BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Kerja 2.1.1 Pengertian Prestasi Kerja Prestasi kerja disebut juga sebagai kinerja atau di dalam bahasa Inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada Prestasi. Dalam bahasa Inggris yaitu kata achievement tetapi karena kata tersebut berasal dari kata to achieve yang berarti mencapai maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi pencapaian, atau apa yang dicapai (Ruky, 2002). Menurut Mangkunegara (2002), prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Bernardin dan Russel (2006), ”Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activities during a specified time priod”. (Prestasi kerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama priode waktu tertentu). Menurut Rivai (2008), prestasi kerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. Istilah prestasi kerja/kinerja berasal dari kata job performance atau
Universitas Sumatera Utara
job proficiency. Menurut Hasibuan (2005), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Senada dengan itu Yuli (2005), mengungkapkan prestasi kerja merupakan hasil secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Berdasarkan kedua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi kerja adalah hasil yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. 2.1.2 Penilaian Prestasi Kerja Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi dan menilai prestasi kerja pegawai. Apabila penilaian prestasi kerja tersebut dilaksanakan dengan baik, tertib dan benar, dapat membantu meningkatkan motivasi kerja sekaligus juga meningkatkan loyalitas organisasional dari para pegawai. Penilaian prestasi kerja pegawai, pada dasarnya merupakan penilaian yang sistematik terhadap penampilan kerja pegawai itu sendiri dan terhadap potensi pegawai dalam upayanya mengembangkan diri untuk kepentingan instansi. Dengan pelaksanaan penilaian yang ada akan menimbulkan suasana kerja yang sehat, bersemangat, saling menghargai bidang-bidang lain dan merasa memiliki instansi sebagai suatu kesatuan.
Universitas Sumatera Utara
Simamora (2004), menyatakan ada 3 (tiga) hal yang dimasukkan dalam penilaian prestasi kerja, yaitu tingkat kedisiplinan, tingkat kemampuan, serta prilakuprilaku inovatif dan spontan. Sedangkan Werther dan Davis (2004), menyatakan agar penilaian prestasi kerja yang dilakukan dapat lebih dipercaya dan objektif, perlu dirumuskan batasan atau faktor-faktor penilaian prestasi kerja sebagai berikut: 1. Performance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan. 2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan. 3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalisasi yang mendukung peningkatan prestasi kerja. 4. Potency, kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan. 2.1.3 Tujuan dan Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja 1) Tujuan Penilaian Prestasi Kerja Menurut Hasibuan (2005), tujuan penilaian prestasi kerja karyawan sebagai berikut: a. Untuk mengukur prestasi kerja yaitu sejauh mana karyawan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. b. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja. c. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi terdahulu.
Universitas Sumatera Utara
d. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, dan kemudian menyetujui rencana tersebut jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah. 2) Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja Kegunaan penilaian prestasi kerja karyawan menurut Mangkunegara (2002), yaitu: a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian, dan penetapan besarnya balas jasa kepada karyawan. b. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan di dalam perusahaan. c. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program pelatihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja, dan perlengkapan kerja.. d. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan di masa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.. e. Sebagai kriteria di dalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan. f. Sebagai dasar untuk memperbaiki ataupun mengembangkan uraian pekerjaan (job description). g. Secara pribadi, bagi karyawan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan masingmasing sehingga memacu perkembangan kemampuan karyawan. Sedangkan bagi pimpinan/atasan dapat mengenal dan lebih memperhatikan karyawannya, sehingga dapat membantu dalam memotivasi karyawan dalam bekerja.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Prestasi Kerja Heidjrachman (1990), menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi prestasi kerja adalah : a. Kuantitas kerja, yaitu banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pekerjaan dapat terselesaikan. b. Kualitas kerja, yaitu mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan. Biasanya diukur melalui ketepatan, ketelitian, keterampilan, dan keberhasilan hasil kerja. c. Keandalan, yaitu dapat tidaknya karyawan diandalkan adalah kemampuan memenuhi atau mengikuti instruksi, inisiatif, hati-hati, kerajinan, dan kerjasama. d. Inisiatif, yaitu kemampuan mengenali masalah-masalah dan mengambil tindakan yang korektif, memberikan saran-saran untuk peningkatan dan menerima tanggungjawab menyelesaikan tugas-tugas yang belum diberikan. e. Kerajinan, adalah kesedian melakukan tugas tanpa adanya paksaaan dan bersifat rutin. f. Kehadiran, yaitu keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan waktu atau jam kerja yang telah ditentukan. Mangkunegara (2002), menyatakan ada 2 (dua) faktor yang memengaruhi pencapaian prestasi kerja yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor Kemampuan Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensial (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+skill). Artinya, karyawan yang memiliki IQ di atas rata- rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari- hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu di tempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man in the right place, the right man on the right job). b. Faktor Motivasi Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan yang menghadapi situasi (situation) kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri karyawan untuk mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap mental seorang karyawan harus sikap mental yang siap secara psikofisik (siap secara mental, fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, seorang karyawan harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai, mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja. 2.1.5 Metode Penilaian Prestasi Kerja Handoko (2002), mengelompokkan penilaian prestasi kerja sebagai berikut: 1. Metode penilaian yang berorientasi pada masa lalu, kemudian dibagi atas:
Universitas Sumatera Utara
