BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Promosi Kesehatan Menurut WHO (1947), pengertian kesehatan secara luas tidak hanya meliputi aspek medis, tetapi juga aspek mental dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Maulana, 2009), sedangkan pengertian kesehatan menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini berarti, kesehatan tidak hanya diukur dari aspek fisik mental dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi (Notoatmodjo, 2010). Hasil rumusan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Canada menyatakan bahwa promosi kesehatan adalah suatu proses untuk memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2010). Menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses mengupayakan individuindividu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengandalkan faktor- faktor yang mempengaruhi kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat
8
9
kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang dirumuskan WHO, Indonesia merumuskan pengertian promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasana kesehatan (Depkes RI, 2005). Batasan promosi kesehatan yang dirumuskan oleh Yayasan Kesehatan Victoria (Victorian Health Foundation-Australia, 1997) dalam Notoatmodjo (2010) menekankan bahwa promosi kesehatan adalah suatu program perubahan perilaku masyarakat yang menyeluruh dalam konteks masyarakatnya. Bukan hanya perubahan perilaku (within people), tetapi juga perubahan lingkungannya. Perubahan perilaku tanpa diikuti perubahan lingkungan tidak akan efektif, perubahan tersebut tidak akan bertahan lama.
2.2. Promosi Kesehatan dan Perilaku Masalah kesehatan masyarakat, termasuk penyakit, ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu faktor perilaku dan non perilaku (faktor sosial, ekonomi, politik dan sebagainya). Oleh sebab itu, upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya pemberantasan penyakit menular, penyediaan pelayanan kesehatan dan sebagainya adalah upaya intervensi terhadap faktor fisik (non perilaku). Sedangkan upaya intervensi terhadap
10
faktor perilaku menurut Notoatmodjo (2010) dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yakni : a. Pendidikan (educational) Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara
(mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarnnya melalui proses pembelajaran. Sehingga perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama karena perubahan melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama. b. Paksaan atau tekanan (Coercion) Paksaan atau tekanan yang dilakukan kepada masyarakat agar melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan meraka sendiri. Tindakan atau perilaku sebagai hasil tekanan ini memang cepat, tetapi tidak akan langgeng karena tidak didasari oleh pemahaman dan kesadaran untuk apa mereka berperilaku seperti itu. Berdasarkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dua pendekatan tersebut, maka pendekatan pendidikanlah paling cocok sebagai upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat, melalui faktor perilaku.
11
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan, maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan promosi kesehatan harus disesuaikan dengan determinan (faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri). Menurut Green (1980), perilaku ini ditentukan oleh 3 faktor utama, yakni : a. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat. Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial. b. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. c. Faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan dan perundang-undangan yang memperkuat. Berdasarkan 3 faktor determinan perilaku tersebut, maka kegiatan promosi kesehatan sebagai pendekatan perilaku hendaknya diarahkan kepada 3 faktor tersebut.
12
2.3. Visi dan Misi Promosi Kesehatan Visi promosi kesehatan (khususnya di Indonesia) tidak terlepas dari visi pembangunan kesehatan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi sumber daya manusia yang produktif secara sosial ekonomi. Oleh sebab itu, promosi kesehatan sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian dalam mewujudkan visi pembangunan kesehatan di Indonesia tersebut. Sehingga visi promosi kesehatan dapat dirumuskan sebagai masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2010). Mewujudkan visi promosi kesehatan tersebut, maka diperlukan upaya-upaya. Upaya-upaya untuk mewujudkan visi ini disebut sebagai misi promosi kesehatan. Secara umum misi promosi kesehatan ini, seperti yang termuat dalam Ottawa Charter (1984) sekurang-kurangnya ada tiga hal yakni : a. Advokat (Advocate) Kegiatan advokat ini dilakukan terhadap para pengambil keputusan dari berbagai tingkat, dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah meyakinkan para pejabat pembuat keputusan atau penentu kebijakan, bahwa program kesehatan yang dijalankan tersebut penting. Oleh sebab itu, perlu dukungan kebijakan atau keputusan dari para pejabat tersebut.
