Bab 3 DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG 3.1
Persamaan Gelombang untuk Dasar Sinusoidal
Dasar laut berbentuk sinusoidal adalah salah satu bentuk dasar laut tak rata yang berupa fungsi sinus atau cosinus. Dasar laut berbentuk sinusoidal ini biasanya terdiri dari beberapa gundukan (bar ) bahkan ada yang terdiri dari berlusin-lusin bar. Amplitudo dari gundukan dapat mencapai ukuran meter. 0
z x
h h0
h(x)
z = -h0 z = -h(x)
Gambar 3.1: Skema lapisan fluida pada dasar laut sinusoidal.
Perhatikan Gambar 3.1. Misalkan domain pengamatan pada dasar sinusoidal ini 16
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
17
adalah {z| − h(x) ≤ z ≤ η(x, t)}, dengan h adalah fungsi satu peubah yang merepresentasikan kedalaman air laut dan η adalah fungsi dua peubah yang merepresentasikan simpangan gelombang permukaan air laut dari keadaan setimbang. Fungsi kedalaman air pada dasar laut sinusoidal adalah h(x) = h0 (1 + εD cos Kx),
(3.1.1)
dengan h0 menyatakan kedalaman air laut pada keadaan setimbang atau ketika dasar laut rata, h0 εD menyatakan amplitudo gundukan dasar sinusoidal, K menyatakan bilangan gelombang dasar sinusoidal, dan ε adalah bilangan yang sangat kecil sekali. Parameter εD adalah parameter tak berdimensi yang menyatakan perbandingan antara amplitudo gundukan dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut pada keadaan normal (h0 ). Persamaan awal yang akan digunakan untuk memodelkan persamaan gelombang air pada dasar sinusoidal adalah persamaan air dangkal (SWE). Persamaan air dangkal yang dilinearkan diberikan oleh ∂(h(x)u) ∂η =− , (3.1.2) ∂t ∂x ∂u ∂η = −g , (3.1.3) ∂t ∂x dengan h(x) diberikan oleh (3.1.1), η(x, t) menyatakan simpangan permukaan air laut dari keadaan setimbang, u(x, t) menyatakan kecepatan horizontal partikel fluida yang ada di permukaan air laut, dan g adalah konstanta gravitasi bumi. Selanjutnya, dari (3.1.2) dan (3.1.3), u(x, t) dapat dieliminasi untuk mendapatkan · ¸ ∂ ∂ 2η ∂η =g h(x) . (3.1.4) ∂t2 ∂x ∂x Perhatikan (3.1.4) dengan h(x) diberikan oleh (3.1.2) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut
· ¸ ∂ 1 ∂ 2η ∂η = h0 (1 + εD cos Kx) . g ∂t2 ∂x ∂x
(3.1.5)
Persamaan (3.1.5) merupakan persamaan gelombang satu dimensi pada dasar sinusoidal.
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
3.2
18
Resonansi Bragg untuk Dasar Sinusoidal
Pada bagian ini akan dibahas suatu fenomena yang akan terjadi apabila suatu gelombang datang melewati dasar sinusoidal khususnya dasar sinusoidal yang memiliki bilangan gelombang sebesar dua kali lipat bilangan gelombang permukaan air laut. Perhatikan bahwa jika ε = 0, maka persamaan (3.1.6) merupakan persamaan gelombang satu dimensi yang mempunyai solusi D’Alembert. Sedangkan jika ε 6= 0 , maka persamaan (3.1.6) mengandung parameter yang memiliki orde sangat kecil sekali yaitu ε sehingga hampiran solusinya dapat diperoleh secara analitis dengan menerapkan metode ekspansi asimtotik. Misalkan ekspansi asimtotik untuk η(x, t) adalah η(x, t) = η0 (x, t) + εη1 (x, t) + ε2 η2 (x, t) + ε3 η3 (x, t) + ....