a. Rating Scales, pengukuran dilakukan berdasarkan skala prestasi (kuantitatif dan kualitatif) yang sudah berlaku. b. Checklist, pengukuran dilakukan berdasarkan daftar isian yang berisi berbagai ukuran karakteristik prestasi seorang karyawan. c. Critical review method, pengukuran dilakukan dengan langsung meninjau lapangan agar mendapatkan informasi langsung dari atasan. d. Performance test and observation, pengukuran dilakukan bila jumlah pekerja terbatas. Test yang dilakukan bisa berbentuk keterampilan dan pengetahuan. e. Comparative evaluation approach, pengukuran dilakukan dengan membandingkan prestasi seorang pegawai dengan pegawai lainnya. 2. Future –oriented appraisal method, merupakan metode penilaian berorientasi pada prestasi pegawai dimasa yang akan datang berdasarkan potensi dan penentuan tujuan prestasi dimasa depan yang dibagi menjadi : a. Self appraisal, dilakukan secara mandiri oleh pegawai untuk mengevaluasi pengembangan diri. b. Management by objectives, pengukuran dilakukan berdasarkan tujuan-tujuan pekerjaan yang terukur dan disepakati bersama antara pegawai dan atasan. c. Psychological appraisal, penilaian ini pada umumnya dilakukan oleh para psikolog untuk menilai petensi pegawai dimasa yang akan datang d. Assessment center, bentuk penilaian yang distandarisasikan dimana tergantung pada tipe berbagai penilai.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penilaian Prestasi Kerja Pekerjaan dengan hasil yang tinggi harus dicapai oleh karyawan. Karyawan sebagai sumberdaya penting perusahaan perlu diarahkan untuk memperoleh prestasi kerja yang tinggi atas kerja yang dilakukan. Mangkunegara (2006), menyatakan bahwa ukuran yang perlu diperhatikan dalam penilaian prestasi kerja antara lain : 1. Kualitas kerja, yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam penyelesaian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan. 2. Kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan dalam satu waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan. 3. Tanggung
jawab,
yaitu
menunjukkan
seberapa
besar
karyawan
dapat
mempertanggung jawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakan serta perilaku kerjanya. 4. Inisiatif, yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan untuk menganalisis,
menilai,
menciptakan
dan
membuat
keputusan
terhadap
penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Universitas Sumatera Utara
5. Kerja sama, yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lain secara vertikal atau horizontal di dalam maupun di luar pekerjaaan sehingga hasil pekerjaan semakin baik.
2.2 Motivasi 2.2.1 Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan kepada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan Hasibuan (2005). Sperling dalam Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri dan terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Gibson (1996), menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu dorongan yang timbul pada atau di dalam seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Oleh karena itu, motivasi dapat berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan yang berlangsung secara wajar. Menurut Nawawi (2003), kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan
Universitas Sumatera Utara
sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001), motivasi dapat diartikan sebagai daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau diperbuat karena takut akan sesuatu. Misalnya ingin naik pangkat atau naik gaji, maka perbuatannya akan menunjang pencapaian keinginan tersebut. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak ada jika tidak dirasakan adanya kebutuhan dan kepuasan serta keseimbangan. Rangsangan terhadap hal dimaksud akan menumbuhkan tingkat motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh akan merupakan dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan. Motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dari dalam diri petugas yang perlu dipenuhi agar petugas tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan petugas agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. 2.2.2 Teori Motivasi Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson (1996), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori : 1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.
Universitas Sumatera Utara
2. Teori proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan. Lebih lanjut Gibson (1996), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut : 1. Teori kepuasan terdiri dari : a. Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d. Teori prestasi dari McClelland 2. Teori Proses terdiri dari : a. Teori harapan b. Teori pembentukan perilaku c. Teori keadilan Lebih jelas berikut ini dipaparkan teori tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut : a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi yang disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya itu manusia bekerja sama dengan orang lain dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi pegawai. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :a).
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan fisiologi yaitu, pakaian, perumahan, makanan, seks (disebut kebutuhan paling dasar) b). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan. c). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan. d). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi. e). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi. Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2002). b. Teori Dua Faktor dari Herzberg. Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002). Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor
Universitas Sumatera Utara
pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2003). Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi, (Grensing dalam Timpe, 2002). c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu: a). Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b). Relatednes (keterhubungan) ; Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). c). Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri). d. Teori Kebutuhan dari McClelland Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2005), adalah : a). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement). Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang
Universitas Sumatera Utara
maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. b). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power ) Kebutuhan akan Kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya. c). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta. e. Teori Harapan (Expectancy Theory) Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orangorang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang dalam bekerja giat.
