BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem pemerintahan di Republik Indonesia sudah berganti-ganti sejak merdeka tahun 1945. Sistem federasi, sentralistik sampai desentralisasi pernah diigunakan sebagai sistem pembangunan di Indonesia. Sejak Era reformasi, Republik
Indonesia
menggunakan
desentralisasi
sebagai
sistem
pemerintahannya. Para ahli menilai bahwa sistem desentralisasi merupakan sistem yang tepat dengan karakteristik Indonesia yang heterogen. Hal ini merupakan sistem yang berkebalikan dengan sistem otoriter yang ditepakan oleh Presiden Soeharto di Era Orde Baru. Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk penerapan sistem desentralisasi di Indonseia, landasan pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam UU no 32 tahun 2004. Sayang, Otonomi daerah diinterpretasikan lain oleh daerah sehingga pemekaran daerah seakan tidak berhenti, setelah reformasi sudah ratusan kabupaten dan 5 provinsi baru terbentuk. Pembentukan ini banyak dilatarbelakangi politis, bukan karena kebutuhan masyarakat. Hal ini yang menjadi latar belakang pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no 78 tahun 2008 yang mengatur pembentukan, pemisahan dan penggabungan daerah agar pembetukan suatu daerah didasarkan pada keputusan logis bukan kepentingan politik. Pemekaran daerah terdapat beberapa variasi yaitu pemekaran provinsi, kabupaten menjadi kabupaten, kabupaten menjadi kota. Sebelum adanya PP 78 tahun 2008 tersebut, pemekaran daerah dilandasi oleh kepentingan politik sehingga dikhawatirkan akan merugikan daerah induk maupun daerah otonom baru. Era globalisasi menuntut siapa yang kuat maka yang akan bertahan dan yang lemah hanya akan menjadi penonton, dalam menghadapi globalisasi perlu adanya daya saing. Daya saing merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Daya saing diperlukan suatu daerah untuk bersaing di tingkat global dalam segala aspek terutama ekonomi.
1
Daerah yang mempunyai daya saing tinggi maka potensinya dapat dimaksimalkan sehingga pembangunan akan berjalan dengan baik. Daerah yang memiliki daya saing rendah maka hanya akan menjadi daerah konsumen sehingga pembangunan daerahnya dilandasi oleh konsumsi bukan produksi. Daya saing juga mencerminkan kinerja pembangunan daerah, apabila daerah memiliki daya saing yang tinggi maka tentu pembangunan wilayahnya berjalan dengan baik, sebaliknya daerah yang memiliki daya saing yang buruk mencerminkan bahwa pembangunan wilayahnya tidak berjalan dengan yang diharapkan. Kabupaten Malang merupakan salah satu daerah yang memiliki kontribusi ekonomi besar di Provinsi Jawa Timur. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi Kabupaten Malang terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) total Provinsi Jawa Timur selama tahun 1996-2010 selalu konsisten di peringkat 5 dengan rata-rata 4,46 % per tahun , dibawah Kota Surabaya, Kota Kediri, Gresik dan Sidoarjo. Daerah yang memiliki kontribusi besar dalam ekonomi jawa timur hampir semua berlokasi di utara jawa, sedangkan Kabupaten Malang berada di selatan. Isu kesenjangan pembangunan antara pulau jawa bagian utara dengan selatan membuat penelitian ini diperlukan untuk mengidentifikasi daya saing Kabupaten Malang sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Jawa Timur yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Kabupaten Malang juga mengalami pemekaran daerah yaitu Kota Batu, padahal potensi ekonomi yang ada di Kota Batu sangat tinggi sebagai kota pariwisata. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan daya saing Kabupaten Malang sebelum dan selama pemekaran daerah sehingga dapat dijadikan referensi pemerintah Kabupaten Malang untuk mengembangkan daya saing 2. Perumusan Masalah Otonomi daerah merupakan peluang untuk kabupaten/kota untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Beberapa kewenangan pembangunan
2
telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dari pusat. Pembangunan yang dilakukan daerah dianggap merupakan keuntungan karena pemerintah daerah lebih mampu mengenali karakteristik dan masalah yang ada di daerah. Penerapan Otonomi daerah hampir berbarengan dengan penerapan era globalisasi merupakan momentum yang baik untuk pembangunan daerah. Era globalisasi yang menuntut persaingan global membutuhkan kekuatan daya saing untuk tetap bertahan. Otonomi daerah memberikan peluang untuk daerah mampu meningkatkan daya saingnya karena sebagian besar porsi pembangunan wewenang pemerintah daerah. Daya saing merupakan salah satu hal yang sedang diperhatikan oleh pemerintah pusat agar daerah-daerah mampu bersaing di tingkat nasional bahkan global. Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini spesial karena merupakan salah satu dari 5 kabupaten/kota yang memiliki kontibusi besar terhadap PDRB provinsi. Kabupaten Malang satu-satunya kabupaten/kota tersebut yang berlokasi di bagian selatan Pulau Jawa. Perkembangan bagian selatan pulau jawa yang tidak sepesat di bagian utara Pulau Jawa merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh Kabupaten Malang. Kesenjangan antara Pulau Jawa bagian utara dan selatan merupakan salah satu permasalahan yang ada di Pulau Jawa. Luas Wilayah dan lokasi Kabupaten Malang dapat menjadi hambatan dan tantangan untuk meningkatkan daya saing daerahnya Penelitian ini perlu untuk mengidentifikasi daya saing Kabupaten Malang yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang ada di Provinsi Jawa Timur. Kesempatan yang dimiliki oleh Kabupaten Malang untuk meningkatkan daya
saingnya
karena
pembangunan sudah
diberikan
wewenangnya kepada daerah dalam era otonomi daerah. Kewenangan pemerintah daerah yang besar dalam pembangunan merupakan peluang Kabupaten Malang untuk mampu bersaing dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Timur dengan segala potensi yang dimilikinya. Peningkatan daya saing merupakan akumulasi pembangunan sektor-sektor yang menjadi
3
indikator daya saing. Koordinasi pembangunan lintas sektor di Kabupaten Malang merupakan salah satu keharusan untuk meningkatkan daya saing Kabupaten Malang dalam era otonomi daerah juga mengalami pemekaran daerah dengan terbentuknya Kota Batu menjadi daerah administrasi sendiri. Pemekaran Kota Batu ditetpakan melalui UU no 1 tahun 2001. Kota Batu sering disebut Kota Wisata Batu karena Pariwisata merupakan salah satu andalan dari daerah ini bahkan ada yang memberi julukan “Swiss Kecil”. Potensi wisata yang besar jelas dapat menggerakkan ekonomi masyarakat dan sektor lain. Hal ini tercermin dari peningkatan nilai PDRB dari sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menyumbang 46.5 % dari keseluruhan PDRB. Kota Wisata Batu merupakan salah satu destinasi wisata utama di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Malang dengan segala potensi, hambatan dan tantangan yang dihadapi, apakah mampu meningkatkan daya saing selama otonomi daerah apalagi dengan statusnya sebagai salah satu kontibutor terbesar PDRB provinsi Jawa Timur. . Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah daya saing daerah Kabupaten Malang dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sebelum dan selama masa otonomi daerah ? 2. Bagaimanakah dinamika nilai indikator daya saing daerah sebelum dan selama masa otonomi daerah ? 3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 1. Mengetahui dinamika daya saing daerah Kabupaten Malang dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sebelum dan selama masa Otonomi daerah 2. Mengetahui dinamika masing-masing nilai indikator daya saing daerah sebelum dan selama masa Otonomi daerah
4
Manfaat yang diharapkan peneliti terhadap hasil penelitian ini adalah : 1. Syarat untuk mendapatkan gelar sarjana tingkat S1 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 4.
