Bab 4 DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai dasar laut sinusoidal sebagai reflektor gelombang. Persamaan yang digunakan untuk memodelkan masalah dasar sinusoidal adalah persamaan air dangkal yang telah dilinearkan (SWE linier). Pada bab ini akan dibahas apakah dinding sungai sinusoidal dapat berperan sebagai reflektor gelombang atau tidak. Untuk memodelkan masalah dinding sinusoidal ini, persamaan yang akan digunakan adalah persamaan gelombang yang diturunkan oleh Kirby [3]. Pada kasus dasar laut sinusoidal, besarnya refleksi gelombang ditinjau melalui amplitudo simpangan permukaan laut. Sedangkan pada kasus dinding sungai sinusoidal, besarnya refleksi gelombang ditinjau melalui amplitudo dari fungsi kecepatan potensial partikel fluida di permukaan air. Walaupun demikian, langkah-langkah yang dilakukan untuk mempelajari masalah gelombang refleksi pada dinding sungai sinusoidal ini serupa dengan langkah-langkah untuk mempelajari masalah gelombang refleksi pada dasar laut sinusoidal. 35
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
4.1
36
Persamaan Gelombang untuk Dinding Sinusoidal
Dinding sungai berbentuk sinusoidal adalah bentuk dinding tak rata yang berupa fungsi sinus atau cosinus. Dinding sungai berbentuk sinusoidal ini biasanya terdiri dari beberapa lengkungan. Lengkungan ini sama bentuknya seperti gundukan pada dasar laut sinusoidal. Terdapat dua tipe bentuk dinding sungai sinusoidal. Kedua tipe bentuk dinding sinusoidal dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Aliran sungai
Aliran sungai
Tipe 1
Tipe 2
Gambar 4.1: Dua tipe dinding sungai sinusoidal dilihat dari atas.
Perhatikan Gambar 4.2. Misalkan domain pengamatan pada dinding sinusoidal tipe 2 adalah {(x, y)| − a1 (x) ≤ y ≤ a2 (x), x ∈ <}, dengan a1 dan a2 adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan bentuk dinding sinusoidal. Sedangkan b(x) adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan lebar sungai sinusoidal. Misalkan bentuk dinding sungai sinusoidal tipe 2 diberikan oleh fungsi berikut a1 (x) = a(1 + εG cos Kx),
(4.1.1)
a2 (x) = −a(1 + εG cos Kx).
(4.1.2)
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
37
y a2(x) a b(x) x -a a1(x)
Gambar 4.2: Skema dinding sinusoidal tipe 2 dilihat dari atas.
dengan a1 (x) dan a2 (x) masing-masing menyatakan simpangan gelombang dinding sinusoidal di titik x, a menyatakan setengah kali lebar sungai pada keadaan normal atau ketika dinding sungai rata, aεG menyatakan amplitudo lengkungan dinding sinusoidal, K menyatakan bilangan gelombang dinding sinusoidal, dan ε adalah bilangan yang sangat kecil. Parameter εG adalah parameter tak berdimensi yang menyatakan perbandingan antara amplitudo simpangan dinding sinusoidal dengan lebar sungai ketika dindingnya rata (2a). Berdasarkan (4.1.1) dan (4.1.2), maka lebar sungai untuk dinding sinusoidal tipe 2 adalah b(x) = a2 (x) − a1 (x), b(x) = 2a(1 + εG cos Kx).
(4.1.3)
Syarat batas yang berlaku sepanjang sungai adalah ∂φ(x, a1 ) ∂(a1 ) ∂φ(x, a1 ) − = 0, ∂x ∂x ∂y
(4.1.4)
∂φ(x, a2 ) ∂(a2 ) ∂φ(x, a2 ) − = 0. ∂x ∂x ∂y
(4.1.5)
Perhatikan bahwa (4.1.4) dan (4.1.5) merupakan syarat batas kaku. Syarat batas tersebut berasal dari fakta bahwa vektor kecepatan partikel fluida (∇φ) selalu searah dengan vektor singgung kurva batas kaku tersebut.