Universitas Sumatera Utara
f. Teori Pembentukan Perilaku (Operant Conditioning) Teori ini berasumsi bahwa prilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement dan skinerian conditioning. Pendekatan pembentukan perilaku ini didasarkan atas pengaruh hukum (law of effect), yaitu perilaku yang diikuti konsekuensi pemuasan sering diulang sedangkan perilaku konsekuensi hukuman tidak diulang. Perlaku pegawai dimasa yang akan datang dapat diperkirakan dan dipelajari, berdasarkan pengalaman dimasa lalu. Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai dipengaruhi kejadiankejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku tersebut positif, maka pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap situasi lama, tetapi apabila konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai cendrung mengubah perilakuya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut. g. Teori Keadilan (Equity Theory) Menurut Davis (2004), keadilan adalah suatu keadaan yang muncul dalam pikiran seseorang jika orang tersebut merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang. Teori motivasi keadilan ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya apabila pegawai tersebut diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti menurunkan prestasi, mogok, malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi dan kebutuhankebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah laku dan pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan. Untuk memahami motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan Herzberg. Adapun pertimbangan peneliti karena teori yang dikembangkan Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan yang hubungannya antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor “objective” atau faktor ekstrinsik.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul dari individu petugas dengan pekerjaanya yang sering disebut pula sebagai “Job content factor” Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam melaksanakan tugas, memperoleh pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi. Penting diketahui bahwa manusia termotivasi untuk bekerja dengan bergairah ataupun bersemangat tinggi, apabila ia memiliki keyakinan akan terpenuhinya harapan-harapan yang didambakan serta tingkat manfaat yang akan diperolehnya. Itu berarti bahwa semakin tinggi terpenuhinya akan harapan-harapan dan hasil kongkrit yang akan diperolehnya, maka semakin tinggi pula motivasi positif yang akan ditunjukkan olehnya (Gibson,1996). Motivasi yang timbul karena adanya usaha-usaha yang secara sadar dari manusia dan dilakukan untuk menimbulkan daya/kekuatan/dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu (perilaku) bagi tercapainya tujuan organisasi ditempat bekerja. Faktor-faktor tersebut meliputi upah atau gaji yang meningkat, adanya atasan atau pimpinan yang bijak, hubungan rekan sekerja yang baik, kebijaksanaan organisasi/instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik dan terjaminnya keselamatan kerja (Gibson, 1996). Faktor-faktor motivasi dua faktor Herzberg dalam Hasibuan (2005), yang disebut faktor intrinsik meliputi :
Universitas Sumatera Utara
1) Tanggung jawab (Responsibility). Setiap orang ingin diikutsertakan dan ngin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar. 2) Prestasi yang diraih (Achievement) Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya. 3) Pengakuan orang lain (Recognition) Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi. 4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self) Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi. 5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of growth) Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh
Universitas Sumatera Utara
dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja. 6) Kemajuan (Advancement) Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik. Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidak puasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain : 1). Gaji Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai. 2). Keamanan dan keselamatan kerja. Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi kerja Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
4). Hubungan kerja Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan. 5). Prosedur perusahaan. Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja. 6). Status Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya. 2.2.4 Manfaat Motivasi Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.
Universitas Sumatera Utara
Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep dan Tanjung, 2003).