(3.2.1)
Substitusikan (3.2.1) ke dalam persamaan (3.1.6), maka · µ ¶¸ µ ¶ ∂ ∂η0 ∂η1 1 ∂ 2 η0 ∂ 2 η1 h0 (1 + εD cos Kx) +ε + .... = + ε 2 + .... . (3.2.2) ∂x ∂x ∂x g ∂t2 ∂t Persamaan (3.1.6) akan dipenuhi oleh η(x, t) seperti pada (3.2.1) jika η0 (x, t), η1 (x, t), η2 (x, t), dan seterusnya secara bersama-sama memenuhi (3.2.2). Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (3.2.2) adalah 2 ∂ 2 η0 2 ∂ η0 − c = 0, ∂t2 ∂x2
dengan c=
p
gh0 =
ω , k
(3.2.3)
(3.2.4)
dimana c menyatakan cepat rambat gelombang, ω menyatakan frekuensi gelombang, dan k menyatakan bilangan gelombang yang datang. Jika kita hanya memperhatikan solusi gelombang monokromatik, maka dapat diperoleh bahwa solusi persamaan (3.2.3) adalah η0 =
A ikx−iωt A∗ −ikx+iωt e + e . 2 2
(3.2.5)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
19
Perhatikan bahwa pada (3.2.5), gelombang monokromatik dituliskan dalam bentuk 1 fungsi kompleks mengingat cos(kx − ωt) = (ei(kx−ωt) + e−i(kx−ωt) ). 2 Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (3.2.2) adalah µ ¶ ∂ 2 η1 1 ∂ 2 η1 h0 D ∂ iKx −iKx ∂η0 h0 2 − =− (e +e ) , ∂x g ∂t2 2 ∂x ∂x dengan η0 seperti pada (3.2.5) atau secara eksplisit dapat dituliskan sebagai berikut · µ ¶¸ ∂ 2 η1 1 ∂ 2 η1 h0 D ∂ ikA ikx−iωt ikA∗ −ikx+iωt iKx −iKx h0 2 − = − (e +e ) e + e , ∂x g ∂t2 2 ∂x 2 2 · h0 D ∂ ikA i(K+k)x−iωt ikA∗ i(K−k)x+iωt = − e − e 2 ∂x 2 2 ¸ ikA i(−K+k)x−iωt ikA∗ −i(K+k)x+iωt + e − e . 2 2 (3.2.6) Perhatikan bahwa ruas kanan persamaan (3.2.6) memuat suku-suku ei(K−k)x+iωt dan ei(−K+k)x+iωt . Jika K = 2k, maka suku-suku tersebut merupakan solusi homogen dari (3.2.6). Hal ini mengindikasikan akan terjadinya resonansi pada solusi η1 . Resonansi ini disebut resonansi Bragg. Selanjutnya, akan ditinjau jika bilangan gelombang dasar laut sinusoidal hampir dua kali lipat bilangan gelombang permukaannya atau dapat ditulis sebagai berikut : K = 2k + δ,
(3.2.7)
dengan δ suatu bilangan yang kecil (δ ¿ k). Untuk mengilustrasikan terjadinya resonansi, akan diamati pengaruh dari satu suku di ruas kanan persamaan (3.2.6) yaitu ei(K−k)x+iωt , sehingga h0
∂ 2 η1 1 ∂ 2 η1 − = Eeiφ0 eiδx , ∂x2 g ∂t2
dengan E suatu konstanta, φ0 = kx + ωt, dan δ = K − 2k.
(3.2.8)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
20
Persamaan tak homogen (3.2.8) dapat diselesaikan dengan menerapkan metode koefisien tak tentu sehingga solusinya adalah η1 =
Eeiφ0 Eeiφ0 eiδx − , h0 ((k + δ)2 − k 2 ) h0 ((k + δ)2 − k 2 )
η1 =
Eeiφ0 (1 − eiδx ) Eeiφ0 (1 − eiδx ) = . h0 ((k + δ)2 − k 2 ) h0 δ(2k + δ)
Perhatikan bahwa η1 ∼ O( 1δ ) karena pembilang η1 berorde satu, sedangkan penyebutnya berorde δ. Jika δ = O(ε), maka η1 ∼ O( 1ε ) sehingga εη1 = O(1). Ini berarti bahwa suku kedua pada ruas kanan persamaan (3.2.1) memberikan pengaruh yang signfikan terhadap suku pertama di ruas kanan persamaan (3.2.1) yaitu η0 (x, t) sehingga persamaan (3.2.1) menjadi tidak berlaku lagi.