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
38
Persamaan awal yang akan digunakan untuk memodelkan persamaan gelombang air pada dinding sinusoidal adalah persamaan gelombang Kirby [3]. Persamaan Kirby [3] adalah persamaan gelombang dua dimensi yang dapat merepresentasikan perambatan gelombang di atas dasar yang memiliki topografi bergelombang dengan amplitudo yang kecil. Persamaan Kirby berlaku jika ke h(x) << 1, dengan k adalah bilangan gelombang yang datang dan e h adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan topografi dasar sungai. Persamaan Kirby diberikan oleh : "Ã ! # e ∂ 2φ g h −∇ c2 + ∇φ = 0, ∂t2 cosh2 kh0
(4.1.6)
dengan φ menyatakan kecepatan potensial pertikel fluida yang ada di permukaan sungai, h0 merupakan kedalaman sungai, ∇ = (∂/∂x, ∂/∂y), dan c adalah cepat rambat gelombang datang yang diberikan oleh : c=
ω p = gh0 , k
dengan ω menyatakan frekuensi gelombang. Karena kita akan mempelajari pengaruh dinding sinusoidal, maka dasar sungai kita anggap rata (e h = 0), sehingga persamaan (4.1.6) dapat disederhanakan menjadi 2 2 ∂ 2φ 2∂ φ 2∂ φ − c − c =0 ∂t2 ∂x2 ∂y 2
(4.1.7)
Selanjutnya, integralkan (4.1.7) dari y = a1 (x) sampai y = a2 (x) dan terapkan formula Leibniz untuk memperoleh persamaan berikut : Z Z a2 ∂ 2 a2 ∂φ 2 ∂ φdy − c dy 2 ∂t a1 ∂x a1 ∂x · 2
+c
¸ ¸ · ∂φ(x, a1 ) ∂φ(x, a2 ) ∂(a2 ) ∂φ(x, a2 ) 2 ∂φ(x, a1 ) ∂(a1 ) − − −c = 0. ∂x ∂x ∂y ∂x ∂x ∂y (4.1.8)
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
39
Jika lebar sungai cukup kecil bila dibandingkan dengan panjang gelombang yang datang (kb ¿ 1), maka kebergantungan φ terhadap y dapat diabaikan. Substitusikan syarat batas yang diberikan oleh (4.1.4) dan (4.1.5) ke dalam (4.1.8), sehingga (4.1.8) dapat disederhanakan menjadi · ¸ c2 ∂ ∂φ ∂ 2 φ(x, t) − b(x) = 0. ∂t2 b(x) ∂x ∂x
(4.1.9)
Perhatikan (4.1.9). Untuk dinding sinusoidal tipe 1, diketahui bahwa b(x) adalah konstan sehingga persamaan (4.1.9) dapat disederhanakan menjadi persamaan gelombang satu dimensi yang sangat umum yaitu : 2 ∂ 2 φ(x, t) 2 ∂ φ(x, t) − c = 0. ∂t2 ∂t2
(4.1.10)
Persamaan gelombang satu dimensi (4.1.10) mempunyai solusi analitik yang biasa disebut solusi d’Alembert. Oleh karena itu, dinding sinusoidal tipe 1 tidak akan dibahas pada tugas akhir ini. Perhatikan bahwa untuk dinding sinusoidal tipe 2, b(x) diberikan oleh (4.1.3) sehingga (4.1.9) dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut · ¸ c2 ∂ ∂φ ∂2φ = (1 + εG cos Kx) ∂t2 (1 + εG cos Kx) ∂x ∂x
(4.1.11)
Persamaan (4.1.11) merupakan persamaan gelombang satu dimensi pada dasar sungai rata yang memiliki dinding sinusoidal.
4.2
Resonansi Bragg untuk Dinding Sinusoidal
Sama seperti pada dasar laut sinusoidal, mula-mula akan dibahas mengenai gejala alam yang akan terjadi apabila suatu gelombang datang melewati dinding sinusoidal khususnya dinding sinusoidal yang memiliki bilangan gelombang sebesar dua kali lipat bilangan gelombang permukaan air sungai. Jika ε 6= 0 , maka persamaan (4.1.11) mengandung parameter yang memiliki orde sangat kecil sekali yaitu ε sehingga solusi D’Alembert tidak dapat diterapkan. Akan
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
40
dicari hampiran solusinya secara analitis dengan menerapkan metode ekspansi asimtotik. Misalkan ekspansi asimtotik untuk φ(x, t) adalah φ(x, t) = φ0 (x, t) + εφ1 (x, t) + ε2 φ2 (x, t) + ε3 φ3 (x, t) + ....