2.3 Disiplin 2.3.1 Pengertian Disiplin Disiplin cenderung diartikan sebagai hukuman dalam arti sempit, namun sebenarnya disiplin mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar hukuman. Menurut Moekijat (2003) “Disiplin adalah kesanggupan menguasai diri yang diatur, disiplin berasal dari kata latin, yaitu disciplina yang artinya latihan atau pendidikan, kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat, disiplin menitikberatkan pada bantuan karyawan untuk mengembangkan sikap yang baik terhadap pekerjaan.” Nitisemito (1982), menyatakan bahwa, disiplin diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik yang tertulis maupun tidak. Heidjrachman dan Husnan (1990), mengungkapkan disiplin adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
terhadap perintah dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah. Menurut Davis
(2004),
disiplin
adalah suatu
tindakan
manajemen
memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, ini adalah pelatihan mengarah kepada upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan dan perilaku petugas sehingga ada kedisiplinan pada diri petugas, untuk menuju pada kerjasama dan prestasi yang lebih baik. Disiplin merupakan fungsi operatif Manajemen Sumber Daya Manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin petugas semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi mencapai hasil yang optimal (Hasibuan, 2005). Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 2 dan pasal 3 telah diatur secara jelas kewajiban dan larangan yang harus ditaati oleh setiap pegawai negeri sipil. Disiplin merupakan bentuk pelatihan yang menegakkan peraturan-peraturan organisasi. Disiplin yang terbaik adalah jelas disiplin diri karena sebagian besar orang memahami apa yang diharapkan dari dirinya dipekerjaan, dan biasanya karyawan diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya secara efektif. Menurut Siagian (2003), disiplin merupakan sikap dan tingkah laku seseorang yang mencerminkan tingkat kepatuhan atau ketaatannya pada berbagai ketentuan yang berlaku dan
Universitas Sumatera Utara
tindakan korektif terhadap pelanggaran atas ketentuan atau standar yang telah ditetapkan. Dari beberapa pengertian di atas, disiplin terutama ditinjau dari perspektif organisasi, dapat dirumuskan sebagai ketaatan setiap anggota organisasi terhadap semua aturan yang berlaku didalam organisasi tersebut, yang terwujud melalui sikap, prilaku dan perbuatan yang baik sehingga tercipta keteraturan, keharmonisan, tidak ada perselisihan, serta keadaan yang baik. Pada dasarnya, tujuan semua disiplin adalah agar seseorang dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang disetujui oleh organisasi. Dengan kata lain, agar seseorang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik dengan mematuhi semua peraturan, melakukan tindakan korektif dan efektif dalam bekerja. 2.3.2 Jenis Disiplin Kerja Disiplin kerja dapat timbul dari dalam diri sendiri dan karena adanya perintah, G. R. Terry dalam terjemahan Winardi (2001), membagi jenis disiplin menjadi dua, yaitu : 1) Disiplin yang timbul dari dalam diri sendiri (Self imposed discipline) Disiplin yang timbul dari dalam diri sendiri merupakan disiplin yang timbul atas dasar kerelaan, kesadaran, dan bukan atas dasar paksaan atau ambisi tertentu. Disiplin ini timbul karena seseorang merasa terpenuhi kebutuhannya dan merasa menjadi bagian organisasi, sehingga orang akan tergugah hatinya untuk sadar dan secara sukarela mematuhi segala peraturan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
2) Disiplin berdasarkan perintah (Command Discipline) Disiplin ini timbul dan tumbuh disebabkan karena paksaan, perintah hukuman dan kekuasaan. Jadi disiplin ini bukan tumbuh atas perasaan yang ikhlas, akan tetapi timbul karena adanya paksaan atau ancaman orang lain. Dalam setiap organisasi yang diinginkan pastilah jenis disiplin yang pertama yaitu yang datang karena adanya kesadaran dan keinsafan. Akan tetapi kenyataan selalu menunjukkan bahwa disiplin itu lebih banyak disebabkan oleh adanya semacam paksaan dari luar. Prilaku disiplin petugas merupakan sesuatu yang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi perlu dibentuk. Oleh karena itu pembentukan disiplin kerja menurut Handoko (2001), dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : 1. Disiplin Preventif (Preventive discipline). Disiplin preventip merupakan tindakan yang diambil untuk mendorong para pekerja mengikuti atau mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sehingga penyelewengan-penyelewengan tidak terjadi. Tujuannya adalah untuk mendorong disiplin diri dan diantara para karyawan. Dengan cara ini karyawan menjaga disiplin diri mereka bukan semata-mata karena dipaksa manajemen. 2. Disiplin Korektip (Corrective discipline) Disiplin korektip merupakan suatu kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaranpelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektip sering berupa suatu bentuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan (disciplinary action).
