BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Keluarga 1.1 Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Sedangkan menurut Friedman (1998) keluarga adalah dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (suprajitno, 2004). 1.2 Karekteristik Keluarga Menurut karakteristik keluarga terdiri dari : a. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. b. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
c. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peranperan sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari. d. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
1.3 Tipe Keluarga Menurut Sri Setyowati (2007) ada 2 tipe keluarga yaitu: 1. Tipe keluarga tradisional a. Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung atau angkat). b. Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya: kakek, nenek, keponakan, paman, bibi. c. Keluarga ”Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami istri tanpa anak. d. Single Parent, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.
e. Single Adult, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (misalnya seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah). 2. Tipe keluarga non tradisinal a. The unmarriedteenege: keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan anak tanpa nikah. b. The stepparent family: Keluarga dengan orang tua tiri. c. Commune family: beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama: sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak bersama. d. The non marital heteroseksual cohibiting family: Keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan. e. Gay and Lesbian family: Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama sebagai suami – istri (marital partners). f. Cohibiting couple: Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu. g. Group-marriage family: Beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah tangga bersama yang paling merasa sudah menikah, berbagi sesuatu termasuk sexual dan membesarkan anaknya.
h. Group network family: keluarga inti yang dibatasi set aturan atau nilainilai, hidup bersama atau berdekatan satu sama lainnya dan saling menggunakan barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan, dan tanggung jawab membesarkan anaknya. i. Foster family: keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya. g. Gang: sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya.
1.4 Fungsi Keluarga Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Suprajitno (2004) adalah sebagai berikut: 1. Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. 2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socializationl placement fumction) adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. 3.
Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4. fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan
keluarga
secara
ekonomi
dan
tempat
untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan pengahsilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function), yaitu fugsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memilki produktifitas tinggi. Fugsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.
1.5 Peran Keluarga Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seseorang dalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan (Friedman, 1998). Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyrakat (Setiadi, 2008).
Menururut Friedman (1998) keluarga memiliki peran-peran formal dan informal. Peran normal yang standar terdapat dalam keluarga seperi pencari nafkah, ibu rumah tangga, tukang perbaiki rumah, sopir, pengasuh anak, manajer keuangan, dan tukang masak. Nye dan Gecas (1976) telah mengidentifikasi enam peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagia suami-ayah dan istri-ibu: yaitu peran sebagai provider (penyedia), peran sebagi pengatur rumah tangga, peran perawatan anak, peran sosialisasi anak, peran rekreasi, peran persaudaraan (kinship) (memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal), peran terapetik, peran seksual. Peran-peran informal mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalau didasarkan pada usia, jenis kelamin dan lebih didasarkan pada atribut-atribut personalitas/kepribadian anggota keluarga individual. Peran-peran informal ini tidak hanya menghasilkan stabilitas keluarga tetapi juga ada beberapa yang bersifat merusak kesejahteraan keluarga. Adapun peran informal keluarga antara lain sebagai pendorong yaitu memuji, setuju dengan menerima konstribusi dari orang
lain,
pengharmonisan,
iniator-kontributor,
pendamai,
penghalang,
dominator, penyalah, pengikut, pencari pengakuan, martir, keras hati, sahabat, kambing hitam keluarga, distraktor dan orang yang tidak relevan, koordinator keluarga, penghubung keluarga dan saksi. 1.6 Peran Keluaga dalam Meningkatkan Kesehatan Jiwa Lansia Menurut Suliswati (2005) ada 7 peran keluarga dalam meningkatkan kesehatan jiwa lansia yaitu:
1. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi lansia. Lansia membutuhkan lingkungan fisik dan psikolois yang nyaman. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa adalah menciptakan suasana yang menyenangkan yaitu hubungan ynag harmonis (saling pengertian anatara generasi muda pada lansia) (Mubarak, 2006). Lingkungan yang sehat jiwa juga berarti lingkungan yang mendukung lansia untuk memaksimalkan kemampuannya, serta lingkungan yang mencintai dan menghargai lansia dan membantu lansia dalam menghadapi proses penuaannya. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman dapat juga dilakukan dengan cara menata ruangan dengan warna lembut, jika diperlukan ada musik yang lembut dan pelan (Wiarsih, 1999). 2. Mencintai, menghargai dan mempercayai lansia Kemunduran yang dialami lansia membuat lansia menjadi rendah diri, untuk itu keluarga perlu memperhatikan dan menghargai kekuatan dan kemampuan lansia. Tunjukkan rasa cinta kepada lansia dengan berbicara secara teratur, kontak mata dan sentuhan serta menceritakan kehidupan masa lalu lansia yang menyenangkan serta bertutur kata yang tidak menyakiti perasaan lansia dan tunjukkan pula rasa hormat pada lansia. Mempercayai lansia dapat dilakukan dengan memberikan tanggung jaawab pada lansia untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya (Wiarsih, 1999). 3. Saling terbuka dan tidak diskriminasi kepada lansia Tidak diskriminasi maksudnya tidak mengucilkan atau mengkotakkan lansia tetapi tetap mengaangap sebagai bagian integral dari satu anggota keluarga dan masyarakat yang hak dan kewajibannya dinilai atas dasar kemampuan dan
kondisi secara keterbatasannya. Memberikan peluang dan kesempatan untuk bekerja mencari nafkah atau melakukan kegiatan-kegiatan secara suka rela serta berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat sesuai keinginan dan kemampuannya. Melibatkan lansia dalam acara keluarga dan membina komunikasi saling terbuka dalam keluarga. 4. Memberi pujian pada lansia untuk segala perbuatannya yang baik daripada menghukumnya pada waktu membuat kesalahan. Memberi pujian pada lansia atas perbuatan baik yang telah dilakukannya dapat meningkatkan harga diri lansia. Sebaliknya memberikan hukuman pada lansia membuat lansia merasa rendah diri, merasa tidak dihargai dan berlanjut ke stress seterusnya depresi. 5. Menunjukkan empati serta memberi bantuan kepada lansia yang mengalami perubahan akibat proses menua. Sejalan hilangnya kontak sosial lansia, stimulasi mental dan harga diri mereka juga mengalam penurunan. Lansia membutuhkan seseorang yang memahami proses penuaan normal dan proses penyakit di usia lanjut (Stanley, 2006). Menunjukkan empati berarti ikut merasakan apa yang diraskan oleh lansia seperti merangsang atau melatih proses pikir dengan mengajak lansia mendiskusikan topik/cerita yang menarik bagi lansia dengan suara lembut dan jelas sambil menyentuh lansia bila perlu. Membantu untuk menyiapkan makanan dan minuman yang meningkatkan selera makan, misalnya dihidangkan hangat, lembut dan sesuai dengan keinginan lansia. Selanjutnya membantu lansia dalam
melakukan perawatan diri, misalnya makan, mandi dan sebagainya (Wiarsih, 1999). 6. Mengajak lansia untuk mebina hubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Pemeliharaan kondisi mental yang sehat dapat dilakukan dengan ikut serta dalam kegiatan yang produktif dan tetap ikut dalam kegiatan sosial masyarakat serta tidak menarik diri dari semua kegiatan (Depkes, 2005). Melibatkan dalam kegiatan masyarakat contohnya kegiatan perkumpulan lansia/karang werdha, dan berbagai kegiatan yang diadakan dilingkungan masyarakat baik yang bersifat keagamaan, sosial maupun kegiatan khusus yang ditujukan untuk lansia (posyandu lansia, senam lansia dan lain-lain). 7. Menyediakan waktu untuk kebersamaan dengan lansia seperti berekreasi dengan lansia untuk menghilangkan ketegangan dalam keluarga. Rekreasi keluarga penting untuk memperkokoh dan memperbaharui ikatan keluarga, dan bersenang-senang bersama, sharing perasaan, mengurangi ketegangan, memperbaiki perasaan anggota keluarga tentang keluarga mereka (Friedman, 1998). Rekreasi adalah salah satu kebutuhan fundamental lansia, dimana melalui rekreasi lansia dapat menjumpai, mengalami kebahagiaan hidupnya. Rekreasi tidak harus mahal, dapat disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan. Rekreasi dapat dilakukan di pantai dekat rumah, taman dekat rumah, atau halaman rumah jika mempunyai halaman yang luas bersama keluarga dan anak cucu, duduk bersantai di alam terbuka. Rekreasi dapat menyegarkan otak, pikiran dan melemaskan otot yang telah lelah karena aktivitas sehari-hari.