(4.2.1)
Substitusikan (4.2.1) ke dalam persamaan (4.1.11) dan uraikan 1/(1 + εG cos Kx) menjadi deret geometri sehingga menghasilkan ∂ 2 φ1 ∂ 2 φ0 + ε + .... = c2 (1 − εG cos Kx + ε2 G2 cos2 Kx + ....) ∂t2 ∂t2 ·
∂ (1 + εG cos Kx) ∂x
µ
¶¸ ∂φ0 ∂φ1 +ε + .... . ∂x ∂x
(4.2.2)
Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (4.2.2) adalah 2 ∂ 2 φ0 2 ∂ φ0 = c . ∂t2 ∂x2
(4.2.3)
Jika kita hanya memperhatikan solusi gelombang monokromatik, maka dapat diperoleh bahwa solusi persamaan (4.2.3) adalah φ0 =
α ikx−iωt α∗ −ikx+iωt e + e . 2 2
(4.2.4)
Sedangkan suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (4.2.2) adalah 2 ∂ 2 φ1 ∂φ0 2 ∂ φ1 − c = −c2 GK sin Kx , 2 2 ∂t ∂x ∂x
(4.2.5)
dengan φ0 seperti pada (4.2.4) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut · iKx ¸ 2 e − e−iKx ∂ h α ikx−iωt α∗ −ikx+iωt i ∂ 2 φ1 2 ∂ φ1 2 −c = −c GK e + e ∂t2 ∂x2 2i ∂x 2 2 = −
c2 GK (kαei(K+k)x−iωt − kα∗ ei(K−k)x+iωt 4
−kαei(−K+k)x−iωt + kα∗ e−i(K+k)x+iωt ). (4.2.6) Perhatikan bahwa ruas kanan persamaan (4.2.6) memuat suku-suku ei(K−k)x+iωt dan ei(−K+k)x+iωt . Jika K = 2k, maka suku-suku tersebut merupakan solusi homogen
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
41
dari (4.2.6). Hal ini mengindikasikan akan terjadinya resonansi pada solusi φ1 . Sama seperti bab sebelumnya, resonansi ini juga disebut resonansi Bragg. Selanjutnya, akan ditinjau jika bilangan gelombang dinding sungai sinusoidal hampir dua kali lipat bilangan gelombang φ atau dapat ditulis sebagai berikut: K = 2k + δ. Melalui perhitungan yang serupa dengan yang telah dilakukan pada Subbab 3.2, akan diperoleh bahwa φ1 ∼ O( 1δ ). Jika δ = O(ε), maka εφ1 = O(1) sehingga metoda ekspansi asimtotik biasa tidak dapat diterapkan. Catatan : Alasan persamaan (4.2.1) tidak berlaku dapat dilihat pada bagian terakhir Subbab 3.2.
4.3
Amplitudo Gelombang Transmisi dan Gelombang Refleksi
Pada Subbab 4.2, telah diketahui bahwa persamaan (4.2.1) tidak berlaku jika εφ1 = O(1) sehingga pada subbab ini akan diterapkan metode ekspansi asimtotik multi skala untuk mencari solsi bagi masalah aliran fluida pada dinding sinusoidal. Diperkenalkan variabel ’cepat’ dan ’lambat’, yang dapat dituliskan secara berturutturut sebagai berikut x
dan
x = εx,
(4.3.1)
t
dan
t = εt,
(4.3.2)
dan variabel waktunya adalah
sehingga turunan parsialnya menjadi : ∂ ∂ ∂ → +ε ∂x ∂x ∂x
∂ ∂ ∂ → +ε ∂t ∂t ∂t
.