Universitas Sumatera Utara
Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai sikap inisiatif, kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang-orang yang dikatakan mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi juga mempunyai kehendak untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan oraganisasi. Sehubungan dengan itu Haiman dalam Nawawi (2003), mengatakan bahwa disiplin adalah suatu kondisi yang tertib, dengan anggota organisasi yang berperilaku sepantasnya dan memandang peraturan-peraturan oraganisasi sebagai perilaku yang dapat diterima. 2.3.3 Prinsip-Prinsip Disiplin Tata tertib yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perusahaan para karyawan tidak dengan sendirinya mau menaatinya, maka bagi pihak organisasi perlu mengkondisikan karyawannya dengan tata tertib perusahaan untuk mengkondisikan perubahan agar bersikap disiplin, prinsip–prinsip kedisiplinan sebagai berikut : 1) Pendisiplinan dilakukan secara pribadi Pendisiplinan ini dilakukan dengan menghindari menegur kesalahan dihadapan orang banyak, karena kalau hal tersebut dilakukan menyebabkan karyawan tersebut malu dan tidak menutup kemungkinan sakit hati yang dapat menimbulkan rasa dendam yang akhirnya dapat melakukan tindakan balasan yang merugikan perusahaan. 2) Pendisiplinan harus bersifat membangun Selain menunjukkan kesalahan yang telah dilakukan oleh karyawan haruslah diikuti dengan petunjuk cara pemecahannya sehingga karyawan tidak merasa bingung dalam menghadapi kesalahan yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
3) Pendisiplinan dilakukan secara langsung dengan segera Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa karyawan telah melakukan kesalahan. Jangan membiarkan masalah menjadi kadaluarsa sehingga akan terlupakan oleh karyawan yang bersangkutan. Pendisiplinan yang dilakukan dengan segera selain karyawan akan cepat mengetahui kesalahannya, sehingga dengan segera pula akan mengubah sikapnya dan juga akan meredam kesalahan tersebut. 4) Keadilan dan pendisiplinan sangat diperlukan Dalam tindakan pendisiplinan hendaknya dilakukan secara adil tanpa pilih kasih. Siapa pun yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan tindakan pendisiplinan secara adil tanpa membeda-bedakan. 5) Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu karyawan absen Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang bersangkutan secara pribadi agar mengetahui bahwa ia melakukan kesalahan karena akan tidak berguna pendisiplinan yang dilakukan tanpa adanya pihak yang melakukan kesalahan. 6) Setelah pendisiplinan hendaknya wajar kembali Sikap wajar hendaknya dilakukan pimpinan terhadap karyawan yang melakukan kesalahan tersebut. Hal yang demikian ini proses kerja dapat lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap (Heidjerachman dan Husnan, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya pendisiplinan tindakan karyawan agar dapat bersikap tanggung jawab atas pekerjaan yang telah dilakukannya. 2.3.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Disiplin Disiplin merupakan bentuk pelatihan yang menegakkan peraturan-peraturan organisasi. Disiplin yang terbaik adalah jelas disiplin diri karena sebagian besar orang memahami apa yang diharapkan dari dirinya dipekerjaan, dan biasanya karyawan diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya secara efektif. Hasibuan (2005), menyatakan disiplin yang tinggi dari para petugas akan memungkinkan tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Untuk dapat menegakkan disiplin yang tinggi maka pimpinan organisasi harus memperhatikan beberapa faktor yang memengaruhi timbulnya disiplin petugas, yaitu tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat (waskat), sanksi hukuman, ketegasan, dan hubungan kemanusiaan. Semua faktor tersebut berpengaruh terhadap penerapan disiplin dalam organisasi. Mengacu pada Dessler (2008), “discipline is a procedure that corrects or punishes a subordinate because a rule or procedure has been violated”. Disiplin adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturanperaturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankan dan tidak mengelak untuk menerima sanksi- sanksinya, apabila anggota organisasi yang bersangkutan melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kesehatan Jiwa Kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang (FKUI dan WHO, 2006). Menurut Johnson dalam Videbeck (2008), kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Videbeck, 2008), sebagai berikut : a. Otonomi dan kemandirian Individu yang otonom dan mandiri dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan orang lain tanpa kehilangan otonominya. b. Memaksimalkan potensi diri Individu memiliki orientasi pada pertumbuhan dan aktualitas diri, ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh sebagai individu. c. Toleransi dengan kehidupan Individu dapat menghadapi tantangan hidup sehari-hari dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa yang terjadi di masa depan. d. Harga diri Individu memiliki kesadaran yang realitas akan kemampuan dan keterbatasannya.
Universitas Sumatera Utara
e. Menguasai lingkungan Individu dapat menghadapi dan memengaruhi lingkungan dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan. f. Orientasi realitas Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta dari khayalan, dan bertindak secara tepat. g. Manajemen stres Individu dapat mentoleransi stres kehidupan, merasa cemas atau berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stres tidak akan berlangsung selamanya. Faktor yang memengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat dikategorikan sebagai; (1) faktor individual yang meliputi struktur biologis, keharmonisan hidup, daya tahan emosional, spiritualitas dan memiliki identitas yang positif; (2) faktor interpersonal
meliputi
komunikasi
yang
efektif,
menolong,
intim,
dan
mempertahankan keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan, dan; (3) faktor sosial budaya meliputi keinginan untuk bermasyarakat, mempunyai penghasilan yang cukup, tidak mentoleransi kekerasan, dan mendukung keragaman individu (Seaward, 1997). Menurut FKUI dan WHO (2006), ada beberapa ciri-ciri sehat jiwa, diantaranya adalah; (1) bersikap positif terhadap diri sendiri; (2) mampu tumbuh, berkembang dan mencapai aktualisasi diri; (3) mampu mengatasi stress atau
Universitas Sumatera Utara
perubahan pada dirinya, (4) bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan yang diambil; (5) mempunyai persepsi yang realistik dan menghargai perasaan serta sikap orang lain, dan; (6) mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2.5 Masalah Psikososial Masalah Psikososial yaitu stiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikologis maupun social yang mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa secara nyata atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial. (FKUI dan WHO, 2006) Menurut FKUI dan WHO (2006), ciri-ciri masalah psikososial adalah sebagai berikut : 1) Cemas, Khawatir berlebihan, takut ; 2) Mudah tersinggung; 3) Sulit kosentrasi; 4) Bersifat ragu-ragu/ merasa rendah diri; 5) Merasa kecewa; 6) Pemarah dan agresif; 7) Reaksi fisik seperti : jantung berdebar, otot tegang; 8) Sakit kepala.