Tinjauan Pustaka A. Otonomi Daerah Sejarah Sistem Pemerintahan Di Indonesia Perjalanan desentralisasi di Indonesia telah berlangsung lama bahkan sebelum masa kemerdekaan. Sub-bab ini akan menjabarkan perjalanan desentralisasi dari masa kolonial belanda sampai dengan era reformasi. Terdapat 5 Periode yaitu masa Kolonial belanda, jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Masa kolonial Belanda merupakan masa penjajahan yang lama bagi Indonesia, awalnya Pemerintah kompeni memakai sistem sentralistik untuk mengontrol daerah jajahan akan tetapi sejak 1903 Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan desentarlisasi yang bertujuan untuk meringankan tugas pemerintah pusat. Desentralisasi yang dibuat belanda hanya setengah hati karena pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan, Sentralisasi jelas terlihat saat kepemimpinan Presiden Soeharto yang”berjasa” menumpas PKI, Soeharto tidak ingin pemberontakan terjadi lagi. Menurutnya desentralisasi justru akan mengancam integrasi nasional karena dianggap terlalu banyak menyerahkan wewenang kepada pemerintahan daerah. penyerahan wewenang terlalu besar kepada daerah ditakutkan akan muncul gejolak-gejolak di daerah sehingga dengan sentralisasi semua dapat diawasi oleh pemerintah pusat. UU pemerintah daerah pada masa orde baru adalah UU No 5 tahun 1974. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab merupakan bentuk desentralisasi di periode Orde baru, akan tetapi desentralisasi tidak murni akan tetapi dipadu dengan dekonsentrasi. Hal ini dibuktikan dengan program pemerintah
5
yang diputuskan oleh pusat tanpa melihat karakteristik wilayahnya. Kapabilitas dan partisipasi masyarakat untuk membangun daerahnya sendiri menjadi rendah karena semua keputusan pembangunan ditangani oleh pusat. Era Reformasi dimulai saat tumbangnya Presiden Soeharto oleh mahasiswa pada tahun 1998, selain itu terbit UU no 22 tahun 1999 yang mengatur pemerintahan daerah menggantikan UU yang lama. UU no 22 tahun 1999 kemudian diganti dengan UU no 32 tahun 2004. UU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengurusi dirinya sendiri dalam beberapa aspek. Sejak UU no 32 tahun 2004 dikeluarkan, pemekaran wilayah menjadi tidak terkendali maka dari itu untuk mengontrol pemekaran wilayah dikeluarkanlah PP no 78 tahun 2008 yang mengatur tata cara pemekaran ataupun penggabungan daerah. Tercatat 8 provinsi dan 220 kabupaten/kota berpisah dari daerah induknya untuk
membentuk
daerah
administrative
baru
sejak
reformasi.
Konfigurasi politik dan sudut pandang pemimpin mempengaruhi kebijakan otonomi daerah di Indonesia, ada periode yang memperluas kewenangan pemerintah daerah, ada yang sentralistik.
Definisi, Visi Dan Pendapat Ahli Tentang Otonomi Daerah Otonomi desentralisasi.
daerah
merupakan
Penyerahan
salah
kewenagan
satu
bentuk
beberapa
dari
aspek
sistem kepada
pemerintahan yang lebih rendah, hal ini adalah pemerintah daerah. banyak ahli yang sudah mengemukakan pendapatnya tentang definisi desentralisasi, sebagian besar ahli mengatakan inti desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah yang lebih rendah, dalam hal ini daerah otonom. UU no 32 tahun 2004 dalam pasal 1 ayat 7 menjabarkan tentang definisi desentralisasi yaitu : penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
6
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan Otonomi daerah yang tertulis dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 ada dua yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah. Undang-Undang 32 tahun 2004 juga membagi urusan mana yang masih dihandle oleh pemerintah pusat dan mana yang dialihkan ke pemerintah daerah. Urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat adalah : 1. Politik Luar Negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter dan Fiskal Nasional 6. Agama Urusan di luar 6 bidang tersebut diserahkan wewenangnya kepada daerah dengan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Prinsip otonomi daerah adalah derah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerinthan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Asas Otonomi adalah pelaksanaan urusan pemerintahan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri sedangkan yang dimaksud asas tugas pembantuan adalah penugasan pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa. Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas serta memiliki keragaman yang tinggi, baik agama, suku, ras maupun bahasa. Beberapa ahli setuju bahwa desentralisasi merupakan salah satu solusi tepat dalam pembangunan NKRI. Hal ini membuat pembangunan tidak dapat disamaratakan karena beragamnya budaya yang ada. Otonomi daerah dianggap dapat mengakomodasi beragam sosial ekonomi masyarkat yang ada di Indonesia. The Liang Gie (1986) dalam Dadang Solihin (2012)
7
mengungkapkan alasan dianutnya sistem desentralisasi oleh sebuah negara adalah 1. Mencegah penumpukan wewenang di pemerintah pusat yang dapat berakibat munculnya tirani 2. Urusan yang dianggap dapat di-handle pemerintah daerah seharusnya dapat dialihkan ke daerah agar pemerintah pusat mengurusi hal yang lain 3. Pembangunan dapat didasarkan kepada kondisi geografis, sosial ekonomi, budaya dan latar belakang sejarah daerah Chemma dan Rondinnelli (1983) dalam Dadang Solihin (2012) menyebutkan terdapat beberapa manfaat otonomi daerah yaitu 1. Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyrakat yang heterogen baik ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik geografis. 2. Jalur Birokrasi akan lebih pendek karena beberapa urusan sudah dialihkan kepada daerah. 3. Perumusan kebijakan akan lebih realistis karena sudah ditangani oleh perencana yang “mengerti” daerah tersebut 4. Desentralisasi akan dapat menjangkau daerah-daerah yang selama ini tertinggal karena peran pemerintah daerah sangat besar. Pemerintah daerah lebih mengetahui medan/daerah yang harus diperhatikan. Pemerintah pusat tidak dapat menjangkau lebih dalam karena pemahaman daerah hanya skala makro. 5. Efisiensi pemerintahan pusat karena beberapa tugasnya sudah dialihkan ke pemerintah daerah 6. Peluang bagi masyarakat lokal dengan segala keragamannya berkontribusi
dalam
pembangunan
atau
diakomodadi
kebutuhannya.