(4.3.3)
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
42
Ekspansi asimtotik untuk φ diberikan oleh φ(x, x; t, t) = φ0 (x, x; t, t) + εφ1 (x, x; t, t) + ε2 φ2 (x, x; t, t) + ....
(4.3.4)
Substitusikan (4.3.4) dan (4.3.3) ke dalam (4.1.11) kemudian terapkan turunan parsial yang diberikan oleh (3.3.3) dan uraikan 1/(1+εG cos Kx) menjadi deret geometri untuk memperoleh ∂ 2 φ0 ∂ 2 φ0 ∂ 2 φ1 + 2ε + .... = c2 (1 − εG cos Kx + ....) + ε ∂t2 ∂t2 ∂t∂t
½
∂ 2 φ0 ∂ 2 φ0 + 2ε ∂x2 ∂x∂x
· µ ¶ ∂ 2 φ1 ∂φ0 +ε 2 + .... + ε −GK sin Kx + .... ∂x ∂x µ +G cos Kx
¶¸¾ ∂ 2 φ0 ∂ 2 φ0 + 2ε + .... . ∂x2 ∂x∂x (4.3.5)
Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (4.3.5) adalah 2 ∂ 2 φ0 2 ∂ φ0 − c = 0. ∂t2 ∂x2
(4.3.6)
Solusi persamaan (4.3.6) dimisalkan berupa φ0 =
α(x, t) ikx−iωt β(x, t) −ikx−iωt e + c.c + e + c.c, 2 2
(4.3.7)
dengan α dan β adalah fungsi dua peubah yang bergantung pada x dan t. Perhatikan bahwa
α(x,t) 2
β(x,t) 2
dan
secara berturut-turut merupakan envelope bagi
komponen φ yang menjalar ke kanan dan ke kiri. Besar kecilnya amplitudo kecepatan gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri secara langsung dapat diperoleh melalui besar kecilnya α(x, t) dan β(x, t). Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (4.3.5) adalah µ ¶ 2 2 ∂ 2 φ0 ∂ 2 φ1 ∂φ0 2 ∂ φ1 2 ∂ φ0 2 −c = 2c −2 − GKc sin Kx ∂t2 ∂x2 ∂x∂x ∂x ∂t∂t = 2c2
2
2
∂ φ0 ∂ φ0 −2 − GKc2 ∂x∂x ∂t∂t
µ
iKx
e
−iKx
−e 2i
¶
(4.3.8) ∂φ0 . ∂x
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
43
Kemudian, substitusikan K = 2k dan persamaan (4.3.7) ke (4.3.8), lalu sederhanakan sehingga diperoleh
· ¸ 2 ∂ 2 φ1 ∂β 2 ∂ φ1 2 ∂α ikx−iωt −ikx−iωt −c = c (−ik)e + c.c + (−ik)e + c. ∂t2 ∂x2 ∂x ∂x ·
∂α ∂β − (−iω)eikx−iωt + c.c + (−iω)e−ikx−iωt + c.c ∂t ∂t
¸
· 2Gkc2 ∂ ∂ − (e2ikx − e−2ikx ) (αeikx−iωt + c.c 4i ∂x ∂x ¤ +βe−ikx−iωt + c.c) . (4.3.9) Suku terakhir pada ruas kanan persamaan (4.3.9) dapat disederhanakan menjadi −
Gkc2 (kαe3ikx−iωt + c.c − kαe−ikx−iωt + c.c− 2 kβeikx−iωt + c.c + kβe−3ikx−iωt + c.c).
Untuk menghindari resonansi yang tidak terbatas dan untuk menjamin adanya solusi bagi φ1 , maka koefisien-koefisien e±i(kx−ωt) dan e±i(kx+ωt) pada ruas kanan (4.3.9)harus dibuat nol sehingga diperoleh c
ikcG ∂α(x, t) ∂α(x, t) + = β(x, t), ∂x 2 ∂t
(4.3.10)
∂β(x, t) ∂β(x, t) ikcG −c = α(x, t). (4.3.11) ∂x 2 ∂t Persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) menunjukkan bahwa α(x, t) dan β(x, t) saling terkait. Melalui eliminasi dan manipulasi aljabar, persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) dapat dituliskan menjadi persamaan-persamaan bagi α(x, t) dan β(x, t) yang saling terpisah. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan Klein-Gordon. Persamaan Klein-Gordon untuk amplitudo kecepatan gelombang diberikan oleh ∂ 2 α(x, t) ∂t
2
− c2
∂ 2 α(x, t) b 0 )2 α(x, t) = 0, + (Ω ∂x2
(4.3.12)
dengan b 0 ≡ kcG = ωG , Ω 2 2
(4.3.13)
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
44
yang memiliki dimensi (satuan) frekuensi.