Rekreasi pada lansia juga berguna untuk menjaga kondisi fisiknya supaya tetap sehat dan bersemangat. 2. Konsep Lansia 2.1 Definisi Lansia Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai 60 tahun keatas. Menurut Watson (2003) mengidentifikasi lanjut usia sebagai kelompok masyarakat yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental. Sedangkan menurut Herlock (1999) Lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu ynag penuh manfaat.
2.2 Proses Menua Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melewati tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis dan psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut yang memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan mulai memburuk, gerakan lambat dan figure tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).
2.3 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia Constantinides (1994) dalam Nugroho (2008) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Selain itu Nugroho (2008) menyatakan terdapat banyak perubahan yang terjadi pada lanjut usia mencakup perubahan-perubahan fisik, mental, psikososial, dan perkembangan spiritual. 2.3.1 Perubahan-Perubahan Fisik Perubahan fisik terjadi pada sel yaitu sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurang jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler. Sistem persarafan terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20% mengakibatkan berkurangnnya kemampuan saraf pada semua organ. Terjadi penurunan dalam sistem penglihatan dan terjadi penurunan dalam sistem kardiovaskuler seperti penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas pembuluh darah. Selain itu juga terjadi penurunan pada sistem pengaturan, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem refroduksi, sistem perkemihan, sistem endokrin, sistem integument dan sistem muskuloskeletal.
2.3.2 Perubahan-Perubahan Mental Kuntjoro (2002) mengatakan bahwa pada lansia dapat timbul gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deterosiasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental mencakup penurunan mental mencakup penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikosial, perubahan dalam peran sosial di masyarakat. 1. Penurunan kondisi fisik seperti yang telah dijelaskan diatas. 2. Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme, dan vaginitis, baru selesai operasi, kekurangan gizi, penggunaan obat-obat tertentu, faktor psikologis yang menyertai lansia seperti rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya, kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal, dan disfungsi seksual. 3. Perubahan aspek psikososial akan dijelaskan pada perubahan-perubahan psikosial. 4. Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. 5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat, lansia sebaiknya selalu diajak untuk melakukan aktivitas dan memiliki peranan di masyarakat, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dn kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, dan merengek-rengek bila bertemu dengan orang lain. 2.3.3 Perubahan-Perubahan Psikososial Menurut Nugroho (2008) pada lansia yang dulunya bekerja dan mengalami pensiun akan mengalami kehilnagn finansial, status, teman, dan kegiatan. Seorang lansia juga merasakan atau sadar akan kematian, mengalami penyakit kronis dan ketidakmampuan, terjadi rangkaian dari kehilangan, serta hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik. Kuntjoro (2002) mengatakan pada umumnya setelah oramg memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia akan mengalami perubahan-perubahan psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia yaitu sebagai berikut: a. Tipe kepribadian konstruktif (Construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua. b. Tipe kepribadian mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya. c. Tipe kepribadian bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit. d. Tipe kepribadian kritik diri (Self Hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
2.4 Dampak Perubahan dan Kemunduran pada Lansia Perubahan dan kemunduran yang terjadi akan memberikan dampak terhadap tingkah laku dan perasaan orang yang memasuki usia lanjut.
Kemunduran fisik yang terjadi pada lansia memberikan kesimpulan bahwa kecantikan atau ketampanan yang mereka miliki mulai hilang, ini berarti kehilangan daya tarik bagi diri lansia (Nugroho, 2008). Selain itu yang menjadi permasalahan pada lansia di Indonesia meliputi ketergantungan, sistem nilai kekerabatan yang berubah, sumber pendapatan lansia yang menurun, dan masalah kesehatan dan pemberdayaan pola hidup sehat, serta masalah psikologi dan kesehatan mental dan spiritual. Pada lansia permasalahan psikologis terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul akibat dari proses menua. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan tidak enak yang harus dihadapi lansia. Perubahan-perubahan yang terjadi hendaknya dapat diantisipasi dan diketahui sejak dini sebagai dari persiapan masa tua dan hidup di masa tua. Mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, biasanya merupakan gejala menjadi tua yang amat wajar. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa merupakan benteng yang ampuh untuk melindungi diri dari ancaman di masa tua (Harna, 2007).