13
b. Menjembatani (Mediate) Promosi kesehatan juga mempunyai misi sebagai mediator atau menjembatani antara sektor kesehatan dengan sektor yang lain sebagai mitra. Dengan perkataan lain promosi kesehatan merupakan perekat kemitraan di bidang pelayanan kesehatan. Kemitraan sangat penting, sebab tanpa kemitraan, niscaya sektor kesehatan mampu menangani masalah-masalah kesehatan yang begitu kompleks dan luas. c. Memampukan (Enabling) Sesuai dengan visi promosi kesehatan, yakni masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya, promosi kesehatan mempunyai misi utama untuk memampukan masyarakat. Hal ini berarti, baik secara langsung atau melalui
tokoh-tokoh
masyarakat,
promosi
kesehatan
hanya
memberikan
keterampilan-keterampilan kepada masyarakat agar mereka mandiri di bidang kesehatan.
2.4. Sasaran dan Ruang Lingkup Promosi Kesehatan Maulana (2009) dalam bukunya “Promosi Kesehatan” menjelaskan sasaran promosi kesehatan perlu dikenali secara khusus, rinci, dan jelas agar promosi kesehatan lebih efektif. Adapun sasaran dari adanya promosi kesehatan adalah individu/ keluarga, masyarakat, pemerintah/ lintas sektor/ politisi/ swasta dan petugas atau pelaksana program. Sehubungan dengan hal itu, promosi kesehatan dihubungkan dengan beberapa tatanan, antara lain tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan institusi
14
kesehatan, tatanan tempat-tempat umum. Agar lebih spesifik menurut Maulana (2009, sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu: a.
Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan mau berperilaku sesuai harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan perilaku tersebut.
b.
Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau disegani oleh sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer.
c.
Sasaran tersier, adalah para pengambil kebijakan, penyandang dana, pihak-pihak yang berpengaruh di berbagai tingkat (pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa/ kelurahan). Selain membutuhkan sasaran yang jelas, maka promosi kesehatan juga harus
mempunyai ruang lingkup. Sehingga semua berjalan dengan jelas. Berdasarkan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Canada tahun 1986, dalam bukunya maulana (2009) promosi kesehatan dikelompokkan menjadi lima area, yaitu: a. Kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan (health public policy) Kegiatan ditujukan pada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan. Hal ini berarti setiap kebijakan pembangunan dalam bidang apa pun harus mempertimbangkan dampak kesehatan bagi masyarakat.
15
b. Mengembangkan jaring kemitraan dan lingkungan yang mendukung (create partnership and supportive environment) Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pemimpin organisasi masyarakat, serta pengelola tempat-tempat umum, dan diharapkan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik yang mendukung atau kondusif terhadap kesehatan masyarakat. c.
Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemberi dan penerima pelayanan. Orientasi pelayanan diarahkan dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek (melibatkan masyarakat dalam pelayanan kesehatan) yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri. Hal tersebut berarti pelayanan kesehatan lebih diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. d.
Meningkatkan keterampilan individu (increase individual skills) Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang terdiri atas kelompok,
keluarga, dan individu. Kesehatan masyarakat terwujud apabila kesehatan kelompok, keluarga, dan individu terwujud. Oleh sebab itu, peningkatan keterampilan anggota masyarakat atau individu sangat penting untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat memelihara serta meningkatkan kualitas kesehatannya.
16
e.
Mamperkuat kegiatan masyarakat (strengthen community action) Derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara efektif, jika unsur-unsur
yang terdapat di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Memperkuat kegiatan masyarakat berarti memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah berjalan di masyarakat, sehingga lebih dapat berkembang. Menurut Ewles dan Simnett (1994) dalam bukunya Maulana (2009), ada lima pendekatan promosi kesehatan, yaitu: a.
Pendekatan medik Pendekatan ini mempunyai tujuan yaitu membebaskan dari penyakit dan
kecacatan yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan jantung. Pendekatan ini melihat intervensi kedokteran untuk mencegah atau meringankan kesakitan. Pendekatan ini memberikan arti penting terhadap tindakan pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi kedokteran, membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan. b.
Pendekatan perubahan perilaku Pendekatan ini bertujuan mengubah sikap dan perilaku individual masyarakat,
sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat. Pendekatan ini meyakinkan kita bahwa gaya hidup sehat merupakan hal penting bagi klien. c.