3.3
Amplitudo Gelombang Transmisi dan Gelombang Refleksi
Pada Subbab 3.2 telah diuraikan bahwa jika η1 ∼ O( 1ε ) maka εη1 = O(1). Ini berarti O(η0 ) = O(εη1 ). Sedangkan hampiran solusi yang diinginkan adalah apabila suku-suku kedua, ketiga dan seterusnya pada ruas kanan persamaan (3.2.1) memiliki orde yang jauh lebih kecil dari suku-suku sebelumnya, atau dapat dituliskan sebagai berikut : O(η0 ) >> O(εη1 ) >> O(ε2 η2 ) >> .... Oleh karena itu, metode asimtotik biasa tidak dapat diterapkan pada masalah ini sehingga persamaan (3.2.1) menjadi tidak berlaku. Metode yang sesuai untuk menghampiri solusi pada masalah ini adalah metode asimtotik multi skala. Mula-mula akan diperkenalkan variabel ’cepat’ dan ’lambat’, yang dapat dituliskan secara berturut-turut sebagai berikut x
dan
x = εx.
(3.3.1)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
21
Kita asumsikan bahwa gelombang datang memiliki frekuensi ω + εω 0 , dengan εω 0 merepresentasikan sedikit gangguan pada frekuensi dan memberikan kenaikan yang cukup kecil pada komponen waktu. Oleh karena itu, variabel waktunya adalah t
dan
t = εt,
(3.3.2)
sehingga turunan parsialnya menjadi : ∂ ∂ ∂ → +ε ∂x ∂x ∂x
∂ ∂ ∂ → +ε ∂t ∂t ∂t
.
(3.3.3)
Selanjutnya, misalkan η(x, x; t, t) = η0 (x, x; t, t) + εη1 (x, x; t, t) + ε2 η2 (x, x; t, t) + ....
(3.3.4)
Substitusikan (3.3.3) dan (3.3.4) ke (3.1.6) sehingga diperoleh: µ µ ¶¶¸ · 2 ∂η0 ∂ η0 ∂ 2 η0 ∂ 2 η1 ∂ h0 + 2ε + ε 2 + .... + εD cos Kx + .... = ∂x2 ∂x∂x ∂x ∂x ∂x · ¸ 1 ∂ 2 η0 ∂ 2 η0 ∂ 2 η1 + 2ε + ε 2 + .... . (3.3.5) g ∂t2 ∂t ∂t∂t Suku-suku yang memiliki O(1) pada persamaan (3.3.5) adalah h0
∂ 2 η0 1 ∂ 2 η0 − = 0. ∂x2 g ∂t2
(3.3.6)
Solusi persamaan (3.3.6) adalah η0 =
A(x, t) ikx−iωt B(x, t) −ikx−iωt e + c.c + e + c.c, 2 2
(3.3.7)
dengan c.c adalah konjugat kompleksnya, A dan B adalah fungsi dua peubah yang bergantung pada x dan t. Perhatikan bahwa
A(x,t) 2
dan
B(x,t) 2
secara berturut-turut merupakan envelope bagi
gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri. Besar kecilnya amplitudo gelombang yang menjalar ke kanan dan ke kiri secara langsung dapat diperoleh melalui besar kecilnya A(x, t) dan B(x, t).