4.4
Koefisien Transmisi dan Refleksi Untuk Dinding Sinusoidal
Pada subbab ini akan dibahas mengenai pengaruh dinding sungai sinusidal terhadap amplitudo gelombang transmisi dan refleksi melalui koefisien transmisi dan koefisien refleksi. Bayangkan suatu gelombang monokromatik datang dari sebelah kiri dinding sinusoidal (x < 0) kemudian merambat ke kanan dan melewati dinding sinusoidal yang panjangnya L. Ketika gelombang melewati dinding sinusoidal (0 < x < L), maka pada daerah ini akan terjadi banyak sekali transmisi dan refleksi gelombang. Ketika keluar dari daerah dinding sinusoidal (x > L), gelombang akan terus merambat ke kanan. Kemudian kita asumsikan bahwa di sebelah kanan dinding sinusoidal terdapat muara sungai yang dapat menyerap semua gelombang sehingga setelah keluar dari daerah dinding sinusoidal, maka gelombang akan terus ditransmisikan ke kanan tanpa ada bagian yang direfleksikan ke kiri. Langkah-langkah untuk mendapatkan koefisien transmisi dan refleksi pada dinding sinusoidal sama dengan langkah-langkah untuk mendapatkan koefisien transmisi dan refleksi pada dasar sinusoidal. Dengan demikian, pada subbab ini hanya akan ditampilkan hasil akhir dari koefisien transmisi dan refleksi untuk dinding sinusoidal. Kasus 1: Subcritical Detuning b 0 dengan Ω = Kc. Subcritical Detuning terjadi jika 0 < Ω < Ω Tuliskan
q Qc ≡
b 20 − Ω2 , Ω
(4.4.1)
kemudian selesaikan sehingga diperoleh koefisien transmisi T (x) =
iQc cosh Q(L − x) + Ω sinh Q(L − x) , iQc cosh QL + Ω sinh QL
(4.4.2)
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
45
dan koefisien refleksi R(x) =
b 0 sinh Q(L − x) −Ω , iQc cosh QL + Ω sinh QL
(4.4.3)
b 0 diberikan oleh (4.3.13). dengan Ω Kasus 2: Supercritical Detuning b 0 dengan Ω = Kc. Supercritical Detuning terjadi jika Ω > Ω Tuliskan
q Pc ≡
b 20 , Ω2 − Ω
(4.4.4)
kemudian selesaikan sehingga diperoleh koefisien transmisi T (x) =
P c cos P (L − x) − iΩ sin P (L − x) , P c cos P L − iΩ sin P L
(4.4.5)
b 0 sin P (L − x) iΩ , P c cos P L − iΩ sin P L
(4.4.6)
dan koefisien refleksi R(x) =
b 0 diberikan oleh (4.3.13). dengan Ω Kasus 3: Resonansi Sempurna Resonansi sempurna terjadi ketika K = 2k dan Ω = 0. Jika Ω = 0, maka persamaan (4.4.2) dan (4.4.3) menjadi
T (x) =
(4.4.7)
b 0 (L − x) Ω c . b 0L Ω cosh c
(4.4.8)
A = A0
B = A0
i sinh
dan R(x) =
b 0 (L − x) Ω c , b Ω0 L cosh c
cosh
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
4.5 4.5.1
46
Simulasi dan Pembahasan Resonansi Sempurna
Agar kita dapat melihat perbedaan antara pengaruh yang ditimbulkan oleh dasar sinusoidal dan pengaruh yang ditimbulkan oleh dinding sinusoidal, maka nilai konstanta-konstanta yang diambil sama seperti pada Subbab 3.5.1 yaitu : • Bilangan gelombang monokromatik yang datang adalah k = 2π/2 = π, • Bilangan gelombang dinding sinusoidal adalah K = 2π/1 = 2π, • Panjang sungai sinusoidal adalah L = 10m. b 0 = kcG/2 sehingga (4.4.8) dapat ditulis Kita ketahui bahwa x = εx, L = εL, dan Ω sebagai berikut : b R(x) ≡ R(εx) =
