BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.7 Sinus paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.23 Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.7 Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga hidung.7 Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid.24 Berikut adalah gambar anatomi sinus paranasal.
Universitas Sumatera Utara
Gambbar 2.1. Anaatomi Sinus Paranasal
2.2. Pembagian Sinus Paranasaal us Maksila 2.2.1. Sinu Sinnus maksila merupakann sinus paraanasal terbeesar dan terrdapat pada daerah tulang maaksila.7 Saaat lahir sinnus maksilaa bervolum me 6-8 ml,, sinus kem mudian berkembanng mencapaai ukuran maaksimal yaiitu 15 ml (34 x 33 x 233 mm) saat berusia 15-18 tahuun. Bentuk ssinus maksiila ini adalaah seperti piiramid denggan bagian puncak menghadapp ke lateral dan meluas ke arah proosesus zygom matikus darri maksila.25 Dasar sinus m maksila sanggat berdekaatan dengann akar gigi rahang atass, yaitu premolar (P1 ( dan P2)), molar (M1 dan M2), kadang-kaddang juga ggigi taring ddan gigi molar M3.. Akar-akarr gigi tersebbut dapat m menonjol ke dalam sinuus sehingga infeksi gigi geligi mudah naikk ke atas meenyebabkan rinosinusitiis.7 2.2.2. Sinu us Frontal Sinnus frontal tterletak di oos frontal ddan mulai teerbentuk sejjak bulan kkeempat fetus, beraasal dari sel--sel resesus frontal atauu dari sel-seel infundibuulum etmoidd. Sinus
Universitas Sumatera Utara
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–7 ml (28 x 24 x 20 mm).25 Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.7 2.2.3. Sinus Etmoid Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun. Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk sinus etmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.25 Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan rinosinusitis frontal dan peradangan di infindibulum dapat menyebabkan rinosinusitis maksila.7 2.2.4. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak berhubungan dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi.26 Sinus ini terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid dibentuk di dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin dan tidak berkembang hingga usia 3 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm).25 Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring, sebelah lateral dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa posterior di daerah pons.7
2.3. Defenisi Rinosinusitis Kronik Rinosinusitis kronik adalah suatu peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang terjadi lebih dari 12 minggu.27 Kriteria rinosinusitis kronik menurut International Conference on Sinus Disease 1993 yaitu lama gejala > 12 minggu, jumlah episode serangan akut > 4 kali/tahun dan > 6 kali/tahun (pada anak), serta reversibilitas
mukosa
tidak
dapat
sembuh
sempurna
dengan
pengobatan
medikamentosa.10 Rinosinusitis kronik diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena yaitu rinosinusitis maksila, rinosinusitis frontal, rinosinusitis etmoid dan rinosinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus disebut pansinusitis.7
2.4. Etiologi Rinosinusitis terjadi akibat proses inflamasi yang umumnya disebabkan infeksi bakteri. Bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Universitas Sumatera Utara
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).27 Rinosinusitis kronik umumnya merupakan lanjutan dari rinosinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis.7
2.5. Patofisiologi Pada dasarnya patofisiologi rinosinusitis kronik terkait dua faktor yaitu patensi ostium dan klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi sinus dan menimbulkan rinosinusitis. Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.28 Rinosinusitis kronik berawal dari adanya sumbatan akibat oedem hasil proses radang di daerah kompleks ostiomeatal. Sumbatan di daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi lebih kental.7 Sumbatan yang berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi lendir yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Selain itu, bakteri juga memproduksi toksin yang akan
Universitas Sumatera Utara
merusak silia sehingga terjadi hipertrofi mukosa dan memperberat sumbatan di kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista.29
2.6. Gejala Klinis Menurut The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) 1997, gejala rinosinusitis kronik dapat dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala mayor yaitu obstruksi hidung/hidung tersumbat, sekret hidung purulen, nyeri/rasa tertekan pada wajah, gangguan penciuman (hyposmia/anosmia), dan iribilitas/rewel (pada anak). Gejala minor yaitu sakit kepala, sakit gigi, batuk, nyeri/rasa penuh ditelinga, demam dan halitosis/bau mulut.10
2.7. Epidemiologi Rinosinusitis Kronik 2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Kronik a. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Orang Penelitian Hedayati et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, proporsi penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun 42% (21 orang). Penderita terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat 48 orang (96%).30 Penelitian Nasution A.T tahun 2007 di RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan 30 penderita rinosinusitis maksila kronik yang terdiri dari 18 (60 %) perempuan dan 12 (40 %) laki-laki. Setelah dilakukan pemeriksaan kultur jamur dari sekret sinus maksila didapatkan 15 penderita rinosinusitis maksila kronik dengan
Universitas Sumatera Utara
hasil kultur jamur positif. Penderita terdiri dari 6 laki-laki (40,1%) dan 9 perempuan (59,9%).31 Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur terbanyak yaitu >6 tahun 113 orang (69,3%) dan manifestasi klinis terbanyak adalah batuk 152 orang (93,3%). Asma ditemukan pada 84 orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%).32 b. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Tempat dan Waktu Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya.27 Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Scotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3%.33 Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48 orang (39,6%) menderita asma.34 Penelitian See Goh et al (April 2001 – Agustus 2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur.35 Di bagian THT RS dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan bedah sinus endoskopi fungsional pada periode Januari 2005 - Juli 2006 yaitu 21 kasus atas indikasi rinosinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.10
