BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Produksi Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi sering disebut dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). Menurut
Nicholson
(2005),
hubungan
antara
masukan
dan
keluaran
diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk:
Q = ƒ(K, L,M……)
(2.1.)
di mana Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan masih terdapat kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses produksi. Di bidang pertanian, produksi fisik dihasilkan oleh beberapa faktor produksi sekaligus, seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan teknologi (misal: traktor). Seorang produsen yang rasional akan mengombinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga mencapai usahatani yang efisien (Mubyarto, 1995). Persamaan 2.1. diasumsikan memberi pemecahan teknis dari masalah bagaimana cara terbaik untuk menggabungkan masukan-masukan ini menjadi keluaran.
Produk fisik marginal (marginal physical product) merupakan keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut:
produk fisik marginal dari modal = MPK =
= ƒK
(2.2.)
Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Sebuah usaha tertentu dikatakan mengalami peningkatan produktivitas ketika keluaran tiap unit masukan tenaga kerja meningkat. Produktivitas rata-rata sering dipergunakan sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata luas lahan (APL) adalah sebagai berikut:
ton/hektar
(2.3.)
Return to scale (RTS) merupakan tanggapan keluaran dari proses peningkatan semua masukan secara bersamaan. Jika fungsi produksi diketahui Q=ƒ(KL) dan semua masukan digandakan dengan kostanta positif yang sama, m (di mana m>1), maka dapat diklasifikasikan hasil berbanding skala dari fungsi produksi tersebut dengan kriteria: (1) apabila kenaikan yang proporsional dalam masukan meningkatkan keluaran dengan proporsi yang sama, maka fungsi produksi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan; (2) apabila keluaran yang meningkat kurang dari proporsional, fungsi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun; dan (3) apabila keluaran
meningkat lebih dari proporsional, terdapat hasil berbanding skala yang meningkat (Nicholson, 2005). Fungsi produksi dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 2.1.) yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan tambahan output yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika makin banyak jumlah suatu faktor produksi yang ditetapkan untuk sejumlah faktor yang tetap, maka akan tercapai situasi di mana setiap tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan sebelumnya.
Sumber: Nicholson (2005) Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi Elastisitas produksi (εp) merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, yang dapat ditunjukan melalui persamaan berikut:
atau
(2.4.)
Gambar 2.1. menghubungkan antara elastisitas produksi (εp), produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP) adalah sebagai berikut: 1. Tahap I: Nilai elastisitas produk lebih besar dari satu (εp > 1), produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal mengalami peningkatan yang kemudian produk marjinal menurun hingga nilainya sama dengan produk rata-rata (increasing rate). Tahap I merupakan tahap irasional karena faktor produksi yang digunakan belum optimal sehingga perlu dilakukan penambahan kuantitas input. 2. Tahap II : Nilai elastisitas produk kurang atau sama dengan satu (0<εp≤1), produk total mengalami peningkatan, namun produk ratarata dan produk marjinal mengalami penurunan hingga marjinal produk sama dengan nol (diminishing rate). Tahap II merupakan tahap yang rasional karena input yang digunakan telah optimal sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi. 3. Tahap III : Nilai elastisitas produk lebih kurang dari nol (εp < 0), produk total dan produk rata-rata mengalami penurunan, sedangkan produk marjinal bernilai negatif (decreasing rate). Tahap III merupakan tahap irasional karena input yang digunakan telah melebihi batas optimal sehingga perlu dilakukan pengurangan input.
2.1.2. Teori Subsidi Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada badan usaha atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka
dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah (Handoko dan Patriadi, 2005). Menurut Suparmoko (2003) dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Subsidi dalam bentuk uang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk barang merupakan subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu, yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen atau produsen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran di bawah harga pasar (Handoko dan Patriadi, 2005). Adanya subsidi akan memberikan pengaruh pada permintaan untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau penawaran untuk produksi bersubsidi (subsidized production) (Handoko dan Patriadi, 2005). Pengaruh subsidi terhadap produksi dapat dilihat pada Gambar 2.2.. Produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kuantitas produk yang dihasilkan (Q menjadi Q’) dan membuat perubahan harga dari P menurun menjadi P’. Kebijakan pemberian subsidi umumnya dikaitkan pada barang dan jasa yang memiliki eksternaslitas positif dengan tujuan untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke proses produksi barang dan jasa tersebut. Secara umum, subsidi juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain: (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak
efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar sehingga muncul kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi; dan (2) subsidi dapat menyebabkan distorsi harga (Spencer dan Amor dalam Handoko dan Patriadi, 2005).