εkG(L − x) 2 . εkGL cosh 2
i sinh
(4.5.1)
b Berdasarkan nilai-nilai konstanta yang diketahui, maka fungsi R(x) dari (4.5.1) dapat disederhanakan menjadi : b R(x) =
επG(10 − x) 2 . 10επG cosh 2
i sinh
(4.5.2)
b Kemudian grafik R(x) diplot untuk berbagai nilai εG, dimana εG merepresentasikan perbandingan antara amplitudo lengkungan dinding sinusoidal dengan lebar sungai ketika dindingnya rata (2a). b = 0 untuk Perhatikan Gambar 4.3. Pada daerah x ≥ L = 10, diperoleh bahwa R setiap nilai εG dan x. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut tidak ada lagi gelombang yang direfleksikan ke kiri. Semua gelombang terserap di sisi kanan sehingga hanya ada gelombang yang merambat ke kanan. b Pada daerah 0 ≤ x < L = 10, kurva R(x) berupa kurva non-linear. Hal ini terjadi
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
47
karena pada daerah tersebut terjadi banyak sekali interaksi antara gelombang yang b selalu berbeda-beda di setiap titik. merambat ke kiri dan ke kanan sehingga nilai R Bandingkan Gambar 4.3 dengan Gambar 3.3. Kedua gambar ini jelas berbeda. Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa pada daerah 0 ≤ x < L = 10 terjadi perpotongan antara kurva yang satu dengan kurva yang lainnya. Artinya, pada titik tertentu b yang sama walaupun nilai εG berbeda. Perhatikan bahwa dapat diperoleh nilai R b Sedangkan pada untuk x > 4, semakin besar nilai εG maka semakin kecil nilai R. b Pada daerah daerah x < 0.75, semakin besar nilai εG maka semakin besar nilai R. b karena 0.75 ≤ x ≤ 4 tidak dapat ditentukan pengaruh nilai εG terhadap nilai R b berbanding pada daerah ini tidak bisa disimpulkan apakah hubungan εG dan R terbalik atau berbanding lurus.
0.8 0.6 R 0.4 0.2 0 -5
0
5
10
15
x Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.12 Epsilon G = 0.14
b Gambar 4.3: Grafik R(x) pada dinding sungai sinusoidal untuk beberapa nilai εG.
b berbeda-beda untuk setiap nilai εG. Pada daerah x ≤ 0, diperoleh bahwa nilai R b Tetapi dapat dilihat bahwa untuk nilai εG yang sama, kurva R(x) selalu berupa garis horizontal. Hal ini terjadi karena pada daerah x ≤ 0, sudah tidak ada lagi
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
48
interaksi antara gelombang yang menjalar ke kanan dengan gelombang yang direfb bernilai konstan untuk x ≤ 0 leksikan ke kiri, sehingga R Perhatikan Gambar 4.4. Sumbu x menyatakan nilai εG dan sumbu y menyatakan b b nilai R(0). Untuk εG = 0.14, diperoleh bahwa R(0) = ±0.98. Ini berarti bahwa amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri adalah sebesar 0.98 kali amplitudo b gelombang yang datang. Kurva R(0) adalah fungsi yang terus naik sebanding dengan bertambahnya nilai εG. Dengan demikian, semakin besar nilai εG, maka b semakin besar nilai R(0). Artinya, semakin besar εG, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri. R0
εG
b Gambar 4.4: Grafik R(0) sebagai fungsi dari εG.
