BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.
Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama
kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang secara emosional terikat dengan orang lain, Attachment dimulai. Namun, hal-hal yang terjadi dengan kehadiran figur kelekatan benar-benar sulit untuk dimengerti, dan ini adalah alasan mengapa teori attachment muncul. Menurut Bowlby, attachment adalah keterhubungan psikologis yang terjadi antara manusia dan berlangsung untuk jangka waktu yang panjang. Bowlby (1982) menjelaskan attachment mengacu pada ikatan emosional yang berkembang antara orangtua dan anak. Attachment adalah ikatan emosional yang mendalam dan abadi yang menghubungkan satu orang ke orang lain di waktu dan ruang ( dalam Ainsworth, 1973; Bowlby, 1969). Attachment pada seseorang tidak harus timbal balik, yaitu pada seseorang memiliki attachment dengan teman sebayanya sedangkan teman sebayanya belum tentu memiliki attachment dengannya. Attachment ditandai dengan perilaku tertentu pada anak-anak, seperti mencari kedekatan dengan figur tertentu ketika marah atau terancam (Bowlby, 1969). Bowlby (1969) juga mendefinisikan attachment sebagai “Lasting psychological connectedness
between
human
beings”.
Hal
ini
menandakan
bahwa attachment antar manusia akan terus terjadi selama rentang kehidupannya. Perilaku attachment akan terlihat jelas saat individu sedang merasa takut, lelah atau sakit (Bowlby, 1958 dalam Dacey & Travers, 2002). Hubungan antar individu dapat dijelaskan lebih lanjut dari pengertian attachment menurut
Ainsworth (dalam Colin, 1996) sebagai ikatan bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu disebut dengan figur lekat dan berlangsung terus-menerus. Dari berbagai penjelasan mengenai attachment di atas dapat disimpulkan bahwa attachment merupakan sebuah ikatan psikologis yang terbentuk oleh seseorang dengan orang tertentu dimulai dari masih anak-anak hingga dewasa dalam jangka waktu yang sangat panjang. 2. 1. 1.
Peer Attachment Neufeld (2004) berpendapat bahwa peer attachment merupakan
sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan temantemannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang penting dan bahkan bagaimana mereka memiliki persepsi mengenai dirinya. Barrocas (2009) juga berpendapat bahwa pada masa remaja terbentuk ikatan kelekatan dengan teman sebaya yang berhubungan dengan pikiran, perasaan dan emosi. Ketika masa perkembangan, seorang anak tidak hanya membentuk ikatan emosional dengan orang tua mereka, melainkan juga dengan orang lain. Transisi pada masa remaja ditandai dengan esplorasi dan kemandirian baik fisik maupun psikologis, maka kehadiran seorang figur kelekatan (attachment) menjadi penting.
2. 1. 2.
Perkembangan Attachment pada Remaja Tidak
seperti
pada
masa anak-anak dimana attachment selalu
dikaitkan hanya dengan orangtua, attachment masa remaja seringkali terjadi dengan figur selain orangtua atau caregiver (Armsden & Greenberg, 1987). Bahkan, figur attachment lain ini dapat melebihi orangtua sebagai sumber intimasi dan dukungan (Sigelman, 1999).
Namun, meskipun peer telah
menjadi role model, sahabat dan orang terdekat, mereka tetap menganggap orangtua sebagai basis keamanan (Papalia, 2009). Rasa aman dibutuhkan remaja saat berupaya untuk menjadi pribadi yang lebih independen dan memiliki otonomi (Kobak, Cole,Ferenz-Gillies, Fleming, & Gamble 1993). Attachment
pada
masa
remaja
merupakan
kesinambungan
(continuity) dari attachment yang dikembangkan oleh anak dengan pengasuh selama masa awal kehidupan dan akan trus berlanjut sepanjang rentang kehidupan (Cassidy dalam Tyas, 2010). Pada masa remaja, figur attachment banyak memainkan peran penting adalah teman sebaya (peer) dan orang tua (Santrock, 2003). Keberadaan peer juga didukung dengan fakta masa remaja awal yang dikarakteristikkan sebagai masa peningkatan terjadinya konflik antara orangtua dan remaja dibandingkan dengan masa anak-anak dan akan menurun dimasa remaja akhir (Montemayor, 1983). Sullivan (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa melalui interaksi teman sebaya lah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan dan timbal balik dan setara. Anakanak menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya, mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk
memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktivitas teman sebaya yang sedang berlangsung, Sullivan menambahkan alasan bahwa remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih. 2. 1. 3. Kualitas Attachment Kualitas attachment diartikan dengan sensitivitas dan responsivitas figur attachment dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan individu tersebut (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974 dalam Ramdhana, 2013). Menurut Armsden dan Greenberg (dalam Barrocas, 2009) ada tiga aspek dari kualitas attachment yaitu : a. Komunikasi (communication) Adanya komunikasi yang baik maka akan menciptakan ikatan emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Pada remaja, aspek komunikasi ditunjukkan dengan adanya ungkapan perasaan, teman sebaya menanyakan permasalahan yang dihadapi individu, meminta pendapat teman sebaya dan teman sebaya membantu individu untuk memahami dirinya sendiri. b. Kepercayaan (trust) Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi kebutuhan individu. Kepercayaan dapat muncul saat hubungan terjalin dengan kuat. Kepercayaan pada figur attachment merupakan proses pembelajaran dimana ini akan muncul setelah adanya pembentukan rasa aman