Pendekatan pendidikan Pendekatan ini bertujuan memberikan informasi dan memastikan pengetahuan
dan pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan atas dasar informasi yang ada.
17
d.
Pendidikan berpusat pada klien Tujuan dari pendekatan ini adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu
mereka mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka. e.
Pendekatan perubahan sosial Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan pada perilaku
setiap individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan nilai penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, memiliki komitmen pada penempatan kesehatan dalam agenda politik diberbagai tingkat.
2.5. Strategi Promosi Kesehatan Menurut Chandller (1996), strategi adalah penetapan dari tujuan dan sasaran jangka panjang suatu organisasi serta penggunaan serangkaian tindakan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada tiga komponen dari defenisi Chandler yaitu adanya tujuan dan sasaran, adanya cara bertindak dan alokasi daya untuk mencapai tujuan itu (Salusu, 1996). Kotten
dalam Salusu (1996) mencoba menjelaskan mengenai tipe-tipe
strategi. Tipe-tipe strategi yang ia kemukanan berikut ini sering dianggap sebagai suatu hirearki. Tipe-tipe strategi yang dimaksud adalah :
18
a. Strategi organisasi (corporate strategy) Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatifinisiatif strategi yang baru. Pembatasan-pembatasan diperlukan yaitu apa yang dilakukan untuk siapa. b. Strategi program (program strategy) Strategi ini lebih memberikan perhatian kepada implikasi-implikasi startagi dari program
tertentu.
Apa
kira-kira
dampaknya
apabila
program
tertentu
diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi. c. Strategi pendukung sumber daya (resource support strategy) Strategi ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan sumber-sumber daya esensial yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Sumber daya itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dan sebagainya. d. Strategi kelembagaan (institusional strategi) Fokus dari strategi ini adalah mengembangkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiataif strategi. Kotten juga menambahkan bahwa terlepas dari pendekatan yang digunakan dalam membagi strategi itu kedalam beberapa beberapa kategori, kita cukup diberi petunjuk bahwa strategi organisasi tidak hanya satu. Disamping itu tiap-tiap strategi ini saling menopang sehingga merupakan suatu kesatuan kokoh yang mampu menjadikan organisasi sebagai lembaga yang kokoh pula, mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menentu. Setiap strategi yang telah dirumuskan
19
diharapkan
dapat
secepatnya
diimplementasikan.
Tidak
hanya
dapat
diimplementasikan, akan tetapi juga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Strategi menurut Notoatmodjo (2010) adalah cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna. Berdasarkan rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu: 2.5.1. Advokasi Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dengan kata lain advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh komitmen, yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat (Notoatmodjo, 2010). Sementara menurut Efendi dan Makhfudli (2009), advokasi yaitu pendekatan pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Hasil yang diharapkan adalah kebijakan dan peraturan-peraturan yang mendukung untuk mempengaruhi terciptanya perilaku hidup bersih dan sehat, serta adanya dukungan dana dan sumber daya lainnya. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain, pendekatan perorangan. Pendekatan tersebut seperti melalui lobi, dialog, negosiasi, debat, petisi, mobilisasi, seminar, dan lain-lain. Advokasi menurut Depkes RI (2008) adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang merupakan
20
kebijakan (misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana dan lain-lain sejenis. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu kebijakan (tidak tertulis) di bidangnya. Tujuan dari adanya advokasi ada dua, yaitu umum dan khusus. 1.
Tujuan umum: diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan, baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikut sertaan dalam kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai keadaan dan usaha.
2.
Tujuan Khusus: a. Adanya pemahaman/ pengenalan/ kesadaran. b. Adanya ketertarikan/ peminatan/ tidak penolakan. c. Adanya kemauan/ kepedulian/ kesanggupan (untuk membantu/ menerima). d. Adanya tindakan/ perbuatan/ kegiatan nyata (yang diperlukan). e. Adanya kelanjutan kegiatan (kesinambungan kegiatan). Keluaran atau output advokasi dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yakni
output dalam bentuk perangkat lunak dan output dalam bentuk perangkat keras (Notoatmodjo, 2010). Indikator output dalam bentuk perangkat lunak adalah peraturan-peraturan atau undang-undang sebagai bentuk kebijakan atau perwujudan dari komitmen politik terhadap program kesehatan, misalnya : undang-undang,
21
peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, surat keputusan gubernur, bupati, camat dan seterusnya. Sedangkan indikator output dalam bentuk perangkat keras antara lain : a.