8
Dadang Solihin (2012), Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Bappenas menilai bahwa ada 5 alasan mengapa Indonesia menggunakan sistem desentralisasi yaitu 1. Indonesia belum mampu menganut federasi Beberapa ahli mengusulkan bahwa Indonesia sehaursnya menggunakan sistem negara federasi akan tetapi Indonesia belum memungkinkan. Harus mempersiapkan UUD baru, setiap daerah juga harus menyusun konstitusi baru dan beberapa perubahan konstitusi 2. Memelihara “Nation State” Mengembalikan hak-hak dasar masyarakat karena dengan desentralisasi masyarakat akan mudah untuk berkontribusi terhadap pembangunan. Desentralisasi akan menguatkan peran daerah sehingga akan mencegah gerakan separatis. 3. Kegagalan sistem sentralisasi Indonesia
yang
beragam
tidak
sistem/perencanaannya
sehingga
terjadi
bisa
disamaratakan
pemaksaan
program
pembangunan padahal belum tentu memecahkan maslaha yang ada 4. Memantapkan demokrasi Sistem desentralisasi akan mengakomodasi kepentingan dan pendapat masyarakat sampai level terbawah sehingga akan terjadi proses demokrasi dalam perencanaan pembangunan di daerah tersebut. Hal tersebut akan melatih kehidupan demokrasi sehingga di masa yang akan datang sistem demokrasi akan lebih mantap. 5. Aspek Keadilan Desntralisasi akan mengakomodasi pendapat dari masyarakat yang dulunya pada saat desentralisasi “tidak didengarkan” sehingga terdapat keadilan dalam menyatakan pendapat. Desentralisasi akan mencegah terjadinya kesenjangan dalam penguasaan sumber daya yang dimiliki oleh negara.
9
Syaukani et al (2005) dalam bukunya menjabarkan 6 alasan untuk memilih system desentralisasi dalam pembangunan daerah 1. Efisiensi-efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Indonesia merupakan
negara
yang
luas,
berbentuk
kepulauan
dan
keberagaman yang tinggi. Bidang penmbangunan yang harus di cover-pun sangatlah banyak seperti sosial, budaya, ekonomi, keamanan dsb. Kompleksnya bidang pembangunan serta luasnya negara Indonesia jelas tidak efektiv semuanya dikerjakan oleh pemerintah pusat. Pembagian tugas dan pemberian kewenangan merupakan langkah tepat agar pemerintah pusat focus hal-hal yang berskala nasional. Tugas-tugas pemerintahan akan dijalankan baik oleh masyarakat di daerah karena mereka lebih memahami keadaan lingkungannya. Pemerintah hanya menjadi Pembina dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan agar tidak menyimpang dari prinsip negara kesatuan. 2. Pendidikan Politik. Desentralisasi merupakan salah satu sarana masyarakat untuk berpartispasi dalam poltik, baik dipilih maupun memilih. Periode Orde Baru merupakan pengekangan akan hak politik masyarakat karena system politik hanya dikuasai oleh kamu elite. Masayarakat dapat mengawasi kinerja pemerintah daerah, dapat
berpartisipasi
dalam
pengambilan
kebijakan,
menilai
kebijaksanaan yang diambil. Hal ini akan menjadi keuntungan pemerintah daerah karena mendapat masukan dan saran dari mastarakatnya, di lain pihak masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya untuk pembangunan daerahnya. 3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan karir politik lanjutan. Desentralisasi dapat menjadikan kawah candradimuka pejabat daerah yang ingin bersaing dalam politik nasional. Peranan pemerintah daerah sebagai pembentukan jati diri, pengalaman, serta
10
beberapa pemahaman untuk kesiapan bertarung di kancah politik nasional. 4. Stabilitas politik. Hamper semua ahli alasan ini merupakan alasan inti dari desentralisasi. Penyerahan kewenangan kepada daerah membuat kepentingan di setiap daerah dapat terserap sehingga dapat meminimalkan konflik. Stabilitas nasional dibangun oleh stabilitas tiap daerah. 5. Kesetaraan Politik. Kesetaraan yang dimaksud adalah pejabat dan masyarakat di daeah dapat berkontribusi dalam pembangunan nasional dengan membangun daerahnya dengan baik sehingga dapat menopang pembangunan nasional. Partisipasi masyarakat dalam politik menandakan kesetaraan dalam mengungkapan pendapat selain kesetaraan untuk dipilih maupun memilih. 