BAB I PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang
Kepimpinan perempuan bila dilihat dari sejarah sepanjang masa seringkali dilihat dari kacamata laki-laki. Tak semua perempuan dapat diakui sebagai pemimpin, hanya perempuan-perempuan yang memenuhi standar kepemimpinan laki-laki yang dapat diakui efektivitasnya (Klenke, dalam Mangunsong, 2009). Persentase perempuan sebagai pemimpin jika dibandingkan populasi perempuan secara keseluruhan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin (Bass dalam Mangusong, 2009). Setiawati (2012) mengatakan bahwa jumlah perempuan di Indonesia yang melebihi separuh dari jumlah penduduknya merupakan potensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang luar biasa, namun menjadi tidak bermakna ketika pemerintah dan semua lembaga terkait tidak dapat memberikan program dan peran yang optimal dalam masyarakat. Dalam buku pembangunan manusia berbasis gender (2013) dikatakan bahwa pandangan masyarakat mengenai status perempuan hanya sebagai pendamping dan tidak dapat membuat keputusan dengan sifat emosionalnya menyebabkan kehadiran perempuan sebagai pemimpin dikatakan masih sangat jarang, sehingga ungkapan seorang pemimpin hanya dapat dilakukan oleh laki-laki melekat dalam kehidupan masyarakat luas. Berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (2013), meskipun Indonesia, Laos, dan Kamboja telah melakukan berbagai macam program kesetaraan gender, tiga negara tersebut termasuk negara dengan indeks ketimpangan gender yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki masih dominan di masing-masing indikator, baik ketenagakerjaan, pendidikan maupun keterwakilan di parlemen. Keterwakilan perempuan atau laki-laki dalam parlemen
merupakan salah satu komponen ketimpangan gender. Semakin proporsional jumlah perempuan atau laki-laki menunjukkan kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Penelitian Seager (1997) yang dimuat dalam buku Pembangunan Manusia berbasis Gender oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2013) mengungkapkan bahwa laju keterwakilan perempuan di parlemen sangatlah lambat sehingga UN (United Nation) memperkirakan bahwa keseimbangan antara laki-laki dan perempuan di parlemen baru akan bisa dicapai pada tahun 2490. Perbandingan Rasio Perempuan dan Laki-‐laki di Parlemen Negara ASEAN 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Singapore
Malaysia
Thailand
Filipina
Gender Inequality Index
Indonesia
Vietnam
Laos
Kamboja
Myanmar
Rasio Perempuan dan Laki-‐laki di Parlemen
Gambar 1. Perbandingan Rasio Perempuan dan Laki-laki di Parlemen Negara Asean (2012) Sumber: Human Development Report
Wibowo (2010) mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan merupakan salah satu masalah yang selalu diperbincangkan. Pro kontra, budaya patriarkhi di Indonesia dan stigma perempuan seringkali dijadikan alasan untuk berlaku tidak adil terhadap kaum perempuan, seperti kutipan berikut ini: “Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan dan telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan kontra kendatipun pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak perempuan yang sejajar dengan laki-laki. Stigma bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, toh akhirnya ke dapur juga seringkali dijadikan alat untuk membenarkan tindakan tidak adil terhadap kaum perempuan. Budaya Patriarkhi mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam ruang domestiknya”
(Wibowo, 2010).