Meningkatnya dana atau anggaran untuk pembangunan kesehatan.
b.
Tersedianya atau dibangunnya fasilitas atau sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya.
c.
Dibangunnya atau tersedianya sarana dan prasarana kesehatan misalnya air bersih, jamban keluarga atau jamban umum, tempat sampah dan sebagainya.
d.
Dilengkapinya peralatan kesehatan seperti laboratorium peralatan pemeriksaan fisik dan lain sebagainya.
2.5.2. Bina Suasana (Social Suppport) Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), bina suasana yaitu penciptaan situasi yang kondusif untuk memberdayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat dapat tercipta dan berkembang jika lingkungan mendukung hal ini. Dalam konteks ini lingkungan mencakup lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik. Bina suasana menurut Depkes RI (2008) adalah upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu atau anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial dimanapun dia berada (keluarga, dirumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, majelis agama dan lain-lain bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut.
22
Oleh karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana. Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana, yaitu (1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan Masyarakat Umum, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Bina suasana individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat. Melalui pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu. 2. Bina suasana kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), kelompok keagamaan, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita, organisasi siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, dan lain-lain. Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yang
23
telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya. 3. Bina suasana masyarakat umum, dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan. Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1) Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan
mengembangkan
kerja
sama
lintas
sektor
termasuk
organisasi
kemasyarakatan, keagamaan, pemuda, wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan teknik serta hal-hal lain yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan. 2.5.3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment) Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan
24
diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono, Pranarka, 1996). Pemberdayaan masyarakat menurut Notoatmodjo (2009) adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat secara langsung dengan tujuan utama yang ingin dicapai adalah agar terwujudnya kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri masyarakat. Bentuk dari pemberdayaan masyarakat antara lain: pelayanan kesehatan gratis, pemberian obat gratis, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi dan pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga. Maulana (2009) membagi tujuan pemberdayaan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pemberdayaan masyarakat yaitu masyarakat mampu
mengenali,
memelihara,
melindungi
dan
meningkatkan
kualitas
kesehatannya, termasuk jika sakit dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengalami
kesulitan dalam pembiayaannya.
Tujuan
khusus
pemberdayaan
masyarakat yaitu memahami dan menyadari pentingnya kesehatan, memiliki keterampilan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, memiliki kemudahan untuk menjaga kesehatan diri dan lingkunganya, berupaya bersama (bergotong-royong) menjaga dan meningkatkan kesehatan lingkungannya. Prinsip dari pemberdayaan masyarakat yaitu menumbuhkembangkan potensi masyarakat, menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan, mengembangkan
25
kegiatan kegotong-royongan di masyarakat, promosi pendidikan dan pelatihan dengan sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat, upaya dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak, desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan kebudayaan setempat). Menurut Depkes RI (2008), pemberdayaan masyarakat adalah proses pemberian informasi
secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan sasaran serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge) dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Tujuan pemberdayaan masayarakat tersebut adalah menumbuhkan potensi masyarakat yang artinya segala potensi masyarakat perlu dioptimalkan untuk mendukung program kesehatan (Depkes RI, 2000). Menurut Sumodingningrat (2004) pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi. Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui
26
tersebut adalah meliputi: 1.
Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2.
Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
3.
Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar, 2004). Keluaran atau hasil yang diharapkan dalam pemberdayaan adalah (Depkes
RI, 2000): a. Tumbuh kembangnya berbagai upaya kesehatan bersumber daya masyarakat serta meningkatnya kemampuan dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. b. Adanya upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat seperti Posyandu, dll. c. Masyarakat menjadi peserta dana sehat/ JPKM.
2.6. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan
masyarakat
tersebut.
Partisipasi
masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah
yang
aktif
memikirkan,
merencanakan,
melaksanakan,
dan
27
mengevaluasikan program-program kesehatan masyarakatnya. Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya (Notoatmodjo, 2007). Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Ada enam jenis tafsiran mengenai partisipasi masyarakat tersebut antara lain: 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program pembangunan tanpa ikut serta dalam pengambil keputusan. 2. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menangapi proyek-proyek atau programprogram pembangunan. 3. Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. 4. Partisipasi adalah penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. 5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri.