2.6 Gangguan Jiwa Gangguan jiwa adalah kondisi dimana proses fisiologik atau mentalnya kurang berfungsi dengan baik sehingga fungsi dalam kehidupan sehari-hari terganggu. Gangguan ini sering juga disebut sebagai gangguan psikiatri atau gangguan mental dan dalam masyarakat umum kadang disebut sebagai gangguan saraf (Harmoko, 2010). Menurut FKUI dan WHO (2006), gangguan jiwa adalah sindroma atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berkaitan dengan distress atau penderitaan
Universitas Sumatera Utara
dan menimbulkan hendaya pada satu atau lebih fungsi dari kehidupan. Gangguan jiwa terjadi karena adanya perubahan pada fungsi jiwa sehingga menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa yang dialami oleh seseorang bisa memiliki bermacam-macam gejala, baik yang tampak jelas maupun yang hanya terdapat dalam pikirannya. Mulai dari perilaku menghindar dari lingkungan, tidak mau berhubungan/berbicara dengan orang lain dan tidak mau makan hingga yang mengamuk dengan tanpa sebab yang jelas. Mulai dari yang diam saja hingga yang berbicara dengan tidak jelas. Dan adapula yang dapat diajak bicara hingga yang tidak perhatian sama sekali dengan lingkungannya (Harmoko, 2010). APA
(American
Psychiatric
Association)
dalam
Videbeck
(2008),
mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih fungsi yang penting) atau disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan. Menurut FKUI dan WHO (2006), ciri-ciri gangguan jiwa adalah sebagai berikut : 1) Marah tanpa sebab; 2) Mengurung diri; 3) Tidak mengenal orang; 4) Bicara kacau; 5) Bicara sendiri; 6) Tidak mampu rawat diri.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Rentang Sehat dan Sakit Jiwa Rentang Sehat dan Sakit Jiwa Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Sehat Jiwa Pikiran Logis Persepsi akurat
Masalah Psikososial Pikiran kadang menyimpang Ilusi
Emosi kosisten
Reaksi emosional
Prilaku sesuai
Prilaku kadang tidak sesuai
Hubungan sosial memuaskan Menarik diri
Gangguan Jiwa Waham Halusinasi Ketidak mampuan mengendalikan emosi. Ketidakteraturan Isolasi sosial
Sumber : Stuart dan Sundeen, 1998
Gambar 2.1 Rentang Sehat dan Sakit Jiwa 2.6.2 Penyebab Gangguan Jiwa Gangguan jiwa bukanlah suatu keadaan yang mudah untuk ditentukan penyebabnya. Banyak faktor yang saling berkaitan yang dapat menimbulkan gangguan jiwa pada seseorang. Faktor kejiwaan (kepribadian), pola pikir dan kemampuan untuk mengatasi masalah, adanya gangguan otak, adanya gangguan bicara, adanya kondisi salah asuh, tidak diterima dimasyarakat, serta adanya masalah dan kegagalan dalam kehidupan mungkin menjadi faktor-faktor yang dapat mnimbulkan adanya gangguan jiwa. Faktor-faktor diatas tidaklah dapat berdiri sendiri; tetapi dapat menjadi satu kesatuan yang secara bersama-sama menimbulkan gangguan jiwa (Harmoko, 2010). Banyak sekali faktor yang dapat mencetuskan gangguan jiwa; maka petugas kesehatan kadangkala tidak dapat dengan mudah menemukan penyebab dan
Universitas Sumatera Utara
mengatasi masalah yang dialami oleh pasien. Disamping itu tenaga kesehatan sangat memerlukan sekali bantuan dari keluarga dan masyarakat untuk mencapai keadaan sehat jiwa yang optimal bagi pasien. 2.6.3 Dampak Gangguan Jiwa Gangguan jiwa pada seorang pasien dapat menimbulkan adanya berbagai kondisi antara lain (Harmoko, 2010) sebagai berikut : a. Gangguan Aktivitas Hidup Sehari-hari Adanya gangguan jiwa pada seseorang dapat memengaruhi kemampuan orang tersebut dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti kemampuan untuk merawat diri seperti mandi, berpakaian, merapikan rambut dan sebagainya; atau berkurangnya kemampuan dan kemauan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya; seperti tidak mau makan, minum, buang air (berak dan kencing) serta diam dengan sedikit gerakan. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut; maka akhirnya dapat juga menimbulkan penyakit fisik seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi saluran pencernaan dan pernafasan serta adanya penyakit kulit; atau timbul penyakit yang lainnya. b. Gangguan Hubungan Interpersonal Disamping berkurangnya kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari; seorang pasien gangguan jiwa juga kadang mengalami penurunan kemampuan melakukan hubungan (komunikasi) dengan orag lain. Pasien mungkin tidak mau berbicara, tidak mau menapat orang lain atau menghindar dan memberontak manakala didekati orang lain. Disamping itu mungkin juag pasien tidak mau membicarakan dengan terang-terangan apa yang difikirkannya.