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Suku-suku yang memiliki O(ε) pada persamaan (3.3.5) adalah µ ¶ ∂ 2 η0 ∂ 2 η1 ∂ ∂η0 2 ∂ 2 η0 1 ∂ 2 η1 2h0 + h0 2 + h0 D cos Kx = + , ∂x∂x ∂x ∂x ∂x g ∂t∂t g ∂t2 · ¸ ∂ 2 η0 ∂ 1 iKx ∂ 2 η1 1 ∂ 2 η1 2 ∂ 2 η0 −iKx ∂η0 − 2h0 h0 2 − = − h0 D (e +e ) . ∂x g ∂t2 g ∂t∂t ∂x∂x ∂x 2 ∂x
22
(3.3.8)
Kemudian, substitusikan K = 2k dan persamaan (3.3.7) ke (3.3.8), lalu sederhanakan sehingga diperoleh · ¸ 1 ∂A ∂ 2 η1 1 ∂ 2 η1 ∂B ikx−iωt −ikx−iωt h0 2 − = (−iω)e + c.c + (−iω)e + c. ∂x g ∂t2 g ∂t ∂t · −h0
¸ ∂B ∂A ikx−iωt −ikx−iωt (ik)e + c.c + (−ik)e + c.c ∂x ∂x
· ∂ h0 D ∂ (e2ikx + e−2ikx ) (Aeikx−iωt + c.c − 4 ∂x ∂x ¤ +Be−ikx−iωt + c.c) . (3.3.9) Suku terakhir pada ruas kanan persamaan (3.3.9) dapat disederhanakan menjadi −
h0 D 2 ikx−iωt (k Be + c.c + k 2 Ae−ikx−iωt + c.c− 4 3k 2 Ae3ikx−iωt + c.c − 3k 2 Be−3ikx−iωt + c.c).
Untuk menghindari resonansi yang tidak terbatas dan untuk menjamin adanya solusi bagi η1 , maka koefisien-koefisien e±i(kx−ωt) dan e±i(kx+ωt) pada ruas kanan (3.3.9) harus dibuat nol sehingga diperoleh ∂A(x, t) ∂A(x, t) ikcD + B(x, t), = ∂x 4 ∂t
(3.3.10)
ikcD ∂B(x, t) ∂B(x, t) = A(x, t). −c ∂x 4 ∂t
(3.3.11)
c
Persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) menunjukkan bahwa A(x, t) dan B(x, t) saling terkait. Melalui eliminasi dan manipulasi aljabar, persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) dapat dituliskan menjadi persamaan-persamaan bagi A(x, t) dan B(x, t) yang saling
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
23
terpisah. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan Klein-Gordon. Persamaan Klein-Gordon untuk amplitudo simpangan gelombang diberikan oleh ∂ 2 A(x, t) ∂t
2
− c2
∂ 2 A(x, t) + (Ω0 )2 A(x, t) = 0, 2 ∂x
(3.3.12)
dengan Ω0 ≡
kcD ωD = , 4 4
(3.3.13)
yang memiliki dimensi (satuan) frekuensi.
3.4
Koefisien Transmisi dan Refleksi Untuk Dasar Laut Sinusoidal
Perhatikan Gambar 3.2. Bayangkan suatu gelombang monokromatik datang dari sebelah kiri dasar sinusoidal (x < 0) kemudian merambat ke kanan dan melewati dasar sinusoidal yang panjangnya L. Ketika gelombang melewati dasar sinusoidal (0 < x < L), maka pada daerah ini akan terjadi banyak sekali transmisi (perambatan yang searah dengan arah datang gelombang) dan refleksi (pemantulan yaitu perambatan yang berlawanan dengan arah datang gelombang) gelombang. Ketika keluar dari daerah dasar sinusoidal (x > L), gelombang akan terus merambat ke kanan. Kemudian kita asumsikan bahwa di sebelah kanan dasar sinusoidal terdapat pantai yang dapat menyerap semua gelombang sehingga setelah keluar dari daerah dasar sinusoidal, maka gelombang akan terus ditransmisikan ke kanan tanpa ada bagian yang direfleksikan ke kiri. Sekarang akan ditinjau mengenai pengaruh dasar sinusoidal terhadap amplitudo gelombang transmisi dan refleksi melalui koefisien transmisi dan refleksi. Koefisien transmisi adalah perbandingan antara amplitudo gelombang transmisi dengan amplitudo gelombang monokromatik, sedangkan koefisien refleksi adalah perbandingan antara amplitudo gelombang refleksi dengan amplitudo gelombang monokromatik. Melalui kedua koefisien tersebut, kita juga akan melihat apakah dasar sinusoidal
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
24
Gelombang datang
transmisi
refleksi
0
L
Gambar 3.2: Gelombang datang, gelombang transmisi dan gelombang refleksi.