28
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Ada lima cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu: 1. Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan. 2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen pembaharu
juga
menyerap
berbagai
informasi
yang
dibutuhkan
dalam
perencanaan. 3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi. 4. Perencanaan melalui pemerintah lokal. 5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development). Menurut Notoatmodjo (2007), di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontribusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat berbentuk daya (tenaga) dan ide (pemikiran). Dalam hal ini dapat diwujudkan di dalam 4 M, yakni manpower (tenaga), money (uang), material (benda-benda lain seperti kayu, bambu, beras, batu, dan sebagainya), dan mind (ide atau gagasan).
29
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat. Pada pokoknya ada 2 cara, yakni (Notoatmodjo (2007): 1. Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation), artinya memaksa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundangundangan, peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget, karena dasarnya bukan kesadaran (awereness), tetapi ketakutan. 2. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi yakni suatu partisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar ditumbuhkan, akan memakan waktu yang lama. Tetapi bila tercapai hasilnya ini akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikan dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Craig dan Mayo dalam Slamet (2003), menyatakan Empowerment is road to participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita.
2.7. Gizi Buruk Gizi buruk adalah keadaan di mana asupan zat gizi sangat kurang dari kebutuhan tubuh. Umumnya gizi buruk ini di derita oleh balita karena pada usia tersebut terjadi peningkatan energi yang sangat tajam dan peningkatan kerentanan
30
terhadap infeksi virus/ bakteri (Almatsier, 2003). Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency, 2005). Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut (Pardede, J, 2006). 2.7.1. Klasifikasi Gizi Buruk Terdapat 3 tipe gizi buruk yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmuskwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda. 1. Marasmus Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus yaitu anak tampak sangat
31
kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, iga gambang dan perut cekung, otot paha mengendor (baggy pant) serta cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar (Depkes RI, 2000). 2. Kwashiorkor Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status mental berupa cengeng, rewel, kadang apatis,rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam, wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak sayu, pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam serta kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas. 3. Marasmus-Kwashiorkor Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000).
32
2.7.2. Dampak Gizi Buruk Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang
kondisi
ini
berdampak
buruk
terhadap
pertumbuhan
maupun
perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi fatal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
33
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005). 2.7.3. Faktor Penyebab Gizi Buruk Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut : 1. Penyebab langsung yaitu kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor.Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkespropsu, 2006). Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara
34
adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005). 2.7.4. Penilaian Status Gizi Balita Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) dalam pedoman Depkes RI (2011) menciptakan aplikasi“WHO anthro” yang dapat digunakan untuk menghitung status gizi dan memantau perkembangan motorik anak. Aplikasi tersebut menggunakan data antropometri seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak perlu dilakukan lagi melakukan perhitungan manual untuk penilaian status gizi. Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-Score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut : a.
Berdasarkan indikator BB/U : Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya nafsu
35
makan atau memnurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Kategori BB/U : 1.
Kategori Gizi Buruk, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Gizi Kurang, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3.
Kategori Gizi Baik, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0
4.
Kategori Gizi Lebih, jika Z-score >2,0
b. Berdasarkan indikator TB/U: Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tingii badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
36
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Menurut Beaton dan Bengoa (1973) indeks TB/U dapat memberikan status gizi masa lampau dan status sosial ekonomi. Kategori TB/U :
c.
1.
Kategori Sangat Pendek, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Pendek, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3.
Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0
Berdasarkan indikator BB/TB: 1.
Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Kurus, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score < -2,0
3.
Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0
4.
Kategori Gemuk, jika Z-score > 2,0
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut : 1.
Prevalensi gizi buruk = (Jumlah balita gizi buruk/jumlah seluruh balita) x 100%
2.
Prevalensi gizi kurang = (Jumlah balita gizi kurang/jumlah seluruh balita) x 100%
3.
Prevalensi gizi baik = (Jumlah balita gizi baik/jumlah seluruh balita) x 100%
4.
Prevalensi gizi lebih = (Jumlah balita gizi lebih/jumlah seluruh balita) x 100%
d. IMT/ U Pengukuran status gizi dilakukan dengan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. IMT/U digunakan untuk anak yang berumur 5-19 tahun, dengan menggunakan z-score. Kategori IMT/U : 1.
Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Kurus, jika Z-score < - 2SD
37
3.
Kategori Normal, jika Z-score -2SD sampai +1SD
4.
Kategori Gemuk, jika Z-score > + 1SD
5.
Kategori Obese I, jika Z-score > +2SD
6.
Kategori Obese II jika, Z-score > +3SD Untuk penilaian status gizi dalam program kesehatan masyarakat, salah satu
cara yang digunakan dalam penentuan status gizi masyarakat adalah dengan cara pengukuran terhadap nilai-nilai dari indeks antropometri. Dalam penentuan status gizi suatu kelompok masyarakat, lebih baik kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini : 1.
Nilai-nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U atau BB/TB) dibandingkan dengan nilai rujukan yang dalam hal ini digunakan Rujukan WHO-2005.
2.
Dengan menggunakan batas ambang (cut-off point) untuk masing-masing indeks, maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan. Didasarkan pada asumsi resiko kesehatan : a.
Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita masalah kesehatan.
b.
Antara -2 s/d -3 atau antara +2 s/d +3 memiliki resiko cukup tinggi (“moderate”) untuk menderita masalah kesehatan.
c.
Di bawah -3 SD atau di atas +3 SD memiliki resiko tinggi untuk menderita masalah kesehatan.
3.
Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak terjadi kerancuan dalam interpretasi.
38
4.
Bila dalam masyarakat ada lebih dari 2,5% balita berada <-2 SD tetapi kurang dari
0,5%
berada
<-3
SD
kemungkinan
besar
penyebabnya
masa-
lahnya adalah kekurangan zat gizi karena berbagai faktor (kemiskinan, ketidak tahuan, pola asuh yang berkaitan dengan penyakit). 5.
Bila dalam suatu masyarakat ada lebih dari 2,5 % balita <-2 SD dan lebih dari 0,5% anak < -3 SD, maka masyarakat tersebut masih memiliki masalah gizi yang perlu penanganan secara komprehensif terhadap akar masalahnya.
2.7.5. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya gizi buruk/KEP berat di tingkat rumah tangga yaitu: a.
Ibu membawa anak untuk ditimbang di posyandu secara teratur setiap bulan untuk mengetahui pertumbuhan berat badannya.
b.
Ibu memberikan hanya ASI saja kepada bayi usia 0-6 bulan.
c.
Ibu tetap memberikan ASI kepada anak sampai usia 2 tahun.
d.
Ibu memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatan anak sesuai anjuran pemberian makanan.
e.
Ibu memberikan makanan beraneka ragam bagi anggota keluarga lainnya.
f.
Ibu segera memberitahukan pada petugas kesehatan/kader bila balita mengalami sakit atau gangguan pertumbuhan.
g.
Ibu menerapkan nasehat yang dianjurkan petugas.
39
Menurut Depkes RI (2005) dalam dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk dinyatakan bahwa terdapat kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk yaitu : 1.
Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah Indonesia dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan gizi buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah.
2.
Penanggulangan
masalah
gizi
buruk
dilaksanakan
dengan
pendekatan
komprehensif, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya pengobatan dan upaya pemulihan. 3.
Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan oleh semua kabupaten/kota secara terus menerus, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi masyarakat.
4.
Penanggulangan masalah gizi buruk diselenggarakan secara demokratis dan transparan melalui kemitraan di tingkat kabupaten/kota antara pemerintahan daerah, dunia usaha dan masyarakat.
5.
Penanggulangan masalah gizi buruk dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan kesempatan untuk mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat yang telah berdaya diharapkan berperan
40
sebagai pelaku/pelaksana, melakukan advokasi dan melakukan pemantauan untuk peningkatan pelayanan publik. Adapun strategi dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk adalah : 1.
Pencegahan
dan
penanggulangan
gizi
buruk
dilaksanakan
di
seluruh
kabupaten/kota di Indonesia, sesuai dengan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan memperhatikan besaran dan luasnya masalah. 2.
Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan melalui revitalisasi Posyandu.
3.
Meningkatkan kemampuan petugas, dalam manajemen dan melakukan tatalaksana gizi buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang dikelola oleh masyarakat melalui revitalisasi Puskesmas.
