BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Antisocial Personality Disorder Antisocial Personality Disorder atau kelainan kepribadian antisosial menurut Atsushi (2014) adalah:
「反社会性人格障害(Antisocial Personality Disorder – ASPD)は 「他人の権利を無視し侵害する広範な様式」で,違法行為の 反復,人をだます傾向,衝動性,攻撃性,自分または他人の 安全を考えない向こう見ずさ,一貫した無責任性,良心の呵 責の欠如によって特徴づけられる。」 Terjemahan: “Antisocial Personality Disorder (ASPD) adalah kelainan di mana seseorang mengabaikan dan melanggar hak orang lain, mengulang suatu tindakan illegal secara terus menerus, memiliki kecenderungan untuk
memanipulasi
seseorang,
melakukan
tindakan
yang
membahayakan seseorang, tidak bertanggung jawab, dan biasanya tidak didasari oleh rasa penyesalan.”
Menurut American Psychiatric Association (dalam Atsushi, 2014), seseorang yang memiliki ASPD akan cenderung melakukan tindakan kriminal atau ilegal dan melawan hukum atau aturan secara berulang kali seperti mencuri, menculik, merusak barang milik orang lain, membunuh, dan tindakan ilegal lainnya yang melawan hukum. Selain itu, ia akan memanipulasi dan berbohong asalkan apapun yang dia inginkan bisa tercapai. Seseorang yang mengidap ASPD biasanya mengontrol emosi, sinis, dan merendahkan perasaan, hak, keinginan, dan penderitaan orang lain. Selain itu, ia juga bertindak secara agresif. Meski demikian, seseorang yang memiliki kelainan ASPD bukan berarti ia sama sekali tidak melakukan kegiatan sosialisasi. Ia akan tetap melakukan kegiatan sosialisasi, dan memungkinkan memiliki teman. 9
10
Karakteristik ASPD yang umum ada dua, yaitu asosial dan introvert. Asosial juga biasa disebut penyendiri atau individualis. Mereka merasa tidak memiliki kaitan dengan masyarakat atau justru orang menghindari mereka. Terkadang, seorang asosial merasa diri mereka adalah orang yang lebih hebat dari orang lain, baik secara khusus atau secara umum. Orang yang memiliki sifat asosial dan merasa bahwa mereka lebih baik dari orang lain ini hanya memiliki sedikit orang dan memilah orang yang pantas untuk bergaul dengan mereka (Setiadi dan Kolip, 2013 : 230). Karakteristik yang kedua adalah introvert atau ketertutupan. Seseorang yang introver lebih suka menghabiskan waktunya sendiri. Mereka tidak menemukan kebahagian di dalam interaksi sebuah kelompok, maka dari itu mereka lebih memilih bergabung ke dalam kelompok kecil, atau bahkan tidak bergabung ke dalam kelompok sama sekali. Orang yang introver biasanya pendiam, sensitif, gampang terprovokasi, dan memiliki sedikit teman. Mereka lebih senang menyendiri, tidak banyak bicara dan lebih memilih menjadi pendengar, dan lebih senang menyendiri. Meski demikian, tidak semua introver bersikap demikian. Banyak orang introver yang senang berkelompok dan berbicara dengan banyak orang meskipun hanya berbicara tentang sesuatu yang menurutnya bermanfaat (Setiadi dan Kolip, 2013 : 230 – 231). Seseorang biasanya dikatakan mengidap ASPD ketika dia beranjak 18 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan hal itu sudah berlangsung semenjak mereka kecil. Setelah beranjak remaja atau mengidap pubertas, tanda-tanda itu akan semakin terlihat karena adanya tekanan sosial dan beberapa faktor lainnya (Atsushi, 2014). Ciri-ciri Antisocial Personality Disorder menurut Atsushi adalah sebagai berikut: 1.
Tidak bisa mengikuti norma sosial.
2.
Manipulasi,
dilakukan
dengan
kebohongan
terus
menerus,
penyalahgunaan nama orang, atau menipu orang hanya demi keinginan, tujuan, dan menolong dirinya sendiri. 3.
Impulsif, atau tidak bisa berpikir panjang.
4.
Gampang marah dan agresif, ditunjukan dengan mengancam,
pertengkaran atau penyerangan fisik.
11
5.
Tidak memikirkan keselamatan orang lain, asalkan keinginan atau
tujuannya tercapai. 6.
Sikap tidak bertanggung jawab yang konsisten, ditunjukkan dengan
kesulitan mengontrol emosi. 7.
Tidak ada penyesalan, ditunjukkan dengan ketidakpedulian atau
merasionalisasikan tindakan seperti, sudah melukai, menganiaya, atau mencuri dari orang lain.