3. Konsep Kesehatan Jiwa 3.1 Definisi Kesehatan Jiwa Menurut Undang-undang No 3 ahun 1996 yang dimaksud dengan Kesehatan Jiwa adalah adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehtan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain (Suliswati, 2005). Menurut fadhilah Supari (2005) kesehatn jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain dan senang menjadi bagian dari suatu kelompok.
3.2 Kriteria Sehat Jiwa: Kriteria Sehat Jiwa Menurut WHO dalam Rusmun (2001) adalah: a. Dapat menyesuaikan diri secara kostruktif pada kenyataan. b. Memperoleh kepuasan dari usahanya. c. Merasa lebih puas memberi daripada menerima. d. Hubungan antar manusia, saling menolong dan memuaskan e. Menerima kekecewaan sebagai pelajaran, untuk memperbaiki yang akan datang. f. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan kostruktif. g. Mempunyai rasa kasih sayang.
Kriteria Sehat Jiwa Menrut Abraham Maslow dalam Rasmun (2001) adalah: a. Memilik persepsi yang akurat terhadap realitas. b. Menerima diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. c. Spontan, sederhana dan wajar.
Kriteria Sehat Jiwa Menurut Maria Jahoda dalam Iyus, Yosep (2008) adalah: a. Sikap positif terhadap diri sendiri. b. Tumbuh kembang dan aktualisasi diri. c. Integrasi (keseimbangan/keutuhan). d. Otonomi e. Persepsi realitas f. Environmental mastery (kecakapan dalam adaptasi dengan lingkungan).
Untuk mencapai jiwa yang sehat diperlukan usaha dan waktu untuk mengembangkan dan membinanya. Jiwa yang sehat dikembangkan sejak masa bayi hingga dewasa, dalam berbagai tahapan perkembangan. Pengaruh lingkunagn terutama keluarga sangat penting dalam membuna jiwa yang sehat. Salah satu cara untuk mencapai jiwa yang sehat adalah dengan penilaian diri yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya yang berkaitan erat dengan cara berpikir, cara berperan, dan cara bertindak (dani A, 2008).
3.3 Faktor-Faktor Predisposisi Sehat-sakit Jiwa 3.3.1 Biologis a. Latar belakang genetika. Penulusuran gen-gen yang menyebabkan penyakit jiwa merupakan hal yang sulit dilakukan hingga saat ini, satu-satunya gen yang mempunyai hubungan dengan beberapa penyakit mental yang menyebabkan perkembangan penyakit alzeimer pada sekitar 10% orang dengan kelainan ini. Informasi terakhir tentang penyebaran penyakit mental terutama berdasarkan atas penyelidikan tentang sifat keturunan manusia. Ada tiga jenis kajian tentang hal ini: kajian adopsi, yang membandingkan sifat antar anggota keluarga biologis dengan anggota keluarga adopsi atau kelompok kontrol lain. b. Status gizi. Berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhan awal dari jaringan otak yang tidak sempurna meskipun tidak secara jelas disebutkan sebagai penyebab langsung gangguan psikiatrik. c. Sensitifitas biologi. Psikomunologi merupakan bidang yang relatif baru yang menggali pengaruh psikologis terhadap pengendali sistem syaraf dari responsif imun. Buktibukti pendukung bahwa stressor psikososial dapat mengganggu respon imun yang bersifat sementara, tetapi peran otoimun terhadap gangguan psikiatri tidak jelas terbukti. Namun demikian stress diakui sebagai kunci penting untuk memahami perkembangan dan perjalanan berbagai penyakit (Rasmun, 2001). 3.3.2 Psiologis
a. Intelegensia kemampuan individu dalam menyelesaikan konflik diri dengan menggunakan berbagai upaya koping yang sesuai untuk mengurangi tegangan menuju keseimbangan kontinum. b. Kemampuan bahasa, individu dapat mengurangi ketegangan psikis dengan kemampuannya menguraikan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan. c. Pengalaman masa lalu, bagi individu kesehatan dapat dihubungkan dengan pengalaman masa lalu yang menyenangkan ataupun menyakitkan misalnya peristiwa kehilangan. d. Konsep diri, bagaimana kesesuaian pandang/persepsi terhadap diri, yang meliputi gambaran diri, peran diri, ideal diri, harga diri, dan identitas diri. e. Motivasi, bagaimana motivasi diri dalam menghadapi tantangan dan dinamika hidup apakah motivasi tinggi-motivasi rendah. f. Faktor lainnya yang memengaruhi sehat sakit mental adalah: sosio kultural, usia, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, kedudukan sosial, dan latar belakang budaya (Rasmun,2001).