Bandingkan Gambar 3.4 dengan Gambar 4.4. Untuk nilai εG = εD, maka nilai b b R(0) pada dinding sinusoidal lebih besar daripada nilai R(0) pada dasar sinusoidal. Artinya, untuk εG = εD, maka pada daerah x ≤ 0, refleksi gelombang yang diakibatkan oleh dinding sungai sinusoidal lebih besar daripada refleksi gelombang yang diakibatkan oleh dasar sinusoidal. Perlu diingat bahwa pada daerah dinding sinusoidal, besarnya perbandingan antara amplitudo dinding sinusoidal dengan lebar sungai tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya amplitudo gelombang refleksi yang terjadi.
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
49
Sekarang, akan dilihat perbandingan solusi analitik dengan solusi numerik. Perhatikan bahwa persamaan (4.3.10) dan (4.3.11) dapat ditulis sebagai berikut : ∂α ∂α kcεD b + = β, ∂x ∂t 2
(4.5.3)
∂ βb ∂ βb −kcεD −c = α, ∂t ∂x 2
(4.5.4)
c
dengan βb = iβ. Solusi numerik diperoleh dengan menggunakan metode beda hingga untuk mendiskritisasi persamaan (4.5.3) dan (4.5.4). 1 Epsilon G = 0.08 Epsilon G = 0.1 Epsilon G = 0.12 Epsilon G = 0.14
0.9
0.8
0.7
R
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 0
2.5
5
7.5
10
12.5
x
b Gambar 4.5: Grafik R(x) pada dinding sungai sinusoidal untuk beberapa nilai εG yang diperoleh secara numerik.
Solusi numerik untuk berbagai nilai εG dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dapat dilihat bahwa secara kualitatif, solusi numerik dan solusi analitik sudah sesuai.
4.5.2
Perbandingan Resonansi Sempurna, Subcritical Detuning, dan Supercritical Detuning
Untuk melihat perbandingan antara resonansi sempurna, subcritical detuning, dan supercritical detuning, maka diambil beberapa konstanta yang diketahui seperti pada Subbab 4.5.1, yaitu panjang gelombang monokromatik yang datang adalah 2 m dengan bilangan gelombang k = π, dan panjang gelombang dinding sinusoidal 1
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
50
m dengan L = 10 m. Kemudian, misalkan cepat rambat gelombang monokromatik c = 200 dan D = 0.05. Untuk kasus subcritical detuning dipilih Ω < Ω0 , sedangkan untuk kasus supercritical detuning dipilih Ω > Ω0 .
Epsilon G = 0.08
Epsilon G = 0.08
Epsilon G = 0.1
Epsilon G = 0.1
Epsilon G = 0.12
Epsilon G = 0.12
Epsilon G = 0.14
Epsilon G = 0.14
b Gambar 4.6: Grafik R(x) dinding
b Gambar 4.7: Grafik R(x) dind-
sungai sinusoidal (subcritical de-
ing sungai sinusoidal (supercriti-
tuning).
cal detuning).
Subcritical detuning
Subcritical detuning
Supercritical detuning
Supercritical detuning
Resonansi sempurna
Resonansi sempurna
b Gambar 4.8: Grafik R(x) dind-
b Gambar 4.9: Grafik R(x) dind-
ing sungai sinusoidal untuk εD =
ing sungai sinusoidal untuk εD =
0.14 pada tiga kasus.
0.08 pada tiga kasus.
BAB 4. DINDING SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
51
Perhatikan Gambar 4.3, Gambar 4.6, dan Gambar 4.7. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa kasus subcritical detuning dan kasus supercritical detuning memberikan hasil yang serupa dengan kasus resonansi sempurna yaitu besarnya amplitudo gelombang refleksi tidak selalu berbanding lurus dengan amplitudo dinding sinusoidal. Kemudian perhatikan Gambar 4.8 dan Gambar 4.9. Berdasarkan kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk perbandingan antara amplitudo dinding sinusoidal dengan lebar sungai (εG) yang sama, maka besarnya amplitudo gelombang refleksi untuk kasus subcritical detuning tidak selalu lebih kecil dari amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Sedangkan untuk kasus supercritical detuning, besarnya amplitudo gelombang refleksi selalu lebih besar atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Catatan : Jika diambil nilai εG berapun, akan selalu diperoleh hasil yang sama walaupun disini hanya diberikan Gambar 4.8. dan Gambar 4.9.