Seorang yang mengidap ASPD akan menjadi maladaptif, yaitu sebuah kecenderungan mengaitkan kejadian buruk yang pernah terjadi dengan kejadian buruk lainnya. Hal penting adalah mereka akan mengembangkan perilaku maladaptif dalam kehidupan sosialnya. Seorang yang antisosial tidak memiliki rasa penyesalan ketika dia melakukan tindakan yang menyimpang. Maka dari itu, karakteristik antisosial tidak bisa selalu disamakan dengan karakteristik umumnya kriminal, karena kriminal pun masih bisa merasakan penyesalan (Setiadi dan Kolip, 2013 : 233 – 234). Penyebab-penyebab umum dari ASPD adalah sebagai berikut (Atsushi, 2014): 1.
Adanya gangguan mental
2.
Faktor genetis.
3.
Faktor sosiokultural
4.
Lingkungan
5.
Pola asuh yang kurang tepat, seperti memberikan hukuman secara
fisik dan verbal berlebihan dan tak beralasan, sehingga menyebabkan anak merasa tidak memiliki cinta kasih dan tidak adanya rasa kepercayaan. Selain itu tidak adanya sosok orang tua untuk mengajarkan moral, norma dan etika. Oleh sebab itu, anak gagal belajar mengenal moral dan etika dalam kehidupan mereka. Kegagalan di tahap anak-anak ini menyebabkan penyimpangan norma dan kriminal terus berkembang.
Penanganan orang yang mengidap ASPD masih sulit dan hanya sedikit dari mereka yang dirawat di pusat rehabilitasi mental. Masih banyak rumah sakit yang secara terang-terangan menolak mereka dengan alasan institusi tersebut tidak diperuntukkan untuk pengidap ASPD (Setiadi dan Kolip, 2013 : 233).
12
2.2 Konsep Pola Asuh Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dilakukan terus menerus dalam menjaga dan membimbing anak sejak lahir hingga remaja serta dapat dirasakan oleh anak yang pada akhirnya akan memberikan efek positif dan negatif kepada anak tersebut. Pola asuh juga merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi dalam mengasuh anak. Orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya (Djamarah, 2014 : 51). Menurut Baumrind (dalam Widyarini, 2009 : 4) pola asuh adalah segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. 2.2.1 Jenis Pola Asuh. Baumrind (dalam Widyarini, 2009 : 11) membagi jenis pola asuh menjadi 3 macam yaitu: 1.
Otoriter (Authoritarian)
Pola asuh otoriter disebut juga pola asuh yang kaku, keras, dan memaksa. Dalam pola pengasuhan ini, orang tua memegang penuh kendali dalam pengasuhan anak. Jenis pola asuh ini memungkinkan orang tua untuk membentuk, mengendalikan, mengevaluasi sikap anak berdasarkan nilai yang dipegang orang tua. Orang tua menggunakan pendekatan yang bersifat dikator untuk menunjukkan wibawa. Anak dituntut untuk menghargai dan mematuhi kuasa orang tua secara mutlak. Pola asuh otoriter ini biasanya disertai dengan bentuk penerapan hukuman fisik serta mental, juga menolak adanya pendapat dari anak. Penyebab dari pola asuh otoriter diantaranya adalah kurangnya pengetahuan mengenai pengasuhan anak, sehingga orang tua tidak mengerti cara berkomunikasi dengan anak yang baik. Selain itu, bisa juga disebabkan karena depresi, dan faktor eksternal lainnya. Orang tua melihat anak sebagai sosok yang lemah, sehingga orang
13
tua untuk meluapkan kekesalannya kepada anak karena sebagai orang tua otoriter, hak anak untuk bersikap kritis dibungkam. Dampak dari pola asuh otoriter bagi anak adalah anak menjadi patuh pada peraturan dan menjadi anak yang berprestasi walaupun itu semua bukan keinginannya. Dampak negatif pola asuh ini adalah anak cenderung menggunakan kekerasan sebagai bentuk pemecahan masalah. Selain itu, anak menjadi impulsif, yaitu tidak dapat berpikir panjang dan memiliki rasa kontrol diri yang rendah. 2.
Demokratif (Authoritative)
Dalam pola asuh ini, orang tua berusaha mengarahkan anak secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, dan memiliki komunikasi dua arah. Orang tua menghargai pendapat anak dan memberikan solusi secara mendasar. Disiplin tetap .dijalankan namun orang tua tetap memberi ruang kepada anak untuk bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang ditetapkan orang tua. Pola asuh ini dinilai pola asuh yang paling berhasil dan cocok untuk mengembangkan kepribadian anak. Dampak pola asuh demokratif adalah anak dapat menghargai pendapat orang lain dan menghormati perbedaan pendapat. Anak juga dapat menghargai kesetaraan peran, sehingga memunculkan rasa tenggang rasa. Sikap yang selalu ditunjukkan anak adalah sikap ceria, positif, berani, dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada tugas dan peran yang diberikan padanya. 3.