(Handoko dan Patriadi, 2005) Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi
2.1.3. Subsidi Pupuk Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Subsidi yang diberikan sebagian besar dialokasikan pada penyediaan pupuk dan benih dibanding subsidi harga output pertanian. Terdapat beberapa alasan bahwa subsidi input lebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu: (1) sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimalisasi biaya, sehingga insentif input lebih sesuai; (2) dengan adanya insentif input akan terbuka peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; dan (3) pengelolaan dan penjaminan
harga pada subsidi input akan lebih mudah dicapai dibandingkan subsidi output (Kementrian Pertanian, 2006). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2004), kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem distribusi pupuk antara lain adalah: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani karena penggunaan pupuk sudah melampaui takaran anjuran; (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, dan waktu penggunaan berdasarkan acuan analisis bagan warna daun; (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik serta sistem irigasi yang baik; (4) perbaikan standardisasi dan sertifikasi pupuk sehingga petani terhindar dari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasannya; (5) peningkatan kinerja usaha tani padi
dengan
mengupayakan
sumber
pertumbuhan
selain
peningkatan
produktivitas; serta (6) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga di tingkat petani. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk secara berimbang, mengingat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani dan pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Untuk mengurangi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor
pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat) untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang lebih murah, dengan harapan produktivitas dan pendapatan petani meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).
Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 - 2011 Uraian Subsidi Pupuk (trilyun rupiah) Volume (ribu ton) * Urea * SP-36/Superphose * ZA * NPK * Organik
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3,2
6,3
15,2
18,3
18,4
18,8
5.674,0 3.962,0 711,0 601,0 400,0 -
6.353,0 4.249,0 765,0 702,0 637,0 -
6.891,0 4.558,0 558,0 751,0 956,0 68,0
7.612,5 4.624,9 582,1 751,3 1.417,7 236,5
7.355,0 4.279,0 644,0 713,0 1.473,0 246,0
9.753,9 5.100,0 750,0 850,0 2.349,9 704,0
Sumber: Kementrian Pertanian dalam RUU APBN, 2012
Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal didasari oleh pemenuhan prinsip enam tepat dalam penyalurannya, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu. Alokasi anggaran subsidi pupuk rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun, hal ini ditunjukkan oleh Tabel 2.1.. Pada tahun 2008, pemerintah memperkenalkan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Program BLBU yang dimulai sejak tahun 2007 telah memberikan bantuan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai kepada petani di 249 kabupaten yang tersebar di 29 propinsi. Sementara, program BLP yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 propinsi. Untuk program BLP, dari segi cakupan luas areal dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Tahun 2008 luas areal baru 403.514 hektar, kemudian tahun 2009 diperluas menjadi 648.386 hektar, atau meningkat sebesar 60,68%.
Menurut perencanaan, tahun 2010 diperluas kembali menjadi 1.066.395 hektar atau meningkat sebesar 64,47% (PSP3 IPB, 2010). Bagi daerah-daerah yang telah berproduktivitas relatif tinggi dimantapkan dengan fokus pengembangan yang diarahkan kepada aspek rekayasa sosial, ekonomi dan kelembagaan. Peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penggunaan benih bermutu dari varietas unggul; pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik; pengaturan pengairan dan tata guna air; penggunaan alat mesin pertanian; serta perbaikan budidaya (PSP3 IPB, 2010). Benih Bermutu dari Varietas Unggul. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul difasilitasi melalui pembinaan produsen benih untuk dapat menghasilkan benih secara enam tepat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul adalah: (a) inventarisasi stok dan penangkaran benih; (b) pemanfaatan stok benih yang ada secara optimal; serta (c) pembinaan kepada produsen/penangkar benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan (PSP3 IPB, 2010). Pemupukan Berimbang dan Pupuk Organik. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan kualitas hasil dilakukan pemupukan berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan
secara
seimbang.