3.4 Kesehatan Jiwa Lansia Kesehatan jiwa lansia adalah kemampuan diri lansia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan sehingga lansia dapat merasa berpikir dan melakukan kegiatan sesuai kemampuan lansia. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kesehatan fisik dan psikologis, kepribadian, sistem pendukung sosial, sumber-sumber ekonomi dan gaya hidup/kebiasaan hidup (Wiarsih,1999).
3.5 Masalah Umum Kesehatan Jiwa Lansia 3.5.1 Gangguan Proses Pikir a. Daya ingat menurun. Disebabakan oleh gagnguan organik otak atau depresi. Dengan bertambahnya usia, kurangnya daya ingat terhadap kejadian baru lebih sering terjadi dibandingkan
daya ingat untuk kejadian lama. Banyak
faktor
mempengaruhi perubahan daya ingat, diantaranya: sress atau krisis, depresi, perasaan tidak dihargai, kurangnya perhatian pada kejadian baru, gangguan cerebrovaskuler yang mempengaruhi fungsi cerebral, penyimpangan sensori atau isolasi sosial. Gangguan daya ingat untuk kejadian baru kemungkinan akibat dari menurunnya fugsi penglihatan dan pendengaran. Tanda-tandanya: sering mengulang pembicaraan, lupa meletakkan sesuatu, tidak dapat mengingat nama, tempat, dan waktu. b. Kebingungan. Kebingungan digunakan untuk menggambarkan perilaku lansia termasuk kurang perhatian dan menurunya daya ingat, bicara kurang sesuai, kurang mampu melakukan aktifitas sehari-hari. Penyebab: kondisi fisik dan kejiwaan terutama proses pikir. Tanda-tandanya, diantaranya kurang mampu melakukan perhitungan sederhana. c. Curiga. Curiga adalah reaksi lansia pada kehilangan, perasaan diasingkan, dan kesepian. Penyebabnya adalah penyimpangan sensori, isolasi sosial, atau efek samping dari pengobatan. Tanda-tandanya; merasa terancam oleh orang-orang
tertentu (contoh: oleh keluarga, teman, dan tetangga), takut terhadap waktu-waktu tertentu, misalnya malam hari, takut pada lingkungan baru misalnya rumah, ruangan, atau lingkungan yang menyebabkan rasa takut dan cemas (Wiarsih, 1999). 3.5.2 Gangguan Perasaan Perasaan kehilangan yang berlebih. Terjadi terutama jika kehilangan orang-orang yang berarti. Tanda-tandanya lansia dengan reaksi kehilangan: kehilangan berat badan atau nafsu makan, merasa kelelahan, acuh tak acuh, merasa tak mampu melakukan aktifitas, merasa kesepian, sedih dan mudah tersinggung (Wiarsih, 1999). 3.5.3 Gangguan Fisik/Somatik Tanpa Penyebab yang Jelas a. Gangguan pola hidup. Penyebabnya: kurang olagraga, terbatasnya pergerakan, efek samping obat-obatan. Tanda-tandanya: sering terbangun saat tidur, tidak dapat tidur, kurang tidur, gelisah. b. Gangguan makan dan minum. Penyebab: nafsu makan menurun, lupa makan, rasa kecap berkurang. Tanda-tandanya: tidak merasakan nikmatnya makan dan minum (Wiarsih,1999). 3.5.4 Gangguan Perilaku a. Isolasi sosial. Kehilangan tau ketakutan yang multiple/berlebih dapat menyebabkan isolasi sosial. Kehilangan/kedudukan yang berkepanjangan terutama setelah kehilangan pasangan hidup, anak, teman dekat membuat lansia menjadi enggan
berhubungan dengan orang lain. Tandanya: jarang melakukan kontak sosial, malas melakukan kegiatan rutinitas atau aktifitas sehari-hari. b. Kurangnya perawatan diri. Sakit kronik adalah salah satu aspek penyebab dari ketidakmampuan dalam merawat diri. Tanda-tandanya: tidak mampu memenuhi ebutuhan dasar, seperti: makan, BAB/BAK , mandi, dll (Wiarsih,1999).