ini dapat berperan sebagai reflektor gelombang atau tidak. Dasar sinusoidal dapat berperan sebagai reflektor gelombang jika nilai koefisien refleksi yang dihasilkan cukup besar atau koefisien transmisinya cukup kecil. Mula-mula, pada subbab ini akan dibahas suatu kondisi ketika gelombang datang memiliki bilangan gelombang yang sedikit berbeda dengan gelombang datang penyebab resonansi. Gelombang datang dimisalkan memiliki bilangan gelombang k + εK dan frekuensi ω + εΩ, dimana Ω = O(ω) dan K = O(k). Karena k + εK dan ω + εΩ harus memenuhi hubungan (3.2.4), maka Ω = Kc.
(3.4.1)
Dengan demikian, gelombang monokromatik yang datang dimisalkan sebagai berikut ζ = A0 e[i(k+εK)x−(ω+εΩ)t] + c.c
,
x < 0,
atau dapat ditulis sebagai ζ = A(x, t)eikx−iωt ,
(3.4.2)
A(x, t) = A0 eiK(x−ct) ,
(3.4.3)
dengan
dimana A0 menyatakan amplitudo gelombang datang.
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
25
Di sebelah kiri dasar laut sinusoidal, yaitu ketika x < 0, berlaku hubungan berikut ∂A ∂A +c = 0, ∂x ∂t dan ∂B ∂B −c = 0. ∂x ∂t Hubungan ini berlaku karena pada x < 0, gelombang yang merambat ke kanan tidak berinteraksi dengan gelombang yang merambat ke kiri sehingga A dan B tidak saling mempengaruhi. Gelombang A dan B masing-masing bergerak mengikuti persamaan transport sehingga gelombang A bergerak ke kanan dan gelombang B bergerak ke kiri. Di sebelah kanan dasar laut sinusoidal, yaitu ketika x > L, berlaku hubungan berikut ∂A ∂A +c = 0, ∂x ∂t dan B = 0 karena pada daerah ini tidak ada lagi gelombang yang menjalar ke kiri, mengingat semua gelombang terserap di sisi kanan. Sedangkan di daerah dasar laut sinusoidal (0 < x < L) berlaku persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) atau persamaan Klein-Gordon. Pada domain ini dimisalkan solusinya berbentuk A(x, t) = A0 T (x)e−iΩt , B(x, t) = A0 R(x)e−iΩt ,
(3.4.4)
dengan T (x) menyatakan koefisien transmisi dan R(x) menyatakan koefisien refleksi. Untuk lebih jelasnya, persamaan yang berlaku pada setiap daerah diberikan oleh Tabel 3.1. Karena A(x, t) dan B(x, t) harus memenuhi persamaan Klein-Gordon, maka substitusikan nilai A(x, t) dan B(x, t) yang diberikan oleh (3.4.4) ke persamaan KleinGordon untuk memperoleh persamaan berikut µ 2 ¶ ∂ 2 T (x) Ω − Ω20 + T (x) = 0 c2 ∂x2
untuk
0 < x < L,
(3.4.5)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG Daerah
Persamaan
x<0
∂A ∂B ∂A ∂B +c = 0, −c = 0. ∂x ∂x ∂t ∂t
0<x
c
26
∂A(x, t) ∂A(x, t) ikcD + = B(x, t), ∂x 4 ∂t
∂B(x, t) ∂B(x, t) ikcD −c = A(x, t). ∂x 4 ∂t ∂A ∂A +c = 0, B = 0. ∂x ∂t
x>L
Tabel 3.1: Skema persamaan A dan B beserta daerah keberlakuannya. dengan Ω0 diberikan pada (3.3.14). Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan bahwa persamaan (3.4.5) juga berlaku untuk R(x). Lebih jauh lagi, A(x, t) dan B(x, t) harus kontinu di x = 0 dan x = L sehingga A0 T (0)e−iΩt = A0 e−iKct
atau
T (0) = 1,
dan karena B(x, t) = 0 untuk x > L, maka B(x, t) = A0 R(L)e−iΩt = 0
atau
R(L) = 0.