Universitas Sumatera Utara
c. Gangguan Peran/Sosial Dengan adanya gangguan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain; maka tentu saja berakibat pada terganggunya peran dalam kehidupan; baik dalam pekerjaannya sehari-hari, dalam kegiatan pendidikan, peran dalam keluarga (sebagai ayah, ibu, anak) dan peran dalam kehidupan sosial yang lebih luas dalam masyarakat. Berbagai keadaan yang timbul akibat gangguan jiwa akhirnya dapat merugikan kepentingan keluarga, kelompok dan masyarakat; sehingga peran serta aktif dari seluruh unsur masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi gangguan jiwa. 2.7 CMHN (Commnunity Mental Health Nursing) CMHN (Community Mental Health Nursing) atau disebut juga dengan Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK) merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa yang diakibatkan oleh berbagai stresor yang dihadapi individu, baik karena bencana alam, konflik sosial, maupun tindak kekerasan (FKUI dan WHO, 2006). Untuk dapat mengimplementasikan kegioatan CMHN ini dilakukan pelatihan khusus kepada perawat yang bekerja di puskesmas yaitu Community Mental Health Nursing Training. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat secara komprehensif, holistik, paripurna, dan kontinusm sehingga tercapai kesehatan jiwa masyarakat secara optimal (FKUI dan WHO, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Pelayanan Keperawatan Komprehensif Menurut FKUI dan WHO (2006), pelayanan keperawatan komprehensif adalah pelayanan yang difokuskan pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat jiwa. Pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada gangguan jiwa dengan proses pemulihan. a. Pencegahan Primer Fokus pelayanan keperawatan jiwa pada peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Sasarannya adalah anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut. Bentuk kegiatan pada pencegahan primer adalah; (1) pendidikan kesehatan dalam bentuk stimulasi perkembangan, sosialisas, manajemen stress, persiapan menjadi orang tua, (2) program dukungan social, diantaranya memberikan informasi cara
mengatasi
kehilangan,
menggerakkan
dukungan
masyarakat,
melatih
keterampilan, (3) pencegahan penyalahgunaan obat, dan; (4) program pencegahan bunuh diri. b. Pencegahan Sekunder Pelayanan keperawatan sekunder berfokus pada deteksi dini masalah psikososial dan gangguan jiwa serta penanganan dengan segera. Sasarannya adalah masyarakat yang beresiko/memperlihatkan tanda-tanda masalah psikososial dan gangguan jiwa.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk aktivitas pada pencegahan sekunder adalah; (1) menemukan kasus sedini mungkin; (2) melakukan penjaringan kasus; (3) memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru; (4) bekerjasama dengan perawat komunitas lain; (5) melibatkan keluarga dalam pemberian obat; (6) melakukan pengawasan ketat pada pasien kasus bunuh diri; (7) menempatkan pasien ketempat yang aman;’ (8) melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan; (9) memfasilitasi kelompok pasien, keluarga, dan kelompok masyarakat pemerhati, dan; (10) melakukan tindak lanjut. Fokus pelayanan adalah pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Sasarannya adalah anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada tahap pemulihan. Aktivitas pada pencegahan tersier adalah; (1) program dukungan sosial dengan menggerakkan sumber-sumber di masyarakat; (2) program rehabilitasi dengan memberdayakan pasien dan keluarga hingga mandiri; (3) program sosialisasi, keagamaan, rekreasi, dan; (4) program pencegahan stigma yaitu anggapan yang keliru dari masyarakat terhadap gangguan jiwa. 2.7.2 Pelayanan Keperawatan Holistik Menurut FKUI dan WHO (2006), pelayanan keperawatan holistik adalah pelayanan yang difokuskan pada aspek bio-psiko-sosio-kultur dan spiritual, yaitu : a. Aspek fisik dikaitkan dengan organ tubuh yang dialami oleh anggota masyarakat akibat bencana yang memerlukan pelayanan dalam rangka adaptasi mereka terhadap kondisi fisiknya.