6. Akuntanbilitas Publik. Era desentralisasi membuat pemerintah daerah harus hati-hati mengeluarkan kebijakan karena masyarakat akan mengawasinya, apabila kebijakan itu tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat maka akan diprotes. Hal ini mengharuskan pejabat daerah berhati-hati, mengkaji lebih dalam, berdiskusi sebelum mengeluarkan kebijaksanaan sehingga akan meningkatkan akuntanbilitas pejabat daerah dalam mengeluarkan keputusan. Rondinelli (1983) dalam Nurcholis (2007) menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi yaitu : 1. Derajat komitmen politik dan dukungan administratif yang diberikan terutama oleh pemerintah pusat, elit daerah dan masyarakat. Dukungan semua pihak jelas menjadi salah satu landasan dalam pelaksanaan desentralisasi agar desentralisasi dapat berjalan dengan lancar serta tepat sasaran. Apabila salah satu pihak tidak mendukung maka terdapat missing link sehingga tujuan desentralisasi tidak dapat dicapai dengan maksimal.
11
2. Sikap, perilaku, budaya masyarakat terhadap desentralisasi. Masyarakat meruapakan obyek sekaligus subyek dalam system desentralisasi, apabila masyarakatnya pasif maka kepentingannya tidak akan tersalurkan. Apabila masyarakat aktif dalam mengawasi, partisipasi dan sebagainya maka mereka akan mendapatkan keuntungan sebagai obyek dan subyek pembangunan. 3. Dukungan Organisasi pemerintah. Aparatur dan pegawai daerah harus siap dalam era desentralisasi karena pekerjaan organisasi daerah semakin banyak karena kewenangan sudah dilimpahkan oleh pusat kepada daerah. 4. Sumber daya yang memadai baik Sumber daya manusia, financial, maupun infrastruktur. Suatu system pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, tak terkecuali system desentralisasi menurut Abdullah (2005) kelebihan desentralisasi adalah meingkatkan efisiensi dan pelayanan public, manfaat lain adalah meningkatkan akuntanbilitas dan partisipasi public yang telah dijelaskan di awal. Kelemahan desentralisasi adalah tidak ada standar dalam kebijakan desentralisasi, hal ini dikarenakan karakteristik wilayah berbeda-beda sehingga system yang diterapkan disuatu daerah belum tentu berhasil didaerah lain. B. Daya Saing Definisi Daya Saing Daya saing merupakan istilah yang sering digunakan dalam ilmu ekonomi terutama ekonomi pembangunan. Istilah dan definisi daya saing jelas dipengaruhi oleh ilmu-ilmu ekonomi pembangunan. Michael porter (1990) mendefinisikan daya saing sebagai output yang dikeluarkan oleh industry yang tidak terlepas dari produktivitas pekerja (input). Porter menjelaskan bahwa sebuah negara akan mempunyai daya saing yang tinggi apabila output yang dihasilkan oleh industri juga baik, walaupun harus memperhatikan factor yang lainnya juga seperti kapasitas industry
12
dalam memperbaharui dan inovasi. Porter menjelaskan mengapa sebuah industry atau negara lebih memiliki daya saing daripada yang lain melalui model diamond porter. Gambar 1.1 menunjukkan diagram daya saing yang dibuta oleh Michael Porter
Gambar 1.1 Diagram daya saing Porter Sumber : Wikipedia.com
Porter
mendefinisikan
4
determinan
utama
yang
mempengaruhi daya saing yaitu kondisi permintaan, industri-industri yang berkaitan dan mendukung, dan strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. 4 determinan ini saling menguatkan untuk menciptakan daya saing sebuah industry. Porter juga mengeluarkan pendapat bahwa tidak ada definisi yang dapat diterima oleh siapapun karena daya saing merupakan konsep yang multi dimensi. Porter juga memberikan pendapatnya tentang definisi daya saing secara mikro yaitu bagaimana perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang berkelanjutan dari industry ataupun level domestic. World Bank mengemukakan definisi daya saing yang mirip dengan porter yaitu nilai tambah yang diberikan kepada input perusahaan.