Selain itu, substitusikan nilai A(x, t) dan B(x, t) yang diberikan oleh (3.4.4) ke persamaan (3.3.10) untuk memperoleh hubungan berikut : −iΩT (x) + c
∂T (x) = iΩ0 R(x). ∂x
(3.4.6)
Persamaan (3.4.6) digunakan untuk mencari syarat batas bagi T dan R di x = L yang akan digunakan dalam mencari solusi T (x) dan R(x). Perhatikan (3.4.5). Solusi (3.4.5) akan berbeda-beda bergantung pada tanda (positif
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
27
atau negatif) dari Ω2 − Ω20 . Oleh karena itu, penyelesaian solusi (3.4.5) akan dibagi menjadi beberapa kasus yaitu : Kasus 1 : Subcritical Detuning Subcritical Detuning terjadi jika 0 < Ω < Ω0 . Tuliskan
q Qc ≡ Ω20 − Ω2 ,
(3.4.7)
kemudian selesaikan persamaan (3.4.5) dan substitusikan syarat batas T (0)=1 untuk memperoleh solusi umum T (x) = cosh Qx + M sinh Qx, T 0 (x) = Q(sinh Qx + M cosh Qx), dengan M adalah suatu konstanta yang bisa diperoleh apabila terdapat satu buah syarat batas lagi. Syarat batas tersebut dapat diperoleh dengan mengevaluasi persamaan (3.4.6) di titik L dengan R(L) = 0. Pada akhirnya akan diperoleh solusi khusus untuk koefisien transmisi T (x) yaitu : T (x) =
iQc cosh Q(L − x) + Ω sinh Q(L − x) . iQc cosh QL + Ω sinh QL
(3.4.8)
Untuk memperoleh koefisien refleksi R(x), substitusikan persamaan (3.4.8) ke persamaan (3.4.6), untuk menghasilkan R(x) =
−Ω0 sinh Q(L − x) . iQc cosh QL + Ω sinh QL
(3.4.9)
Kasus 2 : Supercritical Detuning Supercritical Detuning terjadi jika Ω > Ω0 . Tuliskan
q Pc ≡
Ω2 − Ω20 ,
(3.4.10)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
28
kemudian selesaikan persamaan (3.4.5) dan substitusikan syarat batas T (0)=1 untuk memperoleh solusi umum T (x) = cos P x + N sin P x, T 0 (x) = −P sin P x + N P cos P x, dengan N adalah suatu konstanta yang bisa diperoleh apabila terdapat satu buah syarat batas lagi. Syarat batas tersebut dapat diperoleh dengan mengevaluasi persamaan (3.4.6) di titik L dengan R(L) = 0. . Pada akhirnya akan diperoleh solusi khusus untuk koefisien transmisi T (x) yaitu : T (x) =
P c cos P (L − x) − iΩ sin P (L − x) . P c cos P L − iΩ sin P L
(3.4.11)
Untuk memperoleh koefisien refleksi R(x), substitusikan persamaan (3.4.11) ke persamaan (3.4.6), sehingga diperoleh R(x) =
iΩ0 sin P (L − x) . P c cos P L − iΩ sin P L
(3.4.12)
Kasus 3 : Resonansi Sempurna Resonansi sempurna terjadi ketika K = 2k dan Ω = 0. Jika Ω = 0, maka persamaan (3.4.8) dan (3.4.9) menjadi
dan
Ω0 (L − x) cosh A c = , T (x) = A0 Ω0 L cosh c
(3.4.13)
Ω0 (L − x) i sinh B c = R(x) = . A0 Ω0 L cosh c
(3.4.14)
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
3.5 3.5.1
29
Simulasi dan Pembahasan Resonansi Sempurna
Misalkan suatu gelombang monokromatik yang memiliki panjang gelombang 2 m, merambat melalui dasar laut sinusoidal yang memiliki panjang gelombang 1 m dan memiliki panjang L = 10m. Dengan demikian, bilangan gelombang monokromatik adalah k = 2π/2 = π dan bilangan gelombang dasar sinusoidal adalah K = 2π/1 = 2π. Karena pada contoh ini K = 2k, maka gelombang tersebut mengalami resonansi sempurna ketika melewati dasar sinusoidal. Oleh karena itu, fungsi R dan T yang digunakan adalah fungsi yang diberikan oleh (3.4.13) dan (3.4.14). Fungsi R yang diberikan oleh (3.4.14) adalah fungsi dengan peubah x. Fungsi R yang akan diamati adalah fungsi R pada variabel fisis yaitu fungsi R dengan peubah x. Persamaan (3.3.1) memberikan x = εx sehingga (3.4.14) dapat disederhanakan menjadi b R(x) ≡ R(εx) =