Permisif (Permissive)
Pola asuh ini disebut juga pola asuh bebas, atau pola asuh acuh. Orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak tanpa menetapkan batasan apapun, dan terkesan menghindari konflik dengan anak. Biasanya orang tua menerima dan bersikap positif terhadap dorongan emosi, keinginan, dan perilaku anaknya. Sikap permisif orang tua hanya menerapkan sedikit hukuman, komunikasi, dan memberikan sedikit tanggung jawab tanpa kendali. Anak memiliki hak penuh dalam beraktivitas dan berperilaku. Penyebab orang tua menerapkan pola asuh permisif diantaranya adalah penderitaan masa kecil orang tua. Orang tua tidak mau anaknya mengalami hal yang
14
sama seperti mereka sewaktu kecil. Orang tua yang gila bekerja juga salah satu pemicu sikap permisif. Dampak dari penerapan pola asuh permisif adalah anak menjadi kurang bertanggung jawab atas perilakunya karena anak menganut hidup bebas yang nyaris tanpa aturan. Anak tidak memiliki daya juang sehingga mudah putus asa dan menghindari masalah. Anak juga menjadi kurang bisa bersosialisasi, nakal, dan memiliki kontrol diri yang buruk, juga tidak bisa berempati kepada lingkungan sekitar. 2.2.3 Konsep Ikuji Di Jepang, pola asuh dikenal dengan sebutan 育児 (ikuji). Di dalam konsep ikuji ibu memegang penuh pengasuhan atas anak. Seorang ibu akan mengajarkan anak untuk merasakan perasaan orang lain. Lalu sejak kecil ibu akan menanamkan rasa malu kepada anaknya. Dan perasaan ini akan terus melekat hingga mereka dewasa (Benedict dalam Ramzielah, 2012). Menurut Davies (dalam Ramzielah, 2012), seorang ibu di Jepang memiliki cara agar anaknya melakukan apa yang dia minta dengan cara yang berbeda dengan pola pengasuhan pada umunya. Seorang ibu akan langsung melakukan hal yang dikehendakinya, dan ketika sang anak melihat ibunya melakukan sesuatu, anak itu akan turun tangan dan membantu ibunya. Pola pengasuhan ini sekilas terlihat seperti memanjakan anak. Konsep ikuji ada dikarenakan adanya pembagian gender yang melekat di masyarakat Jepang. Adanya asas 男は仕事、女は家事と育児(otoko wa shigoto, onna wa kaji to ikuji), atau diterjemahkan sebagai “laki-laki bekerja, sedangkan perempuan mengurus rumah dan mengasuh anak”, mengakibatkan munculnya konsep 専業母(sengyouhaha), yaitu ibu penuh waktu. Sebagai seorang sengyouhaha, seorang ibu mendedikasikan tanggung jawabnya untuk mengasuh dan mendidik anak 24 jam. Dikarenakan adanya konsep sengyouhaha, maka muncullah asas 三歳児神 話 (sansaijishinwa), yaitu ibu memegang penuh pengasuhan anak sampai setidaknya anak itu berumur 3 tahun (Reiko dalam Ramzielah, 2012).
15
Di zaman modern, masyarakat Jepang merasa bahwa konsep ikuji terkesan terlalu “memaksa”, dalam arti kaum perempuan atau ibu tersebut tidak ada pilihan lain selain mengurus anak. Maka dari itu, pada tahun 2009 pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Pengasuhan, di mana di dalam Undang-Undang tersebut ditekankan bahwa sangat penting bagi kedua orang tua untuk mengasuh anak dan membentuk moral. Juga diberlakukan cuti mengasuh anak bagi laki-laki dan perempuan agar proses pengasuhan anak dapat berjalan dengan seimbang. Di dalam Undang-Undang tersebut juga ditekankan bahwa setidaknya setelah anak berumur 3 tahun, ibu boleh kembali bekerja namun harus diseimbangi dengan mengasuh anak (Reiko dalam Ramzielah, 2012). 2.3 Konsep Keluarga Jepang Di dalam masyarakat Jepang, keluarga dikenal dengan tiga istilah, yaitu kazoku (家族), ie (家), dan setai (世帯). Kazoku dan setai memiliki arti “keluarga” dan “rumah tangga”, sedangkan ie memiliki pengertian sistem kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat Jepang (Tobing, 2006 : 74 – 75). Menurut Torigoe (dalam Nasution, 2003: 37), Ie adalah:
家は日本に特殊な慣行であり、通分家庭意味の家族とちがう… 家は家産や家業の運営の集団であって、この意味で、社会にお活 単位存在していたから、それは成員の生死をこえて、連続するを 目標ととした。」 「
Terjemahan: “Ie adalah adat kebiasaan yang ada di Jepang, berbeda dengan pengertian kazoku secara umum… Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota hidup dan mati, sebagai sasaran berkesinambungan.”