Universitas Sumatera Utara
b. Aspek psikologis dikaitkan dengan berbagai masalah psikologis yang dialami masyarakat seperti ketakutan, trauma, kecemasan maupun kondisi yang lebih berat dimana memerlukan pelayanan agar mereka dapat beradaptasi dengan situasi tersebut. c. Aspek sosial dikaitkan dengan kehilangan (suami/isteri/anak, keluarga dekat, kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, harta benda serta adanya konflik) yang memerlukan pelayanan dari berbagai sektor terkait agar mereka mampu mempertahankan kehidupan sosial. d. Aspek budaya (kultur) dikaitkan dengan budaya tolong menolong dan kekeluargaan yang dapat dipergunakan sebagai system pendukung sosial dalam mengatasi bebagai permasalahan yang ditemukan. e. Aspek spiritual dikaitkan dengan nilai-nilai agama yang kuat di masyarakat yang dapat diberdayakan sebagai potensi masyarakat dalam mengatasi masalah. 2.7.3 Pelayanan Keperawatan Paripurna Menurut FKUI dan WHO (2006), pelayanan keperawatan paripurna adalah pelayanan yang lengkap jenjang pelayanannya yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa spesialistik, pelayanan kesehatan jiwa integrative dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat. Pemberdayaan seluruh potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat diupayakan agar terwujud masyarakat yang mandiri dalam memelihara kesehatannya.
Universitas Sumatera Utara
2.7.4 Pelayanan Keperawatan Secara Berkelanjutan (Continuity of Care) Menurut FKUI dan WHO (2006), pelayanan keperawatan diberikan secara terus menerus dari kondisi sehat sampai sakit dan sebaliknya, baik di rumah maupun di rumah sakit (dimana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai lanjut usia. Tujuan pelayanan adalah meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam memelihara kesehatan jiwa.
2.8 Landasan Teori Motivasi dan disiplin yang rendah terkait dengan rendahnya prestasi kerja petugas CMHN untuk penanganan masalah penderita gangguan jiwa. Teori motivasi yang digunakan dalam penelitian mengacu kepada teori motivasi Herzberg dalam Hasibuan (2005), menyatakan bahwa motivasi merupakan serangkaian kondisi intrinsik yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan motivasi, sehingga menghasilkan prestasi yang baik dan jika tidak ada menimbulkan rasa ketidakpuasan
yang
berlebihan
(pekerja
bersifat
netral
dalam
melakukan
pekerjaannya) faktor ini dinamakan (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation. Motivasi intrinsik dalam penelitian ini meliputi: a) Tanggung jawab, b) Prestasi yang diraih, c) Pengakuan orang lain, d) Pekerjaan itu, e) Kemungkinan pengembangan, f) Kemajuan. Sedangkan ketika hygienes faktor buruk pekerjaan tidak memuaskan, namun hygienes faktor baik hanya menghilangkan ketidakpuasan dan faktor tersebut tidak dengan sendirinya menyebabkan orang
Universitas Sumatera Utara
menjadi sangat puas. Faktor ini dinamakan disatisfier atau ekstrinsic motivation. Motivasi ekstrinsik dalam penelitian ini meliputi: a) Gaji, b) Keamanan dan keselamatan kerja, c) Kondisi kerja, d) Hubungan kerja, e) Prosedur perusahaan f) Status. Menurut Hasibuan (2005), disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepada seorang karyawan. Disiplin petugas CMHN dalam penelitian ini, yaitu tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat (waskat), sanksi hukuman, ketegasan, dan hubungan kemanusiaan. Menurut Heidjrachman (1990), prestasi kerja adalah hasil kerja seseorang secara kualitas dan kuantitas dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Prestasi petugas CMHN dalam penelitian ini, yaitu: a) Kuantitas kerja, b) Kualitas kerja, c) Keandalan, d) Inisiatif, e) Kerajinan, f) Kehadiran.
Universitas Sumatera Utara
Motivasi Intrinsik a. Tanggung jawab b. Prestasi c. Pengakuan orang lain d. Pekerjaan itu sendiri e. Kemungkinan Pengembangan f. Kemajuan Ekstrinsik a. Gaji b. Keamanan dan keselamatan kerja c. Kondisi kerja d. Hubungan kerja e. Prosedur perusahaan. f. Status
Prestasi a. Kuantitas Kerja b. Kualitas Kerja c. Keandalan d. Inisiatif e. Kerajinan f. Kehadiran
Disiplin a. Tujuan dan Kemampuan b. Teladan Pimpinan c. Balas Jasa d. Keadilan e. Pengawasan Melekat f. Sanksi Hukuman g. Ketegasan h. Hubungan Kemanusiaan Gambar 2.2 Landasan Teori Sumber : Herzberg dalam Hasibuan (2005) dan Heidjrachman (1990)
Universitas Sumatera Utara
2.9 Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori dan keterbatasan peneliti maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel independen (X)
Variabel dependen (Y)
Motivasi (X1)
Prestasi Kerja Petugas CMHN
Disiplin (X2)
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara