BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini membahas tentang teori penunjang serta penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan Virtual Reality, 3D modeling, materialising, texturing, lighting, dan game engine.
2.1. Virtual Reality (VR)
Virtual Reality (VR) pertama kali diberi nama pada tahun 1989 di beberapa majalah dan surat kabar oleh Jaron Lanier yang merupakan pendiri dari Perusahaan Penelitian VPL. VR merupakan teknologi yang menggunakan komputer dan teknologi elektronik untuk menghasilkan suasana realistis tiga dimensi sehingga pengguna dapat merasakan melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan dan untuk membentuk dunia virtual (Liu, 2012) . Teknologi VR adalah sejenis teknologi antarmuka antara manusia dan mesin yang dapat secara nyata mensimulasikan orang-orang seperti berada di lingkungan alami termasuk dengan penglihatan, pendengaran, gerakan dan aksi lain. Tidak hanya dapat dengan jelas menggambarkan lingkungan secara nyata, tetapi VR juga memungkinkan pengguna untuk mengamati lingkungan virtual dan merasa seperti berada di tempat tersebut (Zhang & Zheng 2011). Oleh karena itu, teknologi VR membuka jalan baru untuk memvisualisasikan informasi spasial. Teknologi ini mempunyai tiga karakteristik, yaitu immersion, interactivity dan imagination (Feng, et al. 2010). Virtual reality dapat digunakan di berbagai bidang untuk meningkatkan kualitas dan meminimalkan biaya dan kekurangan, sekaligus memberikan pengalaman baru kepada pengguna dan keuntungan ekonomis yang besar (Xia & Jiangang 2008).
Universitas Sumatera Utara
7
Saat ini, VR terus berkembang di bidang perencanaan kota, pembangunan perkotaan dan manajemen perkotaan (Su & Wang 2012). Tidak terbatas pada pembangunan kota, dunia virtual telah digunakan oleh banyak institusi pendidikan, organisasi, akademi medis untuk pendidikan, bisnis dan pemasaran, dan lainnya. Di bidang medis, virtual reality menyediakan banyak aset untuk rehabilitasi melebihi jangkauan metode tradisional (Rizo, et al. 2004). Salah satu pemanfaatannya yaitu dapat membantu dalam proses rehabilitasi pasien stroke (Sen, et al. 2015). Di bidang pemasaran, virtual reality dapat menjadi solusi untuk memperluas pemasaran suatu produk. Salah satu dunia virtual yang sangat terkenal adalah Second Life. Perusahaan seperti Apple, Sony Ericsson, Toyota dan Adidas telah memperluas pemasarannya hingga ke Second Life. Adidas menjual beberapa pakaian dan sepatunya melalui Second Life dan Toyota menggunakan Second Life sebagai sebuah showroom untuk beberapa mobil mereka (Rymaszewski, et al. 2007). IBM juga membangun kampus virtual di Second Life. Mereka menemukan bahwa platform seperti itu dapat digunakan untuk berdiskusi dalam berbisnis. Mereka juga percaya bahwa mereka dapat mempererat relasi dengan rekan bisnis mereka yang sudah terjalin saat ini (IBM, 2010). Sony Ericsson memasuki Second Life untuk memberikan informasi tentang inovasi dari produk mereka secara detil. Avatar yang dilatih khusus untuk mempromosikan produknya bahkan ada disana untuk menjawab dan membantu jika ada pertanyaan mengenai produknya (Sony Ericsson, 2007). Virtual Reality telah berkembang dengan pesat sejak pertama kali diusulkan pada tahun 1965. Amerika pertama kali menggunakan VR untuk kepentingan militer dan Jepang memfokuskan VR untuk pengembangan game skala besar. Di China, bidang VR masih dalam tahap eksplorasi. Beberapa universitas negeri di China telah membangun sistem VR atau kampus virtual agar orang lain dapat menjelajahi kampus tersebut secara virtual. Saat ini sudah ada 29 universitas di dunia yang sepenuhnya merupakan kampus virtual (Chen, et al. 2015). Menurut Liu (2014), penelitian dan aplikasi kampus virtual berbasis 3D mempunyai potensi yang sangat bagus. Di Indonesia sendiri Virtual Tour untuk kampus masih terbatas pada foto-foto yang digabungkan menjadi satu. Hal ini mungkin disebabkan karena pembangunan lingkungan virtual merupakan suatu proses yang sulit dan memakan waktu yang lama karena membutuhkan kerjasama dari sekumpulan orang dengan bidang keahlian yang bervariasi (Lepouras & Vassilakis 2004). Dalam penelitian ini, penulis akan membuat
Universitas Sumatera Utara
8
Virtual Tour menggunakan model 3D dan mengintegrasikannya dengan Oculus Rift sehingga pengalaman Virtual Tour akan lebih jelas dan menarik. 2.2. Polygon Modeling
Modeling adalah proses membuat objek yang ada pada kenyataan menjadi objek virtual yang direpresentasikan menjadi objek 3D (Suwarto, et al. 2014). 3D polygon modeling adalah sebuah proses pembuatan sebuah objek 3D dengan menentukan poligon-poligon yang membentuk objek itu. Poligon dipilih karena beberapa pertimbangan. Pertama, poligon merupakan standar dari grafik 3D primitif. Kedua, kebanyakan algoritma grafik 3D mengasumsikan adegan berbasis poligon. Ketiga, algoritma poligon umum diterapkan dalam perangkat keras. Terakhir, hampir semuanya adalah poligon.
Metode dalam membuat polygonal meshes, yaitu : a.
Meng-extrude poligon ataupun lengkungan 2D. Extrusion adalah proses perpindahan penampang 2D melalui ruang untuk membuat 3D yang padat. Contoh hasil extrusion dapat dilihat pada gambar 2.1. dibawah ini.
Gambar 2.1. Extrusion dari model 2D menjadi 3D
b.
Memutar penampang 2D dari sebuah poligon/kurva terhadap suatu sumbu untuk membuat 3D yang padat. Contoh hasil pemutaran penampang 2D dapat dilihat pada gambar 2.2. dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.2. Pemutaran penampang 2D terhadap sumbu z
Pada gambar 2.2. sebelah kiri merupakan sebuah model gelas 2D yang kemudian di putar terhadap sumbu z untuk menghasilkan model 3D yang padat seperti pada gambar 2.2. sebelah kanan.
Ada banyak keuntungan dalam polygon modeling, yaitu jumlah sisi yang tidak terbatas, mudah untuk digabungkan, mudah untuk dimanipulasi dan kemudahan untuk digunakan. Tetapi keuntungan utama dari polygon modeling adalah kecepatan pemrosesan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan representasi lain, seperti NURBS. Polygon modeling akan menjadi teknik utama yang digunakan dalam penelitian ini walaupun polygon modeling membutuhkan banyak polygon untuk mampu secara akurat membentuk suatu permukaan melengkung dan menyebabkan kecepatan pemrosesan model 3D menjadi lambat, hal ini tidak menjadi masalah besar dalam penelitian ini sebab dalam penelitian ini, objek yang melengkung dibuat menggunakan teknik Non-Uniform Rational B-Splines.
2.3. Non-Uniform Rational B-Splines (NURBS)
Splines adalah jenis kurva, yang awalnya dibuat untuk membuat gambar model kapal sebelum ada proses modeling menggunakan komputer. Arsitek perkapalan
Universitas Sumatera Utara
10
membutuhkan suatu cara untuk menggambar sebuah kurva yang halus melalui serangkaian titik. Solusi saat itu adalah dengan meletakkan beban bundar yang terbuat dari besi (knots) pada serangkaian titik lalu membengkokkan sebuah lempengan besi tipis atau balok kayu (spline) melalui knots tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara matematis untuk menggambarkan bentuk kurva. NURBS merupakan singkatan dari Non-Uniform Rational B-Splines. NonUniform
mengacu
pada
parameterisasi
kurva.
Kurva
yang
non-uniform
memungkinkan adanya multi-knots yang diperlukan untuk merepresentasi kurva Bezier. Rational
mengacu pada representasi matematika yang memungkinkan
NURBS untuk mewakili conics secara tepat seperti kurva parabola, lingkaran, elips, dan kurva bentuk bebas. B-Splines mengacu pada sepenggal kurva polynomial yang memiliki representasi parametrik. Teknik modeling NURBS sangat cocok untuk membuat model 3D melengkung. NURBS memiliki floating points error yang stabil, membutuhkan sedikit memori dan mampu merepresentasikan segala jenis kurva maupun permukaan (Lavoie, 1999). Jadi untuk menutupi kekurangan dari polygon modeling, NURBS akan digunakan untuk membuat model 3D dari beberapa objek melengkung yang membutuhkan banyak polygon.
2.4. Texture Mapping Texture mapping adalah teknik shading untuk mengsintesis gambar di mana gambar tekstur dipetakan ke permukaan dalam sebuah scene tiga dimensi, hampir sama seperti wallpaper yang ditempelkan pada dinding. Jika kita membuat model dari sebuah meja, contohnya, kita mungkin akan menggunakan balok untuk bagian atas meja, dan empat tabung sebagai kakinya. Meja ini akan kelihatan membosankan jika dirender. Keaslian dari suatu gambar yang dirender, dapat ditingkatkan secara luar biasa dengan menaruh pola garis-garis kayu di atas meja. Keuntungan dari texture mapping adalah ia dapat menambah sangat banyak detil dari sebuah objek walaupun membutuhkan sedikit waktu tambahan saat dirender (Heckbert, 1989). Yang (2011) juga menyatakan bahwa dengan texture mapping, objek dapat terlihat lebih bagus tanpa menambah
Universitas Sumatera Utara
11
kompleksitas model dan dapat merepresentasikan objek secara lebih akurat dan mendekati kenyataan. Selain warna, texture mapping dapat digunakan untuk menentukan banyak parameter dari suatu permukaan. Ini termasuk gangguan dari permukaan vektor normal untuk mensimulasikan permukaan yang bergelombang (bump mapping), transparancy mapping untuk memodulasi opacity dari suatu permukaan yang tembus pandang, specularity mapping untuk memberi variasi pada kilauan suatu permukaan, dan illumination mapping untuk memodelkan distribusi dari cahaya yang datang dari segala arah (Heckbert, 1989). Texture Mapping (Pemetaan Tekstur) berfungsi untuk memberi tampilan yang jauh lebih kompleks dari sebuah polygon yang sederhana. Teknik ini diciptakan oleh Edwin Catmull pada tahun 1974..
2.5. Shading Shading merupakan metode atau teknik dalam rendering (pembentukan gambar yang mengandung model geometris untuk menghasilkan gambar yang lebih realistis). Pemberian bayangan (shading) merupakan proses penentuan warna dari semua pixel yang menutupi permukaan menggunakan model illuminasi (pencahayaan). Salah satu cara untuk menampilkan objek 3 dimensi agar terlihat nyata adalah dengan menggunakan shading. Shading adalah cara menampilkan objek 3 dimensi dengan mewarnai permukaan objek tersebut dengan memperhitungkan efek-efek cahaya. Efek-efek cahaya yang dimaksud adalah ambient, diffuse, dan specular. Metode shading yang digunakan adalah Flat Shading, Gouraud Shading, dan Phong Shading. Metode pengarsiran yang paling sederhana adalah flat shading. Metode ini hanya sekali menghitung intensitas untuk tiap-tiap poligon pada objek. Hasil yang didapatkan tentu saja tidak memuaskan, batas-batas antar poligon terlihat jelas sehingga objek akan kelihatan kotak-kotak. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengarsir poligon adalah sebagai berikut: 1. Mencari vektor normal 2. Mengambil sembarang titik yang terletak tepat pada poligon poligon tersebut (misalkan titik tengah poligon) sebagai titik acuan.
Universitas Sumatera Utara
12
3. Menghitung intensitas pencahayaan dari poligon tersebut. 4. Kemudian, seluruh poligon tersebut diarsir dengan intensitas yang telah dihitung. (Windasari, et al. 2011)
Untuk mendapatkan hasil yang lebih halus saat mengarsir poligon, digunakan metode gouraud shading. Perbedaan antara gouraud shading dengan flat shading adalah pada gouraud shading, intensitas tiap poligon dihitung pada titik-titik sudut yang membentuk poligon tersebut. Setelah semua intensitas pada tiap titik sudut poligon tersebut telah diketahui, dilakukan kalkulasi intensitas untuk tiap titik yang dibatasi oleh poligon tersebut dengan cara menginterpolasi (interpolasi = mencari nilai antara) intensitas pada sudut-sudut penyusun poligon tersebut (Windasari, et al. 2011). Teknik Phong shading mirip dengan gouraud shading. Perbedaannya terletak pada saat melakukan interpolasi. Pada teknik sebelumnya, yang diinterpolasi adalah intensitas pada titik-titik sudut penyusun poligon yang sebelumnya telah dihitung terlebih dahulu, pada teknik ini, yang diinterpolasi adalah vektor normal (yang telah dirata-rata) dari titik-titik sudut penyusun poligon untuk mendapatkan vektor normal pada titik yang akan diarsir, dan melakukan perhitungan intensitas pada titik tersebut. Oleh karena perhitungan intensitas dilakukan setiap kali akan mengarsir, maka beban komputasi dari teknik ini akan meningkat drastis daripada teknik sebelumnya. Namun demikian, hasil yang diperoleh akan lebih baik jika dibandingkan dengan teknik sebelumnya, terutama dalam perhitungan pencahayaan yang lebih rumit. Dengan teknik ini perhitungan pencahayaan akan lebih akurat karena tiap titik yang akan diarsir memiliki vektor normal tersendiri, berbeda dengan teknik sebelumnya yang hanya menghitung intensitas padabeberapa titik dan “memperkirakan” intensitas pada titik lainnya (Windasari, et al. 2011). 2.6. Ambient, Diffuse dan Specular
Ambient adalah efek pencahayaan yang telah membaur dengan lingkungan sehingga arah cahaya tidak dapat diketahui, seakan-akan cahaya datang dari segala arah. Efek ini akan mempengaruhi terang atau tidaknya suatu lingkungan yang terlihat oleh mata. Semakin banyak lampu maka ruangan semakin terang, sebaliknya jika lampu sedikit maka ruangan remang-remang.
Universitas Sumatera Utara
13
Walaupun sebuah benda tidak terkena cahaya secara langsung, benda tersebut masih dapat terlihat. Hal ini terjadi karena adanya cahaya yang dipantulkan secara tidak langsung oleh benda di sekitarnya. Model pencahayan sederhana ini disebut cahaya ambient. Benda yang hanya dikenai cahaya ambient akan terlihat sangat datar (Windasari, et al. 2011). Intensitas ambient pada suatu obyek dapat dicari dengan persamaan : I = Ia * Ka dimana : I = Intensitas yang dihasilkan Ia = Intensitas ambient Ka = Koefisien ambient
Saat sebuah benda dikenai cahaya, maka intensitas cahaya akan dipantulkan rata ke semua arah. Inilah yang disebut cahaya diffuse (Windasari, et al. 2011). Diffuse tergantung dari besarnya sudut yang dibentuk antara sinar dari lampu ke titik tabrak pada obyek dengan normal obyek. Sehingga posisi lampu sangat mempengaruhi efek diffuse ini. Intensitas diffuse dapat dicari dengan hukum Lambertian sebagai berikut: I = Ip * Kd (cosθ) Dari persamaan intensitas diffuse tersebut cos θ dapat dihitung dengan melakukan dot product antara sinar dari lampu ke titik tabrak obyek dengan normal obyek itu, masing-masing merupakan unit vektor. Sehingga didapat persamaan baru : I = Ip * Kd * ( L • N ) dimana : I = Intensitas yang dihasilkan Ip = Intensitas diffuse dari sumber cahaya „x‟ Kd = Koofisien diffuse N = Vektor normal dari obyek