Keraguan masyarakat akan sosok pemimpin perempuan agaknya terlihat kontras dengan fakta sejarah Bangsa Indonesia. Nama-nama seperti Cut Nya Dien, Cut Meutiah, Ratu Saylendra, Ken Dedes, dan Raden Ajeng Kartini rasanya pantas disejajarkan dengan nama-nama pejuang pria di negeri ini (Pitaloka, 2012). Amandemen UUD Pasal 28 D menerangkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut, semakin jelas bahwa posisi dan kedudukan wanita sebetulnya dilindungi oleh hukum positif Indonesia ditengah dominasi pria dalam jabatan pemimpin dan lambannya laju pembangunan gender (Pitaloka, 2012). Pentingnya masalah pengambilan keputusan pada perempuan telah diakui dalam kerangka tujuan pembangunan milenium. Salah satu indikator untuk memantau Millennium Development Goal 3 tentang kesetaraan gender adalah proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional (www.un.org). Sidang ke-56 Komisi Kedudukan Perempuan PBB di New York, Amerika Serikat juga kembali membahas representasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Linda Gumelar, selaku wakil Indonesia dalam sidang PBB tersebut menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan (Saputra, 2012). Keinginan perempuan untuk berpartisipasi dalam kancah politik akhirnya dapat terakomodasi dengan adanya kuota 30% keterlibatan perempuan sebagai pengurus partai politik dan anggota legislatif (Rianti,2009). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam praktik lapangannya juga mulai mempercayai perempuan untuk
menduduki beberapa posisi penting, seperti yang diungkapkan pada artikel dibawah ini: “Pada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) keberanian dalam menduduki posisi penting di dalam kabinet pun terjadi. Munculnya Marie E Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Siti Fadhilah sebagai Menteri Kesehatan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Muthia Hatta, merupakan bukti kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan perempuan di Indonesia. Sementara itu kepemimpinan parpol perempuan pun bertambah. Setelah Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan), ada Muthia Hatta yang memimpin partai PKPI, dan Amelia Yani memimpin partai PPRN, di beberapa daerahpun kepala pemerintahan sudah dipegang oleh perempuan (Rianti, 2009).” Presiden Indonesia Joko Widodo yang dilantik bulan Oktober 2014 merilis nama-nama Menteri Kabinet Kerja. Kabinet tersebut tak hanya menjadi kabinet terbanyak yang memberi alokasi kursi untuk kalangan profesional, melainkan menjadi kabinet yang paling banyak memberikan kursi untuk perempuan sepanjang sejarah setelah reformasi. Kedelapan menteri perempuan tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari, Menteri BUMN Rini M Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Sosial Khofifah Indra Parawansa dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise (Permana, 2014). Kepemimpinan perempuan dalam perkembangannya menjadi salah satu bentuk emansipasi perempuan yang sejak dasawarsa ini diperbincangkan. Atribut natural perempuan yang sensitif, intuitif, empati, suka merawat, mampu bekerjasama, dan mengakomodasi dapat menjadikan proses-proses organisasi menjadi efektif (Growe, 1999). Hasil penelitian kualitatif dari Setiawati (2012) mengenai profil pemimpin perempuan yang sukses dalam berbagai profesi menyatakan bahwa pemimpin perempuan banyak yang meraih sukses di berbagai profesi meskipun mengalami
berbagai tantangan dan kendala. Menurutnya, terdapat harapan yang besar bagi pemimpin perempuan untuk berperan dan memberikan sumbangsih pada dunia yang makmur, sejahtera, aman dan damai.
Simatupang (2009) melalui penelitiannya juga memberikan hasil yang positif mengenai kemampuan memimpin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan seluruh responden mengaku mampu memimpin seperti laki-laki dengan kemampuan yang sama, dan sebanyak 72,2% responden menyatakan bahwa mereka dapat mengembangkan gaya kepemimpinan yang lain dengan gaya kepemimpinan laki-laki. Penelitian Bodla dan Husain (2009) mencoba melihat kepemimpinan perempuan dari kacamata bawahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bawahan perempuan lebih menginginkan pemimpin untuk menjadi ahli di aspek-aspek pekerjaan dibandingkan bawahan laki-laki. Bawahan perempuan juga memiliki kebutuhan yang lebih tinggi terhadap pemimpin. Berdasarkan hal tersebut menurut Bodla dan Hussain (2009) ketika bawahan tersebut suatu hari menjadi supervisor, mereka akan mempraktikan kepemimpinan yang sama seperti yang mereka inginkan, yaitu berusaha menjadi ahli di aspek yang mereka bawahi. Penelitian McKinsey and Company (2008) dalam bukunya yang berjudul Women Matter 2 menunjukan bahwa memiliki lebih banyak pemimpin perempuan diposisi jajaran manajemen atas dapat memberikan perusahaan suasana kompetisi yang nyata. Salah satu persyaratan keterampilan bagi seorang pemimpin yang dapat menjadi tolak ukur efektivitas kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Berdasarkan hal tersebut, organisasi dapat berjalan secara produktif dan efektif apabila pemimpin
dapat dengan tangkas, cerdas, cepat dan bijaksana dalam mengambil keputusan (A. Nunuk P. Murniati, dalam Lalboe, 2006). Guzzo dan Salas (1995) mengatakan bahwa pengambilan
keputusan
adalah
komponen
yang
penting
dalam
perilaku
kelompok. Setiap pimpinan atau pengelola organisasi tidak terlepas dari aktivitas pengambilan keputusan karena inti dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan (Anwar, dalam Rosemarie 2009). Kartono (2004) mengatakan bahwa kondisi yang tidak pasti dan perubahan yang bersifat dinamis serta mendadak membuat pengambilan keputusan menjadi aktivitas yang paling sulit sekaligus paling penting bagi pimpinan. Khusunya, apabila pengambilan keputusan tersebut dilakukan ditengah masyarakat pluralistis dengan berbagai macam ideologi. Menurutnya, hal tersebut akan menimbulkan konflik atau pertentangan. Konflik dan oposisi tersebut dapat menjadi “way of life” untuk masyarakat modern yang jelas akan mempersulit pemimpin dalam mengambil keputusan yang paling benar (Kartono, 2004). Daft (1999) dalam bukunya yang berjudul “Leadership: Theory and Practice” mendefinisikan pengambilan keputusan pada pemimpin sebagai sebuah proses mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah. Sebelum mendapatkan solusi, pengambil keputusan harus dapat mendiagnosa keadaan yang terjadi pada situasi tersebut. Pengambil keputusan harus mengerti apa dan mengapa situasi tersebut terjadi sebelum akhirnya dapat masuk ke tahap solusi. Pada tahap solusi, pembuat keputusan harus bisa mencari kemungkinan-kemungkinan apa saja yang dapat terjadi dan solusi apa yang sekiranya tepat pada tiap-tiap kemungkinan. Tahap ini juga termasuk bagaimana pemimpin mengimplementasikan kemungkinan yang dirasa paling besar peluangnya dan solusi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi (Daft, 1999).
Studi mengenai kehadiran perempuan di panchayat (sistem politik di Asia Selatan), India membuktikan bahwa kehadiran perempuan telah merubah beberapa hal dalam politik lokal. Perempuan telah membuat panchayat lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat terhadap infrastruktur, perumahan, sekolah, dan kesehatan. Pejabat perempuan selain dapat meningkatkan terlaksananya berbagai program pemerintah juga dapat membuat masyarakat perempuan lebih mungkin untuk mengambil keuntungan dari pelayanan negara dan menuntut hak-hak mereka (www.unmillenniumproject.org). Sehubungan dengan hal tersebut, sebuah pendapat dari Vince Cable, seorang Politisi Inggris dan Sekretaris Negara untuk Bisnis Inggris (UK Secretary of State for Business) terdengar menjanjikan untuk dibuktikan:
“My vision by 2015 is that Britain will not have a single FTSE 100 board without a significant female presence, this is not about equality, this is about good governance and good business” Vince Cable dalam kutipan tersebut mengatakan bahwa keberadaan perempuan yang signifikan di pemerintahan bukan semata tentang persamaan, tetapi demi pemerintahan yang baik, dan bisnis yang baik (Patel, 2013). Berdasarkan fakta-fakta mengenai keputusan Presiden Jokowi menaikan 100% jumlah menteri perempuan di Kabinet Kerja, berbagai hasil penelitian mengenai pengaruh positif kehadiran pemimpin perempuan di organisasi dan pemerintahan, sampai dengan pendapat Cable (dalam Patel, 2013) mengenai female and good governance, hal-hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mencari tahu bagaimana proses dan strategi pengambilan keputusan sebagai tolak ukur efektivitas kerja yang dimiliki oleh menteri perempuan di Indonesia. Selama ini, alasan dan latar belakang menaikkan jumlah menteri perempuan di Indonesia yang dimuat di media hanya seputar persamaan hak terhadap wanita dan pembangunan gender, tanpa membahas mengenai kompetensi dan modal-modal lain yang dimiliki pemimpin
perempuan. Penelitian mengenai pengambilan keputusan pada pemimpin menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif telah banyak dilakukan, namun hanya sedikit penelitian yang membahas mengenai pengambilan keputusan pemimpin perempuan, atau yang lebih spesifik mengenai proses dan strategi pengambilan keputusan pada menteri perempuan. Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk menggali hal tersebut menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan.
B. Tujuan Penelitian Mengetahui dan memahami proses dan strategi pengambilan keputusan pada menteri perempuan untuk mendapatkan model teoritis terkait proses dan strategi pengambilan keputusan pada menteri perempuan.
C. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dari penelitian ini ialah memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kemajuan Psikologi Organisasi dan memberikan sebuah model teoritis terkait pengambilan keputusan menteri perempuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk para pemimpin, khususnya pemimpin perempuan terkait proses pengambilan keputusan yang dialami oleh menteri perempuan Indonesia untuk kemudian diaplikasikan.