13
World Economic Forum (WEF) yang tiap tahun mengeluarkan The Global Competitiveness Report mempunyai pendapat sendiri mengenai definisi daya saing. WEF (1999) mendefinisikan daya saing dari sudut pandang negara yaitu kemampuan perekonomian nasional mencapai pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
dan
berkelanjutan.
Factor
pemerintahan, kepastian hukum, kemudahan investasi serta factor standar yang lain merupakan syarat terciptanya daya saing yang baik. WEF menyatakan terdapat 12 pilar yang akan menjadi penentu daya saing, ke12 pilar tersebut dirangkum menjadi 3 determinan yaitu kebutuhan dasar, meningkatkan efisiensi, dan Faktor inovasi dan kepuasaan. Departemen Perdagangan dan Industri Inggris juga mengeluarkan definisi tentang daya saing. UK-DTI tiap tahun mengeluarkan Regional Competitive Indicators in United Kingdom dan mendefinisikan daya saing sebagai daerah mampu menghasilkan pendapatan dan menciptakan lapangan pekerjaan serta tetap dapat bersaing di level domestic maupun internasional. Definisi mengenai daya saing juga dikeluarkan oleh Center For Urban and Regional Studies yang mengeluarkan The Comptitiveness Project menyatakan bahwa daya saing merupakan kemampuan sektor bisnis untuk meghasilkan kekayaan dan pendapatan yang lebih merata kepada penduduknya. Definisi yang dikeluarkan oleh CURDS memiliki sudut pandang internal daerah bukan persaingan terhadap level yang lebih tinggi. Abdullah et al (2002) merupakan salah satu ilmuwan nasional yang mengeluarkan pendapatnya mengenai definisi daya saing. Definisi yang dikelurakan mirip dengan definisi dari UK-DTI yaitu kemampuan daerah untuk mencapai kesejahteraan dengan tetap terbuka dengan persaingan domestic dan internasional. Berdasarkan penjabaran di atas, (Abdullah et al, 2002) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam definisi daya saing, yaitu : 1.
Daya saing dapat mencakup bidang yang lebih luas dan tidak terbatas kepada skala perusahaan ataupun industry.
14
2.
Para pelaku ekonomi berada di sistem yang saling bersinergi baik itu pemerintah, swasta, masyarakat, dll.
3.
Sasaran daya saing adalah demi kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah tersebut.
4.
Hakikat daya saing adalah kompetisi, sehingga daya saing tidak akan terjadi pada sistem ekonomi yang tertutup Gambar 1.2 menjelaskan tentang konsep dan definisi daya
saing untuk level mikro, meso dan makro.