melalui pengalaman- pengalaman secara konsisten kepada individu. Kepercayaan juga merupakan kualitas penting dalam suatu hubungan kelekatan dengan teman sebaya. c. Keterasingan (alienation) Keterasingan erat kaitannya dengan penghindaran dan penolakan. Ketika seseorang merasa atau menyadari bahwa figur tidak hadir, maka akan berakibat pada buruknya attachment yang dimilki oleh individu. Konsep pengukuran kualitas Attachment yang diajukan oleh Armsden dan Greenberg tidak bertujuan untuk mengelompokkan individu kedalam suatu kelompok attachment tertentu, melainkan hanya melihat kualitas attachment berdasarkan tinggi atau rendah. 2. 2.
Konsep Diri (self-concept) Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya,
yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2006). Fitts (1971, dalam Agustiani, 2006) juga mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang adalah sebuah kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu mempersiapkan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan
peniaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti dia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Fitts (dalam Agustiani 2006) memaparkan konsep diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1.
Pengalaman, terutama pengalaman interspersonal, yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga.
2. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain. 3. Aktualisasi diri dari potensi pribadi sebenarnya. Menurut Rogers (dalam Pamungkas, 2007) individu yang memiliki konsep diri baik, mempunyai penerimaan diri yang baik terhadap diri sendiri, pengetahuan luas dan bermacam-macam tentang diri, penghargaan yang realistis, harga diri yang tinggi, memiliki pola perilaku optimis, tidak mudah menyerah, dan selalu ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna. Brooks (dalam Wulandari, 2005) juga mengatakan bahwa konsep diri memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu yang bersangkutan, yang akan menimbulkan beberapa ciri tentang konsep diri yang baik dan buruk. Nella (2009) memberikan penjelasan bahwa di dalam berinteraksi, setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk memandang dan menilai dirinya sendiri. Perasaan seseorang bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk menunjukkan adanya sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang ia miliki. Padahal, keberhasilan seseorang ditentukan bagaimana ia memandang sejauh mana kemampuan yang dimilikinya, semakin positif ia memandang kemampuannya maka akibatnya adalah segala tugas akan terasa mudah untuk diselesaikan.
Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri ke dalam dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. a)
Konsep Diri Positif Konsep ini merupakan konsep diri yang bersifat stabil dan bervariasi, serta
menunjukkan adanya pengenalan diri dan penerimaan diri dengan sangat baik. Individu dengan konsep diri ini dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif serta dapat menerima dirinya apa adaya. b)
Konsep Diri Negatif Konsep ini terbagi menjadi dua tipe, yang pertama adalah pandangan
individu yang tidak teratur, tidak memiliki kestabilan, dan keutuhan diri. Ketidakmampuan ini menyebabkan individu tidak mengetahui dengan benar siapa dirinya, kekuatan maupun kelemahannya, atau apa yang dihargai dalam kehidupannya. Tipe yang kedua adalah pandangan diri individu terlalu stabil dan teratur. Hal ini dapat terjadi karena individu dididik dengan cara yang keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari kebiasaan atau citra dirinya yang telah terbentuk tersebut, dan beranggapan bahwa hal tersebut adalah cara hidup yang paling tepat. Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai penjelasan mengenai konsep diri di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan sebuah persepsi seseorang mengenai dalam dan luar dirinya yang terbentuk dari lingkungan sekitarnya, pengalaman dan terus berkembang hingga mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari.
2. 2. 1.
Dimensi Konsep Diri Fitts (1971, dalam Agustiani, 2006) mengemukakan dua dimensi
dalam konsep diri yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Sebagai berikut : 1. Dimensi Internal Dimensi internal atau yang disebut juga keranga acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi internal terdiri dari tiga bentuk yaitu : a. Diri Identitas ( Identity self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “Saya Ita”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah sehingga individu dapat menambahkan keterangan yang lebih kompleks mengenai dirinya seperti “Saya pintar tetapi terlalu gemuk”. b. Diri Pelaku (behavioral self) Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas.
Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik sebagai diri identitas maupun diri pelaku. c. Diri Penerimaan atau Penilai (judging self) Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator antara diri identitas dan diri pelaku). Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi sarat juga dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan dimunculkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya yang lebih realistis, sehingga memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif (Agustiani, 2006).
2. Dimensi Eksternal Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya (Agustiani, 2006). Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan menjadi lima bentuk yaitu : a. Diri Fisik (physical self) Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik seperti kesehatan, penampilan fisik dirinya dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus). b. Diri etika-moral (moral-ethical self) Merupakan persepsi seseorang trhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut hubungan dengan Tuhan, keagamaan dan nilai-nilai moral yang dipegangnya dengan batasan baik dan buruk. c. Diri Pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini dipengaruhi sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya. d. Diri Keluarga (family self) Menunjukkan perasaan dan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga.
e. Diri Sosial (social self) Merupakan penilaian individu terhadap interaksinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitar dirinya. Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Selama masa perkembangan anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan, menggantikan orang tua yang turut berpengaruh konsep diri mereka (Agustiani, 2006). 2. 3.
Remaja Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak – kanak dan
masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa dewasa muda (Soetjiningsih, 2004). Definisi remaja menurut para ahli - Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yaitu diawali dengan matangnya organ – organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi (Yusuf, 2004). 2. 3. 1.
Tahap – tahap masa remaja Masa remaja digolongkan menjadi 3 tahap oleh Konopka (dalam
Agustiani, 2006) yaitu : 1. Masa remaja awal (12-15 tahun) Pada masa ini individu meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagain individu yang unik dan tidak bergantung pada orang tua.
2. Masa remaja pertengahan (15-19 tahun) Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemempuan berpikir yang baru. Pada masa ini teman sebaya juga memiliki peran penting dalam perkembangan individu untuk mengembangkan tingkah laku. 3. Masa remaja akhir (19-22 tahun) Pada masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Pada tahap ini remaja memiliki keinginan yang kuat untuk terlibat dalam kelompok orang dewasa dan teman sebaya. 2. 3. 2.
Perubahan pada masa remaja Hill (1983, dalam Agustiani, 2006) menyakini bahwa perubahan
fundamental remaja meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Ketiga perubahan ini bersifat universal yaitu : 1. Perubahan biologis, menyangkut tampilan fisik (ciri-ciri secara primer dan sekunder). Perubahan ini mengakibatkan remaja harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Perub ahan fisik ini juga berpengaruh terhadap “self image” remaja dan juga menyebabkan perasaan tentang diri berubah. Hubungan dengan keluarga ditampilkan remaja dengan menunjukkan kebutuhan akan privasi yang cukup tinggi. 2. Perubahan kognitif, perubahan ini tampak dalam kemampuan berpikir, remaja telah memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berpikir mengenai situasi secara hipotesis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan terjadi. Remaja telah mampu berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak seperti pertemanan, demokrasi, dan moral.
3. Perubahan sosial, perubahan dalam status sosial membuat remaja mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru. Semua masyarakat membedakan antara individu sebagai anak dan individu yang siap memasuki masa dewasa. 2. 3. 3.
Remaja di Sekolah Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder karena lingkungan
yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah lingkungan sekolah. Remaja yang duduk di bangku SMA menghabiskan waktu 7-8 berada di lingkungan sekolahnya, hal ini berarti hampir sepertiga dari waktu keseluruhannya. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat dan sekolah memiliki fungsi sebagai pembentukan nilai dalam diri remaja. Di dalam lingkungan sekolah, remaja tidak hanya berinteraksi dengan guru saja, namun terdapat juga rekan sebaya yang mempengaruhi pembentukan nilai dalam diri remaja (Sarwono, 2012). 2. 4.
Kerangka Berfikir Siswa SMA pada masa perkembangannya mengalami tahapan peralihan
dari masa anak-anak ke masa remaja. Pada tahapan remaja, menurut Santrock (2003) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional, dimulai kira-kira usia 10 sampai 12 tahun dan berakhir usia 18 sampai 22 tahun. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek penting dalam kehidupan mereka (Santrock, 2003). Di sekolah, remaja
menghabiskan waktu 6-7 jam hampir setiap hari untuk berinteraksi dengan teman sebayanya. Dengan memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah dapat membuat remaja nyaman untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan dirinya. Teman sebaya mampu memberikan nilai positif pada remaja tersebut dengan memberikan informasi-informasi mengenai pembandingan identitas dirinya. Remaja yang pandai menempatkan dirinya pada lingkungan teman sebaya yang baik dapat mengembangkan identitas dirinya kearah yang positif.
Memiliki
Remaja SMA
attachment
Membentuk konsep diri
terhadap peer
yang positif Gambar 2. 1 Kerangka Berfikir