εkD(L − x) 4 . εkDL cosh 4
i sinh
(3.5.1)
b Berdasarkan nilai-nilai konstanta yang diketahui, maka fungsi R(x) dari (3.5.1) dapat disederhanakan menjadi : b R(x) =
επD(10 − x) 4 . 10επD cosh 4
i sinh
(3.5.2)
b Kemudian plot grafik R(x) pada (3.5.2) untuk berbagai nilai εD, dimana εD merepresentasikan perbandingan antara amplitudo gundukan dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut pada keadaan setimbang (h0 ). b = 0 untuk Perhatikan Gambar 3.3. Pada daerah x ≥ L = 10, diperoleh bahwa R setiap nilai εD dan x. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut tidak ada lagi gelombang yang direfleksikan ke kiri. Semua gelombang terserap di sisi kanan sehingga
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
30
0.8
0.6
R 0.4
0.2
0 -5
0
5
10
15
x Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.14
b Gambar 3.3: Grafik R(x) pada dasar laut sinusoidal untuk beberapa nilai εD.
hanya ada gelombang yang merambat ke kanan. b Pada daerah 0 ≤ x < L = 10, kurva R(x) tidak konstan. Hal ini terjadi karena pada daerah tersebut terjadi banyak sekali interaksi antara gelombang yang merambat ke b selalu berbeda-beda di setiap titik. Pada daerah kiri dan ke kanan sehingga nilai R b ini juga dapat dilihat bahwa untuk setiap εD, kurva R(x) tidak pernah saling berpob juga selalu berbeda untuk nilai εD yang berbeda. Selain itu, tongan. Jadi, nilai R b juga selalu Gambar 3.3 menunjukkan bahwa semakin besar nilai εD, maka nilai R b semakin besar untuk setiap x. Juga dapat dilihat bahwa R(x) merupakan fungsi yang menurun pada interval 0 ≤ x < L = 10. b berbeda-beda untuk setiap nilai εD. Pada daerah x ≤ 0, diperoleh bahwa nilai R b Tetapi dapat dilihat bahwa untuk nilai εD yang sama, kurva R(x) selalu berupa garis horizontal. Hal ini terjadi karena pada daerah x ≤ 0, sudah tidak ada lagi interaksi antara gelombang yang menjalar ke kanan dengan gelombang yang direfb bernilai konstan untuk x ≤ 0 leksikan ke kiri, sehingga R
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
31
R0
εD
b Gambar 3.4: Grafik R(0) sebagai fungsi dari εD.
Perhatikan Gambar 3.4. Sumbu x menyatakan nilai εG dan sumbu y menyatakan b b nilai R(0). Untuk εD = 0.14, diperoleh bahwa R(0) = ±0.8. Ini berarti bahwa amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri adalah sebesar 0.8 kali amplitudo b gelombang yang datang. Kurva R(0) adalah fungsi yang terus naik sebanding dengan bertambahnya nilai εD. Dengan demikian, semakin besar amplitudo dasar b sinusoidal, maka semakin besar nilai R(0). Artinya, semakin besar perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan ke kiri. Dengan demikian, dasar sinusoidal dapat menyebabkan terjadinya refleksi gelombang yang cukup besar. Semakin besar amplitudo gundukan dasar sinusoidal, maka dasar sinusoidal sebagai reflektor gelombang semakin baik. Sekarang, akan dilihat perbandingan antara solusi yang diperoleh secara analitik dengan solusi yang diperoleh secara numerik. Perhatikan bahwa persamaan (3.3.11) dan (3.3.12) dapat ditulis sebagai berikut : kcεD b ∂A ∂A + = B, ∂x ∂t 4
(3.5.3)
b b ∂B −kcεD ∂B −c = A, ∂t ∂x 4
(3.5.4)
c
b = iB. Solusi numerik diperoleh dengan menggunakan metode beda hingga dengan B untuk mendiskritisasi persamaan (3.5.3) dan (3.5.4).