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Determinan Rinosinusitis Kronik a. Faktor Host a.1. Umur, Jenis Kelamin dan Ras Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.10 Hasil penelitian Sogebi et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita rinosinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun 21 orang (19,1%) dan ≥ 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 55 (70,51%).36 a.2. Riwayat Rinosinusitis Akut Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.27 Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.28 a.3. Infeksi Gigi Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.37
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Farhat tahun 2004 di RSUP H. Adam Malik Medan, penyakit gigi yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis maksila adalah abses apikal (71,43%), diikuti oleh periodontitis (34,29%), gingivitis (20%), fistula oroantal (8,75%), kista dentigerous (2,86%) dan granuloma periapikal (2,86%).38 Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan infeksi gigi berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,000) dan diperoleh nilai RP=12,36 (CI 95%=3,75-40,75).18 a.4. Rinitis Alergi Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.40 Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.39 Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan secara
Universitas Sumatera Utara
bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=3,95 (CI 95%=1,55-10,11).41 a.5. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.27 Hasil penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang, dari 31 penderita rinosinusitis maksila kronik didapatkan 3 orang (9,7%) dengan diabetes mellitus.18 a.6. Asma Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga mengganggu aliran mukus.26 Hasil penelitian Seybt et al tahun 2003 di Georgia, dari 145 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 34 orang (23,4%) menderita asma.42 a.7. Kelainan anatomi hidung Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.33 Penelitian Munir tahun 2000 di RSUP H. Adam Malik Medan, dari 67 kasus rinosinusitis maksila kronik ditemukan 58 kasus (86,6 %) dengan kelainan kompleks ostiomeatal diantaranya adalah pembesaran bula etmoid 21 kasus (36 %), polip pada konka bulosa dan konka paradoxal 16 kasus (27,6 %), kelainan prosesus unsinatus 10
Universitas Sumatera Utara
kasus (17,3), polip pada metus media dan hiatus seminularis 7 kasus (12 %) serta septum deviasi 4 kasus (6,9 %).43 Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,019) dan diperoleh nilai RP=4,90 (CI 95%=1,19-20,11).18 a.8. Kelainan kongenital Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapat mengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.44 b. Faktor Agent Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus
pneumonia,
Haemophillus
influenza,
Moraxella
catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan
Universitas Sumatera Utara
oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).27 c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut.29
2.8. Pencegahan 2.8.1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.45 Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan.46 2.8.2. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi.45 Upaya yang dilakukan antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.7 Anamnesis yaitu riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.10 Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan dengan rinoskopi anterior dan posterior serta pemeriksaan nasoendoskopi. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media (pada rinosinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau meatus superior (pada rinosinusitis etmoid posterior dan sfenoid).7 Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis diantaranya adalah foto polos, CT Scan (Computed Tomography Scanning), sinuskopi, pemeriksaan mikrobiologi, tes resistensi, tomografi komputer dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Foto polos umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Jika terjadi kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. Penegakaan diagnosis rinosinusitis dapat dilakukan lebih sempurna dengan menggunakan alat CT Scan karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus serta adanya penyakit pada hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena harganya mahal, CT Scan hanya digunakan sebagai penunjang diagnosis rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Sinuskopi dilakukan dengan menggunakan alat endoskop dengan cara menembus
Universitas Sumatera Utara
dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior untuk melihat kondisi sinus maksila dan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Pemeriksaan tomografi komputer dan MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan kompilkasi orbita dan intrakranial. b. Pengobatan Pengobatan pada rinosinusitis kronik pada prinsipnya adalah memperbaiki drainase dan menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah mengalami kerusakan. Pengobatan pada rinosinusitis kronik terbagi 2 yaitu : b.1. Penggunaan obat Obat yang digunakan meliputi obat anti alergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk mengencerkan sekret, obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri, dan obat antibiotik. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah golongan pinisilin seperti amoksilin, diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.7 b.2. Operasi Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi pembedahan, yaitu mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar hidung (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus sfenoid dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) dan sinus frontal dapat dilakukan dengan operasi Killian.29
Universitas Sumatera Utara
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini untuk rinosinusitis kronik yang memerlukan operasi. Prinsipnya ialah membuka sumbatan di daerah kompleks osteomeatal dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.7 2.8.3. Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.45 Upaya yang dapat dilakukan antara lain : makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik.46
2.9. Komplikasi Kompikasi yang terjadi pada rinosinusitis kronik yaitu berupa komplikasi orbita dan intrakranial. Komplikasi orbita biasanya disebabkan oleh rinosinusitis etmoid, frontal dan maksila. Hal ini dikarenakan letak sinus yang berdekatan dengan mata (orbita) sehingga infeksi pada sinus dapat menyebar ke mata melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang timbul yaitu berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, dan abses orbita. Komplikasi intarakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi pada rinosinusitis kronik yaitu osteomilitis yang timbul akibat rinosinusitis frontal dan maksila.7
Universitas Sumatera Utara