Gambar 1.2 Konsep Daya Saing Sumber : sistem-inovasi.blogspot.com
15
Faktor Daya Saing Daerah Belum adanya definisi daya saing yang diterima oleh semua pihak membuat factor atau indicator yang mempengaruhi daya saing suatu daerah ataupun industry juga berbeda-beda. Porter (1990) menyatakan ada 4 aspek yang menjadi factor daya saing dan 2 faktor penunjang yaitu kondisi permintaan, industri-industri yang berkaitan dan mendukung, dan strategi, struktur, dan persaingan perusahaan serta peranan pemerintah dan peluang Lembaga yang mengeluarkan “Global Competitivness Report” yaitu World Economic Forum menyatakan ada 12 pilar dalam membangun daya saing sebuah negara yaitu : a) Institusi b) Infrastruktur c) Iklim ekonomi makro d) Kesehatan dan pendidikan dasar e) Pendidikan tinggi dan keterampilan f) Efisiensi pasar barang g) Efisiensi pasar tenaga kerja h) Pengembangan pasar financial i) Teknologi j) Pangsa pasar k) Kepuasan investor , dan l) Inovasi 12 indikator ini dirangkum dalam 3 determinan utama dalam daya saing suatu negara yaitu kebutuhan dasar, peningkatan efisiensi dan factor inovasi dan kepuasan. Menurut Abdullah et al (2002) indikator yang untuk menentukan daya saing suatu daerah ada 9 indikator utama yaitu , 1) Perekonomian daerah 2) Keterbukaan
16
3) Sistem Keuangan 4) Infrastrktur dan SDA 5) IPTEK 6) SDM 7) Kelembagaan 8) Governance dan Kebijakan Pemerintah 9) Manajemen dan ekonomi mikro. Uli (2003) dalam tesisnya menjabarkan indicator daya saing ada 9 indikator, indicator tersebut berasal kumpulan-kumpulan data publikasi BPS yang kemudian oleh Uli (2003) dirangkum menjadi 9 faktor indikator daya saing yaitu 1) Perekonomian dan Keuangan daerah 2) Aktivitas Perekonomian Penduduk 3) Ketenagakerjaan 4) Kependudukan 5) transportasi dan Komunikasi 6) Kesenjangan 7) Perumahan dan Lingkungan 8) Potensi Sumber daya daerah 9) Pemerintahan dan Rentang Kendali. Indicator daya saing macamnya banyak tergantung sudut pandang ahli ataupun lembaga yang mengeluarkan karena belum ada definisi daya saing yang dapat diterima oleh semua pihak. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator menurut WEF. Indikator dalam WEF yang digunakan adalah syarat dasar untuk mengembangkan ekonomi yaitu infrastruktur, Institusi, makro ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
5.
Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan skripsi, tesis maupun jurnal baik yang dipublikasikan secara internasional maupun nasional sebagai bahan rujukan serta referensi. Tema penelitian ini adalah otonomi daerah yang mengambil dari sudut pandang daya saing daerah kabupaten induk. Variabel dalam daya saing daerah merupakan multidimensi seperti ekonomi, infrastruktur, ataupun SDM. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak mengupas
17
aspek daya saing komoditas ataupun sektor industry. Referensi utama dalam penelitian ini adalah Tesis dari Janry Haposan Uli Panusunan Simanungkalit yang meneliti tipologi daya saing daerah Kabupaten se Jawa Barat, referensi variabel daya saing daerah diambil dari penelitian tersebut. Penelitian tentang otonomi daerah ataupun pemekaran daerah sudah jamak dilakukan dari berbagai sudut pandang. Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menitiberatkan kepada pemekaran daerah dari kabupaten menjadi kota dari sudut pandang kabupaten induk. Selama ini penelitian tentang otonomi daerah lebih banyak kepada dampak otonomi dan DOB (Daerah Otonom Baru). Variabel daya saing daerah juga lebih sederhana dibandingkan referensi yang lain. Terdapat banyak penelitian yang mengangkat masalah otonomi daerah, tabel 1.1 menunjukkan beberapa penelitian tentang otonomi daerah dan membandingkan variabel/ataupun metode penelitian ini dengan yang lain.