Sistem Ie terdiri atas orang-orang yang biasanya tinggal bersama-sama dan menjalankan kehidupan baik secara ekonomi dan sosial bersama-sama. Ie dibedakan sebagai unit kekerabatan yang mementingkan kesinambungan sistem berdasarkan garis keturunan ayah, dan unit usaha bersama yang mementingkan kesinambungan nama keluarga dan pekerjaan yang sesuai dengan pranata Ie (Befu dalam Tobing, 2006 : 77).
16
Sistem Ie memiliki pemimpin yaitu 家 長 (kachou), di mana peran ini dilaksanakan oleh ayah. Fukutake (dalam Tobing, 2006 : 80) mengatakan bahwa sebagai pemimpin di dalam sistem Ie, kachou
memiliki dua kekuasaan. Yang
pertama adalah 家長権(kachouken), yakni kekuasaan sebagai seorang kachou seperti memberi keputusan semua hal yang berkaitan dengan harta kekayaan milik Ie. Kedua adalah 父権(fuken), yaitu kekuasaan sebagai seorang ayah seperti pemegang peran penting dalam upacara keagamaan, pernikahan, juga sebagai pemegang andil paling besar dalam keluarga batih. Seorang wanita, ketika ia sudah menikah pun harus lebih menuruti kachou dibandingkan suami. Kazoku menjadi faktor yang penting dalam pembentukan Ie. Kiyomi (2001: 5) mendefinisikan kazoku sebagai berikut: 「家族とは夫妻関係を基礎として、親子、きょうだいな ど近親者をする。感情情裔虫合に支えられた、第一次的 福祉追求の集団である。」 Terjemahan: “Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak – adik dan orangtua – anak dengan suami istri sebagai dasar dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.”
Keluarga Jepang menganut sistem patriakal, yaitu sebuah sistem yang mengacu kepada garis keturunan ayah. Pusat kekeluargaan berpusat kepada ayah dan menjadikan ayah seorang kachou di dalam keluarga dan memiliki dua buah peran yang sama dengan kachou di dalam Ie (Tobing, 2006 : 81). 2.3.1 Konsep Keluarga Modern Jepang Setelah mengalami kekalahan pada perang dunia kedua, sistem masyarakat Jepang pun mengalami perubahan. Hal ini adanya perpecahan politik, disusul dengan perubahan ekonomi yang merosot. Oleh karena itu, terjadilah modernisasi di Jepang. Modernisasi ini mengakibatkan adanya perubahan sosial dalam masyarakat disertai dengan perubahaan pranata yang ada di dalamnya (Tominaga dalam Tobing, 2006 : 53) .
17
Dengan adanya industrialisasi, mengakibatkan adanya urbanisasi. Penduduk desa beramai-ramai pindah ke kota untuk mencari mata pencaharian yang lebih baik, dan meninggalkan keluarga mereka di desa. Karena itu, sistem keluarga di Jepang akhirnya mengalami modernisasi, yaitu berubahnya sistem keluarga dari patriakal menjadi keluarga nuklir (Tominaga dalam Tobing, 2006 : 52). Tominaga berpendapat bahwa sistem keluarga nuklir ini terjadi karena anakanak yang tadinya tinggal satu atap dengan keluarga besarnya, pergi meninggalkan keluarga besarnya dan membentuk sebuah keluarga batih sendiri. Apabila terjadi modernisasi keluarga, maka nuklirisasi keluarga pun terjadi. Sistem nuklirisasi keluarga ini ditandai dengan berubahnya sistem 家父長(kafuchou) menjadi keluarga nuklir (Tobing, 2006 : 53). Ciri-ciri keluarga nuklir yang dipaparkan dalam UU Sipil Showa adalah sebagai berikut : 1. Keluarga yang bersifat otoriter berubah menjadi demokrasi 2. Sifat keluargaisme berubah menjadi individualism 3. Sistem ahli waris dibagi rata dan bukan diberikan seutuhnya kepada 長 男 (chonan), atau anak laki-laki pertama yang menggantikan ayah 4. Keluarga lebih berpusat kepada suami istri dan bukan kepada anak 5. Sistem keluarga batih menggantikan sistem Ie 6. Lebih menjaga kesinambungan antara satu generasi daripada seluruh keluarga. Meskipun modernisasi keluarga memang menunjukkan banyak keluarga nuklir, tetap saja secara struktur dan fungsi dasarnya tidak mengalami perubahan. Sistem kafucho sebagai kepala keluarga masih bertahan (Tobing, 2006 : 70).