Rekomendasi
dosis
pemupukan
berimbang
berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi yang dinamis (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan program Bantuan Langsung Pupuk, menurut Permentan No. 30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk tahun anggaran 2008, kegiatan BLP dijalankan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini didasari fakta dimana kendala yang dihadapi selama ini
adalah masih rendahnya penggunaan pupuk berimbang N, P dan K. Faktor ini telah menyebabkan produktivitas tanaman belum tercapai secara optimal. Sementara, penggunaan pupuk anorganik kurang berimbang yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, telah menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dampak lain adalah terjadinya inefisiensi penggunaan pupuk anorganik (PSP3 IPB, 2010). Salah satu penyebab rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik antara lain disebabkan daya beli, tingkat kesadaran, serta keyakinan petani yang masih rendah. Kontribusi penggunaan pupuk NPK dan organik dalam meningkatkan produktivitas, produksi bahkan mutu hasil telah terbukti secara signifikan dalam peningkatan produksi komoditas tanaman pangan. Dengan demikian, ketersediaan dan penggunaan pupuk NPK dan organik merupakan suatu syarat keharusan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan itu, pemerintah melalui BUMN termasuk PT. Pertani (Persero) memberikan Bantuan Langsung Pupuk NPK dan Pupuk Organik untuk didistribusikan kepada petani. Tujuan kegiatan ini adalah (a) memperkenalkan kepada petani penggunaan pupuk majemuk NPK dan pupuk organik; (b) meringankan beban petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk NPK serta pupuk organik; (c) meningkatkan penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik; (d) meningkatkan
produktivitas
dan
produksi
tanaman
pangan;
serta
(e)
meningkatkan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (PSP3 IPB, 2010). Pada hakekatnya, Program BLP dan BLBU dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa sampai nasional, sehingga pemanfaatan bantuan dapat terlaksana dengan efektif efisien dan tepat sasaran. Agar bantuan dapat
mendukung upaya peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan, Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, pendampingan dan monitoring secara optimal kepada kelompok tani penerima bantuan pupuk serta melakukan evaluasi pada akhir kegiatan. Untuk menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas bantuan, maka pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh Pembina Teknis secara berkala dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan (PSP3 IPB, 2010). Monitoring dan evaluasi bantuan ditujukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan penyaluran bantuan sesuai rencana alokasi di setiap kabupaten/kota; monitoring kuantitas dan kualitas yang disalurkan kepada kelompok tani; memonitor realisasi pertanaman padi yang menggunakan bantuan di setiap kabupaten/kota; memantau dan melakukan bimbingan teknis penerapan anjuran teknologi untuk budidaya lainnya; mengetahui peningkatan produktivitas dan produksi padi di setiap kabupaten/kota; serta mengetahui kemungkinan permasalahan yang dihadapi sedini mungkin, guna memberikan solusi pemecahannya sehingga tingkat keberhasilan pelaksanaan program dapat dicapai (PSP3 IPB, 2010).
2.1.4. Pupuk Organik Pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Berdasarkan pembuatannya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan (anorganik) dan pupuk alami (organik). Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pedoman Penggunaan Pupuk Anorganik, pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses
rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Sedangkan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.37/Permentan/SR.130/5/ 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010, dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, menyebabkan kerusakan pada struktur tanah, soil sicknes (tanah sakit), soil fatigue (kelelahan tanah), dan inefisiensi penggunaan pupuk anorganik. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan penurunan pertumbuhan hasil produktivitas tanaman pangan yang signifikan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia. Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, dan sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau
merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas (Simanungkalit et al., 2006) Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/ Hk.060/2/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan memasok bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan pada masa Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu
cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah (Simanungkalit et al., 2006). Bahan organik berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al., 2006). Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan (Simanungkalit et al., 2006). Menurut
Simanungkalit
et
al.
(2006),
berbagai
hasil
penelitian
mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya kurang dari 1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari
2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas
maupun
kuantitas,
mengurangi
pencemaran
lingkungan,
dan
meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006).
2.1.5. Usahatani Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut,
TR = Y × Py keterangan: TR : penerimaan total (total revenue) Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y
(2.5.)
Jika komoditas tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu maka persamaan dapat dimodifikasi menjadi,
(2.6.)
Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan. Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan,
(2.7.) keterangan: FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i Pxi : harga dari variabel Xi (input)
Sedangkan persamaan biaya total adalah,
TC = FC + VC keterangan: TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost) VC : biaya tidak tetap (variable cost)
(2.8.)
Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,
Π = TR – TC keterangan: Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
(2.9)
2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi. Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan
informasi
yang
diperoleh
dalam
menimbulkan
dan
mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988). Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988). Setelah pembuatan keputusan pada tahap evaluasi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap mencoba. Biasanya petani akan melakukan percobaan inovasi untuk skala kecil terlebih dahulu. Pada tahap ini, petani akan dihadapkan dengan suatu permasalahan yang nyata. Untuk itu, terkadang petani memerlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar percobaan suatu inovasi dapat
berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988). Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988). Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko; (d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal; (c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain. Menurut Mulyana (2008), dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat berupa (a) gerakan, (b) intensitas stimuli, (c) perulangan objek yang dipersepsi, (d) kontras, (e) prinsip kedekatan atau persamaan, dan lain-lain. Sedangkan faktor internal
yang dapat
mempengaruhi persepsi adalah (a) gender, (b) biologis, (c) fisiologis, (d) sosiopsikologis, (e) sikap, (f) kebiasaan, (g) kemauan, dan lain-lain.
2.2. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya 5.034 kg menjadi 5.918 kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56% Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat. Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp. 6.777.157,- menjadi Rp. 9.119.629,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%. Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi. Yuliarmi (2006) dalam penelitian Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi menunjukkan bahwa faktor pendorong utama yang menyebabkan petani mengikuti program pemupukan berimbang di Kecamatan Plered, Jawa Barat, adalah mengharapkan produksi yang lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi per hektar padi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah 6.003 ton GKP dengan nilai keuntungan sebesar Rp.
4.001.378,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar 5.027 ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 3.163.183 per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang.
Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti
Wilayah
Metode
Peningkatan Produksi, Pendapatan, dan Persepsi Petani
PSP3 (2010)
Tujuh Propinsi
Angelia (2011)
Desa Pasir Fungsi Produksi Gaok, Cobb Douglas Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor
variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi.
Yuliarmi (2006)
Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
Tingkat Penerapan Teknologi (TPT), Model Logit, dan Model Fungsi Produksi
Jumlah produksi padi dan pendapatan petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi daripada petani bukan peserta.
Sianipar et.al (2009)
Kabupaten Manokwari, Papua
Fungsi Produksi Cobb Douglas
variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani
Benefit/Cost (B/C) Ratio
Produktivitas padi meningkat, Pendapatan meningkat, Persepsi petani positif
Tingkat penerapan teknologi rata-rata pada petani peserta program pemupukan berimbang sebesar 68,38% dan petani bukan peserta program pemupukan berimbang sebesar 60,70%. Kedua kelompok petani tersebut tergolong pada tingkat penerapan sedang (60% - 70%). Sedangkan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi pemupukan
berimbang adalah harga gabah (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%), biaya pupuk (bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5%), serta luas lahan (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%). Menurut Sianipar et. al. (2009) dalam penelitian Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani.
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini didasari oleh pentingnya perbaikan kesuburan lahan untuk peningkatan produksi padi di Indonesia khususnya propinsi Jawa Timur.
Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan
Subsidi Pupuk
Bantuan Langsung Pupuk Organik
Analisis Usahatani
Produksi & Produktivitas
Rekomendasi Kebijakan untuk Pengembangan Pertanian Organik Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran
Persepsi
Peningkatan produksi padi tersebut bertujuan untuk mencapai peningkatan produksi yang berkelanjutan. Salah satu upaya dalam meningkatkan produksi padi yaitu dengan cara memberikan subsidi input berupa pupuk. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian memberikan bantuan langsung kepada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis untuk menganalisis efektifitas program BLP Organik tersebut. Metode-metode yang digunakan antara lain Metode Analisis Usahatani dengan pendekatan Before and After, Metode Analisis Produksi dan Produktivitas, serta Metode Analisis Persepsi petani penerima BLP Organik. Dengan diketahuinya dampak dari program BLP Organik, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pertanian organik.
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian dalam menerapkan progam BLP Organik pada usahatani padi di Jawa Timur, maka: 1. terdapat peningkatan produktivitas padi karena menggunakan benih unggul dari BLBU dan pupuk berimbang dari paket BLP Organik; 2. terdapat peningkatan pendapatan petani; dan 3. petani termotivasi untuk tetap menggunakan pupuk organik meskipun tanpa subsidi.