BAB I A. Latar belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) hingga saat ini masih menjadi perhatian dunia. Hal ini dikarenakan angka kematian akibat TB masih tinggi, dimana angka tertinggi
terjadi di negara berkembang (World Health Organization (WHO),
2011). Pada tahun 2011 WHO memperkirakan, insidensi kasus baru TB sebesar 128 kasus per 100.000 penduduk atau sekitar 8,8 juta kasus dengan angka kematian akibat penyakit ini mendekati 1,5 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2010. Angka prevalensi kasus TB sendiri diperkirakan mencapai 178 kasus per 100.000 penduduk atau sekitar 12 juta kasus pada semua tipe TB. Hal ini menyebabkan TB menjadi penyakit infeksi urutan ke-dua yang menyebabkan kematian setelah infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sebanyak 75% penderita TB termasuk dalam golongan usia produktif yaitu rentan usia 15 - 54 tahun (WHO, 2007). Pencapaian target pengendalian TB telah disusun oleh pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia (kementerian PPN/Bappenas 2010). Berdasarkan Laporan TB Global WHO (2009) angka kejadian Tuberkulosis dari semua kasus/100.0000 penduduk/tahun pada tahun 2009 di Indonesia adalah 228 jiwa, dimana diharapkan pada target Millennium Development Goals (MDG’s) tahun 2015 angka kejadian TB di Indonesia dapat dikendalikan dan diturunkan. Meskipun angka TB di Indonesia telah mengalami penurunan dibanding tahun 2009, namun angka kematian akibat penyakit Tuberculosis (TB) di Indonesia masih cukup tinggi. Total kematian akibat TB 61.000 orang di tahun
1
2011, hal ini menjadikan Indonesia menempati urutan kelima negara dengan beban tertinggi akibat TB (Menteri kesehatan, 2011). Salah satu provinsi di Indonesia dengan angka penderita TB yang masih tinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Angka insidensi, kematian, dan prevalensi TB Paru di Yogyakarta berturut – turut adalah 30,20 ; 32, 99 dan 0,87 per 100.000 penduduk (profil kesehatan provinsi DIY, 2010). Menurut data dari Profil Kesehatan (2011) yang diterbitkan Dinas Kesehatan, DIY juga merupakan salah satu dari enam provinsi yang belum mencapai target keberhasilan pengobatan / sucessfull rate (SR) TB yang distandarkan (WHO) dan MDG’s. Angka keberhasilan pengobatan TB provinsi DIY baru mencapai 84,2%, sedangkan standar WHO sebesar 85% dan standar MDGs sebesar 95%. Angka kejadian TB dengan BTA (+) di Yogyakarta yaitu mencapai 64 orang per 100.000 penduduk sehingga perlu penanganan lebih lanjut dengan segera (Dinas kesehatan Indonesia, 2010). Dimana salah satu penyebab masih tingginya insiden TB dengan BTA (+) di DIY berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutauruk (2008) di Kecamatan Bantul adalah hubungan antara kependudukan (sosio ekonomi), kondisi hunian rumah (kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, dan pencahayaan). Di Indonesia kasus TB dengan pengobatan ulang diperkirakan mencapai 20% dari semua kasus TB dan angka Multy Drugs Resistence (MDR-TB) sebesar 2% (Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011). Dukungan dari semua pihak, terutama anggota keluarga sangat diperlukan oleh penderita TB karena penderita harus meminum obat selama paling tidak 6 bulan berturut turut tanpa putus.
2
Sebuah review penelitian kualitatif pada pasien dengan TB meyatakan bahwa ada tiga faktor yang menghambat pasien dalam menyelesaikan pengobatan, yang meliputi faktor sosial—keluarga (konteks sosial), factor sistem kesehatan, dan factor personal (Munro, et al, 2007 ). Penelitian Hutapea (2009) menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang tinggi dapat meningkatkan kemauan penderita TB untuk meminum Obat Anti Tuberculosis (OAT). Sebagian dari pasien, keluarga pasien dan tenaga kesehatan yang menangani pasien sangat paham dengan penyakit tuberkulosis, baik dari segi pengobatan, bahaya, maupun penularannya. Namun, tidak ada penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari tenaga kesehatan, pihak rumah sakit, maupun dari dinas kesehatan setempat (Syakira, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko et al, (2009) menyimpulkan bahwa lingkungan social, perilaku pasien, dan petugas kesehatan memainkan peranan penting pada kepatuhan pasien dalam meminum obat baik di rumah sakit umum maupun swasta. Support social dan pendidikan kesehatan mengenai pengobatan merupakan salah satu faktor penting yang mendukung pasien TB untuk patuh minum obat baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Litaay ( 2005), dari penelitian tersebut di dapatkan ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan kesembuhan penderita TB paru, dengan hasil subjek dengan dukungan sosial keluarga yang baik dan sembuh sebanyak 21 dari 25 penderita ( 84%) , pasien dengan dukungan sosial yang kurang namun sembuh sebanyak 2 dari 25 penderita ( 8%), dan gagal sebanyak 1 dari 25 penderita ( 4%). Mengingat
3
keluarga menjadi bagian yang dinilai penting oleh penderita TB, maka aspek ini perlu terus dibenahi dan ditingkatkan melalui pemberdayaan keluarga secara lebih optimal guna mendukung proses pengobatan yang lebih baik. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi penderita terhadap aktivitas sosial, hubungan dengan keluarga, kepuasan terhadap diri sendiri baik dalam fungsi fisik, sosial, maupun emosional, kesesuaian harapan dan kenyataan Silitonga (2007). Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa kualitas hidup seseorang tidak terlepas dari hubungan atau dukungan dari keluarga. Hubungan dukungan keluarga terhadap kualitas hidup didukung oleh penelitian Setyawati (2007) yang meneliti mengenai pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kualitas hidup penderita kusta di Puskesmas kunduran Kabupaten Blora terhadap 31 penderita kusta pada bulan Januari – Pebruari 2007 dan didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh positif , kuat, dan bermakna antara dukungan sosial keluarga terhadap kualitas hidup penderita kusta di Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2004) yang meneliti hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pendetita Tuberculosis Paru di BP4 Unit Minggiran dengan hasil semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin tinggi kualiatas hidupnya. Dimana pada penelitian tersebut didapatkan gambaran kualitas hidup penderita di BP4 yogyakarta Unit Minggiran yaitu penderita TB paru dengan kualitas hidup baik sebanyak 34 dari 40 orang (68%), sedang 15 orang (30%), dan kategori jelek 1 orang (2%). Dan
4
gambaran tingkat dukungan sosial dengan kategori tinggi sebanyak 18 dari 40 orang (36%), sedang 22 orang (44%), dan rendah 10 orang (20%). Masih ada beberapa pola perawatan penderita TB dalam keluarga di Yogyakarta yang kurang baik, diantaranya penataan lingkungan rumah untuk luas kamar penderita TB, ventilasi rumah dan kamar, frekuensi lantai di pel dalam seminggu, indeks pemenuhan nutrisi bagi penderita yang masih kurang. Dan masih adanya penderita dan keluarga penderita yang merokok, serta beberapa penderita tidak memiliki pengawas minum obat sehingga lupa untuk minum obat (Nugroho, 2002). Oleh karena itu peningkatan pengetahuan dan pemahaman keluarga terhadap TB Paru dan penanganannya dalam mendukung keberhasilan pengobatan TB Paru sangat penting. hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Triharjanti (2006) yang meneliti mengenai hubungan pengetahuan orang tua tentang tuberculosis pada anak terhadap kepatuhan dalam pemberian obat, dimana didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua terhadap kepatuhan berobat anak dengan tuberculosis. Salah satu cara peningkatan pengetahuan keluarga dapat dilakukan melalui terapi kelompok keluarga. Melalui sharing informasi, terapi kelompok keluarga menyediakan dua sumber dukungan yaitu dukungan emosional dan pengetahuan bagi anggotanya. Dimana selain memberikan dukungan, kelompok pendukung juga
membantu
menyelesaikan
pengalaman
yang
tidak
menyenangkan,
ketidaktahuan, kebingungan dan situasi yang menekan dari masing – masing anggota (Grant – Iramu,1997 cit Hunt, 2004).
5
Menurut Ponnuchamy et al (2005), family support group teraphy / terapi kelompok keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri dari anggota keluarga pasien dan bersama-sama saling membantu untuk mencapai tujuan tertentu. Anggota di dalam family support group therapy / terapi kelompok keluarga ini meliputi keluargadari pasienyang menghadapi tantangan yang sama seperti dengan infeksi tertentu, dan memiliki beberapa kesamaan, baik dari segi usia, pola berpikir, minat atau hal yang lain. Dari kesamaan itu mereka dikumpulkan menjadi suatu kelompok atau komunitas sehingga dapat saling bertukar informasi tentang TB. Biasanya jumlah anggota sebuah kelompok terdiri terdiri dari 5 hingga 12 orang dengan seorang fasilitator atau pemimpin kelompok (Chou, et al, 2002). Rumah Sakit (RS) Khusus Respira UPKPM Yogyakarta
merupakan
tempat yang tepat untuk mengembangkan berbagai penelitian yang berhubungan dengan penyakit TB, selain itu Rumah Sakit Khusus Respira UPKPM Yogyakarta merupakan tempat pusat pengobatan penderita TB dan pusat administrasi penanganan TB. Dimana Menurut data laporan dari Rumah Sakit tersebut ksus terbanyak kejadian TB di daerah Yogyakarta tahun 2011 terdapat di kabupaten Minggiran dengan jumlah suspek 1312
jiwa, kemudian menyusul kabupaten
Bantul dengan jumlah suspek 768 jiwa, Wates 238 jiwa, Kota Gede 949 jiwa, dan terakhir kabupaten Kalasan 588 jiwa. Hal ini menjadikan Rumah Sakit Respira UPKPM Yogyakarta memiliki temuan kasus pasien TB tertinggi di Yogyakarta. Berdasarkan latar belakan tersebut peneliti ingin mengetahui gambaran kualitas hidup penderita TB dengan peningkatkan pengetahuan dan pemahaman
6
keluarga terkait bagaimana mendukung kesembuhan penderita TB di Rumah Sakit Respira UPKPM Yogyakarta. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Triharjanti (2006) bahwa pengetahuan orang tua dapat meningkatkan kepatuhan berobat anak dengan Tuberkulosis. Peran keluarga sangat penting dalam tahap perawatan kesehatan, mulai dari tahap peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan, sampai rehabilitasi (Efendy dan Makhfudi, 2009). B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah penelitian mengenai “pengaruh terapi kelompok keluarga terhadap kualitas hidup penderita TB paru di Rumah Sakit Khusus Respira UPKPM Yogyakarta dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga C. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum : Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi kelompok keluarga terhadap kualitas hidup penderita TB paru di Rumah Sakit Khusus Respira UPKPM Yogyakarta dengan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan keluarga penderita TB Paru terhadap TB Paru dan penanganannya. 2. Tujuan khusus : a. Untuk mengetahui kualitas hidup penderita TB Paru di Rumah Sakit Khusus Respira UPKPM Yogyakarta sebelum diberikan terapi kelompok keluarga. b. Untuk mengetahui kualitas hidup penderita TB Paru di Rumah Sakit Khusus Respira UPKPM Yogyakarta setelah diberi terapi kelompok keluarga.
7
D. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi pada beberapa pihak 1. Bagi ilmiah : dapat menjadi salah satu acuan serta rujukan bagi pengembangan dan pendidikan keperawatan terumama keperawatan komunitas, serta menjadi acuan serta rujukan bagi peneliti lain yang memiliki minat yang sama guna mengembangkan lebih lanjut mengenai terapi kelompok keluarga bagi penderita TB Paru. 2. Bagi peneliti : dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam penelitian ilmiah. 3. Bagi tenaga kesehatan : dapat menjadi bahan masukan dalam penanganan pasien dengan TB paru dan mendukung keberhasilan pengobatan pasien serta mendukung penurunan angka penyebaran TB paru. 4. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta : sebagai bahan masukan dalam strategi menurunkan prevelensi penderita TB paru di Yogyakarta dan pencapaian tujuan MDG’s Nasional. 5. Bagi penderita : Mendapatkan dukungan terapi yang tepat secara kuratif maupun non kuratif untuk meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesembuhan penderita TB Paru.
8
E. Keaslian penelitian Dari studi literatur yang dilakukan, sejauh ini peneliti belum menemukan adanya evidence yang melakukan penelitian mengenai pengaruh terapi kelompok keluarga terhadap kualitas hidup penderita TB. Meski demikian penelitian mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan melibatkan keluarga sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Litaay (2005), pada penelitian yang dilaksanakan di BP4 yogyakarta ini melibatkan 25 penderita TB sebagai responden yang telah sembuh dari TB yang diderita. Dari penelitian tersebut di dapatkan ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan kesembuhan penderita TB paru, dengan hasil subjek dengan dukungan sosial keluarga yang baik dan sembuh sebanyak 84%, pasien dengan dukungan sosial yang kurang namun sembuh sebanyak 8%, dan gagal adalah 4%. Persamaan dari penilitian ini adalah sama – sama penelitian korelasi, sama – sama memiliki subjek pasien TB, dan sama – sama melibatkan peran dukungan keluarga bagi kesembuhan pasien TB. Perbedaannya adalah penelitian tersebut menggunakan metode retrospektif sedangkan penelitian ini menggunakan metode experimentpre dan post test , serta dilakukan terapi secara berkelompok. Pada penelitian kedua merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan oleh Ratnasari (2004) pada 50 responden untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru di BP4 Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru, dimana semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidupnya. Dan kontribusi paling
9
bermakna adalah umur dan pendidikan, sedangkan jenis kelamin, pekerjaan, dan riwayat pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup pasien TB di BP4. Persamaan dari penelitian ini adalah sama – sama dengan subjek pasien TB di BP4 Yogyakarta, sama – sama meneliti kualitas hidup penderita TB. Perbedaannya adalah variable bebas pada
penelitian ini menggunakan terapi
kelompok keluarga, sedangkan pada penelitian tersebut menggunakan dukungan sosial, rancangan penelitian tersebut menggunakan metode cross sectional sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode exsperimental pre dan post test. Pada penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2007) mengenai pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kualitas hidup penderita kusta di Puskesmas kunduran Kabupaten Blora terhadap 31 penderita kusta pada bulan Januari – Pebruari 2007 didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh positif, kuat, dan bermakna antara dukungan sosial keluarga terhadap kualitas hidup penderita kusta di Puskesmas kunduran Kabupaten Blora. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama – sama menggunakan dukungan sosiap keluarga terhadap penderita, perbedaannya sasaran pada penelitian tersebut adalah panderita kusta, sedangkan pada panelitian ini subjeknya adalah penderita TB paru, metode pada penelitian tersebut adalah cross sectional dengan deskriptif korelasional sedangkan penelitian ini menggunakan metode exsperimental pre dan post test.
10