18
No
Nama Peneliti
Judul dan Tahun Penelitian
1
Janry Haposan UPS
Analisis tipologi daya saing daerah kabupaten/kota di Jawa Barat (2003)
Jenis Penelitian Tesis
Tabel 1.1 Mantriks Penelitian Sebelumnya Tujuan Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat Menentukan kategori tipologi daya saing daerah kabupaten/kota di Jawa Barat Menentukan karakteristik tipologi daya saing daerah kabupaten/kota di Jawa Barat Menganalisis keterkaitan antar indicator daya saing daerah kabupaten/kota di Jawa Barat Memformulasikan alternative kebijakan umum peningkatan daya saing daerah kabupaten/kota di Jawa Barat
2
Dudi Hermawan
Analisis pelaksanaan desentralisasi fiscal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah (2007)
Tesis
3
Martyantri RB Sianturi
Kinerja Pembangunan daerah kabupaten bogor sebelum dan masa otonomi daerah (2008)
Skripsi
4
Gilang Adi Nugroho (2012)
Dinamika Daya Saing Daerah Kabupaten Malang Sebelum Dan selama masa Otonomi Daerah
Skripsi
Evaluasi atas formula yang dipergunakan dalam alokasi DAU Analisis pelaksanaan desentralisasi fiscal terhadap pemerataan kemampuan keuangan antar kabupaten/Kota di provinsi Banten Analisis kinerja pembangunan kabupaten / Kota di provinsi Banten Menganalisis struktur ekonomi kabupaten bogor sesudah dan sebelum OTDA Menganalisis kesejahteraan penduduk di kabupaten bogor sesudah dan sebelum OTDA Menganalisis kinerja keuangan daerah sebelum dan saat berlakunya desentralisasi fiskal Mengetahui dinamika daya saing daerah Kabupaten Malang dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sebelum dan selama masa Otonomi daerah Mengetahui dinamika indicator daya saing daerah sebelum dan selama Otonomi daerah
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Analisis Deskriptif, factor analysis, dan analisis korelasi
Sebagian besar indicator daya saing memiliki daya saing yang signifikan. Tipologi daya saing kabupaten/kota di Jawa Barat di bagi menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah. Daya saing tinggi terdiri atas 9 daerah, daya saing sedang terdiri dari 7 daerah dan daya saing rendah terdiri atas 5 daerah.
Indeks Wiliiamson, indeks Gini, LQ, dan analisis deskriptif
Pengalokasian DAU belum sepenuhnya sebagai mediasi pemerataan keuangan daerah Pemerataan keuangan daerah di kabupaten/kota di banten semakin baik setelah adanya kebijakan desentralisasi fiskal
Analisis Deskriptif, shiftshare, derajat desentralisasi fiskal
Kinerja Kabupaten Bogor lebih baik disaat otonomi daerah Peranan pemerintah pusat dominan baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiscal.
Z-score, Diagram Garis, SWOT
Sumber : Data dan Analisis
19
6.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing daerah Kabupaten Malang sebelum dan selama terjadinya pemekaran. Kabupaten Malang merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang ada di Provinsi Jawa Timur, hal ini dibuktikan dengan kontribusinya yang tinggi terhadap PDRB total Provinsi Jawa Timur. Hal ini menjadi menarik karena lokasi Kabupaten Malang yang berada di selatan Pulau Jawa, sedangkan kekuatan ekonomi Jawa Timur sebagian besar di bagian utara. Kesenjangan Pulau Jawa bagian utara dan selatan merupakan relitas yang terjadi di Indonesia. SDM, Infrastruktur dan ekonomi bagian utara lebih berkembang dibandingkan bagian selatan. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan ekonomi Kabupaten Malang yang terletak di daerah selatan Pulau Jawa. Kabupaten Malang juga mengalami pemerkaran daerah di masa otonomi daerah dengan Kota Batu memisahkan diri. Kota Batu yang terletak di lereng Gunung membuat sektor pariwisata dan pertanian menjadi sektor ekonomi yang potensial. Hal ini tercermin dari peningkatan nilai PDRB dari sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menyumbang 46.5 % dari keseluruhan PDRB. Kota Wisata Batu merupakan salah satu destinasi wisata utama di Provinsi Jawa Timur. Kebijakan Otonomi Daerah merupakan peluang pemerintah daerah untuk mengembangkan pembangunan karena beberapa wewenang pusat dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat merencanakan pembangunan sesuai dengan potensi masalah yang ada Gambar 1.3 mengnujukkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
20
Sentralisasi
Desentralisasi UU NO 32 TAHUN 2004
Penguatan Sistem Desentralisasi
-
Pengurangan Potensi Daerah
Pelaksanaan Desentralisasi dalam Pembangunan Indikator Daya Saing Daerah
Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Sumber : Hasil Analisis
7.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan,
dapat disusun
pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini 1. Bagaimana
daya
saing
daerah
Kabupaten
Malang
dibadingkan
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sebelum dan selama masa otonomi daerah ? 2. Bagaimanakah dinamika masing-masing nilai indikator daya saing di Kabupaten Malang sebelum dan selama masa otonomi daerah ?
21