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
32
0.7 Epsilon D = 0.08 Epsilon D = 0.1 Epsilon D = 0.12 Epsilon D = 0.14
0.6
0.5
R
0.4
0.3
0.2
0.1
0 0
2.5
5
7.5
10
12.5
x
b Gambar 3.5: Grafik R(x) pada dasar laut sinusoidal untuk beberapa nilai εD yang diperoleh secara numerik.
Solusi numerik untuk berbagai nilai εD dapat dilihat pada Gambar 3.5. Secara kualitatif, solusi numerik untuk dasar sinusoidal memberikan kesimpulan yang sama dengan solusi analitik yaitu semakin besar perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air, maka semakin besar amplitudo gelombang yang direfleksikan menjauhi pantai. Ini berarti bahwa secara kualitatif, solusi numerik dan solusi analitik telah memberikan hasil yang sesuai.
3.5.2
Perbandingan Resonansi Sempurna, Subcritical Detuning, dan Supercritical Detuning
Untuk melihat perbandingan antara resonansi sempurna, subcritical detuning, dan supercritical detuning, maka diambil beberapa konstanta yang diketahui seperti pada Subbab 3.5.1, yaitu panjang gelombang monokromatik yang datang adalah 2 m dengan bilangan gelombang k = π, dan panjang gelombang dasar sinusoidal 1 m dengan L = 10 m. Kemudian, misalkan cepat rambat gelombang monokromatik c = 200 dan D = 0.05. Untuk kasus subcritical detuning dipilih Ω < Ω0 , sedangkan untuk kasus supercritical detuning dipilih Ω > Ω0 .
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
Epsilon D = 0.08
Epsilon D = 0.08
Epsilon D = 0.1
Epsilon D = 0.1
Epsilon D = 0.12
Epsilon D = 0.12
Epsilon D = 0.14
Epsilon D = 0.14
33
b Gambar 3.6: Grafik R(x) dasar
b Gambar 3.7: Grafik R(x) dasar
laut sinusoidal (subcritical detun-
laut sinusoidal (supercritical de-
ing).
tuning).
Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna
Subcritical detuning Supercritical detuning Resonansi sempurna
b Gambar 3.8: Grafik R(x) dasar
b Gambar 3.9: Grafik R(x) dasar
laut sinusoidal untuk εD = 0.14
laut sinusoidal untuk εD = 0.08
pada tiga kasus.
pada tiga kasus.
Perhatikan Gambar 3.3, Gambar 3.6, dan Gambar 3.7. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat dilihat bahwa kasus subcritical detuning dan kasus supercritical detuning memberikan hasil yang serupa dengan kasus resonansi sempurna yaitu
BAB 3. DASAR SINUSOIDAL SEBAGAI REFLEKTOR GELOMBANG
34
besarnya amplitudo gelombang refleksi berbanding lurus dengan amplitudo dasar sinusoidal. Kemudian perhatikan Gambar 3.8 dan Gambar 3.9. Berdasarkan kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk perbandingan antara amplitudo dasar sinusoidal dengan kedalaman air laut (εD) yang sama, maka besarnya amplitudo gelombang refleksi untuk kasus subcritical detuning selalu lebih kecil atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Sedangkan untuk kasus supercritical detuning, besarnya amplitudo gelombang refleksi selalu lebih besar atau sama dengan amplitudo gelombang refleksi pada kasus resonansi sempurna. Catatan : Jika diambil nilai εG berapun, akan selalu diperoleh hasil yang sama walaupun disini hanya diberikan Gambar 3.8. dan Gambar 3.9.