Universitas Sumatera Utara
14
L = Vektor dari titik tabrak ke sumber cahaya θ = Sudut antara N dan L
Pada benda berkilau, terdapat sebidang daerah yang terang pada permukaan benda yang letaknya tergantung dari sudut pandang terhadap benda. Efek cahaya ini disebut pencahayaan specular (Windasari, et al. 2011). Semakin mengkilap permukaan suatu obyek maka makin jelas bayangan sumber cahaya yang terlihat pada permukaan obyek tersebut. Untuk mencari intensitas specular dapat digunakan persamaan sebagai berikut : I = Ip * Ks (cos θ ) n Dari persamaan intensitas specular tersebut cos θ menggunakan dot product antara arah pantulan dengan negasi dari arah sinar, sehingga menjadi : I = Ip * Ks * ( R • V ) n dimana : I = Intensitas yang dihasilkan Is = Intensitas specular dari sumber cahaya „x‟ Ks = Koofisien specular n = Variabel yang menentukan luas area yang berkilau jika terkena cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya (bila n semakin besar maka cahaya semakin terfokus atau area yang berkilau menjadi lebih kecil) R = Arah pantulan, berupa unit vektor V = Negasi dari arah sinar
Sedangkan vektor R diperoleh dari : S+2*(S•N)*N dimana : S = Vektor dari titik tabrak ke sumber cahaya N = Vektor normal dari obyek
Universitas Sumatera Utara
15
2.7. Penelitian Terdahulu
Virtualisasi suatu lokasi telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa orang. Beberapa diantaranya adalah Prasetya, D. D. (2011), Alhabso et al. (2013), dan Abror, N. M. (2013). Penelitian yang dilakukan oleh Didik Dwi Prasetya berjudul Aplikasi Virtual Tour Berbasis Web Sebagai Media Promosi Pariwisata. Dalam penelitian tersebut Didik menggunakan sekumpulan gambar yang didukung dengan musik, narasi dan teks untuk mensimulasikan suatu lokasi pariwisata. Kunci keberhasilan dan sekaligus komponen utama Virtual Tour tersebut adalah gambar panorama. Selain itu, Virtual Tour tersebut juga dikombinasikan dengan layanan geolocation untuk pemetaan lokasi. Tujuan utama dari penelitiannya adalah sebagai media promosi dan pemasaran pariwisata yang inovatif dan komunikatif dengan jangkauan luas. Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Mizaanatul Abror berjudul Prototype Virtual Tour Museum pada E-Supermuseum untuk Mengenalkan Budaya Batik Jawa Tengah dan DIY. Dalam penelitian tersebut Nurul tidak menggunakan audio dan video, melainkan hanya menggunakan sekumpulan gambar dan teks untuk memberikan informasi. Gambar dan teks tersebut kemudian disusun dan diproses menggunakan Macromedia Flash yang kemudian hasil akhirnya akan diupload ke website. Penelitian yang dilakukan oleh Fatchur Rohman Alhabso, Muhtadin, dan Ahmad Zaini berjudul Visualisasi Objek Dimensi Tiga Pada Virtual Touring Panorama 360. Dalam penelitian yang berbasis web tersebut mereka menggunakan 3D Scanner untuk merekonstruksi objek dimensi tiga. Sebelum diimplementasikan pada Virtual Tour, hasil dari proses rekonstruksi tersebut dilakukan proses mesh decimation dan texture mapping. Tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk memvisualisasikan benda koleksi museum yang tidak cukup hanya divisualisasikan dalam bentuk dimensi dua.
Universitas Sumatera Utara