuk elektronik seperti e-book dan website. Analisis dokumen dilakukan dengan menganalisis pemberitaan media massa, majalah, dan menginterpetasikannya sesuai dengan hasil studi literatur. Dengan begitu, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Detail yang akan dipaparkan dalam skripsi ini dibangun melalui data sekunder.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini berisi pemaparan yang dibagi dalam empat bagian utama, yaitu: 1. Bab 1 adalah bagian pendahuluan yang isinya latar belakang, rumusan masalah, kerangka teori, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab 2 berisi penjabaran singkat peta konflik di LCS, kepentingan negara-negara, dan akomodasi ASEAN. 3. Bab 3 adalah bagian yang memaparkan perbedaan sikap antarnegara anggota ASEAN dalam sengketa Laut Cina Selatan, dan implikasinya terhadap Komunitas Keamanan ASEAN 2015. 4. Bab 4 merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini.
9