4.
Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul Vitamin A, MPASI dan makanan tambahan.
5.
Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola hidup bersih dan sehat.
6.
Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta/dunia usaha dan masyarakat untuk mobilisasi sumberdaya dalam rangka meningkatkan daya beli keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi seimbang.
41
7.
Mengaktifkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) melalui revitalisasi SKPG dan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Gizi Buruk, yang dievaluasi dengan kajian data SKDN yaitu (S)emua balita mendapat (K)artu menuju sehat, (D)itimbang setiap bulan dan berat badan (N)aik, data penyakit dan data pendukung lainnya.
2.8 Landasan Teori Rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, dinyatakan bahwa strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari 3 hal yaitu : 1. Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmendan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stake holders). Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal (misalnya pihak pemerintah; lurah, camat, Dinas Kesehatan, Walikota, DPRD, dinas terkait) yang umumnya sebagai penentu kebijakan pemerintah atau penyandang dana pemerintah. Atau tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu kebijakan yang tidak tertulis. Advokasi dapat diukur dari ketersediaan kebijakan (peraturan-peraturan, surat instruksi), sarana/prasarana, sumber daya manusia, sosialisasi, dan kelengkapan data, dana dan lain-lain.
2. Bina Suasana adalah upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk melakukan perilaku pencegahan penyakit.
42
Terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana yaitu : a. Pendekatan individu tokoh masyarakat dalam menyebarluaskan opini yang positif kepada individu-individu di lingkungannya. b. Pendekatan kelompok masyarakat seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), Pengurus Rukun Warga (RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita dan lain-lain. c. Pendekatan masyarakat umum, dengan membina dan memanfaatkan mediamedia komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah dan lain-lain sehingga dapat tercipta pendapat umum. Kegiatan bina suasana dapat diukur dari yang diukur dari terlaksananya kegiatan pertemuan, perlombaan dan penyuluhan atau
penyebaran informasi baik
individu, tokoh masyarakat maupun memanfaatkan media komunikasi 3. Pemberdayaan masyarakat yaitu proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge) dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan mau menjadi mampu
mealksanakan
perilaku
Pemberdayaan dapat diukur dengan
yang
diperkenalkan
(aspek
practice).
terbentuknya upaya kesehatan berbasis
masyarakat (UKBM) seperti posyandu, kader kesehatan dan pengorganisasian kelompok kesehatan.
43
Menurut Notoatmodjo (2007), partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Cara yang dapat dilakukan untuk mengajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat adalah (Notoatmodjo (2007): 1. Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation), artinya memaksa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundangundangan, peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget, karena dasarnya bukan kesedaran (awereness), tetapi ketakutan. 2. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi yakni suatu partisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar ditumbuhkan, akan memakan waktu yang yang. Tetapi bila tercapai hasilnya ini akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikan dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, tentang strategi promosi kesehatan dan cara untuk mengajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat menurut Notoatmodjo (2007), dapat diuraikan landasan teori sebagai berikut:
44
Advokasi - Kebijakan (peraturanperaturan, surat instruksi) - Sarana/prasarana - Sumber daya manusia - Dana
Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation)
Partisipasi masyarakat
Bina Suasana - Pertemuan/ Penyuluhan - Perlombaan dan - Penyebaran informasi Partisipasi dengan persuasi dan edukasi Pemberdayaan Masyarakat - UKBM seperti posyandu, - Kader kesehatan - Pengorganisasian kelompok kesehatan
Gambar 2.1. Landasan Teori
45
2.9 Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian yang menjelaskan arah atau alur penelitian tentang menganalisis implementasi strategi promosi kesehatan (advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat) dan pengaruhnya pada partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Helvetia Kota Medan tahun 2014.
Implementasi Strategi Promosi Kesehatan (advokasi, Bina Suasana dan Pemberdayaan Masyarakat) Yang Dilaksanakan Provider (Kualitatif)
Partisipasi masyarakat dalam pencegahan gizi buruk pada balita : - Cakupan program(D/S) - Hasil Pengukuran terhadap masyarakat
Hasil Kegiatan Strategi Promosi Kesehatan yang Dirasakan Masyarakat (Kuantitif)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian